Oleh: Dr. Hariyanto, M.Pd
Bulan
Juni-Juli bagi hampir semua perguruan tinggi adalah akhir dari semester genap,
yang ditandai dengan Ujian Akhir
Semester (UAS). Pelaksanaan UAS tersebut dapat berbentuk tugas mandiri, tetapi
kebanyakan dilaksanakan secara formal yaitu mengerjakan soal ujian dengan
sistem kepengawasan yang dilakukan oleh dosen atau kepanitiaan yang dibentuk
oleh perguruan tinggi. Ada pengalaman yang menarik selama ujian berlangsung,
beberapa teman dosen juga seringkali memiliki pengalaman unik saat menjadi
pengawas ujian, yaitu melihat beberapa mahasiswa berupaya bahkan sudah
melakukan perbuatan “Mencontek” dengan berbagai bentuk dan variasinya.
Mencontek adalah upaya-upaya yang dilakukan peserta didik untuk mendapatkan keberhasilan dengan cara yang tidak jujur. Pada kenyataannya perbuatan ini juga dilakukan oleh siswa di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Beberapa riset pernah dilakukan. Seperti yang dilakukan pada siswa siswi di SMA di Surabaya sebagaimana disebutkan dalam artikel yang diterbitkan di jurnal Inopendas Jurnal Ilmiah Pendidikan, Prahesti, dkk (2022) menyebutkan bahwa 80 % siswa SMA di Surabaya pernah mencontek (58% sering, dan 28 % jarang).
Beberapa jenis tindakan mencontek yang biasa dilakukan adalah menggunakan alat bantu HP/ gadget, sehingga bisa browsing di internet. Hal ini memiliki dampak besar untuk tindakan plagiasi. Mengganti jawaban saat pengawas lengah atau sedang keluar kelas sebentar, minta jawaban dari temannya secara langsung atau melalui kode-kode tertentu jika soalnya pilihan ganda, atau menulisnya jawaban di kertas kecil dan diberikan kepada teman yang membutuhkan, Sengaja membiarkan mahasiswa lainnya menyalin pekerjaannya, dll. Sehingga tidak berlebihan jika ada pertanyaan adakah mencontek ini sudah menjadi tradisi ataukah menjadi pertanda lemahnya literasi bagi para pelajar atau mahasiswa?
Mencontek adalah upaya-upaya yang dilakukan peserta didik untuk mendapatkan keberhasilan dengan cara yang tidak jujur. Pada kenyataannya perbuatan ini juga dilakukan oleh siswa di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Beberapa riset pernah dilakukan. Seperti yang dilakukan pada siswa siswi di SMA di Surabaya sebagaimana disebutkan dalam artikel yang diterbitkan di jurnal Inopendas Jurnal Ilmiah Pendidikan, Prahesti, dkk (2022) menyebutkan bahwa 80 % siswa SMA di Surabaya pernah mencontek (58% sering, dan 28 % jarang).
Beberapa jenis tindakan mencontek yang biasa dilakukan adalah menggunakan alat bantu HP/ gadget, sehingga bisa browsing di internet. Hal ini memiliki dampak besar untuk tindakan plagiasi. Mengganti jawaban saat pengawas lengah atau sedang keluar kelas sebentar, minta jawaban dari temannya secara langsung atau melalui kode-kode tertentu jika soalnya pilihan ganda, atau menulisnya jawaban di kertas kecil dan diberikan kepada teman yang membutuhkan, Sengaja membiarkan mahasiswa lainnya menyalin pekerjaannya, dll. Sehingga tidak berlebihan jika ada pertanyaan adakah mencontek ini sudah menjadi tradisi ataukah menjadi pertanda lemahnya literasi bagi para pelajar atau mahasiswa?
Mengapa
Mencontek?
