f ' Inspirasi Pendidikan

Inspirasi Pendidikan untuk Indonesia

Pendidikan bukan cuma pergi ke sekolah dan mendapatkan gelar. Tapi, juga soal memperluas pengetahuan dan menyerap ilmu kehidupan.

Bersama Bergerak dan Menggerakkan pendidikan

Kurang cerdas bisa diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur itu sulit diperbaiki (Bung Hatta)

Berbagi informasi dan Inspirasi

Tinggikan dirimu, tapi tetapkan rendahkan hatimu. Karena rendah diri hanya dimiliki orang yang tidak percaya diri.

Mari berbagi informasi dan Inspirasi

Hanya orang yang tepat yang bisa menilai seberapa tepat kamu berada di suatu tempat.

Mari Berbagi informasi dan menginspirasi untuk negeri

Puncak tertinggi dari segala usaha yang dilakukan adalah kepasrahan.

Kamis, 13 November 2025

MENDENGAR TASBIH SEMESTA YANG TERLUKA: SEBUAH KAJIAN KRITIS ATAS PUISI "RATAPAN DOA SEMESTA" KARYA: SHAKAYLA ADZKIYA EL QUEENA

 

Afrilia Eka Prasetyawati, M.Pd *
Sahabat inspirasi pendidikan, Sebuah karya sastra sering digunakan sebagai media untuk menyampaikan pesan indah, namun efektif. meskipun demikian terkadang kita harus menyelami pikiran dan pesan dari penulisnya. Kali ini saya akan menyingkap tabir pesan dalam puisi yang ditulis oleh penyair yang masih belia, yaitu Shakayla Adzkiya El Queena Harfianto. Judul puisi yang ditulisnya adalah Ratapan Doa Semesta. Agar lebih bisa memahami secara  utuh berikut saya sertakan puisi yang ditulisnya.

RATAPAN DOA SEMESTA 
KARYA : SHAKAYLA ADZKIYA EL QUEENA HARFIANTO

Langit tak lagi biru, temaram bersyahadat menyebut asmaMU
Diantara kilatan cahaya petir dan kabut gelap 
Gunung dalam diam bertafakkur bersujud dibawah kabut 
Menyimpan tasbih pada batu-batu yang dicongkel keserakahan 
Air setia mengalirkan do’a yang tak pernah didengar anak manusia 
Jerit burung melafalkan takbir di kala fajar, dianggapnya nyanyian belaka

Manusia… manusia…
Selalim itukah engkau, hingga tega mencabik-cabik semesta 
Menanam bumi dengan pasak-pasak besi 
Mencincang isi perutnya demi tambang 
Selalim itukah engkau, hingga tega menodai semesta 
Meracuni angkasa dengan asap-asap  berlaksa 
Kerakusan demi kerakusan terbungkus diksi pembangunan

Sungai berdoa dalam keruhnya.
” Ya, Rabb, aku dulu jernih membawa kehidupan, kini aku penuh dengan bangkai kesombongan.” 
Namun manusia  menutup telinga dari doa air yang luka. 
Pohon-pohon merenung dalam dzikir panjangnya
Daun-daunnya luruh seperti tasbih yang putus dibabat nafsu 
Bumi, menahan rintih seraya berdoa “Kuatkan aku ya Allah” 
Meski rahimnya gersang  terpanggang

Ya Allah, yang Maha Lembut 
Engkau masih menulis kasih diantara kehancuran alam 
Setiap petir yang kau kirim adalah peringatan-Mu 
Setiap longsor adalah teguran lembut dari –Mu 
Setiap bumi berguncang adalah bentuk sapaan-Mu 
Tapi kami  tak mampu membaca titahMu 

Ya Allah, Ya Ghaffar izinkan hamba bersujud di atas tanah yang kami lukai 
Dengan air mata sebagai hujan penebus 
Untuk menumbuhkan rasa dan logika
bahwa setiap daun, setiap angin, setiap badai
adalah ayat ayat kauniyah yang kami dustakan sekian lama
Sungguh semesta ini adalah kitab-Mu yang terbuka.
Ajarilah kami kembali mendengar tasbih semesta
Yang menuntun kami menuju  jalan pulang.
                                                                                     Ponorogo, 22 Oktober  2025

Sekarang mari kita dalami isi puisi tersebut melalui artikel ini. Artikel ini akan mengulas puisi tersebut, tidak hanya sebagai karya seni, tetapi sebagai sebuah dokumen empirik yang merekam jejak spiritualitas dalam krisis lingkungan.

Di tengah hiruk-pikuk diskursus tentang krisis iklim yang seringkali terjebak dalam data statistik dan jargon teknis, muncul sebuah suara liris yang mengingatkan kita pada akar spiritual dari bencana ekologis. Suara itu hadir dalam puisi "Ratapan Doa Semesta", karya Shakayla Adzkiya El Queena Harfianto. Jauh dari sekadar keluhan, puisi ini adalah sebuah teofani, sebuah penyingkapan kesakralan alam yang dicederai, sekaligus sebuah kritik tajam terhadap antroposentrisme yang dibungkus dalam "diksi pembangunan".

Antara Tasbih dan Eksploitasi: Diksi sebagai Medan Laga
Kekuatan analitis (kajian empirik) utama dari puisi ini terletak pada penggunaan diksi yang sangat kontras. Shakayla secara brilian mempertentangkan dua leksikon (kosakata) yang saling bertarung: leksikon spiritualitas alam dan leksikon kekerasan industrial. Di satu sisi, semesta digambarkan dalam aktivitas ibadah yang khusyuk. Kita menemukan kata-kata seperti: bersyahadat, bertafakkur, bersujud, tasbih, takbir, dan dzikir panjang. Langit, gunung, air, dan burung bukan sekadar objek, melainkan subjek yang aktif memuji Sang Pencipta. Di sisi lain, hadir leksikon brutal yang mewakili tindakan manusia: dicongkel keserakahan, mencabik-cabik, menanam... pasak-pasak besi, mencincang isi perutnya, meracuni, dan dibabat nafsu.

Pertarungan empirik dalam puisi ini terjadi ketika aktivitas sakral alam dilanggar oleh aktivitas profan manusia. Gunung dalam diam bertafakkur sementara batu-batu (tempatnya bertasbih) dicongkel keserakahan. Jerit burung melafalkan takbir namun dianggapnya nyanyian belaka. Ini adalah kritik pedas: manusia tidak hanya merusak alam, tetapi telah tuli secara spiritual, gagal membedakan antara takbir dan nyanyian.

Pembangunan sebagai Eufemisme Kerakusan

Puisi ini mencapai puncak kritik sosialnya dalam satu baris yang menohok: Kerakusan demi kerakusan terbungkus diksi pembangunan.

Ini adalah pengamatan empirik yang tajam. Sang penyair remaja  ini mampu mengidentifikasi bahwa kata "pembangunan" seringkali berfungsi sebagai eufemisme, penghalusan bahasa, untuk menutupi motif sebenarnya, yaitu kerakusan dan eksploitasi. "Mencincang isi perutnya demi tambang" secara politis sering disebut sebagai "pembukaan lapangan kerja" atau "peningkatan pendapatan daerah".

