f ' Inspirasi Pendidikan

Inspirasi Pendidikan untuk Indonesia

Pendidikan bukan cuma pergi ke sekolah dan mendapatkan gelar. Tapi, juga soal memperluas pengetahuan dan menyerap ilmu kehidupan.

Bersama Bergerak dan Menggerakkan pendidikan

Kurang cerdas bisa diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur itu sulit diperbaiki (Bung Hatta)

Berbagi informasi dan Inspirasi

Tinggikan dirimu, tapi tetapkan rendahkan hatimu. Karena rendah diri hanya dimiliki orang yang tidak percaya diri.

Mari berbagi informasi dan Inspirasi

Hanya orang yang tepat yang bisa menilai seberapa tepat kamu berada di suatu tempat.

Mari Berbagi informasi dan menginspirasi untuk negeri

Puncak tertinggi dari segala usaha yang dilakukan adalah kepasrahan.

Senin, 30 Juni 2025

Diterbangkan Setinggi-Tingginya, Lalu Dijatuhkan: Sebuah Refleksi di Hari Guru Atas Ketimpangan Apresiasi Dan Kesejahteraan

 Oleh: Nanda Eka Putri*

Ki Hajar Dewantara telah lama menanamkan nilai luhur tentang peran pendidik: “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.” Namun bagaimana mungkin guru dapat menjadi teladan jika dirinya sendiri hidup dalam ketidakpastian?_

Setiap tanggal 25 November kita memperingati Hari Guru Nasional (HGN), sebuah momen penting untuk mengapresiasi jasa para pahlawan tanpa tanda jasa yang terus memberikan dedikasinya dalam mendidik para putra-putri bangsa. Di tengah perayaan hari guru menjadi pengingat bahwa guru tidak hanya berperan sebagai pendidik, tetapi juga pencerah peradaban yang membentuk masa depan bangsa.

Namun, di balik euforia peringatan Hari Guru tersimpan realita yang perlu direnungkan bersama. Pujian dan penghormatan yang diberikan pada guru terkadang belum diiringi dengan penghargaan yang mereka terima. Seringkali penerimaan tidak sejalan dengan pengorbanan, masih banyak ditemukan guru yang menjalankan tugas dengan penuh dedikasi tetapi hidup dalam keterbatasan. Tidak sedikit dari mereka yang masih berstatus honorer dengan penghasilan yang jauh dari kata layak, bahkan ada yang harus mencari pekerjaan tambahan untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Dilansir dari web Retizen, berdasarkan data survei tentang kesejahteraan guru yang dilakukan oleh Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) terhadap 117 guru honorer pada bulan Mei 2024, diperoleh hasil bahwa hanya 25,4% guru dengan gaji di atas Rp2 juta per bulan, sementara 74,6% responden lainnya berpenghasilan di bawah Rp2 juta per bulan. Tentu jumlah penghasilan ini sangat mengkhawatirkan bila dibandingkan biaya hidup yang semakin meningkat.

Beban tugas guru tidak hanya mengajar, tetapi juga mendidik, membimbing, dan membentuk karakter generasi penerus bangsa. Mereka hadir sebagai sosok yang sabar, menjadi penguat di tengah tantangan dunia pendidikan yang terus berubah. Dalam menjalankan tugasnya, guru dituntut untuk terus mampu beradaptasi dengan teknologi, menyusun administrasi pembelajaran, menghadapi berbagai karakter siswa, serta memenuhi harapan dari berbagai pihak yang terlibat. Namun di sisi lain, kesejahteraan dan perlindungan terhadap profesi mereka belum menjadi prioritas utama.

Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno pernah berpesan, “Berikan aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Berikan aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.” Namun, untuk mencetak 10 pemuda yang mengguncangkan dunia, kita

memerlukan ribuan guru yang kuat, sejahtera, dan dihargai. Tanpa guru yang diberdayakan, harapan pada generasi emas hanya akan menjadi angan.

Kondisi ini menunjukkan bahwa penghormatan kepada guru seharusnya tidak berhenti pada seremoni tahunan semata. Lebih dari sekadar pujian dan apresiasi simbolis, guru membutuhkan perhatian yang nyata dalam bentuk kebijakan yang adil, pengakuan profesional, serta jaminan kesejahteraan yang mencukupi. Pemerintah, pemangku kebijakan, dan masyarakat perlu bersama-sama memastikan bahwa guru dapat menjalankan tugasnya dengan tenang, tanpa dibayangi oleh keresahan ekonomi maupun ketidakpastian status kerja.

Kita tidak bisa berharap pada hasil pendidikan yang berkualitas jika kesejahteraan para pendidik belum menjadi perhatian serius. Ketika guru mendapatkan haknya dengan layak, maka mereka pun akan memiliki ruang yang lebih luas untuk berinovasi dan memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anak didiknya.

Hari Guru Nasional seharusnya menjadi momen untuk memperkuat komitmen terhadap peningkatan kualitas hidup guru. Sudah seharusnya apresiasi kepada guru tidak hanya diwujudkan dalam bentuk seremoni, tetapi juga dalam tindakan nyata yang memperbaiki ruang lingkup pendidikan, terutama yang menyangkut kesejahteraan dan perlindungan profesi mereka. Sebab, guru adalah ujung tombak pendidikan. Ketika mereka diberdayakan dan dihargai secara layak, maka masa depan bangsa akan ditopang oleh pondasi yang kuat.

Sumber terkait:

Kanaya, Keisha. 2024. Rendahnya Gaji Guru Honorer: Isu Pendidikan yang tak Kunjung Usai. Diakses pada 21 Juni 2025 dari https://retizen.republika.co.id/posts/495192/rendahnya-gajiguru-honorer-isu-pendidikan-yang-tak-kunjung-usai .

