Oleh: Dr. Hariyanto, M.Pd*
Berita
tentang kekerasan dan perundungan (bullying) di sekolah seoalah tak
pernah putus kita saksikan melalui media elektronik, media cetak dan dibumbuhi
begitu hebohnya di media sosial. Terlepas dari kebenaran berita tersebut yang
sebagian di media sosial dilebih-lebihkan, namun kenyataannya bahwa perundungan
dan kekerasan di sekolah benar-benar terjadi. Pelakunya bisa antar siswa, guru
kepada siswanya, bahkan antara orang tua
dengan anaknya sendiri. Baru-baru ini kita mendengar berita sebuah sekolah
di Jawa Timur seorang kakak kelas yang
membully adik kelasnya hingga menyebabkan penglihatannya rusak/
dimungkinkan buta permanen. Begitu juga kasus bullying yang terjadi di
salah satu SMP di Cilacap Jawa Tengah, yang korbannya kemudian di rawat di
Rumah Sakit. Kasus lain yang kalah heboh adalah orang tua yang mengetapel guru
karena anaknya ditegur oleh gurunya sebab merokok di sekolah. Akhirnya guru
tersebut mengalami buta permanen. Dan banyak lagi kasus perundungan serta
kekerasan lainnya di sekolah.
Berdasarkan
data dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) diketahui bahwa data
perundungan hingga Juli 2023 terdapat 16 kasus. 25 % perundungan terjadi pada
anak SD, 75% terjadi di SMP, 18,75 % terjadi di Sekolah menengah dan di Pondok
pesantren sebesar 6.25 % (www.cnn.indonesia.com). Data hasil riset yang dilakukan juga
menunjukkan data korban perundungan, yaitu mulai bulan Januari sampai dengan
Agustus sebesar 43 orang. Rinciannya
adalah 41 (95,4%) pelakunya adalah peserta didik kepada peserta didik lainnya,
4,6 % dilakukan oleh guru, 5,7 %
dilakukan oleh siswa, 1, 7 % dilakukan oleh orang tua kepada guru Sekolah. 1.1
% dilakukan oleh kepala sekolah. (www.republika.co.id).
Data tersebut diperkuat dengan data dari KPAI bahwa sepanjang bulan Januari
sampai Juni 2023 pihaknya menerima pengaduan sebanyak 97 pengaduan yang
didominasi korban perundungan di sekolah.
Sungguh
memprihatinkan jika mengamati data di atas. Dalam pandangan penulis data
tersebut hanya sebagian kecil yang terungkap, sedangkan fenomena sebenarnya
adalah seperti fenomena puncak gunung es yang nampaknya terlihat kecil tetapi
dasarnya yang tidak terlihat sesungguhnya begitu besar. Bagi seorang pendidik
yang sudah lama berkecimpung di dunia pendidikan, pastilah pernah mengalami hal
yang sedemikian ini, tetapi kebanyakan sekolah berupaya secara maksimal
menyelesaikannya secara kekeluargaan sehingga tidak sampai mencuat keluar
lembaga pendidikannya.
Agar tidak
terjadi kesalahpahaman dan sekedar ikut-ikutan mengatakan bahwa suatu perbuatan
itu kategori bullying/perundungan, sebaiknya kita pahami dulu apa yang
dimaksud dengan perundungan tersebut, serta bagaimana bentuk dan perbuatan yang
dikategorikan perundungan.
Perundungan
adalah perilaku tidak
menyenangkan yang dilakukan
secara sengaja dan
berulang sehingga seseorang
menjadi trauma dan tidak berdaya. Perundungan ini bisa berupa perundungan fisik, seperti
mendorong, meninju, mengancam, dan menjambak. Perundungan juga bisa berupa
perundungan verbal, seperti memberikan julukan yang tidak baik, menghina, menyindir, mengancam dan meyebarkan gossip.
Perundungan sosial juga bisa terjadi, seperti mengucilkan, memalak, mengabaikan
dan memfitnah. Bahkan untuk saat ini perundungan juga bisa saja terjadi di
dunia maya, seperti memperolok di media sosial, mengubah foto menjadi tidak
semestinya, mengirimkan pesan terror, dll.
Perundungan
tersebut merupakan salah satu dari bentuk tindak kekerasan di sekolah.
Sebagaimana tercantum dalam Permendikbud ristekdikti no 46 tahun 2023 pada
pasal 5, bahwa kekerasan di satuan pendidikan mencakup Kekerasan yang dilakukan oleh
Peserta Didik, Pendidik,
Tenaga
Kependidikan, anggota Komite Sekolah, dan warga Satuan Pendidikan Lainnya atau
terhadap Peserta
Didik, Pendidik, Tenaga Kependidikan, anggota Komite Sekolah, dan Warga Satuan Pendidikan Lainnya di dalam
lokasi satuan pendidikan dan bisa juga di luar lokasi satuan pendidikan.
