Terlepas dari kemeriahan tersebut, ada
yang menarik untuk dicermati dan direnungkan jika dikaitkan dengan pendidikan
karakter bagi anak-anak bangsa. Presiden Joko Widodo dalam sambutannya pada
sidang tahunan MPR RI dan sidang bersama DPR RI dan DPD RI dalam rangka HUT RI
ke 78 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia menyampaikan keprihatinannya
terhadap lunturnya budaya santun sebagian kecil masyarakat Indonesia. Presiden
secara jelas menyatakan, “Dengan adanya media sosial seperti
sekarang ini, apapun bisa sampai ke Presiden, mulai dari
masalah rakyat di pinggiran, sampai kemarahan,
ejekan, bahkan makian dan fitnah bisa dengan mudah disampaikan.
Saya tahu, ada yang mengatakan saya ini bodoh,
plonga-plongo, tidak tahu apa-apa, Firaun, tolol. Saya
tidak masalah. Sebagai pribadi, saya menerima
saja. Tapi, yang membuat saya sedih, budaya santun
dan budi pekerti luhur bangsa ini tampak mulai hilang.
Kebebasan dan demokrasi digunakan untuk melampiaskan
kedengkian dan fitnah. Polusi di wilayah budaya ini
sangat melukai keluhuran budi pekerti bangsa Indonesia.”
Sebagai warga negara yang memiliki
kepedulian terhadap kondisi bangsa, mari kita analisis mendalam apa yang
disampaikan oleh presiden Joko Widodo. Dengan tetap menghargai pendapat
masing-masing pihak yang barangkali bisa pro dan kontra. Kenyataan di
masyarakat saat ini membuktikan bahwa di media sosial orang bisa meakukan bullying, memaki, memfitnah, atau mengkritik dengan
tidak memberikan solusi, menjelek-jelekkan yang di luar batas kewajaran.
Mirisnya lagi jika hal-hal seperti dipertontonkan oleh orang-orang yang
notabene berpendidikan tinggi. Sebagai bagian dari bangsa ini, tentu kita dari
dulu bangga dengan predikat masyarakat yang memiliki budaya santun, tenggang
rasa, saling menghargai pendapat. Bahkan saat di bangku sekolah kita diajarkan
oleh guru-guru kita bagaimana berdiskusi yang baik, bagaimana etikanya untuk
menyela pendapat, bagaimana adab berbicara terhadap orang yang lebih tua, dan
bagaimana jika memberikan pendapat yang berbeda dengan tetap menghargai dan
menghormati lawan bicara.
Adab memang harus lebih dikedepankan
daripada Ilmu, begitulah seharusnya budi pekerti dijunjung tinggi apalagi
ditopang dengan kedalaman ilmu pengetahuan. Mari sejenak secara tulus kita
lihat tujuan pendidikan karakter. Pendidikan karakter bertujuan
mengembangkan nilai-nilai yang membentuk karakter bangsa yaitu Pancasila,
meliputi: (1) mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia berhati
baik, berpikiran baik, dan berprilaku baik; (2) membangun bangsa yang
berkarakter Pancasila; (3) mengembangkan potensi warganegara agar memiliki
sikap percaya diri, bangga pada bangsa dan negaranya serta mencintai umat
manusia. Nampaknya tujuan itu akan “jauh pangang dari api” jikalau mereka yang
berpendidikan itu tidak kembali mempraktikkan dan berkaca pada tujuan
pendidikan karakter tersebut.
Jika fenomena polusi
budaya ini dianggap sebagai kegagalan pendidikan karakter, lantas siapa yang
harus bertanggung jawab? Tidak bisa serta merta hal tersebut dibebankan kepada
sekolah, guru atau tenaga kependidikannya. Karena sejatinya sekolah sudah
berupaya semaksimal mungkin bersama orang tua untuk menjadi garda terdepan
mengawal dan membangun karakter peserta didiknya. Nilai-nilai pendidikan
karakter yang bersumber pada agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu: (1) Religius,
(2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja keras, (6) Kreatif, (7)
Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai
Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar
Membaca, (16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli Sosial,
(18) Tanggung Jawab, sudah berusaha
tanpa henti diimplementasikan di sekolah melalui berbagai cara dan keteladanan.
Tetapi derasnya arus informasi dan tekologi seolah mendistorsi berbagai upaya
tersebut.
Patutlah disadari sebagai
umat beragama, tidak ada satupun agama yang mengajarkan kedengkian, hujatan, bersikap
sombong, menjelek-jelekkan yang lain, membodoh-bodohkan orang lain apalagi
karena menganggap diri lebih pandai, dan hal-hal negative lainnya. Bagi Umat
Islam tentu sudah sangat paham bahwa Rasul yang diutus untuk mengajarkan
risalah kebenaran tidak pernah menggunakan hal-hal negatif tersebut untuk
mengajak ke jalan kebenaran, tetapi dengan mengedepakan uswatun khasanah. Maka
jika hendak memberikan kritik tulus yang bertujuan agar yang dikritik (siapapun
orangnya) berubah menjadi baik, seyogyanya dilakukan secara santun, ibarat ingin menangkap ikan di kolam,
dapat ikannya tetapi tidak keruh air kolamnya. Tujuannya tercapai, namun tanpa
menjatuhkan harga diri orang lain.
0 comments:
Posting Komentar