Shakayla, melalui puisinya, menelanjangi eufemisme ini. Ia menunjukkan bahwa di balik retorika kemajuan, ada bangkai kesombongan yang mengotori sungai dan daun-daun luruh seperti tasbih yang putus.

Alam sebagai Kitab yang Terbuka

Analisis puisi ini tidak lengkap tanpa memahami kerangka teologis yang diusungnya. Krisis yang digambarkan bukanlah sekadar krisis ekologi, melainkan krisis teologi. Bencana alam yang terjadin seperti petir, longsor, bumi berguncang, secara eksplisit ditafsirkan bukan sebagai fenomena acak, melainkan sebagai "pesan" dari Tuhan.

Puisi ini menyebutnya: peringatan-Mu, teguran lembut dari-Mu, dan bentuk sapaan-Mu.

Masalahnya, manusia telah kehilangan kemampuan hermeneutiknya. Kita gagal menafsirkan pesan tersebut. Tapi kami tak mampu membaca titahMu. Kegagalan membaca inilah yang menjadi dosa terbesar. Penyair menegaskan ini di akhir puisi. Alam semesta diidentifikasi sebagai ayat-ayat kauniyah (ayat-ayat alam) dan kitab-Mu yang terbuka. Kita telah mendustakan ayat-ayat tersebut begitu lama sehingga kita lupa cara membacanya. Kerusakan lingkungan, dalam optik puisi ini, adalah bukti kebutaan kita dalam membaca "Kitab Semesta".


Kesimpulan: Doa untuk Menumbuhkan Rasa dan Logika
"Ratapan Doa Semesta" adalah sebuah karya yang matang. Ia berhasil melampaui sekadar puisi protes lingkungan. Ini adalah sebuah elegi, sebuah kritik sosial, dan sebuah doa pertobatan yang mendalam. Puisi ini tidak berhenti pada kemarahan, tetapi bergerak menuju resolusi spiritual. Solusi yang ditawarkan bukanlah solusi teknokratis, melainkan solusi batiniah: izinkan hamba bersujud di atas tanah yang kami lukai,  Dengan air mata sebagai hujan penebus.

Tujuannya? Untuk menumbuhkan rasa dan logika. Sebuah penutup yang indah. Shakayla tidak menolak logika (yang sering diidentikkan dengan "pembangunan"), tetapi ia ingin logika itu ditumbuhkan kembali di atas tanah pertobatan, disirami oleh "rasa" (empati dan spiritualitas).

Pada akhirnya, puisi ini adalah panggilan untuk "pulang". sebuah ajakan untuk kembali belajar mendengar tasbih semesta sebagai penuntun jalan kita. Sebuah karya yang kuat, relevan, dan sangat dibutuhkan di zaman ini. Shakayla, sang penyair muda ini mampu membingkainya dala karya yang indah namun syarat makna yang mendalam.

----------------------------
*
Penulis adalah pemerhati bidang sastra

Sabtu, 08 November 2025

TRANSFORMASI NILAI KEPAHLAWANAN GEN Z

Penulis: Afrilia Eka Prasetyawati

Hari Pahlawan diperingati setiap tanggal 10 Nopember. Hal ini berdasarkan Keppres Nomor 316 Tahun 1959. Penetapan hari pahlawan ini sebagai bentuk penghormatan terhadap perjuangan heroic para pemuda dan semua elemen masyarakat Surabaya dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Seperti catatan sejarah, pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pasukan sekutu bersama NICA bermaksud menduduki kembali Indonesia, termasuk Surabaya yang dimulai dengan tibanya tentara sekutu dan Nica pada tanggak 25 Oktober 1945 dipimpin oleh Brigadir Jenderal A. W. S. Mallaby. Mereka ingin melucuti senjata para pejuang. Tetapi Para pejuang menolak dan terjadilah peperangan besar pada tanggal 10 Nopember 1945. Tidak terhitung jumlahnya para pejuang yang gugur. Namun tentara sekutu juga mengalami kerugian besar. Termasuk tewasnya Brigjen Mallaby.

Mempertahankan kemerdekaan merupakan kewajiban bagi seluruh warga negara, bahkan pada zaman dahulu, para pejuang rela mengorbankan hidupnya. Sekarang setelah Indonesia merdeka 80 tahun, maka nilai-nilai kepahlawanan dari para pendahulu, seharusnya diwarisi oleh generasi muda. Kepahlawanan memegang peranan penting dalam pembentukan karakter dan identitas bagi Generasi Z. Dalam dunia yang terus berkembang dengan tantangan kompleks, keberanian untuk bertindak dan sikap kepahlawanan tidak hanya menjadi teladan, tetapi juga menjadi sumber inspirasi yang mampu membakar semangat perubahan positif. Generasi Z dikenal dengan tingkat kesadaran sosial yang tinggi dan kepekaan terhadap isu-isu global, tetapi sering kali mereka menghadapi ketidakpastian dan berbagai hambatan dalam mengimplementasikan nilai-nilai tersebut secara nyata. Oleh karena itu, memahami pentingnya kepahlawanan adalah langkah strategis dalam mengarahkan energi dan kreativitas mereka ke arah yang konstruktif.

Kepahlawanan bagi Generasi Z bukan sekadar keberanian menghadapi bahaya, melainkan juga keberanian untuk berinisiatif, berkontribusi aktif dalam masyarakat, dan memperjuangkan keadilan. Kepahlawanan merupakan bentuk nyata dari sikap berani berbicara dan bertindak demi kebaikan bersama, yang dapat menjadi inspirasi bagi generasi lain dan memperkuat rasa solidaritas sosial. Melalui keberanian dan komitmen yang tulus, mereka mampu menjembatani nilai-nilai luhur dengan aksi nyata, memperlihatkan bahwa setiap individu memiliki potensi untuk menjadi pahlawan dalam konteks kehidupannya.