Adapun
bentuk kekerasan yang dapat terjadi di satuan pendidikan bisa berbentuk
kekerasan fisik, psikhis, perundungan, kekerasan seksual, diskriminasi dan
intoleransi, kebijakan yang mengandung kekerasan, dan bentuk kekerasan lainnya.
Melihat
banyaknya jenis kekerasan dan perundungan tersebut, maka sangatlah mungkin hal
itu terjadi di sekolah, di rumah, dan di tempat lainnya. Mengapa mayoritas
terjadi di sekolah? Tentu saja karena anak-anak selalu berinteraksi lebih lama
di sekolah dibandingkan di rumah. Apalagi sekolah yang full
days school. Perundungan yang terjadi di sekolah,
misalnya: Guru menjuluki anak A dengan “si Nakal”, Siswa satu memalak uang
jajan siswa yang lainnya, dan bentuk lainnya yang berujung pada kekerasan baik
fisik, verbal, maupun sosial di sekolah.
Hal yang
harus dipahami adalah mengapa mereka melakukan perundungan di sekolah? Beberapa
ahli berpendapat bahwa bisa jadi mereka melakukan perundungan karena meniru
perilaku orang dewasa di sekelilingnya atau melalui media sosial, mencari
perhatian teman sebaya atau dari guru dan orang tua, atau bahkan karena pernah
mengalami perundungan sehingga melakukan pelampiasan dengan melakukan
perundungan pada siswa lain yang dianggap lebih lemah, merasa cemburu dengan
yang dimiliki oleh orang lain, berusaha menunjukkan kekuatan atau kekuasaan
yang dimiliki, dan kurangnya rasa empati dalam diri pelaku.
Dampak
dari aksi perundungan ini tidak boleh dianggap sederhana, karena itu guru,
orang tua, dan sekolah harus semaksimal mungkin mengeliminir tindakan bullying ini.
Diantara akibat dari perundungan ini adalah gangguan fisik, bisa sulit tidur,
sakit berkelanjutan, lemah dan lesu, luka fisik, hilang selera makan. Dampaknya
bisa ditebak, bisa berlanjut pada gangguan emosional, seperti korban akan mudah
marah dan sedih, menurun rasa percaya diri, prestasi menurun. Malas sekolah,
mudah tersinggung dan bisa jadi jika terpaksa dia akan menyerang balik
pelakunya.
Melihat
dampak yang besar bagi perkembangan fisik dan rohani, juga prestasi anak, maka
orang tua juga harus bijak menyikapinya. Apa yang harus dilakukan? 1) Orang tua
harusnya mengenali dan mamu mendeteksi secara dini ciri-ciri anak yang terkena
perundungan, 2) Berikan pemahaman terhadap anak tentang akibat perundungan dan
bagaimana anak menyikapinya, sehingga anak tidak menjadi pelaku bahkan menjadi
korban perundungan. 3) Jalin komunikasi dan berikan kasih sayang sepenuh hati
kepada anak. Hal ini memungkinkan anak akan menceritakan secara terbuka apa
yang dialaminya di sekolah. 4) Pembinaan
karakter dan pendidikan agama kepada anak adalah modal utama agar terhindar
dari perbuatan yang tidak terpuji ini.
Hal-hal
tersebut harus juga dilakukan di sekolah, sehingga kerjasama orang tua di rumah
dengan sekolah akan bersinergi. Pendidikan karakter harus dimaksimalkan,
pemberian contoh teladan dari guru dan tenaga kependidikan akan memberikan
kenyamanan dan keamanan bagi anak-anak yang sekolah. Sekolah ramah anak bukan
hanya slogan saja tetapi harus benar-benar diwujudkan. Selain itu peran guru
bimbingan konseling dan wali kelas harus dioptimalkan sehingga bisa mendeteksi sekaligus
mencegah secara dini jika ada peserta didiknya yang melakukan perundungan.
Sekolah
sudah saatnya benar-benar mengimplementasikan Permendikbudristek No 46 tahun
2023 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan dimana didalamnya
juga diatur pembentukan TPPK (Tim Pencegahan dan
Penanganan Kekerasan), yaitu tim yang dibentuk satuan
pendidikan untuk melaksanakan upaya Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di
satuan pendidikan. Dengan acuan dasar hukum Permendikbudristek No 46
tahun 2023 ini, Sekolah memiliki pegangan dan dasar untuk melakukan pencegahan
dan penanganan terhadap berbagai macam bentuk perundungan dan kekerasan di
satuan pendidikan. Sehingga di kemudian hari tidak lagi terjadi kasus-kasus
kekerasan sebagaimana yang saat ini terjadi di satuan pendidikan.
----------
*Penulis adalah pemerhati bidang pendidikan