inspirasipendidikan.com- Sahabat Inspirasi Pendidikan, Sastra dengan berbagai jenisnya telah terbukti memiliki manfaat besar dalam pengembangan peradaban di dunia, termasuk di Indonesia. Analisis sebuah karya sastra seolah menguras air laut yang tak pernah surut. begitulah hikmah dan maksud yang terselubung dalam sebuah karya, dapat menjadi magnet tersendiri bagi para pembacanya untuk mencari tahu manfaat kedalaman makna dari sebuah karya sastra.
Pada kesempatan kali ini Sahabat Inspirasi akan membaca sebuah Puisi karya Afrilia Eka Prasetyawati yang berjudul "Hanya Angan" . Hebatnya lagi penulisnya sekaligus akan membedah dari maksud puisi yang ditulisnya ini.
Selamat membaca semoga memberikan dapat menginspirasi sahabat semua.
Karya: Afrilia Eka Prasetyawati*
Yang tersandera di awan sunyi
Ringkih bersulam hayal tak bertepi
Tertatih menapak jalan diri
Duhai Kembang setaman
Harumnya melintas zaman
Mekarlah di ujung pengharapan
Agar terkecap pahitnya kenyataan
Yang melumpuhkan asa untuk berjalan
Pagi siang hingga malam menjelang
Menyusuri jejak tak bertuan
Berpematang angan dan bayang
Duhai kemanakah layar terkembang
Jika mata angin tak lagi menunjuk arah
Senjaku diantara harapan dan kealpaan
Analisis makna Puisi: "HANYA ANGAN"
Puisi “Hanya Angan” adalah puisi yang menggambarkan kondisi antara angan-angan dan harapan yang dimiliki oleh seseorang (Aku). Penulis memaparkan angan sekaligus harapan dalam bingkai puisi. Terlepas dari makna yang tersirat di dalamnya merupakan pengalaman pribadi atau sekedar menggambarkan kondisi yang banyak dialami banyak orang, tetapi puisi Hanya Angan ini cukup menggambarkan pandangan pribadi dari penulis tentang angan dan harapannya.
Dalam konteks puisi ini, Angan-angan digambarkan melalui sebuah mimpi, mimpi yang juga sulit untuk diwujudkan karena diluar kendali dari penulisnya (Aku). Angan-angan atau mimpi yang tinggi ini seolah “tersandera di awan sunyi”, sendiri merasa sulit untuk mencapainya. Sementara daya dan energi untuk mewujudkan mimpi tersebut tidak ada atau “ringkih bersulam hayal tak bertepi”. Dalam keputus asaan dan ketidak berdayaan, ada segaris kepasrahan dan benih harapan yang disimbolkan dengan “kembang setaman”. Kembang setaman ini adalah berbagai jenis bunga yang biasanya dalam adat jawa dipakai sesajen, seperti Bunga Kantil, Melati, Mawar, dll.Namun sesungguhnya memiliki nilai filosofis yang mendalam, yaitu simbol introspeksi diri simbol ketulusan hati, dan simbol kepasrahan pada Tuhan. Karena itu penulis (Aku) menggambarkan kembang ini harumnya melintasi zaman sebagaimana sifat keabadian yang dimilik Tuhan. “Mekarlah di ujung pengharapan” adalah ungkapan harapan yang bersandarkan kepasrahan sebagaimana tertuang dalam baris sebelumnya. “Agar terkecap pahitnya kenyataan.” Dalam kalimat di baris terakhir ini, penulis menggunakan pahitnya kenyataan, karena tidak semua harapan berbuah manis, tercapai sesuai yang diinginkan. Tetapi sepahit apapun kenyataan justru itulah yang mendewasakan dan berbuah manis pada akhirnya.
Paragraf kedua dalam puisi ini, lebih menekankan pada upaya
mencapai harapan yang diupayakan oleh penulis (Aku). Harapan yang begitu sulit
untuk diwujudkan. Beberapa orang dalam mewujudkan harapannya begitu mudah
karena tidak merintis terlebih dahulu tetapi sudah dirintis oleh pendahulunya,
bisa orang tua/ kerabat terdahulu. Tetapi bagi penulis (Aku), kesulitan
mewujudkan harapannya karena dia harus mencari jalan sendiri, merintis
jalannya dan ini digambarkan dalam
kalimat “Menyusuri jejak tak bertuan, Berpematang angan dan bayang”.
Dalam perjalanan panjang mewujudkan harapan tersebut, terbersit sebuah keciutan hati. Apakah benar arah yang diambil? Jika perjalanan ini layaknya berlayar, keraguan arah layar terkembang menjadi pertanyaan batin dari penulis. Bila arah yang dilalui tidak tepat maka dipastikan perjalanan akhir dari pencapaian harapan ini tidak berakhir dengan kesuksesan tetapi ketidakpastian dan penyesalan mendalam. Hal ini diungkapkan dengan kalimat “ Duhai kemanakah layar terkembang. Jika mata angin tak lagi menunjuk arah. Senjaku diantara harapan dan kealpaan.
Afrilia Eka P (Penulis) |
* Penulis adalah seorang guru Bahasa Indonesia dan mahasiswa S2 PBSI UNIPMA 2022
0 comments:
Posting Komentar