Pentingnya kepahlawanan bagi Generasi Z juga terletak pada kemampuannya menumbuhkan rasa tanggung jawab dan kepedulian sosial. Di tengah arus digitalisasi dan kemudahan akses informasi, sikap kepahlawanan perlu diperkuat melalui pendidikan, pengalaman, dan pembelajaran yang menanamkan rasa empati serta keberanian beraksi. Dengan demikian, generasi ini tidak hanya menjadi pengamat pasif terhadap dinamika sosial, tetapi aktif memegang peranan dalam membentuk perubahan positif. Kesadaran akan betapa pentingnya sikap kepahlawanan ini dapat menjadi pendorong utama bagi mereka untuk memberi makna nyata terhadap nilai-nilai luhur yang mereka anut dan untuk terus berkontribusi membangun bangsa dan masyarakat yang lebih baik. Sikap kepahlawanan yang harus dimiliki oleh Generasi Z meliputi sejumlah karakteristik yang esensial dalam menghadapi tantangan zaman. Pertama, keberanian untuk bertindak walaupun risiko menghadang, disertai dengan komitmen dan integritas tinggi. Generasi Z perlu menanamkan keberanian untuk memperjuangkan nilai-nilai kebaikan dan keadilan, tanpa takut terhadap tekanan sosial maupun ketidakpastian. Kedua, rasa tanggung jawab sosial menjadi fondasi utama dalam membangun karakter kepahlawanan. Mereka harus menyadari bahwa aksi nyata yang dilakukan memiliki dampak langsung terhadap lingkungan, masyarakat, dan bangsa secara keseluruhan. Rasa tanggung jawab ini mendorong mereka untuk peduli terhadap isu-isu keberlanjutan, keadilan sosial, dan kebhinekaan dengan kesadaran penuh. Ketiga, kepekaan dan empati adalah kualitas yang menuntut Generasi Z mampu memahami kondisi dan perasaan orang lain secara mendalam. Kepahlawanan tidak hanya bermakna kekuatan fisik atau keberanian di medan perang, melainkan juga kemampuan untuk berempati dan menunjukkan kepedulian terhadap sesama. Keempat, inovasi dan kreativitas menjadi aspek penting dalam mengatasi berbagai permasalahan yang kompleks. Generasi Z harus mampu memanfaatkan kreativitas sebagai alat untuk menciptakan solusi baru dan inovatif serta mampu menginspirasi orang lain melalui aksi nyata. Kelima, ketekunan dan disiplin merupakan nilai kunci dalam mengimplementasikan niat baik menjadi realisasi nyata. Menghadapi rintangan dan kegagalan, sikap pantang menyerah menjadi penentu keberhasilan dalam menegakkan nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan keberanian. Dengan mengintegrasikan sikap-sikap tersebut dalam kehidupan sehari-hari, Generasi Z dapat menjadi pahlawan masa depan yang tidak hanya berkarakter dan berwawasan luas, tetapi juga mampu menjembatani nilai-nilai mulia dengan aksi yang nyata dan berdampak positif bagi masyarakat dan bangsa.

Tantangan utama dalam menumbuhkan sifat kepahlawanan di kalangan Generasi Z meliputi kurangnya kesadaran akan nilai-nilai kepahlawanan yang sebenarnya, minimnya fasilitas dan ruang untuk beraksi, serta pengaruh budaya digital yang cenderung memusatkan perhatian pada hiburan dan konsumsi cepat. Selain itu, ketidakpastian ekonomi dan sosial turut membatasi keberanian dan inisiatif mereka untuk mengambil langkah nyata demi kebaikan masyarakat. Di sisi lain, adanya kecenderungan individualisme yang tinggi dapat mengurangi rasa solidaritas serta semangat berbakti.

Solusi untuk mengatasi tantangan tersebut melibatkan pendekatan edukatif yang menyentuh aspek moral dan karakter, serta penyediaan platform daring maupun luring yang memfasilitasi aksi nyata dan kolaborasi. Pembinaan budaya kepahlawanan harus dimulai sejak dini, dengan melibatkan keluarga, sekolah, dan komunitas dalam membangun kesadaran akan pentingnya pengabdian dan keberanian. Penggunaan media digital secara positif juga dapat menjadi alat efektif untuk membangkitkan inspirasi dan menggerakkan aksi, asalkan dikemas dengan pesan yang edukatif dan menggugah. Selain itu, perlu adanya contoh nyata dari tokoh dan pemuda yang telah berhasil menorehkan keberanian dan pengorbanan, sebagai teladan yang konkret dan dapat dicontoh. Dengan kombinasi pendekatan edukasi, fasilitas, serta teladan yang inspiratif, tantangan dalam menumbuhkan rasa kepahlawanan dapat diatasi secara efektif. Meskipun tantangan cukup kompleks, komitmen berkelanjutan dari semua unsur masyarakat diharapkan mampu menumbuhkan generasi yang tidak hanya memahami nilai-nilai mulia tetapi juga mampu mengimplementasikannya dalam tingkah laku nyata.

Masa depan kepahlawanan di Indonesia memegang peranan penting dalam menentukan arah pembangunan bangsa yang berintegritas dan berbudaya. Generasi Z, sebagai penerus bangsa, diharapkan mampu menjadi tunas yang kokoh dalam mendorong perubahan positif serta menjaga nilai-nilai luhur bangsa. Harapan tersebut didukung oleh komitmen untuk menumbuhkan kesadaran akan pentingnya peran aktif dan tanggung jawab sosial, sekaligus memperkuat identitas bangsa yang penuh kebanggaan. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai kejujuran, keberanian, dan solidaritas, generasi muda mampu menjawab tantangan zaman yang semakin kompleks, seperti globalisasi, konflik sosial, dan tantangan lingkungan.

Transformasi kepahlawanan tidak semata-mata sebagai legenda masa lalu, melainkan sebagai cerminan nilai yang terus relevan dan dibutuhkan saat ini. Melalui pendidikan, pengembangan karakter, serta penghargaan terhadap karya-karya inspiratif, diharapkan muncul pemimpin dan aktivis yang mampu menjadi agen perubahan di tingkat lokal maupun nasional. Keberhasilan menumbuhkan budaya kepahlawanan di masa depan akan memperkuat fondasi sosial dan politik Indonesia, memastikan terciptanya masyarakat yang berkeadilan dan berdaya saing. Oleh karena itu, investasi dalam pembinaan karakter dan kepemimpinan generasi muda mutlak dilakukan agar cita-cita bangsa dapat terus berlanjut dan berkembang secara berkelanjutan. Dengan semangat optimisme dan tekad kuat, Indonesia di masa depan dapat meraih kemakmuran dan kedamaian yang berakar dari budaya kepahlawanan yang kokoh dan lestari.

Dalam perjalanan membangun bangsa yang berdaya dan berintegritas, peran kepahlawanan tetap menjadi fondasi penting. Generasi Z, sebagai penerus estafet bangsa, memiliki potensi luar biasa untuk menumbuhkan semangat kepahlawanan yang sesuai dengan nilai-nilai mulia dan kebutuhan zaman. Kepahlawanan bukan sekadar pengorbanan besar di medan perang, melainkan juga aksi nyata dalam kehidupan sehari-hari, seperti berkontribusi aktif dalam masyarakat, memperjuangkan keadilan, dan memupuk kepekaan terhadap masalah sosial. Tantangan besar yang dihadapi adalah menjaga agar nilai-nilai tersebut tidak tergerus oleh budaya apatis dan individualisme yang berkembang pesat di era digital. Oleh karena itu, diperlukan sinergi antara pendidikan karakter, media, dan kesadaran akan pentingnya aksi nyata yang relevan dengan konteks masa kini. Kisah-kisah inspiratif dari pemuda yang peduli membuktikan bahwa setiap individu mampu memberi dampak positif jika memiliki tekad dan keberanian untuk bertindak. Melalui langkah-langkah praktis seperti penguatan nilai-nilai moral dalam pendidikan, kampanye kepedulian sosial, dan pengembangan komunitas yang berorientasi aksi nyata, generasi Z dapat meneguhkan semangat kepahlawanan mereka. Harapan besar terletak pada keberlangsungan dan konsistensi upaya tersebut agar kepahlawanan makin menyatu dalam jiwa dan tindakan. Dengan demikian, masa depan Indonesia diwarnai oleh generasi yang tidak hanya sadar akan nilai-nilai mulia, tetapi juga mampu menjadikannya sebagai landasan nyata dalam menjalani kehidupan dan memperjuangkan kemajuan bangsa. Kepahlawanan, dalam bentuk apa pun, tetap relevan sebagai sebuah identitas (AEP,08/11/2025).