* Penulis adalah Mahasiswa Jurusan PAI, UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo

REALITAS PAHIT DIBALIK PAPAN TULIS

 OLEH: NURUL HIDAYAH*

Guru adalah fondasi utama dalam membangun masa depan bangsa. Namun, di balik peran vital mereka, problematika kesejahteraan guru di Indonesia masih menjadi pekerjaan rumah yang belum tuntas. Apakah sudah saatnya negara benar-benar menaruh perhatian penuh pada nasib para pendidik ini?

Pada beberapa waktu lalu terdapat kasus yang ditujukan kepada seorang guru yaitu “Supriyani”. Kasus guru honorer di Konawe selatan menggambarkan rentannya profesi guru terhadap kriminalitas dan tekanan social. Supriyani dituduh menganiaya siswa yang merupakan anak polisi, namun setelah proses hukum yang panjang, majelis hakim Pengadilan Negeri Andolo menyatakan Supriyani tidak terbukti bersalah dan membebaskannya dari semua dakwaan pada November 2024. Putusan ini sekaligus menyerukan pemulihan nama baik dan hak-hak Supriyani yang sempat tercemar akibat kasus tersebut. Meski mendapat dukungan publik dan janji pengangkatan sebagai guru PPPK jalur afirmasi, Supriyani gagal lolos seleksi PPPK pada awal, Namun akhirnya Supriyani berhasil lolos dengan menerima SK pengangkatan sebagai PPPK pada Senin, 19 Mei 2025.

Hal ini begitu miris, karena guru yang seharusnya dihormati dan dimulyakan justru terpaksa terlibat dengan kasus seperti ini. Dengan gaji guru honorer yang tidak seberapa mereka dituntut untuk dapat melaksanakan segala tugasnya dengan maksimal. Namun kenyataannya meski sudah ikhlas dengan apa yang menjadi kewajibannya, mereka masih harus menerima timbal balik buruk seperti yang ditimpa guru Supriyani tersebut.

Dampak Kesejahteraan Rendah : Pendidikan Terancam Stagnan

Meski menjadi ujung tombak pendidikan, banyak guru di Indonesia, khususnya guru honorer, masih hidup dalam ketidakpastian ekonomi. Survei IDEAS tahun 2024 menunjukkan 42,4 persen guru menerima gaji di bawah Rp 2 juta per bulan, jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup di kota besar yang bisa mencapai Rp 4,5 juta

per bulan. Ironisnya, di beberapa daerah, gaji guru honorer bahkan hanya berkisar Rp 300.000 hingga Rp 500.000 per bulan. Tak heran, banyak guru terpaksa mencari pekerjaan tambahan, yang pada akhirnya menggerus fokus dan energi mereka dalam mendidik.

Hal inilah yang seharusnya diperhatikan oleh pemerintah, Bahwasannya Kesejahteraan yang rendah berdampak langsung pada motivasi dan kualitas pengajaran. Guru yang merasa tidak dihargai cenderung kurang termotivasi, sehingga kualitas pendidikan pun ikut terpuruk . Jika kondisi ini terus dibiarkan, sulit berharap pendidikan Indonesia mampu bersaing di tingkat global.

Pada tahun 2025, pemerintah mengumumkan peningkatan gaji serta tunjangan untuk para guru. Guru ASN akan menerima tambahan satu kali gaji pokok setiap tahun, sementara guru non-ASN akan mendapatkan tunjangan tetap sebesar Rp 2 juta per bulan. Meski begitu, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pernyataan ini menimbulkan kebingungan dan keraguan di kalangan guru. Sejumlah guru berpendapat bahwa kenaikan itu lebih merupakan penambahan tunjangan yang tidak mengindikasikan kenaikan gaji pokok secara menyeluruh, sehingga pengaruhnya terhadap kesejahteraan guru belum sepenuhnya dirasakan. Selain itu, tunjangan sebesar Rp 2 juta untuk guru honorer hanya diberikan kepada yang telah menyelesaikan sertifikasi PPG, sehingga tidak semua guru honorer merasakan manfaat tersebut. Kritik dari perkumpulan guru juga menyatakan bahwa janji ini belum sepenuhnya mengatasi isu mendasar seperti jaminan pekerjaan dan distribusi kesejahteraan yang merata.

Pemerintah harus memastikan kebijakan yang menyentuh seluruh lapisan guru, meningkatkan distribusi fasilitas, memberikan jaminan sosial yang memadai, dan memastikan bahwa kesejahteraan guru mencakup gaji, lingkungan kerja yang mendukung, akses ke pelatihan, dan penghargaan sosial. Hal ini akan memungkinkan guru untuk benar-benar berkonsentrasi pada tugas mulianya sebagai pencetak generasi penerus bangsa yang profesional.

* Penulis adalah Mahasiswi Jurusan PAI, UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo

MENGAJAR DENGAN CINTA, TAPI HIDUP DENGAN LELAH

 Oleh: Ni Luh Indriaswati*


Di balik keberhasilan seorang dokter, insinyur, pilot, atau bahkan pejabat negara, pasti ada peran guru di dalamnya. Guru adalah profesi mulia yang menjadi fondasi terbentuknya generasi masa depan bangsa. Namun sayangnya, meski peran guru begitu penting, kesejahteraan mereka di Indonesia masih jauh dari kata layak.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak guru di Indonesia, terutama guru honorer, menerima gaji yang tidak manusiawi. Ada yang hanya dibayar seratus ribu sampai tiga ratus ribu rupiah per bulan. Angka ini bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari, apalagi untuk biaya transportasi, tempat tinggal, atau mendukung pendidikan anak-anak mereka sendiri.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Salah satu penyebabnya adalah sistem rekrutmen dan penggajian guru yang belum merata. Guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) mungkin menerima gaji tetap dan tunjangan, tetapi jumlahnya pun tidak sebanding dengan beban kerja dan tanggung jawab mereka. Di sisi lain, guru honorer seringkali hanya mengandalkan kebijakan kepala sekolah atau bantuan dana dari komite sekolah. Tidak ada kepastian dan tidak ada jaminan.

