Oleh: Nanda Eka Putri*
* Penulis adalah Mahasiswa Jurusan PAI, UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo
f '
Berbagi Inspirasi dan informasi pendidikan
Pendidikan bukan cuma pergi ke sekolah dan mendapatkan gelar. Tapi, juga soal memperluas pengetahuan dan menyerap ilmu kehidupan.
Kurang cerdas bisa diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur itu sulit diperbaiki (Bung Hatta)
Tinggikan dirimu, tapi tetapkan rendahkan hatimu. Karena rendah diri hanya dimiliki orang yang tidak percaya diri.
Hanya orang yang tepat yang bisa menilai seberapa tepat kamu berada di suatu tempat.
Puncak tertinggi dari segala usaha yang dilakukan adalah kepasrahan.
Oleh: Nanda Eka Putri*
* Penulis adalah Mahasiswa Jurusan PAI, UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo
OLEH: NURUL HIDAYAH*
* Penulis adalah Mahasiswi Jurusan PAI, UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo
Oleh: Ni Luh Indriaswati*
* Penulis adalah Mahasiswi Jurusan PAI, UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo
Oleh: Muhammad Naufal Ghufroni
Oleh: Nima Ayu Sholihah
* Penulis adalah mahasiswa Jurusan PAI, UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo
Oleh: Noor Aziza Nilla Prihandika
Oleh: Muhammad Muslih
Oleh: Muhammad Shlahudin Al Farabi
Pendidikan
seharusnya menjadi sarana pembentukan manusia seutuhnya, bukan hanya tempat
memperoleh nilai dan ijazah. Kurikulum memiliki peran penting dalam membimbing
peserta didik agar mampu berpikir mandiri, beradaptasi dengan perkembangan
zaman, dan menjalani kehidupan secara bermakna[1].
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, tujuan pendidikan nasional
adalah membentuk manusia Indonesia yang religius, berbudi pekerti luhur,
cerdas, dan mandiri[2].
Oleh karena itu, sistem pendidikan seharusnya lebih dari sekadar proses
transfer pengetahuan, melainkan wadah yang mengembangkan karakter dan
kepedulian sosial peserta didik. Sayangnya, harapan tersebut sering kali tidak
tercermin dalam pelaksanaan di lapangan.
Di
sisi lain, dinamika perubahan kurikulum di Indonesia justru menimbulkan
kebingungan dan beban baru, alih-alih perbaikan yang nyata[3].
Kurikulum Merdeka, misalnya, meskipun membawa konsep yang terdengar inovatif,
masih belum bisa diterapkan secara optimal karena keterbatasan sarana dan
kurangnya pelatihan bagi tenaga pendidik[4].
Banyak guru harus menghabiskan waktu untuk memenuhi tuntutan administratif,
sementara siswa masih berfokus pada nilai akhir ketimbang makna belajar[5].
Proses pembelajaran pun menjadi kehilangan arah. Hal ini menunjukkan bahwa
permasalahan utama pendidikan kita bukan pada kekurangan kurikulum, melainkan
pada ketiadaan arah pendidikan yang jelas dan berkelanjutan.
Selama
kurang lebih dua puluh tahun terakhir, sistem pendidikan di Indonesia telah
mengalami enam kali perubahan kurikulum, mulai dari Kurikulum 1994, Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
2006, Kurikulum 2013, Kurikulum Darurat saat pandemi, hingga Kurikulum Merdeka
yang diterapkan sejak 2022. Frekuensi
perubahan ini menunjukkan bahwa pendidikan kita cenderung bergerak tanpa arah
yang pasti[6].
Padahal, dalam sistem pendidikan yang ideal, kurikulum bukan sesuatu yang bisa
diganti sewaktu-waktu, melainkan harus dibangun atas dasar visi jangka panjang
yang kuat.
Perubahan yang terlalu
sering ini mengindikasikan bahwa Indonesia belum memiliki pijakan filosofis
yang mantap dalam menentukan arah pendidikan nasional. Pergantian kurikulum
lebih banyak dipengaruhi oleh dinamika politik, pergantian kepemimpinan, atau
sekadar merespons situasi sementara, bukan dari evaluasi mendalam terhadap
tujuan pendidikan[7].
Akibatnya, para pendidik dan peserta didik sering kali menjadi korban dari
kebijakan yang belum matang. Proses belajar pun terjebak dalam transisi
terus-menerus yang melelahkan. Hal ini mempertegas bahwa inti masalah
pendidikan kita bukan semata-mata terletak pada bentuk kurikulum, tetapi pada
ketidakjelasan arah pendidikan itu sendiri.