* Penulis adalah pemerhati dalam bidang pendidikan

Kamis, 30 Oktober 2025

GHOSTWRITER DI NEGERI LITERASI: ANTARA ALTERNATIF KARIER DAN KRISIS INTEGRITAS

Dr. Hariyanto, M.Pd*

Ghostwriter, sebuah istilah asing yang akhir-akhir ini sering kita dengar seiring dengan banyaknya publikasi abal-abal dan krisis integritas yang melanda dunia pendidikan. Ghostwriter adalah seorang penulis bayangan yang menulis untuk keperluan orang lain. Tindakannya disebut ghostwriting. Seorang ghostwriter mendapatkan bayaran dari hasil menulisnya tetapi karya yang ditulisnya diatasnamakan orang yang membayarnya sebagai punulis. Arnani dan Nindhita (2024) menyebut ghostwriting ini dengan contract cheating atau academic outsourcing. Clarke & Lancaster (2006) mendefinisikan contract cheating merujuk pembayaran kepada orang lain untuk menyelesaikan tugas sehingga orang yang membayar tersebut mengklaim tugas itu atas nama sendiri. Istilah ini di Indonesia juga dikenal dengan nama perjokian.

Fenomena perjokian atau ghostwriting ini sangat marak di Indonesia, bahkan tidak jarang diiklankan melalui media sosial. Tentu saja fenomena sosial ini melahirkan profesi baru yaitu joki atau ghostwriter. Ghostwriting tidak hanya diperuntukkan pada penulisan karya-karya ilmiah seperti menulis buku, skripsi, tesis, desertasi, artikel ilmiah, tetapi juga karya non ilmiah atau fiksi seperti penulisan cerpen, novel dan bentuk karya fiksi lainnya. Dengan demikian dapat diketahui justru praktik ini sedang melanda dalam dunia akademik, di kalangan mahasiswa, siswa, dosen, guru, atau bahkan pejabat publik yang memiliki sumber daya ekonomi tetapi kurang memiliki kemampuan atau tidak memiliki banyak waktu untuk menghasilkan karya tulis.

Kecurangan akademik tersebut semakin nyata apabila kita membaca hasil riset yang berjudul predatory publishing in Scopus; Evidence on cross-country  differences oleh Vit Machachek dan Martin Shrolek (2022) bahwa terdapat banyak jurnal termasuk dalam Beal’s List, sebagai jurnal abal-abal.  dari 172 negara di empat bidang penelitian menunjukkan keragaman yang luar biasa. Di negara Kazakhstan dan Indonesia sebanyak 17% dari artikel dipublikasikan dalam jurnal predator. Praktik ghostwriting ini seolah lazim terjadi di kalangan mahasiswa, karena itu sering kali kita jumpai mahasiswa yang secara terang-terangan membuat iklan di status whatsappnya dengan membuka jasa pembuatan makalah, pembuatan slide presentasi, penyusunan proposal skripsi, artikel jurnal dan lain-lain dengan mematok tarif yang beragam.

Mengapa profesi ghostwriter ini muncul dan semakin menggurita? Disinilah mestinya kita harus kita renungkan bersama dengan tanpa terlebih dahulu mengkambing hitamkan ghostwriter. Bagaimanapun harus diakui bahwa ghostwriter ini adalah orang-orang yang memiliki kompetensi dalam bidang tulis menulis, jika mereka masih berstatus mahasiswa, maka bisa dikategorikan mahasiswa yang piawai dalam menulis bahkan pandai. Fuad Fachruddin (2023) menganalisis dari dimensi ekonomi dan psikologi. Faktor yang medasar adalah kebutuhan finansial. Para ghostwriter ini menjual jasa demi mendapat imbalan. Sementara pengguna jasa ghostwriter ini melakukan cara yang menodai integritas akademik demi mendapatkan nilai atau pengakuan dari publik. Disinilah dilematiknya antara urusan perut dan kejujuran akademik yang harus dijunjung tinggi. Mana yang akan dipilih. Pada level perguruan tinggi,Wandayu, Purnomosidhi dan Ghofar (2019) menyimpulkan hasil penelitiannya bahwa faktor mahasiswa melakukan kecurangan akademik adalah keyakinan etis mahasiswa, jika mahasiswa memiliki keyakinan tinggi bahwa melakukan kecurangan akademik merupakan tindakan yang etis atau tidak etis akan memengaruhi mahasiswa melakukan kecurangan. Faktor lainnya adalah Tekanan mahasiswa atas studi dan kesempatan berpengaruh terhadap niat mahasiswa melakukan kecurangan.

Menghadapi kondisi krisis integritas ini, penulis menyodorkan beberapa hal yang bisa digunakan sebagai cara untuk mengurangi agar krisis tidak berkelanjutan menyebar lebih dalam pada dunia akademik, menginfeksi mahasiswa bahkan dosen, juga para pejabat atau tokoh-tokoh publik. Pertama, Menumbuhkan kesadaran kepada para penulis dengan mengkampanyekan praktik integritas  dan profesionalisme penulis. Hal ini bisa dilakukan dengan turut memberikan ruang kepada mereka untuk menjadikan profesi penulis tidak hanya untuk membangun literasi di Indonesia, tetapi juga dapat memberikan bekal income yang layak dari hasil karya tulisnya. Penghormatan terhadap hak cipta dan kepatuhan dalam memberikan royalti kepada penulis harus ditingkatkan dan dilakukan secara jujur. Kedua, Kampus sebagai sumber peradaban hendaknya secara terus menerus melakukan upaya preventif agar kecurangan akademik tidak dapat dilakukan mulai dari ruang kelas melalui tugas-tugas yang diberikan dosen, sampai pada tugas akhir sesuai jenjang studinya. Dosen harus dibekali dengan kompetensi untuk dapat mendeteksi kecurangan mahasiswa dalam bentuk apapun, semua tindakan plagiasi tidak boleh ditolerir. Kompetensi dosen ini diimbangi dengan implementasi teknologi. Hal ini diperlukan karena mahasiswa dengan mudah menggunakan Artificial intellegencies untuk menghasilkan karya tulisnya, mengalami ketergantungan penuh pada produk AI sehingga lambat laun bisa kehilangan kemampuan critical thinking. Ketiga, Tugas membangun literasi di Indonesia adalah tugas seluruh elemen bangsa, maka para pejabat publik, tokoh masyarakat, dosen dan guru hendaknya memberikan teladan atau contoh dengan tidak menggunakan jasa ghostwriter untuk kepentingan popularitas pribadi, demi mendongkrak popularitas. Sebagai role model hendaknya memiliki kemampuan menulis dan kemampuan public speaking secara berimbang.