Lebih menyedihkan lagi, dalam beberapa kasus, guru harus menanggung beban administrasi yang sangat berat. Mereka dituntut untuk membuat RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) ataupun modul ajar, mengisi berbagai laporan online, mengikuti pelatihan baik daring maupun luring dengan biaya mereka sendiri, serta aktif dalam kegiatan sekolah lainnya. Semua ini harus dilakukan, walau penghasilan yang diterima tidak sebanding. Akibatnya, banyak guru yang merasa lelah secara fisik dan mental. Mereka mengajar dengan cinta, tetapi hidup dengan lelah.

Tidak sedikit guru yang akhirnya harus mencari pekerjaan sampingan. Ada yang menjadi ojek online, berdagang kecil-kecilan, atau bekerja serabutan di luar jam mengajar. Hal ini tentu berpengaruh pada kualitas pengajaran. Bagaimana bisa seorang guru fokus mendidik muridnya dengan sepenuh hati jika pikirannya terpecah oleh urusan dapur?

Pemerintah sebenarnya telah berupaya memberikan perhatian terhadap kesejahteraan guru, misalnya dengan adanya sertifikasi guru, tunjangan profesi, dan program P3K. Namun, sayangnya tidak semua guru bisa menikmati program-program tersebut. Banyak dari mereka terkendala syarat administrasi, usia, atau kurangnya akses informasi. Program yang sudah baik ini masih perlu penyempurnaan agar tidak hanya dinikmati oleh segelintir guru saja.

Sudah saatnya negara memberikan perhatian yang serius dan menyeluruh terhadap kesejahteraan guru. Jangan sampai profesi guru hanya menjadi pilihan terakhir karena dianggap tidak menjanjikan dari segi ekonomi. Bila guru hidup sejahtera, mereka bisa mengajar dengan lebih fokus dan bahagia. Murid pun akan mendapatkan pendidikan yang lebih berkualitas.

Kita sebagai masyarakat juga punya peran. Menghormati guru, mendukung perjuangan mereka, serta menyuarakan keadilan untuk mereka adalah bentuk kepedulian yang bisa kita lakukan. Jangan biarkan guru terus menjadi pahlawan tanpa tanda jasa, tapi juga harus mendapat penghargaan yang layak.

Mengajar adalah pekerjaan hati. Tapi untuk mengabdi dengan hati, guru juga butuh perut yang kenyang dan hidup yang tenang. Mari kita bantu perjuangan guru agar mereka bisa hidup layak di negeri yang katanya menjunjung tinggi pendidikan.

* Penulis adalah Mahasiswi Jurusan PAI, UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo

Rabu, 25 Juni 2025

PENGEMBANGAN SDM PENDIDIKAN MENUJU INDONESIA EMAS 2045: MIMPI INDAH YANG TERJEBAK REALITAS

 Oleh: Muhammad Naufal Ghufroni

Gagasan tentang Indonesia Emas 2045 kerap digaungkan sebagai visi besar yang akan membawa bangsa ini menjadi salah satu kekuatan dunia. Salah satu pilar utama dari visi tersebut adalah pengembangan sumber daya manusia (SDM) di bidang pendidikan. Secara ideal, gagasan ini memang terdengar menjanjikan, tetapi jika kita melihat situasi dan kondisi nyata di lapangan, saya merasa ada ketimpangan yang cukup besar antara harapan dan realitas.

Pertama-tama, kita harus jujur bahwa selama ini pendidikan masih belum menjadi prioritas utama dalam pembangunan nasional, meskipun selalu diklaim sebagai “investasi jangka panjang”. Saya melihat bahwa pengembangan SDM pendidikan seringkali hanya menjadi topik dalam seminar, dokumen perencanaan, atau pidato kenegaraan, tetapi minim realisasi. Banyak guru di berbagai pelosok negeri masih mengajar dengan keterbatasan sarana, upah yang tidak sepadan, serta beban administratif yang menumpuk. Apakah kita benar-benar sedang mengembangkan SDM jika pelaku pendidikannya saja terus berada dalam kondisi yang penuh tekanan dan ketimpangan?

Kedua, transformasi kurikulum yang terus berganti dalam waktu singkat justru menciptakan kebingungan di kalangan guru dan siswa. Kurikulum Merdeka yang sedang digencarkan sekarang seolah menjadi solusi mujarab, padahal pelaksanaannya di sekolahsekolah masih jauh dari kata merata. Banyak guru mengeluh karena mereka harus beradaptasi dengan sistem yang baru lagi, tanpa adanya pendampingan yang memadai. Menurut saya, kebijakan seperti ini justru merusak kesinambungan pembelajaran, dan akhirnya berdampak pada kualitas SDM yang kita cita-citakan.

Selain itu, saya juga melihat bahwa pendidikan vokasi—yang katanya akan menjawab tantangan dunia kerja masa depan—masih bersifat formalitas belaka. Lulusan SMK misalnya, masih banyak yang kesulitan memperoleh pekerjaan karena kompetensi mereka tidak sinkron dengan kebutuhan industri. Di sisi lain, industri juga kerap menuntut keterampilan tinggi dengan bayaran rendah. Lalu di mana letak keadilan dalam pembangunan SDM ini?

Belum lagi jika kita bicara tentang kesenjangan antarwilayah. Saya pribadi merasa miris ketika melihat bagaimana sekolah-sekolah di kota besar sudah menggunakan teknologi mutakhir dalam pembelajaran, sementara di pelosok banyak sekolah yang bahkan belum

memiliki akses listrik yang stabil. Padahal, yang disebut “pengembangan SDM” seharusnya menyasar seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Kalau ketimpangan ini tidak segera diatasi, saya rasa visi Indonesia Emas 2045 hanyalah sebuah retorika manis yang tidak berpijak pada kenyataan.

Kita juga tidak bisa menutup mata terhadap realitas bahwa orientasi pendidikan di Indonesia masih cenderung mengejar angka: nilai tinggi, akreditasi, sertifikasi, dan rangking. Sementara pembentukan karakter, kreativitas, dan kemampuan berpikir kritis siswa masih sering diabaikan. Ini membuat saya bertanya-tanya: apakah kita ingin menciptakan generasi emas atau hanya generasi penghafal yang taat sistem?

