f ' Ratusan Remaja Mengajukan Dispensasi Kawin: Sarana Muhasabah bagi Lembaga Pendidikan? ~ Inspirasi Pendidikan

Jumat, 13 Januari 2023

Ratusan Remaja Mengajukan Dispensasi Kawin: Sarana Muhasabah bagi Lembaga Pendidikan?

 

Dr. Hariyanto (Penulis)

Ratusan Remaja Mengajukan Dispensasi Kawin:
Sarana Muhasabah Bagi Lembaga Pendidikan?

Akhir-akhir ini jagat media sosial dihebohkan dengan berita tentang ratusan pelajar yang mengajukan dispensasi kawin di Ponorogo. Berita di media sosial tersebut dipertegas lagi dalam berita di televisi. Apakah hanya terjadi di Ponorogo? tentu saja tidak dispensasi kawin, begitu istilah yang digunakan juga berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Pengadilan Agama yang akan menerbitkan dispensasi kawin tersebut dengan mekanisme dan aturan tertentu. Dispensasi kawin merupakan pemberian izin kawin oleh pengadilan kepada calon suami/istri yang belum berusia 19 tahun untuk melangsungkan perkawinan. Kewenangan pengadilan untuk memberikan dispensasi kawin tersebut diatur dalam Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Disebutkan bahwa minimal perkawinan bagi perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun sebagai hasil pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019. Dilansir dari website www.pa-ponorogo.go.id diketahui bahwa pada tahun 2021 terdapat 266 jumlah perkara dispensasi kawin. Sedangkan pada tahun Tahun 2022 masih terdapat 184 perkara.

Ratusan remaja yang mengajukan dispensasi kawin inilah yang ditengarai menjadi berita heboh, dan menjadi trending topic seolah mereka yang mengajukan tersebut semuanya adalah pelajar dan mengalami “hamil di luar nikah”.  Meskipun memang ada sebagian dari jumlah tersebut adalah pelajar yang masih duduk di SMP dan SMA atau sederajat. Berapapun jumlahnya pernikahan dini ini, tetapi jika seharusnya mereka masih duduk di bangku sekolah, maka terdapat banyak hal yang harusnya menjadi perenungan semua pihak baik pemerintah, sekolah, orang tua maupun lembaga/ organisasi-organisasi kemasyarakatan yang memiliki kepedulian dalam bidang pendidikan.

Penguatan Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter bertujuan mengembangkan nilai-nilai yang membentuk karakter bangsa yaitu Pancasila, meliputi: (1) mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia berhati baik, berpikiran baik, dan berprilaku baik; (2) membangun bangsa yang berkarakter Pancasila; (3) mengembangkan potensi warganegara agar memiliki sikap percaya diri, bangga pada bangsa dan negaranya serta mencintai umat manusia (Pusat Kurikulum dan Perbukuan, 2011). Pendidikan baik di sekolah maupun di rumah harus mampu mengarahkan dan membentuk karakter anak. Apalagi sekarang ini banyak sekali kasus-kasus yang terjadi. Seperti kenakalan remaja, tawuran, asusila, juga narkoba yang semakin marak merusak kehidupan remaja. Secara teoritis memang mudah disampaikan, tetapi praktiknya ternyata tidak mudah. Tindak asusila yang dilakukan remaja, selanjutnya mengajukan dispensasi kawin sebagaimana disebutkan di atas merupakan bukti bahwa penguatan pendidikan karakter di sekolah dan masyarakat harus terus dilakukan. Tentu saja tidak bijak jika adanya kasus tersebut kemudian menjadikan sekolah sebagai satu-satunya kambing hitam. Karena masalah ini terjadi dikarenakan ada penyebab lain yang harus kita cari dan dibenahi bersama.