Menjaga integritas harus menjadi prioritas, demi membangun pendidikan di Indonesia yang lebih baik. Sebagai bangsa besar, sudah seharusnya kita merasa malu dan menjauhi perbuatan yang akan menjerumuskan lebih dalam lagi pada krisis integritas.

 *Penulis adalah dosen FTIK Universitas Islam Negeri Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo.

Sabtu, 04 Oktober 2025

KUPU-KUPU YANG MENGINSPIRASI

Oleh: Shakayla Adzkiya El Queena Harfianto*


“Yah…ada yang bisa Aku bantu?” sapaku lembut kepada Ayah yang lagi sibuk membersihkan taman kecil di depan rumah.

“Alhamdulillah… sini donk, ambilin sapu dan bersihin rumput dan daun-daun kering ini.” Jawab Ayah sambil menunjuk ke arah daun-daun yang berserakan di dekatnya.

Aku pun sigap membersihkan dan membuangnya di tempat sampah yang agak jauh di belakang rumah. Biasanya setelah kering akan dibakar. Begitulah ritme hari libur yang kami lakukan. Bunda sibuk masak di dapur, Adik membantu membersihkan area dapur.

Pagi ini cuaca cerah sekali, langit bernuansa biru berselimut awan tipis putih keperakan. Burung-burung berkicau riang hinggap di dedaunan pohon. Halaman belakang rumah kami memang banyak pohon yang menjadi sarang beberapa burung dan berkembang biak di situ. Sementara halaman depan dihiasi aneka bunga yang indah, semakin asri dan sedap dipandang mata saat bunga bermekaran, banyak kupu-kupu datang sekedar untuk menghirup madu bunga.

“ Ayah.. Kakak… istirahat dulu, ini adik buatin teh hangat dan pisang goreng juga” Teriak adik dari dapur sambil membawa nampan yang diletakkan di bale-bale depan rumah.

“ya, dik…terima kasih, taruh situ saja dulu.” Sahutku

“ Yah, Istirahat dulu yuuk.. mumpung masih hangat teh sama pisang gorengnya.” Kataku kepada Ayah seraya menyandarkan sapu ke dinding,

Tanpa banyak bicara kami pun segera cuci tangan dan duduk di bale-bale depan rumah sambil menatap taman kecil yang dipenuhi bunga dan dihiasi kupu-kupu yang berterbangan.

“Yah… kalau ada kupu-kupunya jadi cantik ya.. rumah kita.” Celetukku setelah menyeruput the hangat buatan Adik.

“Alhamdulillah, artinya kita telah memberikan ruang bagi makhluk Alloh yang indah itu.” Jawab Ayah

“Kakak tahu tidak bahwa dari kupu-kupu ini kita belajar banyak tentang ketangguhan dalam hidup dan kesabaran.” Lanjut Ayah yang sontak membuat Aku penasaran.

“oiya… apa karena keindahan sayap yang warna-warni itu Yah?” Tanyaku penasaran, sambil bergeser mendekat ke tempat duduk Ayah.

Aku tahu biasanya Ayah akan memberikan cerita-cerita yang selalu menginspirasiku.

“Coba kakak ingat-ingat ya…bagaimana proses kupu-kupu terbentuk. Dia berubah dari makhluk yang ditakuti, berbulu dan bagi sebagaian orang itu merupakan hama bagi tanaman. Saat itu dia menjadi Ulat. Ulat begitu dibenci karena bulu-bulunya ada yang bikin gatal, makan daun-daunan, bisa merusak tanaman.” Jelas Ayah.

“Metamorfosis!” sahutku percaya diri.

“benar sekali metamortosis sempurna. Dalam perjalanan hidupnya dimulai dari telur, menjadi larva (ulat), kemudian berubah menjadi pupa (kepompong), dan berubah menjadi kupu-kupu.”

Ayah berhenti sebentar untuk minum, dan melanjutkan kembali.

“Untuk menjadi kupu-kupu dia harus bertapa dulu, dia berubah menjadi pupa atau kepompong.  setelah berbulan-bulan baru dia berubah wujud menjadi kupu yang indah dengan sayap warna-warni.”

“Nilai Ketangguhan dan kesabarannya dimana Yah?” tanyaku penasaran.

“Saat menjadi ulat, Ia dibenci karena merugikan makhluk lain. Tapi fase berikutnya dia merenungi diri, bertapa tidak makan sama sekali selama berbulan-bulan, membungkus dirinya. Dan itu tentu membutuhkan perjuangan yang luar biasa, setelah itu Alloh mengaruniakan dia menjadi kupu yang Indah.” Jelas Ayah bersemangat.

“Manusia juga harusnya begitu, sebanyak apapun dosanya, jika dia mau bersabar, bertaubat dan pasrah kepada Alloh, maka Alloh akan mengaruniai keindahan dalam hidupnya. Saat menjadi kepompong, dia tidak bisa bergerak ke mana-mana, mungkin gelap dunianya. Tetapi setelah ujian panjang itu bisa dilalui dengan penuh kesabaran, Alloh memberikan hadiah sepasang sayap yang indah agar bisa terbang menghirup manisnya nectar bunga. Kehadirannya selain menghadirkan keindahan juga bermanfaat bagi bunga untuk penyerbukan. Maka diapun bermanfaat bagi kita semua.” Cerita Ayah seraya melahap pisang goreng yang masih hangat di depannya.

Aku hanya bisa manggut-manggut sambil merenungi perkataan Ayah. “Masya Alloh, sungguh tidak ada yang sia-sia ciptaan Alloh.” Bisikku dalam hati.

“kakak pernah dengar ungakapan begini ‘Jangan kau buang waktu mengejar kupu-kupu. Rawatlah kebunmu, maka kupu-kupu akan datang’?” Tanya Ayah.

“Apa maksudnya itu Yah?” tanyaku penasaran.

“itu adalah ungkapan dari seorang penyair asal Brazil, Mario Quintana. Maksudnya dalam hidup itu, kita tidak perlu mengejar-ngejar pengakuan orang lain, agar dianggap pandai, menjilat agar bisa menjabat, menunjukkan seolah-olah mampu padahal tak mampu, karena sesungguhnya itu sia-sia saja. Mungkin ada yang berhasil tetapi itu hanya sementara. Yang harus dilakukan adalah perbaiki kompetensi diri, bekali diri dengan pengetahuan, sikap yang baik, keterampilan yang bermanfaat. Maka suatu saat nanti orang yang akan menilai dan mengetahui  dari prestasimu. Dan keberkahan (kupu-kupu) akan datang menghampirimu.” Jelas Ayah panjang lebar.

Sesaat aku terdiam, sambil mengunyah pisang goreng. Tatapan mataku menuju kupu-kupu yang berterbangan di pucuk-pucuk mawar putih, tapi pikiranku merenungkan kata-kata Ayah yang dalam sekali maknanya.