Kemudian ada fenomena lima
tahunan yang sering kali muncul yakni, bergantinya kurikulum setiap kali
terjadi pergantian Menteri Pendidikan[8],
hal ini mencerminkan bahwa Indonesia belum memiliki arah pendidikan yang
konsisten dan berkesinambungan. Seharusnya, kurikulum dirancang berdasarkan
visi jangka panjang yang tetap relevan meski terjadi perubahan kepemimpinan.
Namun dalam kenyataannya, kurikulum justru sering berubah mengikuti kebijakan
menteri baru, seolah menjadi agenda individu bahkan ada isu kurikulum pesanan,
bukan bagian dari rencana nasional yang utuh. Hal ini menunjukkan lemahnya
komitmen pemerintah dalam menjaga kesinambungan pendidikan serta ketiadaan peta
jalan yang jelas menuju masa depan.
Lebih dari itu, isi kurikulum
yang diajarkan pun sering kali tidak selaras dengan kebutuhan nyata masyarakat.
Banyak materi yang bersifat teoritis dan normatif, namun minim relevansi dengan
tantangan kehidupan sehari-hari maupun dunia kerja[9].
Akibatnya, lulusan pendidikan formal justru kerap kesulitan beradaptasi di
lapangan. Ketimpangan ini memperlihatkan bahwa perencanaan pendidikan Indonesia
belum benar-benar berpijak pada kebutuhan rakyatnya. Kurikulum berubah, tetapi
orientasinya tetap tidak jelas—tidak menjawab tantangan zaman, tidak membekali
peserta didik dengan keterampilan esensial, dan tidak mengarahkan pendidikan ke
masa depan yang nyata.
Akar persoalan pendidikan di
Indonesia bukan semata-mata terletak pada jumlah atau bentuk kurikulum,
melainkan pada absennya arah yang konsisten dan visi jangka panjang yang kokoh.
Pergantian kurikulum yang terlalu sering, tanpa dasar filosofis yang kuat,
mencerminkan betapa pendidikan kita masih terombang-ambing oleh dinamika
kebijakan jangka pendek. Namun, kondisi ini seharusnya tidak memadamkan
semangat kita untuk terus belajar dan berkarya. Justru di tengah ketidakpastian
sistem, kita ditantang untuk menjadi pribadi yang adaptif, berpikir kritis, dan
mampu memberi manfaat bagi sesama. Apapun bidang yang kita tekuni, sekecil apa
pun peran yang kita jalankan, selama dilakukan dengan niat tulus dan kepedulian
terhadap negeri ini, maka kita telah turut serta menyalakan cahaya perubahan.
Sebagaimana yang pernah
dikatakan oleh Ki Hadjar Dewantara, "Setiap orang menjadi guru, setiap
rumah menjadi sekolah." Maka, biarlah kita memulai dari diri
sendiri—dengan terus belajar, peduli, dan berbuat baik—karena masa depan
Indonesia bukan hanya ditentukan oleh sistem, melainkan oleh mereka yang tak
pernah lelah menyalakan harapan.
Daftar Pustaka:
[1] Mohamad Rifqi Hamzah et al., “Kurikulum Merdeka Belajar sebagai Wujud Pendidikan yang Memerdekakan Peserta Didik,” Arus Jurnal Pendidikan 2, no. 3 (December 11, 2022): 221–26, https://doi.org/10.57250/ajup.v2i3.112.
[2] “Implementasi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Di Blitar | Jurnal Supremasi,” accessed June 21, 2025, https://ejournal.unisbablitar.ac.id/index.php/supremasi/article/view/374.
[3] M. Afiqul Adib, “Evaluasi dan Kritik terhadap Pelaksanaan Kurikulum Merdeka: Perspektif Guru, Siswa, dan Pengelola Pendidikan,” SERUMPUN : Journal of Education, Politic, and Social Humaniora 3, no. 1 (February 26, 2025): 1–18, https://doi.org/10.61590/srp.v3i1.146.
[4] Indra Gunawan and Yohanes Bahari, “Problematika Kurikulum Merdeka Dalam Sudut Pandang Teori Struktural Fungsional (Study Literatur),” Journal Of Human And Education (JAHE) 4, no. 4 (July 13, 2024): 178–87, https://doi.org/10.31004/jh.v4i4.1191.