 Pendidikan Keagamaan

Pendidikan agama dianggap paling mampu dalam membentuk karakter anak. Menjadikan anak berahlak mulia. Tanggung jawab ini tentu tidak hanya menjadi lembaga pendidikan keagamaan, atau organisasi masyarakat keagamaan saja. Pemerintah , DPR juga turut memiliki andil besar dalam pengambilan kebijakan terkait. Saat ini sekolah yang memiliki otonomi dalam pengelolaannya banyak yang sudah menerapkan muatan keagamaan yang lebih, bahkan sebagai magnet keunggulan sekolah. Misalnya: Baca Tulis Qur’an, Tahfidz Qur’an, bahkan sudah ada sekolah yang mengharuskan peserta didiknya menghafal beberapa juz sebelum lulus sekolah tersebut. Kebijakan seperti ini cenderung mendapatkan dukungan dari masyarakat, terbukti dengan banyaknya jumlah peserta didik yang bersekolah di sekolah semacam ini. Hal inilah yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan tertentu, misalnya dalam bentuk peraturan bupati/wali kota yang mengharuskan peserta didik muslim harus hafal juz 30 sebelum dinyatakan lulus kelas VI SD, dan seterusnya sesuai jenjang pendidikannya. Tentu saja kebijakan tersebut harus diimbangi dengan para guru yang selalu siap menjadi figur yang dapat diteladani murid-muridnya.

 Penguatan Peran Orang Tua dalam Pendidikan

Orang tua memiliki peran yang sangat besar dalam mendidik anak-anaknya. Sinergi orang tua dengan lembaga pendidikan seharusnya dibangun kuat. Saling melengkapi dan saling menguntungkan. Tidak boleh orang tua hanya menyerahkan urusan pendidikan hanya kepada sekolah dengan dalih sudah membayar biaya pendidikan. Visi masa depan anak dipersiapkan oleh orang tua, usaha orang tua yang dibantu para guru di sekolah, lingkungan masyarakat dan tentu saja pada anak itu sendiri. Dari jumlah 184 remaja tersebut tentu tidak semua berasal dari keluarga yang lengkap kedua orang tua. Bisa jadi orang tuanya sudah meninggal sehingga pengasuhannya oleh kakek/ neneknya, bisa jadi karena orang tuanya merantau ke luar negeri, sehingga semua kebutuhan ekonomi tercukupi, tetapi secara psikologis kebutuhan anak tidak terpenuhi. Kondisi tersebut menyebabkan anak mencari perhatian dengan cara yang salah. Jika kedua orang tua masih ada, maka sangat memungkinkan karena cara pengasuhan yang kurang tepat, komunikasi tidak dibangun dengan anak secara baik. Waktu yang diberikan untuk memberikan perhatian dan kasih sayang dianggap oleh anak masih kurang. Implementasi nilai-nilai keagamaan tidak diterapkan dengan baik di rumah. Orang tua gagal menjadi figure yang bisa diteladani anak dalam menjalankan perintah agamanya. Karena itu, saatnya bagi semua orang tua untuk megevaluasi pengasuhannya kepada anak-anaknya. Pendidikan di rumah dari orang tua adalah kesinambungan dengan pendidikan yang diterapkan di sekolah.

Peran Pemerintah dan Masyarakat

Kerjasama pemerintah dan masyarakat perlu dibangun. Tidak mudah menyadarkan masyarakat, tetapi bukan berarti tidak bisa. Pendekatan kepada beberapa tokoh masyarakat untuk dijadikan corong pemerintah dalam pendidikan dan menyadarkan masyarakat  bahwa masa depan Indonesia ini tergantung pada generasi saat ini. Generasi yang cerdas tetapi juga tidak lupa dan tetap menghormati norma-norma yang berlaku di masyarakat.

Dinas kesehatan, BKKBN, Dinas Pendidikan, Kementeriaan Agama, Yayasan penyelenggara pendidikan, dan organisasi lainnya tidak boleh surut dalam memberikan pembinaan kepada masyarakat akan dampak pernikahan yang masih dibawah umur, BKKBN dan Dinas Kesehatan melalui program-program kerjanya dapat secara terjadwal untuk memberikan pendidikan kesehatan reproduksi remaja. Begitu juga dengan kalangan pendidikan tinggi, dapat melibatkan dosennya untuk keperluan pengabdian kepada masyarakat dengan memberikan pelatihan dan pendidikan yang relevan.

Keberhasilan upaya beberapa pihak tersebut diatas dapat diketahui dengan cara yang mudah, yaitu apabila terjadi penurunan yang signifikan atas jumlah dispensasi kawin pada akhir tahun 2023. Semoga...  (HAR, 14/1/23)


0 comments:

Posting Komentar