Mencontek merupakan kategori perbuatan
yang curang, tidak jujur. Meskipun demikian, beberapa siswa dan mahasiswa
menganggapnya sebagai suatu perbuatan yang lumrah, mereka tidak merasa bersalah
atas perbuatan yang dilakukan. Dalam perspektif pendidikan anti korupsi,
mencontek adalah bibit-bibit kecil korupsi yang terjadi di lembaga pendidikan.
apabila bibit korupsi ini dilakukan setiap saat ketika ada kesempatan, menjadi
kebiasaan mahasiwa, maka dikhawatirkan nilai-nilai anti korupsi, tidak akan terintegrasi dalam diri mahasiwa.
Sedangkan kita semua tahu bahwa mahasiswa adalah calon-calon pemimpin di masa
depan. Generasi yang dianggap punya intelektualitas tinggi yang akan meneruskan
membangun bangsa ini.
Terdapat beberapa sebab mahasiswa
melakukan perbuatan mencontek, antara lain (1) Prokatinasi; kebiasaan
yang dimiliki mahasiswa untuk menunda-nunda pekerjaannya. Pekerjaan disini juga
bisa berarti tugas-tugas yang diberikan dosen kepada mahasiswa. Akibatnya skala
prioritas untuk bersungguh-sungguh dalam belajar tidak dilakukan. Metode
belajarnya SKS (Sistem Kebut Semalam) menjelang akan dilakukan ujian. Bisa
dibayangkan kesiapannya tentu kurang maksimal. Dampaknya adalah tidak bisa
mengerjakan soal ujian dengan tepat. (2) Self efficacy; kurangnya
kepercayaan diri dan kemampuan untuk bertindak. Mahasiswa yang melakukan
perbuatan mencontek ini kebanyakan merasa tidak yakin atas jawaban yang
dimilikinya, maka dia meminta jawaban dari mahasiswa lain yang belum tentu juga
kebenaran dari jawaban tersebut. Kushartanti (2009) mengemukakan beberapa sebab
mencontek yaitu rasa malas yang dimiliki mahasiswa, kecemasan menghadapi ujian
yang berlebihan akan mendapatkan nilai yang tidak baik, motivasi belajar dan
motivasi berprestasi rendah, keterikatan pada kelompok, keinginan untuk
mendapatkan nilai tinggi, harga diri dan kendali diri yang lemah, perilaku impulsive
dan mencari perhatian dari dosen atau teman yang lainnya.
Dampak
Psikologis
Melihat
beberapa penyebab mencontek yang dikemukakan di atas, apabila hal ini dilakukan
secara terus menerus, berulang setiap ada kegiatan ujian, maka beberapa
dampak dari mencontek secara
psikologis,yaitu:
1. Kurang percaya diri; Mahasiswa yang mencontek adalah mereka
yang memiliki rasa percaya diri yang kurang. Sehingga mengandalkan contekan
baik dari buku, gadget maupun dari teman sekelasnya;
2. Rendahnya harga diri; disadari atau tidak sebenarnya
mahasiswa yang mencontek itu sedang mempelihatkan perbuatan yang merendahkan
harga dirinya sebagai seorang mahasiswa, yang konon memiliki intelektualitas
tinggi;
3. Kepribadian yang buruk; lingkungan dan kebiasaan mencontek
ini jika dilakukan berulang-ulang, maka bisa menjadi sebuah karakter. Karakter buruk
inilah yang akan menjadi penghambat lajunya
pembangunan di seluruh bidang, karena mahasiswa yang lulus dan bekerja,
berkumpul di masyarakatnya, maka diperlukan mereka yang memiliki karakter kuat
dan terpuji, memiliki integritas yang mumpuni.
4. Jika dibiarkan mencontek dilakukan di kelas, dan pengawas memberikan kelonggaran atau tidak
menegurnya, maka sama saja dengan memberikan kesempatan mahasiswa untuk bohong
atau tidak jujur. Dengan kata lain mencontek sama dengan memupuk kebohongan.