[5] “Ketika Guru Sibuk Urus Administrasi PMM, Mas Menteri Sayangilah Guru Kita!,” Detik Aceh News (blog), accessed June 21, 2025, https://www.detikacehnews.id/2024/06/ketika-guru-sibuk-urus-administrasi-pmm.html.
[6] medcom id developer, “6 Kali Ganti Kurikulum dalam 20 Tahun, Pendidikan Indonesia Mau Dibawa Kemana?,” medcom.id, April 30, 2025, https://www.medcom.id/pendidikan/news-pendidikan/Obz58MxN-6-kali-ganti-kurikulum-dalam-20-tahun-pendidikan-indonesia-mau-dibawa-kemana.
[7] Fadhilah Sabrina et al., “Persepsi Publik Terhadap Pergantian Menteri Pendidikan: Studi Survei Di Kalangan Mahasiswa Dan Tenaga Pendidik,” Dinamika Pembelajaran : Jurnal Pendidikan Dan Bahasa 2, no. 1 (2025): 107–20, https://doi.org/10.62383/dilan.v2i1.1122.
[8] Bagelen Channel, “Ganti Menteri Ganti Kurikulum? Sebuah Tantangan dan Harapan Bangsa Indonesia Untuk Pendidikan Masa Depan‣ Bagelen Channel,” January 24, 2025, https://bagelenchannel.com/2025/01/ganti-menteri-ganti-kurikulum-sebuah-tantangan-dan-harapan-bangsa-indonesia-untuk-pendidikan-masa-depan/.
[9] Eps 860 | Berita Duka : Kurikulum Pendidikan Indonesia Cuma Omon Omon, 2025, https://www.youtube.com/watch?v=Yb_Z5OiF4C8.
Memasuki
jenjang pendidikan tinggi adalah salah satu fase penting dalam kehidupan
seseorang. Pilihan jurusan kuliah bukan hanya menentukan arah studi selama
beberapa tahun, tetapi juga memengaruhi jalur karier dan masa depan seseorang.
Namun, di balik pentingnya keputusan tersebut, tidak sedikit mahasiswa yang
justru merasa telah salah memilih jurusan. Fenomena salah jurusan menjadi isu
yang cukup umum di kalangan mahasiswa Indonesia, bahkan tidak jarang berdampak
pada kesehatan mental, motivasi belajar, hingga kegagalan akademik.
Data dari berbagai survei
menunjukkan bahwa sekitar 30–50% mahasiswa di Indonesia pernah
merasa salah jurusan. Dalam survei yang dilakukan oleh
Youthmanual pada tahun 2020, lebih dari 45% mahasiswa
mengaku tidak yakin dengan jurusan yang mereka ambil, dan 27%
menyatakan bahwa mereka ingin pindah jurusan setelah satu hingga dua semester
perkuliahan. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak mahasiswa yang membuat
keputusan tanpa pemahaman yang cukup terhadap diri sendiri maupun jurusan yang
dipilih.
Dampak dari salah jurusan tidak
bisa dianggap sepele. Mahasiswa yang tidak merasa cocok dengan jurusannya
cenderung mengalami penurunan motivasi belajar,
stres berkepanjangan, bahkan dropout. Selain itu,
kondisi ini bisa menyebabkan pemborosan waktu, tenaga,
dan biaya, baik bagi mahasiswa maupun keluarganya. Dalam jangka
panjang, salah jurusan juga dapat berimbas pada minimnya kesiapan
lulusan dalam menghadapi dunia kerja, karena mereka tidak
memiliki keterampilan yang sesuai atau tidak memiliki ketertarikan terhadap
bidang yang digeluti.
Fenomena ini menggambarkan
pentingnya kesiapan mental dan informasi yang matang sebelum memilih jurusan
kuliah. Kurangnya bimbingan karier di tingkat sekolah menengah, tekanan dari
keluarga, serta kurangnya pemahaman diri menjadi beberapa faktor utama yang
mendorong mahasiswa salah memilih jurusan.
Dengan menyadari tingginya
angka kesalahan dalam pemilihan jurusan dan dampaknya, perlu ada langkah
konkret, baik dari pihak individu, keluarga, maupun institusi pendidikan, untuk
mencegah dan menangani fenomena ini secara serius. Oleh karena itu, artikel ini
akan membahas penyebab mahasiswa salah memilih jurusan, langkah yang harus
diambil setelah menyadarinya, dampaknya terhadap masa depan, serta strategi
antisipatif agar calon mahasiswa tidak mengalami hal serupa.