Pagi ini aku belajar kehidupan dari ulat, kupu-kupu, dan aneka bunga. Sekali lagi Ayahku mengajarkan bahwa dimanapun tempatnya bisa menjadi sekolah, dan siapapun bisa menjadi guru, bahkan hewan dan tumbuhan.

Sungguh Alloh Maha Besar, tidak ada satupun ciptaanNya yang sia-sia, bagi mereka yang mau berpikir.

 *Penulis adalah Siswi Kelas IX ICP MTs N 2 Ponorogo

SELF LEADERSHIP: MODAL DASAR UNTUK MENJADI PEMIMPIN

 

"Pemimpin yang hebat bukanlah pemimpin yang sempurna, melainkan pemimpin yang mampu mengatasi kekurangan dan belajar dari setiap kesalahan."

- Vince Lombardi -

Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi dan mengarahkan orang lain untuk mencapai tujuan bersama. A Leader is an individual who influences others to act toward a particular goal or end-state (Judith R. Gordon). Kepemimpinan adalah suatu usaha untuk mengarahkan, membimbing dan memotivasi serta bersama-sama mengatasi permasalahan dalam proses mencapai tujuan organisasi.  Begitulah berbagai pendapat yang kemukakan oleh berbagai ahli. Tentang pemimpin dan kepemimpinan. Untuk memiliki jiwa kepemimpinan yang baik maka modal dasar yang harus dimiliki adalah self leadership. Hal ini diungkapkan oleh Dr, Hariyanto, M.Pd dalam seminar kepemimpinan yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Tadris Bahasa Indonesia UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo, Jum’at 03 Oktober 2025.

Narasumber bersama pengurus  HMJ  TBINA

Lebih lanjut dalam seminar yang dimoderatori oleh Kurniatul Awwalina tersebut, Dr. Hariyanto, M.Pd juga memaparkan bahwa Self leadership mengacu pada kemampuan seseorang untuk mengelola diri sendiri secara efektif agar dapat mencapai tujuan pribadi maupun profesional. Aspek utama dari self leadership meliputi kesadaran diri, motivasi intrinsik, pengendalian emosi, serta kemampuan dalam mengatur perilaku dan pikiran untuk mencapai hasil yang diinginkan. Jika semua hal tersebut sudah dimiliki, maka siapapun termasuk mahasiswa sudah siap untuk menjadi seorang pemimpin yang hebat. Pemimpin yang bisa mempengaruhi orang lain atau anggota organisasinya dengan cara yang yang bijaksana, berbasiskan keteladanan menuju visi yang telah ditetapkan bersama.

Seminar yang digelar di Ruang pertemuan  Lt. 4 Gedung Perpustakaan UIN Ponorogo tersebut berlangsung dengan baik dan antusiasme terhadap kegiatan tersebut terlihat dari berbagai pertanyaan yang disampaikan oleh peserta seminar. Diskusi dalam seminar tersebut semakin seru dan menarik ketika narasumber memberikan perspektif kepemimpinan dalam sudut pandang Islam, Budaya Jawa, dan kepemimpinan modern. Misalnya praktik kepemimpinan pada masa khulafaur Rasyidin, Daulah Umayyah, zaman kerajaan hindu budha di nusantara, kepemimpinan pada saat kerajaan Islam di nusantara dan kepemimpinan di era digital. Dalam kesempatan tersebut, Narasumber berpesan kepada HMJ khususnya para pengurus, dan semua peserta seminar agar memiliki komptensi critical thinking, communication, creativity, dan  collaboration.

Ketua HMJ TBINA, Fatimah Azzahra Alfajri. dalam sambutannya menyampaikan terima kasih kepada narasumber yang berkenan berbagi ilmu dengan semua mahasiswa di jurusan Tadris Bahasa Indonesia. Harapannya dengan bekal teori kepemimpinan ini, maka mindset mahasiswa akan berubah menjadi lebih baik lagi, pola pikirnya semakin meluas dan berkesempatan untuk membuktikan bahwa mahasiswa suatu saat nanti layak untuk menjadi seorang pemimpin.

Penyerahan sertifikat kegiatan kepada narasumber
Acara seminar ditutup dengan session penyerahan sertifikat penghargaan kepada narasumber  dan foto bersama dengan panitia serta peserta seminar.  Selanjutnya untuk memperdalam materi seminar tersebut, dilanjutkan oleh panitia dan ketua HMJ 2025 dalam acara Focus group discussion.- inspirasipendidikan.com (03/10/2025)

Selasa, 30 September 2025

RAJA HUTAN YANG BIJAKSANA

 

Oleh: Shamita Maulida EL Queena Harfianto*

Di sebuah hutan yang rimbun dan penuh kehidupan, hiduplah berbagai macam hewan. Hutan itu dipimpin oleh seekor singa bernama Leo, yang dikenal sebagai raja hutan. Leo adalah singa yang kuat dan berani, tetapi ia juga memiliki hati yang baik. Ia selalu berusaha untuk menjaga kedamaian dan keharmonisan di antara semua penghuni hutan.

Suatu hari, saat matahari terbenam, Leo mengumpulkan semua hewan di padang terbuka untuk mengumumkan sesuatu yang penting. Semua hewan berkumpul, mulai dari tupai yang lincah hingga gajah yang besar. Mereka semua penasaran dengan apa yang akan disampaikan oleh raja mereka.

“Saudaraku, aku mengumpulkan kalian di sini untuk membahas sesuatu yang sangat penting,” kata Leo dengan suara yang dalam dan tegas.

“Kita semua tahu bahwa hutan ini adalah rumah kita, dan kita harus menjaga keharmonisannya. Namun, aku merasa bahwa kita perlu lebih banyak bekerja sama untuk menghadapi tantangan yang mungkin datang.”

Semua hewan mengangguk setuju. Mereka tahu bahwa hutan bisa menjadi tempat yang berbahaya, terutama ketika musim kemarau tiba dan makanan mulai menipis. Leo melanjutkan, “Aku ingin kita membentuk sebuah Dewan Hutan, di mana setiap hewan dapat mengirimkan perwakilan untuk berbicara dan memberikan pendapat. Dengan cara ini, kita bisa saling mendukung dan menemukan solusi untuk masalah yang kita hadapi.”

Saran Leo disambut baik oleh semua hewan. Mereka setuju untuk memilih perwakilan dari setiap spesies. Setelah beberapa hari, Dewan Hutan pun terbentuk. Perwakilan dari berbagai hewan berkumpul di bawah pohon besar yang menjadi tempat pertemuan mereka. Ada Kiki si Kelinci, yang dikenal karena kecerdasannya; Gino si Gajah, yang bijaksana dan kuat; dan Titi si Burung Hantu, yang selalu memiliki pandangan yang tajam.

Pertemuan pertama Dewan Hutan dimulai dengan semangat. Kiki mengusulkan agar mereka membuat rencana untuk mengumpulkan makanan sebelum musim kemarau tiba.

“Kita harus bekerja sama untuk mengumpulkan makanan sebanyak mungkin, agar semua hewan bisa bertahan hidup,” ujar Kiki.