Menurut saya, jika pengembangan SDM pendidikan ingin benar-benar menjadi motor penggerak menuju Indonesia Emas, maka pendekatannya harus menyentuh akar permasalahan. Guru harus dimanusiakan, bukan dibebani. Kurikulum harus konsisten dan berorientasi pada kebutuhan nyata, bukan sekadar mengganti istilah. Pemerataan infrastruktur pendidikan harus lebih serius dan tidak lagi menjadi janji yang diulang-ulang setiap tahun anggaran.

Saya tidak menolak ide besar Indonesia Emas 2045. Namun, saya merasa perlu menyuarakan bahwa jika fondasinya saja belum kokoh, maka mustahil kita bisa membangun sesuatu yang besar. Mewujudkan generasi emas tidak bisa dilakukan dengan kebijakan yang setengah hati. Perlu keberanian untuk jujur, untuk mendengar suara mereka yang di lapangan, dan untuk menempatkan pendidikan sebagai prioritas nyata—bukan sekadar narasi pembangunan.
------------  
*Penulis adalah mahasiswa Jurusan PAI, UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo

MANFAAT DAN TANTANGAN PENGGUNAAN ARTIFICIAL INTELLIGENCES (AI) CHAT GPT TERHADAP PROSES PENDIDIKAN ETIKA DAN KOMPETENSI MAHASISWA DI PERGURUAN TINGGI

 Oleh: Nima Ayu Sholihah

Sebagai negara yang mengagumkan dengan kekayaan keberagaman serta potensi luar biasa, Indonesia telah memperlihatkan kemajuan yang signifikan dalam mengadopsi teknologi. Perkembangan terkini teknologi kecerdasan artificial (AI) telah dan tengah memasuki babakan baru. Kemunculan teknologi AI generatifkomunikatif Chat GPT (Generative Pre-trained Transformer) yang dikembangkan Open AI telah mengkonstruksi perubahan. Pemanfaatan AI ini memberikan dampak luas di berbagai sektor, termasuk ekonomi, kesehatan, serta pendidikan. Chat GPT di kampus dapat memberikan inovasi dan tantangan etika dalam pendidikan yaitu di tengah pesatnya perkembangan teknologi, dunia pendidikan ini mulai membuat seorang diri ketergantungan terhadap hadirnya kecerdasan buatan (AI). Salah satu yang banyak digunakan oleh mahasiswa adalah penggunaan Chat GPT, yaitu sebuah teknologi berbasis AI yang mampu memahami dan merespons teks layaknya manusia. Adanya chat GPT di kampus juga membawa manfaat yaitu

Belajar jadi lebih mudah dan personal: Chat GPT sangat membantu mahasiswa dalam belajar, bisa menjawab pertanyaan kapan saja, dan memberikan penjelasan yang mudah dimengerti, bahkan dapat membantu tugas atau memahami materi yang sulit. Teknologi ini mampu menyesuaikan respon berdasarkan kebutuhan individu, sehingga pembelajaran menjadi lebih personal dan efektif. Rata-rata mahasiswa yang mungkin kesulitan bertanya langsung ke dosen, bisa menjadikan Chat GPT sebagai teman keluh kesah saat belajar. Lebih dari itu juga, Chat GPT juga bisa menjadi alat untuk melatih kemampuan berpikir kritis dan diskusi etika. Misalnya, dengan bertanya tentang moral atau kasus etika, mahasiswa bisa mendapat berbagai sudut pandang yang memperkaya cara berpikir mereka.

Dibalik manfaat juga terdapat tantangan yang dihadapi: penggunaan chat GPT dalam pendidikan salah satunya adalah risiko privasi data. Contohnya ketika mahasiswa memasukkan informasi pribadi atau akademik ke dalam sistem AI, tidak adanya jaminan bahwa data itu akan aman. Selain itu, interaksi yang terlalu bergantung pada mesin bisa mengurangi nilai-nilai kemanusiaan dalam proses belajar. Etika, empati, diskusi dengan manusia itu adalah bagian penting dari pendidikan, terutama di tingkat perguruan tinggi. Chat GPT mungkin bisa menjelaskan apa itu etika, tetapi tidak bisa menggantikan pengalaman berdiskusi langsung dengan dosen atau temen sekelas. Pentingnya pendidikan etika serta pengembangan kompetensi di perguruan tinggi sangat menonjol dalam membentuk karakter dan kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan oleh sistem pendidikan tinggi. Secara umum, pendidikan etika serta pengembangan kompetensi di perguruan tinggi tidak hanya berkaitan dengan memenuhi tuntutan akademis, tetapi juga dengan membentuk kepribadian, moralitas, serta ketrampilan praktis yang esensial supaya mahasiswa bisa menghadapi dunai yang terus berubah dengan segala kompleksitasnya.

Dan menurut pandangan saya sebagai mahasiswa yaitu bijak menggunakan dengan etika, bukan menolak. Maka dari itu, pendekatan yang bijak bukanlah menolak kehadiran Chat GPT, melainkan menggunakannya secara cerdas dan bertanggung jawab. Dapat juga pihak kampus menyusun kebijakan dan pedoman etis dalam pemanfaatan AI. Dosen juga tetap berperan penting sebagai pembimbing utama, bukan digantikan oleh teknologi. Mahasiswa juga perlu diberi pemahaman tentang bagaimana menggunakan AI secara kritis, bukan hanya sebagai mesin jawaban. Perguruan tinggi harus mampu menjaga keseimbangan antara kemajuan teknologi dan nilai-nilai pendidikan yang humanis. Dengan cara ini, kita dapat menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara moral.
------  

* Penulis adalah mahasiswa Jurusan PAI, UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo

Selasa, 24 Juni 2025

KELAS BUKAN TEMPAT CERAMAH: STRATEGI AKTIF UNTUK PEMBELAJARAN BERMAKNA

 Oleh: Noor Aziza Nilla Prihandika


Seringkali saya berpikir, kenapa di Indonesia masih banyak kelas di sekolah yang suasananya tidak jauh berbeda dengan ruang seminar atau khutbah yang sifatnya satu arah? Dimana seorang guru berdiri di depan, kemudian berbicara lebar terkait pembelajaran, sementara para siswanya hanya duduk, mendengarkan, mentatat, atau hanya sekedar memperhatikan tanpa benar- benar memahami apa yang dibicarakan. Dalam hati saya sering bergumam: Apakah ini yang dinamakan proses belajar?

