Membangun Budaya
Literasi Berbasis Keluarga
Oleh: Hariyanto
Pemerintah sedang mengembangkan asesmen nasional yang menitikberatkan pada ketuntasan literasi, yaitu membaca, numerasi dan karakter. Tentunya kita menyambut baik upaya yang dilakukan pemerintah karena literasi ini menjadi dasar bagi peserta didik untuk menjadi pembelajar mandiri. Peran tri pusat pendidikan (rumah-sekolah-masyarakat) sangat penting dalam mengawal budaya tersebut. Peran sekolah tentu tidak diragukan lagi untuk bisa melaksanakannya, tetapi peran tersebut tidak akan berhasil signifikan jika tidak di dukung oleh pusat pendidikan yang lain, seperti keluarga dan masyarakat. Agar lebih mendalam membahas hal ini, Penulis akan menitikberatkan pada peran keluarga dalam membangun literasi yang akan berdampak positif pada kemampuan literasi anak.
Literasi secara sederhana dapat diartikan
sebagai sebuah kemampuan membaca dan menulis. Kita mengenalnya dengan melek
aksara atau keberaksaraan. Dalam arti yang lebih luas, Keberaksaraan atau literasi dapat diartikan
melek teknologi, melek informasi, berpikir kritis, peka terhadap lingkungan,
bahkan juga peka terhadap politik (MultiLiterasi). Seseorang dikatakan literat
jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca informasi yang tepat dan melakukan
sesuatu berdasarkan pemahamannya terhadap isi bacaan tersebut.
Bagaimana
dengan kondisi literasi di Indonesia? UNESCO pernah menyebutkan Indonesia
urutan kedua dari bawah soal literasi dunia, artinya minat baca sangat rendah.
Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan,
hanya 0,001%. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin
membaca. Riset berbeda bertajuk World’s
Most Literate Nations Ranked yang
dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret
2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal
minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Survey
yang dilakukan oleh International
Education Achievement (IEA) pada awal
tahun 2000 menunjukkan bahwa kualitas membaca anak-anak Indonesia menduduki
urutan ke 29 dari 31 negara yang diteliti di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika. Kondisi
ini tentulah memprihatinkan bagi sebuah negara dengan jumlah penduduk yang
sedemikian besar, yang tujuan pendidikan nasionalnya tercantum begitu hebat di
Undang-Undang No.20 tahun 2003 Tentang sistem Pendidikan Nasional.
Berdasarkan hal tersebut, maka gerakan kesadaran membaca, peningkatan minat baca, gerakan literasi sekolah haruslah didukung semua pihak termasuk orang tua/ keluarga. Bagaimanapun harus dipahami bahwa membaca adalah jendela dunia, jendela pengetahuan untuk menuju bangsa yang berpengetahuan, Indonesia yang berkualitas, maju dan sejahtera. Sejak tahun 2016 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggiatkan Gerakan Literasi Nasional (GLN) sebagai implementasi Permendikbud 23 tahun 2015. Tugas seluruh elemen masyarakat adalah ikut bersama mensukseskan gerakan literasi sekolah (GLS) dan gerakan literasi masyarakat (GLM)
Secara umum
ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian untuk mengembangkan minat baca
bagi peserta didik khususnya:
1. Pemerintah harus terus memperbaiki
kualitas dan pemerataan pendidikan agar bisa mendorong tingkat melek huruf yang
lebih tinggi. Sarana dan prasarana pendidikan harus terpenuhi
2. Bangun lebih banyak
perpustakaan di semua daerah sebagai tempat yang nyaman untuk membaca, jumlah
koleksi buku yang banyak, dan aktif serta inovatif menawarkan kegiatan yang
menarik. Keunggulan suatu daerah tidak hanya dinilai dari infrastruktur yang
dibangun, tetapi juga keseriusannya dalam membangun perpustakaan daerah sebagai
pusat referensi unggul pengetahuan, wisata pengetahuan yang menarik bagi
seluruh masyarakat.
3. Melakukan Kegiatan yang
berkelanjutan untuk memikat anak-anak/ generasi
muda gemar membaca.
4. Memberikan dukungan
kepada penerbit agar menghasilkan buku yang berkualitas dan beragam bacaan.
Dukungan bisa dalam bentuk pelatihan dan pembinaan kepada penerbit di daerah,
dukungan pengembangan modal usaha, dukungan kemudahan dalam perizinan dll.
5. Berdayakan masyarakat
untuk bersama-sama membumikan literasi.
Keluarga sebagai bagian dari masyarakat
memiliki peran penting dalam membangun literasi sebagaimana dicanangkan oleh
pemerintah. Keluarga merupakan suatu miniatur pendidikan utama dalam merangsang
pola perkembangan anak baik dari aspek intelektual, emosional, maupun spiritual.
Peran orang tua dalam memberikan asupan informasi bagi otak dan hati yang
kemudian keduanya bertaut membangun konsep, berpikir kritis dan mampu
melahirkan kreatifitas. Peran orang tua dalam membangun literasi dalam keluarga
adalah sebagai berikut:
1. Orang tua sebagai storyteller/pendongeng
Anggraini
(2017), berpendapat bahwa bercerita kepada anak sebelum tidur atau pada
waktu-waktu tertentu pada usia 3-5 tahun merupakan salah satu usaha untuk
menumbuhkan minat baca anak. One day, one strory dapat diterapkan oleh orang
tua, selain untuk menumbuhkan kedekatan dengan anak, tetapi juga bisa dijadikan
sarana pendidikan karakter kepada anak sejak dini.
2. Orangtua sebagai Stimulator
Orang tua dapat memberikan fasilitas menunjang untuk membaca, diantaranya menyediakan buku-buku bacaan yang disukai anak ataupun buku pelajaran sekolah. Memberikan tempat belajar yang menyenangkan juga dapat menstimulasi anak untuk bergairah membaca.
3. Orangtua sebagai teladan
dan motivator
Anak akan
melihat kebiasaan orang tuanya membaca dan anak akan mencontoh bagaimana orang
tua melakukan hal tersebut. Orang tua tidak hanya menyerahkan tanggung jawab
mengenai budaya literasi pada sekolah saja. Orangtua dapat berperan sebagai
motivator, yang memberikan semangat pada anak-anaknya untuk membudayakan
literasi.
Untuk melakukan peran tersebut, orang tua dapat melakukan aktivitas literasi dalam keluarga:
- Mengajak anak mengunjungi perpustakaan
- Mengajak ke toko buku dan membelikan buku sesuai yang diinginkan dan yang sesuai
- Menjadikan buku sebagai reward ketika anak memperoleh prestasi
- Orangtua mengontrol anak dengan menyeleksi bacaan yang sehat, bacaan yang
0 comments:
Posting Komentar