Gino menambahkan, “Kita juga perlu membuat tempat persembunyian untuk melindungi makanan kita dari hewan-hewan lain yang mungkin ingin mencurinya.”

Titi, yang selalu berpikir jauh ke depan, berkata, “Kita harus memastikan bahwa semua hewan, besar atau kecil, memiliki akses ke makanan. Kita tidak boleh membiarkan siapa pun kelaparan.”

Semua hewan setuju dengan ide-ide tersebut, dan mereka mulai merencanakan langkah-langkah yang perlu diambil. Mereka membagi tugas, dan setiap hewan berkomitmen untuk melakukan bagian mereka. Kiki dan teman-temannya mulai mengumpulkan buah-buahan dan sayuran, sementara Gino membantu mengangkut makanan yang lebih berat. Titi terbang tinggi untuk mencari tahu di mana makanan melimpah.

Namun, tidak semua hewan setuju dengan rencana ini. Di sisi lain hutan, ada seekor serigala bernama Riko yang merasa terancam dengan kerjasama ini. Riko adalah hewan yang egois dan selalu berpikir hanya untuk kepentingan dirinya sendiri. Ia merasa bahwa jika hewan-hewan lain bekerja sama, ia tidak akan bisa mendapatkan makanan dengan mudah.

Riko pun merencanakan sesuatu. Ia mengumpulkan beberapa hewan lain yang juga merasa tidak senang dengan Dewan Hutan dan mengajak mereka untuk bergabung.

“Mengapa kita harus mendengarkan singa dan hewan-hewan lain? Kita bisa mengambil makanan mereka tanpa harus berbagi,” katanya dengan suara menggoda.

Beberapa hewan, seperti rubah dan tikus, terpengaruh oleh kata-kata Riko dan setuju untuk membantunya. Mereka mulai merencanakan untuk mencuri makanan yang telah dikumpulkan oleh hewan-hewan lain.

Sementara itu, di sisi lain hutan, Dewan Hutan terus bekerja keras. Mereka berhasil mengumpulkan banyak makanan dan menyimpannya di tempat yang aman. Leo merasa bangga dengan kerja sama yang ditunjukkan oleh semua hewan. Namun, ia juga merasa khawatir tentang Riko dan rencananya.

Suatu malam, saat semua hewan sedang tidur, Riko dan kelompoknya melancarkan aksinya. Mereka menyusup ke tempat penyimpanan makanan dan mulai mencuri makanan yang telah dikumpulkan. Namun, Kiki si Kelinci yang sedang berjaga melihat mereka dan segera memberi tahu Leo.

Leo segera memanggil semua hewan untuk berkumpul.

“Kita harus menghentikan Riko dan kelompoknya sebelum mereka mengambil semua makanan kita!” serunya.

Semua hewan bersiap untuk menghadapi situasi ini.

Ketika Riko dan kelompoknya sedang mengangkut makanan, mereka terkejut melihat Leo dan semua hewan lainnya mendatangi mereka.

“Berhenti! Apa yang kalian lakukan?” teriak Leo dengan suara menggelegar.

Riko, yang tidak mau mengakui kesalahannya, menjawab,

“Kami hanya mengambil apa yang seharusnya menjadi milik kami. Kami tidak butuh Dewan Hutan untuk memberi tahu kami apa yang harus dilakukan!”

Leo menatap Riko dengan tegas.

“Kau tidak bisa mengambil makanan orang lain tanpa izin. Hutan ini adalah rumah kita semua, dan kita harus saling menghormati dan bekerja sama.”

Kiki, yang merasa berani, melangkah maju.

“Kami telah bekerja keras untuk mengumpulkan makanan ini. Jika kau membutuhkan makanan, kami bisa membantumu, tetapi bukan dengan cara mencuri!”

Riko merasa terpojok. Ia tidak menyangka bahwa hewan-hewan lain akan bersatu melawan tindakan egoisnya.

“Aku tidak butuh bantuan dari kalian!” teriaknya, tetapi suaranya mulai terdengar lemah.

Gino, dengan suara lembut namun tegas, berkata, “Kami semua adalah bagian dari hutan ini. Jika kita tidak saling mendukung, kita semua akan menderita. Mari kita bicarakan ini dengan baik.”

Akhirnya, Riko menyadari bahwa ia tidak bisa melawan semua hewan yang bersatu. Ia merasa malu dan bingung. Leo melihat kesempatan untuk mengubah keadaan.

“Riko, jika kau mau, kami bisa membantumu. Bergabunglah dengan kami di Dewan Hutan, dan kita bisa mencari solusi bersama.”

Riko terdiam sejenak. Ia tidak pernah berpikir untuk bergabung dengan mereka. Namun, melihat betapa kuatnya persahabatan dan kerjasama di antara hewan-hewan lain, ia merasa tergerak. “Baiklah, aku akan mencoba,” jawabnya pelan.

Sejak saat itu, Riko mulai belajar tentang arti kepemimpinan dan pertemanan. Ia menyaksikan bagaimana semua hewan bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang lebih baik. Ia mulai berpartisipasi dalam Dewan Hutan dan memberikan ide-ide yang bermanfaat.

Dengan waktu, Riko berubah menjadi hewan yang lebih baik. Ia tidak lagi merasa perlu untuk mencuri, karena ia tahu bahwa dengan bekerja sama, semua hewan bisa mendapatkan apa yang mereka butuhkan. Persahabatan yang terjalin di antara mereka semakin kuat, dan hutan pun menjadi tempat yang lebih harmonis.

Leo, sebagai raja hutan, merasa bangga dengan perubahan yang terjadi. Ia menyadari bahwa kepemimpinan bukan hanya tentang kekuatan, tetapi juga tentang mendengarkan, memahami, dan membangun hubungan yang baik dengan semua penghuni hutan.

Dewan Hutan terus berfungsi dengan baik, dan semua hewan belajar untuk saling menghormati dan mendukung satu sama lain. Mereka mengadakan pertemuan rutin untuk membahas masalah yang dihadapi dan merayakan keberhasilan bersama. Hutan itu menjadi contoh bagi hutan-hutan lain tentang bagaimana kepemimpinan yang bijaksana dan persahabatan yang tulus dapat mengatasi segala rintangan.

Cerita ini mengajarkan kita bahwa kepemimpinan yang baik tidak hanya berasal dari kekuatan, tetapi juga dari kemampuan untuk mendengarkan dan bekerja sama. Persahabatan yang tulus dapat mengubah sikap dan membantu kita mengatasi tantangan yang ada. Dengan saling mendukung, kita bisa menciptakan lingkungan yang lebih baik untuk semua.