Solusi
Berdasarkan
hal-hal yang diuraikan di atas, maka perlu dicarikan solusi, sehingga bisa
dilakukan upaya pencegahan agar bisa sedini mungkin memutus mata rantai
perbuatan mencontek ini. tentu saja hal tersebut memerlukan kerjasama beberapa
pihak agar bisa mengembalikan mahasiswa yang sudah menggantungkan nilainya dari
perbuatan mencontek tanpa harus belajar yang rajin. Langkah yang harus
dilakukan adalah:
1. Membangun kebiasaan sejak dini dari rumah/ orang tua.
Menanamkan sikap yang positif kepada anak agar lebih percaya diri, memberikan
keteladanan yang baik tentang arti penting kejujuran di manapun berada. Orang
tua harus menyadari betul bahwa kejujuran memiliki arti yang lebih mulia
dibandingkan kebanggaan anaknya mendapatkan nilai yang baik, tetapi diperoleh
dengan cara yang tidak terpuji, seperti mencontek.
2. Tingkatkan kemampuan literasi mahasiswa, yang tidak hanya
terbatas pada literasi membaca, tetapi juga kemampuan menulis, berhitung dll.
Minat baca di kalangan mahasiswa bisa jadi menjadi pemicu tindakan Mencontek. Karena
minimnya wawasan dan pengetahuan yang diperolehnya yang hanya bergantung pada
bahan ajar yang diberikan dosen.
3. Tingkatkan kompetensi Dosen. Dosen memiliki peran yang
signifikan. Ketika mahasiswa banyak yang mencontek, maka sebaiknya mengevaluasi
diri apakah ada yang salah dalam metode pembelajarannya ketika di kelas,
ataukah jenis soalnya yang diberikan pada waktu ujian bukan kenis HOTS (high
order thinking skills). Sudah saatnya soal-soal yang diberikan dalam ujian
mahasiswa memberikan kesempatan mahasiswa mengemukakan pendapat kritis
konstruktif, membuka wawasan mahasiswa bukan sekedar menekankan aspek
kognitifnya saja.
4 Ketika pelaksanaan ujian berlangsung, maka upaya pencegahan
perbuatan mencontek harus dilakukan, misalnya mahasiswa dilarang membawa HP
atau alat komunikasi lain, tas tidak diperkenankan dibawa atau diletakkan
ditempat yang sudah disediakan, dan pengawas melakukan tugasnya secara professional
sebagaimana tugas dan tanggung jawab yang dibebankan.
5. Sarana dan prasarana yang nyaman juga menjadi salah satu
faktor mahasiswa bisa mengerjakan ujian dengan baik. Misalnya: kenyamanan ruang
ujian, jarak tempat duduk, kursi atau meja yang layak pakai, dll. Dalam konteks
ini, maka pihak kampus yang harus menyediakannya.
6. Tindakan tegas bagi yang melakukan perbuatan mencontek.
7. Kampanyekan di
kalangan mahasiswa agar tidak mencontek. Gerakan tidak mencontek saat ujian
bisa menjadi upaya preventif di tengah masih maraknya kecenderungan mencontek
di kalangan mahasiswa. BEM, HMJ atau organiasi intra kampus lainnya seyogyanya
menjadi pioneer untuk mengkampanyakan hal ini.
Harus
disadari bahwa keberhasilan berbagai upaya mendegradasi perbuatan mencontek di
perguruan tinggi memerlukan keseriusan dari civitas akademika. Yang lebih utama
adalah munculnya kesadaran dalam diri mahasiswa untuk tidak melakukan perbuatan
yang tidak terpuji tersebut. Selanjutnya kesadaran tersebut disambut dengan
memberikan apresiasi oleh dosen dengan memberikan penilaian yang mengedepankan
aspek karakternya, tidak semata-mata dari hasil ujian, apalagi jika hasil
ujiannya ditengarai dari hasil mencontek. Semoga mahasiswa di seluruh Indonesia,
bisa bersikap dan berawawasan lebih terbuka serta memiliki integritas.
* Penulis adalah pemerhati
di bidang pendidikan
0 comments:
Posting Komentar