Menurut pendapat saya, kelas harusnya bukan menjadi tempat ceramah semata, disclimer bukan berarti saya menolak sepenuhnya metode ceramah, karena menurut saya ada kalanya dimana metode ceramah dibutuhkan untuk menjelaskan konsep dasar atau menyampaikan informasi tertentu. Akan tetapi, jika sepanjang jam pelajaran hanya diisi oleh ceramah guru, sementara siswa hanya menjadi pendengar pasif, rasanya itu bukan proses pembelajaran sebagaimana mestinya. Disini saya tidak sedang menyalahkan seorang guru ataupun menganggap metode ceramah itu salah total. Akan tetapi saya percaya, ceramah bukan satu- satunya metode terbaik dalam menanamkan pemahaman bagi siswa. Apalagi dizaman sekarang yang dimana informasi bisa diakses dengan sangat mudah dari mana saja, sehingga peran guru bukan lagi satu- satunya sumber informasi dan pengetahuan. Sehingga depat dikatakan peran guru berubah dari pusat informasi menjadi fasilitator pembelajaran.

Bagi saya, pembelajran yang bermakna dan efektif itu tidak berasal dari banyaknya materi yang dituangkan ke papan tulis, namun ia lahir dari keterlibatan siswa secara aktif. Dengannya, siswa perlu diberi ruang untuk bertanya, berdiskusi, mencoba, meneliti, bahkan berdebat dalam ranah Pendidikan. Karena dengan cara tersebutkan siswa dapat membangun pemahaman mereka.

Strategi pembelajaran aktif tidak harus selalu kompleks. Kadang cukup dengan mengajak siswa berdiskusi bersama, meminta mereka untuk memecahkan sebuah permasalahan, bermain peran, atau hanya sekedar menulis refleksi dari apa yang

telah mereka pelajari. Dengan hal- hal sederhana ini dapat mengubah suasana kelas menjadi lebih dinamis, interaktif, dan penuh makna. Mengubah pola mengajar bagi seorang guru pun juga bukanlah hal yang mudah, semua membutuhkan waktu dan usaha yang maksimal. Namun saya percaya, perubahan akan mungkin terjadi bila ada kemauan. Pelan- pelan mulailah dengan langkah kecil, bak kata pepatan sedikitsedikit lama- lama menjadi bukit.

Dengan ini, saya berharap siapapun yang peduli terhadap Pendidikan, baik seorang guru, calon guru, orang tua, ataupun pembuat kebijakan untuk memikirkan ulang; apakah cara mengajar di kelas sudah cukup memberikan ruang bagi siswa untuk benar- benar belajar? Atau justru membuat mereka jenuh, pasif, atau malah menjauh dari esensi Pendidikan itu sendiri?

Karena pada akhirnya, tujuan Pendidikan bukan hanya mencetak siswa yang bisa menjawab tiap soal yang diujikan tiap semester saja, akan tetapi membentuk sorang yang mampu berpikir, bersikap, dan memiliki kontribusi baik bagi dunia sekitarnya. Dan sekali lagi, hal itu akan sulit dicapai jika kelas bukannya dijadikan tempat tumbuhnya ide dan eksplorasi namun terus dijadikan sebagai tempat ceramah.
---------  
*Penulis adalah mahasiswa Jurusan PAI, UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo

GURU 'DIGUGU DAN DITIRU", TAPI TIDAK SEJAHTERA: SEBUAH IRONI PAHLAWAN TANPA TANDA JASA

 Oleh: Muhammad Muslih

Guru adalah pilar utama dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dinyatakan bahwa guru merupakan tenaga profesional yang memiliki tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Namun, di balik peran strategis itu, kesejahteraan guru di Indonesia masih menjadi persoalan serius yang belum kunjung selesai.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, gaji rata-rata guru honorer di Indonesia berkisar antara Rp300.000 hingga Rp1.000.000 per bulan, jauh dari upah minimum regional di sebagian besar wilayah. Bahkan, menurut Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, terdapat lebih dari 700 ribu guru honorer yang belum tersertifikasi hingga tahun 2024.

Selain permasalahan ekonomi, banyak guru juga menghadapi tekanan psikologis dan beban kerja yang tidak proporsional. Mereka dituntut untuk melaksanakan administrasi pembelajaran yang kompleks, mengikuti pelatihan berkelanjutan, serta menjaga kualitas pembelajaran, namun tanpa imbalan yang layak.

Kondisi ini tidak hanya menciptakan ketimpangan sosial, tapi juga meruntuhkan semangat profesionalisme. Guru—yang seharusnya menjadi teladan dan inovator—terpaksa mencari pekerjaan sampingan demi menutupi kebutuhan dasar. Dalam jangka panjang, ini bisa merusak mutu pendidikan nasional secara sistemik.