 * Penulis adalah Siswi kelas 5 SDIT Qurrota A'yun Ponorogo

Minggu, 21 September 2025

MERUBAH “CITRA NEGATIF” BIMBINGAN DAN KONSELING DI SEKOLAH

 

Penulis: Dr. Hariyanto, M.Pd*

Persepsi negative terhadap fungsi Bimbingan Konseling di sekolah masih saja melekat. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa peserta didik menganggap siswa yang berada di ruangan BK adalah mereka yang sedang bermasalah, terutama yang terkait dengan kedisiplnan atau pelanggaran terhadap peraturan dan tata tertib yang berlaku di sekolah. Dengan kata lain tempat yang paling tak dikenal dan dijauhi oleh siswa di sekolah adalah ruang kantor BK. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa hal ini bisa terjadi? Bagaimana peran guru Bimbingan Konseling dapat dikembalikan sebagaimana mestinya? Bagaimana inovasi dan kreatifitas yang bisa dilakukan untuk memberikan pelayanan yang paripurna untuk para peserta didik?.

Persepsi siswa terhadap ruang bimbingan konseling merupakan faktor penting yang mempengaruhi efektivitas layanan yang diberikan. Banyak siswa menganggap ruang ini sebagai tempat yang jarang mereka kunjungi atau bahkan tidak familiar secara langsung, sehingga menimbulkan persepsi bahwa ruang tersebut bukanlah tempat yang nyaman atau relevan dengan kebutuhan mereka. Dalam beberapa kasus, persepsi negatif ini juga disebabkan oleh pengalaman sebelumnya yang kurang memuaskan, atau bahkan rasa malu dan takut akan stigma dari teman sebaya. Banyak pihak masih menganggap bahwa layanan ini hanya untuk menangani siswa dengan masalah berat, sehingga membawa stigma bahwa siswa yang mengikuti layanan tersebut adalah bermasalah atau tidak mampu mengatasi permasalahan sendiri.

Hal-hal tersebut dapat disebabkan oleh minimnya sosialisasi dan promosi dari pihak sekolah tentang fungsi dan manfaat ruang bimbingan konseling. Siswa cenderung memandang ruang ini sebagai area yang berisi Guru BK yang hanya berurusan dengan masalah serius atau krisis, sehingga mereka merasa enggan berpartisipasi. Kurangnya visualisasi dan komunikasi yang efektif tentang keberadaan dan layanan yang tersedia di ruang bimbingan konseling membuat siswa menganggapnya sebagai tempat yang menakutkan atau asing.

Oleh karena itu, langkah pertama adalah meningkatkan komunikasi yang efektif antara Guru BK, siswa, serta stakeholder terkait agar pesan positif dapat tersampaikan dengan jelas dan tidak menimbulkan salah pengertian. Penggunaan media sosial, poster, dan forum diskusi dapat menjadi alat yang efektif untuk menyampaikan keberhasilan dan manfaat layanan tersebut. Selain itu, pelibatan aktif siswa dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan bimbingan dan konseling dapat memperbaiki persepsi mereka terhadap layanan ini. Kegiatan seperti workshop, seminar, dan kegiatan kelompok yang menyenangkan akan mempermudah mereka memahami bahwa bimbingan dan konseling bukan hanya sebagai tempat mengatasi masalah, tetapi juga sebagai pendukung perkembangan pribadi.

Di sisi lain, pelatihan dan pengembangan kompetensi untuk Guru BK sangat penting agar mereka mampu menjalankan tugas dengan profesional dan penuh empati. Guru BK yang kompeten akan mampu membangun hubungan yang lebih baik dengan siswa dan menunjukkan bahwa layanan ini benar-benar peduli terhadap kesejahteraan mereka. Tidak kalah penting adalah membangun kemitraan dengan berbagai pihak, seperti orang tua, guru, dan masyarakat sekitar, demi menciptakan lingkungan yang mendukung dan memperkuat citra positif layanan ini.

Inovasi dalam pelayanan bimbingan konseling menjadi aspek penting untuk meningkatkan efektivitas dan relevansi layanan di sekolah. Seiring perkembangan zaman dan teknologi, Guru BK dituntut untuk terus beradaptasi dan menciptakan metode baru yang memudahkan proses bimbingan. Salah satu inovasi utama adalah pemanfaatan teknologi digital seperti platform daring, aplikasi komunikasi, dan sistem manajemen data berbasis cloud. Penggunaan teknologi ini memungkinkan siswa mengakses layanan konseling kapan saja dan di mana saja, mengurangi hambatan geografis dan waktu. Selain itu, program layanan kreatif seperti workshop, seminar motivasi, dan kegiatan berbasis masalah sosial mampu menjaring lebih banyak siswa yang membutuhkan bantuan. Pendekatan berbasis kreativitas ini dapat meningkatkan partisipasi siswa dan membangun suasana yang lebih santai serta terbuka.

Program kegiatan kreatif dalam ruang bimbingan dan konseling sekolah memegang peranan penting dalam menciptakan suasana yang menarik dan efektif dalam proses pendampingan siswa. Melalui kegiatan-kegiatan yang bersifat inovatif dan menyenangkan, siswa dapat lebih terbuka serta termotivasi untuk mengikuti layanan bimbingan. Program ini meliputi berbagai macam kegiatan seperti pelatihan seni, pembuatan media edukatif, lomba kreativitas, serta workshop pengembangan diri yang dilakukan secara berkala. Pendekatan ini bertujuan untuk mengatasi hambatan psikologis maupun sosial yang sering ditemui siswa, dengan menstimulus kemampuan ekspresi, kepercayaan diri, dan pengembangan potensi secara menyenangkan.

Peran stakeholder sangat penting dalam upaya merubah citra negatif terhadap bimbingan dan konseling di sekolah. Guru memegang peran sentral sebagai penghubung utama dengan siswa dan lingkungan sekolah. Melalui keterlibatan aktif dalam promosi dan penyuluhan, guru dapat membantu mengubah persepsi masyarakat dan siswa tentang manfaat serta relevansi layanan konseling. Selain itu, guru harus mampu memberikan contoh sikap positif terhadap layanan tersebut, sehingga menciptakan suasana yang mendukung dan membuka peluang komunikasi yang efektif. Orang tua juga memiliki peran vital dalam membentuk citra positif melalui dukungan dan pemahaman terhadap kegiatan bimbingan dan konseling. Dengan keterlibatan yang konsisten, orang tua dapat meminimalisir stigma sosial dan memperkuat kepercayaan siswa terhadap layanan tersebut. Masyarakat secara umum perlu dilibatkan dalam kegiatan sosialisasi dan edukasi mengenai pentingnya konseling di lingkungan sekolah.

Partisipasi aktif dari masyarakat akan membantu mengikis persepsi negatif dan memperluas pemahaman akan manfaat layanan bimbingan. Stakeholder ini harus bekerja secara sinergis dan berkelanjutan, dengan mengembangkan komunikasi yang transparan serta mengedepankan edukasi yang menyasar berbagai kalangan. Melalui kolaborasi yang kokoh, citra yang sebelumnya negatif dapat diarahkan untuk menjadi lebih positif dan konstruktif, sehingga tercipta lingkungan sekolah yang mendukung perkembangan mental dan emosional siswa. Dengan demikian, peran semua pihak ini menjadi fondasi utama dalam proses perubahan persepsi dan peningkatan citra layanan bimbingan dan konseling di sekolah.

*Penulis adalah dosen FTIK di UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo