JALAN
PANJANG MENUJU OTONOMI DAERAH
Sejarah perjalanan bangsa Indonenesia
mengalami pasang surut, masa kejayaan, masa suram dan bangkit lagi, begitu seterusnya. Tahun
1997 sampai tahun 1998 adalah masa orde baru dimana kepemimpinan Presiden
Soeharto mengalami kemerosotan tajam. Kepemimpinan Soeharto menerapkan sistem
pemerintahan yang sentralistik, yaitu semua kebijakan dibuat oleh pemerintahan
pusat, sehingga daerah hanya melaksanakan kebijakan apa yang diputuskan oleh
pemrintah pusat. Daerah hanyalah kepanjangan pemerintahan pusat. Sistem
pemerintahan yang sentralistik itu tidak lagi dipercaya dapat menyelesaikan
problematik bangsa yang semakin rumit dan kompleks.
Gejolak politik pada tahun 1998 sebetulnya sudah dimulai pada
tahun 1997 dimana krisis moneter secara global terjadi. Tidak hanya di
Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Negara tetangga seperti Malaysia,
Singapura, Thailand, Philiina dll juga mengalami hal yang sama. Tetapi
Negara-negara tersebut bisa bertahan dan tidak terjadi gejolak politik yang
berarti. Hal yang berbeda terjadi di Indonesia, dimana gejolak politik terjadi
luar biasa. Dipicu dengan krisis moneter, krisis ekonomi, berkembang menjadi
krisis multi dimensi, maka terjadi gelombang protes besar-besaran di kalangan
masyarakat. Puncaknya adalah ketika beliau menytakan mengundurkan diri pada
tanggal 21 Mei 1998. Tetapi ternyata ini tidak menjadi akhir, justru kemelut
semakin meruncing. Kekisruhan terjadi dimana-mana. Tuntutan reformasi menggema
ke seluruh negeri. Perubahan sistem pemerintahan sentralistik dirubah menjadi
desentralisasi.
Maka dimulailah era reformasi dengan sistem desentralisasi dengan diundangkannya
UU RI Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. UU Nomor 22 tahun 1999
ini memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur daerahnya sendiri.
Berdasarkan Pasal 1 (h) dijelaskan bahwa Otonomi Daerah adalah kewenangan
Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Kewenangan daerah menjadi semakin luas, hal ini diatur
dalam Bab IV pasal 7 sampai dengan pasal 13. Secara tersurat dijelaskan di
dalamnya tentang desentralisasi yang diserahkan kepada daerah. Sebagai sebuah
kebijakan yang baru, maka UU ini pun masih menimbulkan polemik di masyarakat
dan dianggap tidak sesuai dengan ketatanegaraan di Indonesia, maka diperlukan
perubahan UU tersebut.
Tanggal 15 Oktober 2004,
Presiden Megawati
Soekarnoputri mengesahkan Undang- Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Menurut UU No 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, definisi otonomi daerah sebagai
berikut:
“Otonomi daerah adalah hak, wewenang
dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Berdasarkan UU
tersebut, maka otonomi luas diberikan kepada daerah. Namun demikian pada saat
itu DPR mengajukan RUU yang kemudian disetujui oleh semua anggta DPR dan
akhirnya disahkanlah UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Dapatlah diketahui bahwa terjadi
beberapa kali perubahan UU tentang Pemerintahan Daerah. Hal tersebut
dikarenakan karena pada UU No 22 tahun
1999 menyatakan bahwa pemilihan Bupati/ Wali Kota, Gubernur dilakukan oleh DPRD
begitu juga dengan pemberhentiannya. Hal tersebut dinilai tidak sesuai dengan
esensi dari desentralisasi yang memberikan hak dan kewenangan besar pada
masyarakat untuk berdemokrasi memilih calon pemimpinnya sendiri. Hadirnya UU No
32 tahun 2004 justru mengembalikan hak pemilihan oleh rakyat. Sementara itu UU
nomor 23 tahun 2014 kembali lagi mengatur bahwa kepala daerah dipilih, diangkat
dan diberhentikan oleh DPRD.
Melihat berkembangnya pemikiran dan
aspirasi masyarakat yang berkembang saat itu, maka kemudian Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang PERPU NO 2 tahun 2014 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Selanjutnya
UU 23 tahun 2014 yang sudah dirubah tersebut juga mengalami perubahan lagi yaitu pada UU Nomor 9 tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah.
Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat
dilihat bahwa untuk menerapkan sebuah kebijakan yang baru tersebut tidaklah
mudah. Perubahan dari sistem pemerintahan yang sentralistik menjadi
desentralisasi memerlukan waktu untuk belajar dan mengkaji setiap kekurangan
dari implementasinya. Inkonsistensi peraturan perundangan yang disebutkan di atas
adalah ikhtiar dari pemerintah dan DPR untuk mencari format yang tepat dalam
membangun Indonesia melalui Otonomi Daerah. Tentu saja tidak dapat dipungkiri
bahwa ada kepentingan-kepentingan tertentu yang masuk, dimungkinkan kepentingan
partai politik, kepentingan pengusaha, kepentingan golongan organisasi
masyarakat, dll. Tetapi di atas semua itu adalah kepentingan bangsa dan negara
Indonesia yang harus diutamakan.
Beberapa permasalahan masih saja
sering terjadi dalam pada awal implementasi otonomi daerah. Menurut Kristiono
(2015) permasalahan yang sering terjadi adalah sebagai berikut:
1) Pemahaman
terhadap konsep desentralisasi dan otonomi daerah yang belum mantap
2)
Adanya
eksploitasi Pendapatan Daerah
3) Masih adanya sebagian elit yang mengemukakan
sentimen putra daerah
keanekaragaman daerah, serta
peluang dan tantangan persaingan global dalam kesatuan sistem
penyelenggaraan pemerintahan
Negara.