Pemerintah telah mengeluarkan sejumlah program seperti tunjangan profesi guru (TPG), inpassing, dan program PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja). Namun, realisasi di lapangan sering kali tidak merata. Banyak guru mengeluhkan proses administrasi yang rumit, kuota terbatas, hingga ketidakjelasan status kepegawaian

bukannya memberikan solusi yang menyeluruh, kebijakan ini malah menciptakan kelas baru dalam dunia Pendidikan seperti guru ASN dan non-ASN, serta guru yang bersertifikat dan yang tidak. Sebenarnya, inti dari kesejahteraan guru seharusnya berada pada pengakuan bersama atas jasa dan sumbangsihnya, bukan pada status administratif belaka

Sebagian besar pendidikan di Indonesia, khususnya yang berada di Lokasi terpencil seperti pedesaan, guru membawa beban terlalu berat seperti masuk beberapa kelas dengan beda tingkatan dalam satu hari, guru mengampu beberapa mata Pelajaran, bahkan menjalankan tugas sebagai kepala sekolah. Namun, di sisi lain, kondisi kesejahteraan finansial mereka belum sebanding dengan beban kerja yang mereka tanggung

Terlalu sederhana jika kita berharap bahwa mutu pendidikan dapat meningkat sementara kesejahteraan para pengajar tetap diabaikan. Di setiap lingkungan kerja, kualitas hasil tidak dapat dipisahkan dari situasi kerja dan kompensasi yang diterima. Oleh karena itu, memperjuangkan upah yang layak bagi guru bukanlah sekadar tindakan dermawan, tetapi merupakan sebuah kewajiban moral dan professional.

Sudah saatnya kesejahteraan guru ditempatkan sebagai bagian dari reformasi pendidikan yang hakiki. Pendidikan bukan sekadar soal kurikulum dan teknologi, tapi tentang siapa yang menjalankannya guru. Jika guru dibiarkan terus berjuang sendiri, maka bangsa ini sedang mempertaruhkan masa depannya.

Sumber Bacaan:

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Badan.
Pusat Statistik (BPS), Statistik Pendidikan 2023.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
----------------
* Penulis adalah mahasiswa Jurusan PAI UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo

PENDIDIKAN KITA BUKAN KURANG KURIKULUM, TAPI KURANG ARAH.

 Oleh: Muhammad Shlahudin Al Farabi

Pendidikan seharusnya menjadi sarana pembentukan manusia seutuhnya, bukan hanya tempat memperoleh nilai dan ijazah. Kurikulum memiliki peran penting dalam membimbing peserta didik agar mampu berpikir mandiri, beradaptasi dengan perkembangan zaman, dan menjalani kehidupan secara bermakna[1]. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, tujuan pendidikan nasional adalah membentuk manusia Indonesia yang religius, berbudi pekerti luhur, cerdas, dan mandiri[2]. Oleh karena itu, sistem pendidikan seharusnya lebih dari sekadar proses transfer pengetahuan, melainkan wadah yang mengembangkan karakter dan kepedulian sosial peserta didik. Sayangnya, harapan tersebut sering kali tidak tercermin dalam pelaksanaan di lapangan.

Di sisi lain, dinamika perubahan kurikulum di Indonesia justru menimbulkan kebingungan dan beban baru, alih-alih perbaikan yang nyata[3]. Kurikulum Merdeka, misalnya, meskipun membawa konsep yang terdengar inovatif, masih belum bisa diterapkan secara optimal karena keterbatasan sarana dan kurangnya pelatihan bagi tenaga pendidik[4]. Banyak guru harus menghabiskan waktu untuk memenuhi tuntutan administratif, sementara siswa masih berfokus pada nilai akhir ketimbang makna belajar[5]. Proses pembelajaran pun menjadi kehilangan arah. Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan utama pendidikan kita bukan pada kekurangan kurikulum, melainkan pada ketiadaan arah pendidikan yang jelas dan berkelanjutan.

Selama kurang lebih dua puluh tahun terakhir, sistem pendidikan di Indonesia telah mengalami enam kali perubahan kurikulum, mulai dari Kurikulum 1994, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006, Kurikulum 2013, Kurikulum Darurat saat pandemi, hingga Kurikulum Merdeka yang diterapkan sejak 2022. Frekuensi perubahan ini menunjukkan bahwa pendidikan kita cenderung bergerak tanpa arah yang pasti[6]. Padahal, dalam sistem pendidikan yang ideal, kurikulum bukan sesuatu yang bisa diganti sewaktu-waktu, melainkan harus dibangun atas dasar visi jangka panjang yang kuat.

Perubahan yang terlalu sering ini mengindikasikan bahwa Indonesia belum memiliki pijakan filosofis yang mantap dalam menentukan arah pendidikan nasional. Pergantian kurikulum lebih banyak dipengaruhi oleh dinamika politik, pergantian kepemimpinan, atau sekadar merespons situasi sementara, bukan dari evaluasi mendalam terhadap tujuan pendidikan[7]. Akibatnya, para pendidik dan peserta didik sering kali menjadi korban dari kebijakan yang belum matang. Proses belajar pun terjebak dalam transisi terus-menerus yang melelahkan. Hal ini mempertegas bahwa inti masalah pendidikan kita bukan semata-mata terletak pada bentuk kurikulum, tetapi pada ketidakjelasan arah pendidikan itu sendiri.

Kemudian ada fenomena lima tahunan yang sering kali muncul yakni, bergantinya kurikulum setiap kali terjadi pergantian Menteri Pendidikan[8], hal ini mencerminkan bahwa Indonesia belum memiliki arah pendidikan yang konsisten dan berkesinambungan. Seharusnya, kurikulum dirancang berdasarkan visi jangka panjang yang tetap relevan meski terjadi perubahan kepemimpinan. Namun dalam kenyataannya, kurikulum justru sering berubah mengikuti kebijakan menteri baru, seolah menjadi agenda individu bahkan ada isu kurikulum pesanan, bukan bagian dari rencana nasional yang utuh. Hal ini menunjukkan lemahnya komitmen pemerintah dalam menjaga kesinambungan pendidikan serta ketiadaan peta jalan yang jelas menuju masa depan.

Lebih dari itu, isi kurikulum yang diajarkan pun sering kali tidak selaras dengan kebutuhan nyata masyarakat. Banyak materi yang bersifat teoritis dan normatif, namun minim relevansi dengan tantangan kehidupan sehari-hari maupun dunia kerja[9]. Akibatnya, lulusan pendidikan formal justru kerap kesulitan beradaptasi di lapangan. Ketimpangan ini memperlihatkan bahwa perencanaan pendidikan Indonesia belum benar-benar berpijak pada kebutuhan rakyatnya. Kurikulum berubah, tetapi orientasinya tetap tidak jelas—tidak menjawab tantangan zaman, tidak membekali peserta didik dengan keterampilan esensial, dan tidak mengarahkan pendidikan ke masa depan yang nyata.