Penyebab
Mahasiswa Salah Memilih Jurusan
1.
Kurangnya Pemahaman Diri
Banyak
mahasiswa belum sepenuhnya mengenal minat, bakat, dan potensi dirinya saat
memilih jurusan. Mereka mungkin memilih jurusan berdasarkan nilai tinggi di
mata pelajaran tertentu, bukan karena ketertarikan jangka panjang.
2. Tekanan Orang Tua
atau Lingkungan
Ada kalanya pilihan jurusan lebih didorong oleh keinginan orang tua, status
sosial, atau tren, bukan pilihan pribadi. Hal ini bisa membuat mahasiswa merasa
tidak nyaman saat menjalani kuliah.
3. Kurangnya Informasi
tentang Jurusan
Tidak semua calon mahasiswa memahami secara menyeluruh isi perkuliahan dan
prospek kerja dari jurusan yang dipilih. Mereka bisa saja baru menyadari
ketidaksesuaian ini setelah memasuki perkuliahan.
4. Salah Persepsi
terhadap Karier
Banyak yang memilih jurusan dengan anggapan keliru tentang prospek kerja yang
akan dijalani. Misalnya, mengira jurusan tertentu akan memberikan pekerjaan
yang "keren" atau "menghasilkan banyak uang", tanpa
mempertimbangkan realitas di lapangan.
Apa yang Harus Dilakukan Jika Sudah
Terlanjur Salah Jurusan?
1.
Lakukan Refleksi Diri
Kenali
akar penyebab ketidaknyamanan. Apakah karena metode pembelajaran, materi
kuliah, lingkungan, atau memang tidak sesuai dengan minat dan nilai hidup?
2.
Konsultasi dengan Dosen Pembimbing atau Konselor Kampus
Bicarakan
kondisi ini dengan orang yang berpengalaman. Mereka bisa memberikan saran
objektif, termasuk kemungkinan pindah jurusan atau strategi bertahan.
3.
Pertimbangkan Pindah Jurusan atau Kampus
Jika
benar-benar merasa tidak cocok dan masih berada di semester awal, pindah
jurusan bisa menjadi solusi jangka panjang. Tentu, keputusan ini harus
dipikirkan matang-matang.
4.
Manfaatkan Waktu untuk Pengembangan Diri di Luar Kampus
Jika
pindah jurusan tidak memungkinkan, cobalah mengembangkan skill atau minat
melalui organisasi, kursus online, atau magang di bidang yang disukai.
5.
Tentukan Arah Karier Lebih Awal
Meskipun
tidak cocok dengan jurusan, masih banyak peluang karier yang tidak selalu harus
linier dengan pendidikan formal. Fokus pada apa yang bisa dikembangkan dan dimanfaatkan
dari pengalaman kuliah.
Langkah Antisipasi agar Tidak Salah
Jurusan
1.
Lakukan Tes Minat dan Bakat Sejak Dini
Tes
psikologi dan asesmen karier dapat membantu mengenali kecenderungan alami dan
potensi seseorang.
2.
Riset Mendalam tentang Jurusan dan Karier
Calon
mahasiswa harus aktif mencari informasi dari berbagai sumber seperti website
resmi kampus, alumni, atau profesional di bidang tersebut.
3.
Ikuti Seminar atau Konseling Karier
Mengikuti
workshop atau bimbingan karier sebelum SNBT/SNBP bisa membantu memperjelas arah
pendidikan.
4. Jangan Terburu-Buru
Mengikuti Tren
Pilih
jurusan bukan karena sedang populer atau karena teman masuk ke sana, tetapi
berdasarkan kesesuaian pribadi.
5.
Libatkan Orang Tua sebagai Mitra Diskusi, Bukan Penentu
Orang
tua sebaiknya memberikan dukungan dan ruang bagi anak untuk memilih jalannya
sendiri, bukan memaksakan kehendak.
Salah memilih jurusan bukan akhir dari
segalanya. Yang terpenting adalah bagaimana mahasiswa menyikapi kondisi
tersebut dengan bijak dan tidak menyerah. Setiap kesalahan bisa menjadi awal
dari keputusan yang lebih baik jika ditindaklanjuti dengan refleksi dan
perencanaan yang matang. Bagi calon mahasiswa, mengenal diri dan melakukan
riset mendalam sebelum memilih jurusan adalah kunci agar perjalanan akademik
dan karier di masa depan tidak terhambat oleh keputusan yang terburu-buru.
Tetap Semangat dan Salam Inspirasi (Hary/15/06/2025)