Tujuan otonomi daearah membebaskan
pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu
dalam menangani urusan
domestik, sehingga pemerintah pusat berkesempatan mempelajari, memahami
dan merespon berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat dari padanya.
Pemerintah pusat hanya berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro nasional
yang bersifat strategis. Sehingga pemerintah daerahlah yang dianggap lebih
memahami dan mengetahui kebutuhan masyarakat di daerahnya. Pembangunan daerah
memerlukan partisipasi masyarakat di daerah tersebut sebagai bentuk ikut
memiliki daerah tersebut. Namun yang harus diingat adalah semua dalam bingkai
untuk kepentingan rakyat dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Salah satu
konsekuensi otonomi adalah kewenangan daerah yang lebih besar dalam pengelolaan
keuangannya, mulai dari proses pengumpulan pendapatan sampai pada alokasi
pemanfaatan pendapatan daerah tersebut. Dalam kewenangan semacam ini sebenarnya
sudah muncul inherent risk, risiko
bawaan, bahwa daerah akan melakukan upaya maksimalisasi, bukan optimalisasi,
perolehan pendapatan daerah. Upaya ini didorong oleh kenyataan bahwa daerah
harus mempunyai dana yang cukup untuk melakukan kegiatan, baik itu rutin maupun
pembangunan. Di samping itu daerah juga dituntut untuk tetap menyelenggarakan
jasa-jasa publik dan kegiatan pembangunan yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Hal ini yang kemudian pada
beberapa daerah terjebak untuk mengintensifkan pemungutan pajak dan retribusi
sebagai cara termudah untuk memperoleh tambahan pendapatan. Dampaknya adalah
kembali kepada masyarakat sebagai obyeknya.
Hal inilah yang
seharusnya dihindari, karena Pemerintah daerah harus memiliki inovasi untuk
mengembangkan potensi daerahnya, produk-produk kreatif daerah, potensi wisata
daerah, potensi SDA dan SDM harus dikembangkan dengan baik. Dengan demikian
kesejahteraan akan dirasakan oleh masyarakat secara nyata.
Sentimen seperti ini yang berlebihan
justru akan menimbulkan sekat-sekat persatuan dan kesatuan bangsa. Jika semua
orang yang pandai kembali ke daerah masing-masing, bagaimana dengan daerah yang
notabene SDMnya masih kurang? Tentu daerah tersebut akan sulit untuk berkembang
meskipun memiliki potensi SDA yang berlimpah. Tetapi tidak bisa mengelola
dengan maksimal.
Tujuan Desentralisasi
Pasal 1 Butir 8 UU No. 23 Tahun 2014 menjelaskan Desentralisasi adalah penyerahan Urusan
Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada
daerah otonom berdasarkan Asas
Otonomi. Butir 7. menjelaskan Asas
Otonomi adalah prinsip dasar penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan
Otonomi Daerah. Butir 6 menjelaskan Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Mengacu pada Undang Undang tentang otonomi daerah, maka tujuan
diberlakukan otonomi daerah
adalah diarahkan
untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan
pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta
masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan
prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia. disamping itu agar terjadi peningkatan
efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan
pemerintahan daerah dengan lebih
memperhatikan aspek-aspek
hubungan antara Pemerintah Pusat dengan daerah dan antar daerah, potensi
dan
Hidayat dalam jurnal Ilmu Politik Volume 1
Nomor 1 Tahun 2008 memaparkan tujuan desentralisasi dalam perspektif State
Society-Relation (Hubungan masyarakat dengan pemerintah) adalah sebagai
berikut:
1) Tujuan desentralisasi dalam perspektif
desentralisasi politik:
a.
Untuk kepentingan pemerintah pusat:
(1) political education (untuk pendidikan
politik)
(2) to provide training in political leadership (sebagai tempat untuk melatih calon-calon pemimpin politik di tingkat nasional)
(3) to create political stability (Untuk menciptakan stabilitas politik)
b. Untuk Kepentingan Pemerintah daerah
(1) Mewujudkan political equality: lebih membuka kesempatan bagi
masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik di tingkat
lokal
(2) Local accountability; agar
ada peningkatan pemda dalam memenuhi hak masyarakatnya.
(3) Local responsiveness; agar
bisa merespon kepentingan masyarakat daerahnya.
2) Tujuan desentralisasi dalam perspektif
desentralisasi Administrasi:
Lebih menekankan pada aspek efisiensi dan
efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan ekonomi di daerah
sebagai tujuan utama desentralisasi. Misalnya menyediakan public good and
services. Para kepala daerah akan memberikan pelayan kepada masyarakatnya
sebaik mungkin, adanya kompetisi untuk memberikan memberikan
kemudahan-kemudahan dalam bingkai sesuai hukum yang berlaku untuk tujuan kemakmuran
dan kesejahteraan rakyatnya, misalnya: kemudahan perizinan usaha, kemudahan
mendapatkan pelayanan publik dan lain-lain sesuai dengan inovasi daerah.
3) Tujuan desentralisasi dalam perspektif desentralisasi State Society-
Relation
Kerangka berfikir perspektif state-society relation mengartikulasi
desentralisasi bukan sebagai tujuan akhir tetapi hanya sebagai alat atau sarana
untuk menegakkan kedaulatan rakyat (society). Tujuan akhir yang hendak
dicapai tidak lain adalah demokratisasi, kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat.
0 comments:
Posting Komentar