Akar persoalan pendidikan di Indonesia bukan semata-mata terletak pada jumlah atau bentuk kurikulum, melainkan pada absennya arah yang konsisten dan visi jangka panjang yang kokoh. Pergantian kurikulum yang terlalu sering, tanpa dasar filosofis yang kuat, mencerminkan betapa pendidikan kita masih terombang-ambing oleh dinamika kebijakan jangka pendek. Namun, kondisi ini seharusnya tidak memadamkan semangat kita untuk terus belajar dan berkarya. Justru di tengah ketidakpastian sistem, kita ditantang untuk menjadi pribadi yang adaptif, berpikir kritis, dan mampu memberi manfaat bagi sesama. Apapun bidang yang kita tekuni, sekecil apa pun peran yang kita jalankan, selama dilakukan dengan niat tulus dan kepedulian terhadap negeri ini, maka kita telah turut serta menyalakan cahaya perubahan.

Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Ki Hadjar Dewantara, "Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah." Maka, biarlah kita memulai dari diri sendiri—dengan terus belajar, peduli, dan berbuat baik—karena masa depan Indonesia bukan hanya ditentukan oleh sistem, melainkan oleh mereka yang tak pernah lelah menyalakan harapan.

Daftar Pustaka:

[1] Mohamad Rifqi Hamzah et al., “Kurikulum Merdeka Belajar sebagai Wujud Pendidikan yang Memerdekakan Peserta Didik,” Arus Jurnal Pendidikan 2, no. 3 (December 11, 2022): 221–26, https://doi.org/10.57250/ajup.v2i3.112.

[2] “Implementasi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Di Blitar | Jurnal Supremasi,” accessed June 21, 2025, https://ejournal.unisbablitar.ac.id/index.php/supremasi/article/view/374.

[3] M. Afiqul Adib, “Evaluasi dan Kritik terhadap Pelaksanaan Kurikulum Merdeka: Perspektif Guru, Siswa, dan Pengelola Pendidikan,” SERUMPUN : Journal of Education, Politic, and Social Humaniora 3, no. 1 (February 26, 2025): 1–18, https://doi.org/10.61590/srp.v3i1.146.

[4] Indra Gunawan and Yohanes Bahari, “Problematika Kurikulum Merdeka Dalam Sudut Pandang Teori Struktural Fungsional (Study Literatur),” Journal Of Human And Education (JAHE) 4, no. 4 (July 13, 2024): 178–87, https://doi.org/10.31004/jh.v4i4.1191.

[5] “Ketika Guru Sibuk Urus Administrasi PMM, Mas Menteri Sayangilah Guru Kita!,” Detik Aceh News (blog), accessed June 21, 2025, https://www.detikacehnews.id/2024/06/ketika-guru-sibuk-urus-administrasi-pmm.html.

[6] medcom id developer, “6 Kali Ganti Kurikulum dalam 20 Tahun, Pendidikan Indonesia Mau Dibawa Kemana?,” medcom.id, April 30, 2025, https://www.medcom.id/pendidikan/news-pendidikan/Obz58MxN-6-kali-ganti-kurikulum-dalam-20-tahun-pendidikan-indonesia-mau-dibawa-kemana.

[7] Fadhilah Sabrina et al., “Persepsi Publik Terhadap Pergantian Menteri Pendidikan: Studi Survei Di Kalangan Mahasiswa Dan Tenaga Pendidik,” Dinamika Pembelajaran : Jurnal Pendidikan Dan Bahasa 2, no. 1 (2025): 107–20, https://doi.org/10.62383/dilan.v2i1.1122.

[8] Bagelen Channel, “Ganti Menteri Ganti Kurikulum? Sebuah Tantangan dan Harapan Bangsa Indonesia Untuk Pendidikan Masa Depan Bagelen Channel, January 24, 2025, https://bagelenchannel.com/2025/01/ganti-menteri-ganti-kurikulum-sebuah-tantangan-dan-harapan-bangsa-indonesia-untuk-pendidikan-masa-depan/.

[9] Eps 860 | Berita Duka : Kurikulum Pendidikan Indonesia Cuma Omon Omon, 2025, https://www.youtube.com/watch?v=Yb_Z5OiF4C8.

-------- 

* Penulis adalah Mahasiwa jurusan PAI UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo

Minggu, 15 Juni 2025

“MERASA SALAH PILIH JURUSAN?” CEK PENYEBAB, DAMPAK, SOLUSI DAN LANGKAH ANTISIPASINYA.

 

Oleh: Hariyanto

Memasuki jenjang pendidikan tinggi adalah salah satu fase penting dalam kehidupan seseorang. Pilihan jurusan kuliah bukan hanya menentukan arah studi selama beberapa tahun, tetapi juga memengaruhi jalur karier dan masa depan seseorang. Namun, di balik pentingnya keputusan tersebut, tidak sedikit mahasiswa yang justru merasa telah salah memilih jurusan. Fenomena salah jurusan menjadi isu yang cukup umum di kalangan mahasiswa Indonesia, bahkan tidak jarang berdampak pada kesehatan mental, motivasi belajar, hingga kegagalan akademik.

Data dari berbagai survei menunjukkan bahwa sekitar 30–50% mahasiswa di Indonesia pernah merasa salah jurusan. Dalam survei yang dilakukan oleh Youthmanual pada tahun 2020, lebih dari 45% mahasiswa mengaku tidak yakin dengan jurusan yang mereka ambil, dan 27% menyatakan bahwa mereka ingin pindah jurusan setelah satu hingga dua semester perkuliahan. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak mahasiswa yang membuat keputusan tanpa pemahaman yang cukup terhadap diri sendiri maupun jurusan yang dipilih.

Dampak dari salah jurusan tidak bisa dianggap sepele. Mahasiswa yang tidak merasa cocok dengan jurusannya cenderung mengalami penurunan motivasi belajar, stres berkepanjangan, bahkan dropout. Selain itu, kondisi ini bisa menyebabkan pemborosan waktu, tenaga, dan biaya, baik bagi mahasiswa maupun keluarganya. Dalam jangka panjang, salah jurusan juga dapat berimbas pada minimnya kesiapan lulusan dalam menghadapi dunia kerja, karena mereka tidak memiliki keterampilan yang sesuai atau tidak memiliki ketertarikan terhadap bidang yang digeluti.

Fenomena ini menggambarkan pentingnya kesiapan mental dan informasi yang matang sebelum memilih jurusan kuliah. Kurangnya bimbingan karier di tingkat sekolah menengah, tekanan dari keluarga, serta kurangnya pemahaman diri menjadi beberapa faktor utama yang mendorong mahasiswa salah memilih jurusan.

Dengan menyadari tingginya angka kesalahan dalam pemilihan jurusan dan dampaknya, perlu ada langkah konkret, baik dari pihak individu, keluarga, maupun institusi pendidikan, untuk mencegah dan menangani fenomena ini secara serius. Oleh karena itu, artikel ini akan membahas penyebab mahasiswa salah memilih jurusan, langkah yang harus diambil setelah menyadarinya, dampaknya terhadap masa depan, serta strategi antisipatif agar calon mahasiswa tidak mengalami hal serupa.

Penyebab Mahasiswa Salah Memilih Jurusan

1.     Kurangnya Pemahaman Diri

Banyak mahasiswa belum sepenuhnya mengenal minat, bakat, dan potensi dirinya saat memilih jurusan. Mereka mungkin memilih jurusan berdasarkan nilai tinggi di mata pelajaran tertentu, bukan karena ketertarikan jangka panjang.

2.    Tekanan Orang Tua atau Lingkungan
Ada kalanya pilihan jurusan lebih didorong oleh keinginan orang tua, status sosial, atau tren, bukan pilihan pribadi. Hal ini bisa membuat mahasiswa merasa tidak nyaman saat menjalani kuliah.

3.    Kurangnya Informasi tentang Jurusan
Tidak semua calon mahasiswa memahami secara menyeluruh isi perkuliahan dan prospek kerja dari jurusan yang dipilih. Mereka bisa saja baru menyadari ketidaksesuaian ini setelah memasuki perkuliahan.

4.   Salah Persepsi terhadap Karier
Banyak yang memilih jurusan dengan anggapan keliru tentang prospek kerja yang akan dijalani. Misalnya, mengira jurusan tertentu akan memberikan pekerjaan yang "keren" atau "menghasilkan banyak uang", tanpa mempertimbangkan realitas di lapangan.

Apa yang Harus Dilakukan Jika Sudah Terlanjur Salah Jurusan?

1.     Lakukan Refleksi Diri

Kenali akar penyebab ketidaknyamanan. Apakah karena metode pembelajaran, materi kuliah, lingkungan, atau memang tidak sesuai dengan minat dan nilai hidup?

2.    Konsultasi dengan Dosen Pembimbing atau Konselor Kampus

Bicarakan kondisi ini dengan orang yang berpengalaman. Mereka bisa memberikan saran objektif, termasuk kemungkinan pindah jurusan atau strategi bertahan.

3.    Pertimbangkan Pindah Jurusan atau Kampus

Jika benar-benar merasa tidak cocok dan masih berada di semester awal, pindah jurusan bisa menjadi solusi jangka panjang. Tentu, keputusan ini harus dipikirkan matang-matang.

4.   Manfaatkan Waktu untuk Pengembangan Diri di Luar Kampus

Jika pindah jurusan tidak memungkinkan, cobalah mengembangkan skill atau minat melalui organisasi, kursus online, atau magang di bidang yang disukai.

5.    Tentukan Arah Karier Lebih Awal

Meskipun tidak cocok dengan jurusan, masih banyak peluang karier yang tidak selalu harus linier dengan pendidikan formal. Fokus pada apa yang bisa dikembangkan dan dimanfaatkan dari pengalaman kuliah.

Langkah Antisipasi agar Tidak Salah Jurusan

1.    Lakukan Tes Minat dan Bakat Sejak Dini

Tes psikologi dan asesmen karier dapat membantu mengenali kecenderungan alami dan potensi seseorang.

2.   Riset Mendalam tentang Jurusan dan Karier

Calon mahasiswa harus aktif mencari informasi dari berbagai sumber seperti website resmi kampus, alumni, atau profesional di bidang tersebut.

3.   Ikuti Seminar atau Konseling Karier

Mengikuti workshop atau bimbingan karier sebelum SNBT/SNBP bisa membantu memperjelas arah pendidikan.

4.  Jangan Terburu-Buru Mengikuti Tren

Pilih jurusan bukan karena sedang populer atau karena teman masuk ke sana, tetapi berdasarkan kesesuaian pribadi.

5.   Libatkan Orang Tua sebagai Mitra Diskusi, Bukan Penentu

Orang tua sebaiknya memberikan dukungan dan ruang bagi anak untuk memilih jalannya sendiri, bukan memaksakan kehendak.

Salah memilih jurusan bukan akhir dari segalanya. Yang terpenting adalah bagaimana mahasiswa menyikapi kondisi tersebut dengan bijak dan tidak menyerah. Setiap kesalahan bisa menjadi awal dari keputusan yang lebih baik jika ditindaklanjuti dengan refleksi dan perencanaan yang matang. Bagi calon mahasiswa, mengenal diri dan melakukan riset mendalam sebelum memilih jurusan adalah kunci agar perjalanan akademik dan karier di masa depan tidak terhambat oleh keputusan yang terburu-buru. Tetap Semangat dan Salam Inspirasi (Hary/15/06/2025)

------- 
Penulis adalah Dosen FTIK di UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo