f ' STOP PERUNDUNGAN DAN KEKERASAN DI SEKOLAH ~ Inspirasi Pendidikan

Selasa, 03 Oktober 2023

STOP PERUNDUNGAN DAN KEKERASAN DI SEKOLAH

Oleh: Dr. Hariyanto, M.Pd*    

Berita tentang kekerasan dan perundungan (bullying) di sekolah seoalah tak pernah putus kita saksikan melalui media elektronik, media cetak dan dibumbuhi begitu hebohnya di media sosial. Terlepas dari kebenaran berita tersebut yang sebagian di media sosial dilebih-lebihkan, namun kenyataannya bahwa perundungan dan kekerasan di sekolah benar-benar terjadi. Pelakunya bisa antar siswa, guru kepada siswanya, bahkan  antara orang tua dengan anaknya sendiri. Baru-baru ini kita mendengar berita sebuah sekolah di  Jawa Timur seorang kakak kelas yang membully adik kelasnya hingga menyebabkan penglihatannya rusak/ dimungkinkan buta permanen. Begitu juga kasus bullying yang terjadi di salah satu SMP di Cilacap Jawa Tengah, yang korbannya kemudian di rawat di Rumah Sakit. Kasus lain yang kalah heboh adalah orang tua yang mengetapel guru karena anaknya ditegur oleh gurunya sebab merokok di sekolah. Akhirnya guru tersebut mengalami buta permanen. Dan banyak lagi kasus perundungan serta kekerasan lainnya di sekolah.

Berdasarkan data dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) diketahui bahwa data perundungan hingga Juli 2023 terdapat 16 kasus. 25 % perundungan terjadi pada anak SD, 75% terjadi di SMP, 18,75 % terjadi di Sekolah menengah dan di Pondok pesantren  sebesar 6.25 % (www.cnn.indonesia.com).  Data hasil riset yang dilakukan juga menunjukkan data korban perundungan, yaitu mulai bulan Januari sampai dengan Agustus  sebesar 43 orang. Rinciannya adalah 41 (95,4%) pelakunya adalah peserta didik kepada peserta didik lainnya, 4,6 % dilakukan oleh guru,  5,7 % dilakukan oleh siswa, 1, 7 % dilakukan oleh orang tua kepada guru Sekolah. 1.1 % dilakukan oleh kepala sekolah. (www.republika.co.id). Data tersebut diperkuat dengan data dari KPAI bahwa sepanjang bulan Januari sampai Juni 2023 pihaknya menerima pengaduan sebanyak 97 pengaduan yang didominasi korban perundungan di sekolah.  

Sungguh memprihatinkan jika mengamati data di atas. Dalam pandangan penulis data tersebut hanya sebagian kecil yang terungkap, sedangkan fenomena sebenarnya adalah seperti fenomena puncak gunung es yang nampaknya terlihat kecil tetapi dasarnya yang tidak terlihat sesungguhnya begitu besar. Bagi seorang pendidik yang sudah lama berkecimpung di dunia pendidikan, pastilah pernah mengalami hal yang sedemikian ini, tetapi kebanyakan sekolah berupaya secara maksimal menyelesaikannya secara kekeluargaan sehingga tidak sampai mencuat keluar lembaga pendidikannya.

Agar tidak terjadi kesalahpahaman dan sekedar ikut-ikutan mengatakan bahwa suatu perbuatan itu kategori bullying/perundungan, sebaiknya kita pahami dulu apa yang dimaksud dengan perundungan tersebut, serta bagaimana bentuk dan perbuatan yang dikategorikan perundungan.

Perundungan adalah perilaku tidak menyenangkan yang dilakukan secara sengaja dan berulang sehingga seseorang menjadi trauma dan tidak berdaya. Perundungan ini bisa berupa perundungan fisik, seperti mendorong, meninju, mengancam, dan menjambak. Perundungan juga bisa berupa perundungan verbal, seperti memberikan julukan yang tidak baik, menghina,  menyindir, mengancam dan meyebarkan gossip. Perundungan sosial juga bisa terjadi, seperti mengucilkan, memalak, mengabaikan dan memfitnah. Bahkan untuk saat ini perundungan juga bisa saja terjadi di dunia maya, seperti memperolok di media sosial, mengubah foto menjadi tidak semestinya, mengirimkan pesan terror, dll.

Perundungan tersebut merupakan salah satu dari bentuk tindak kekerasan di sekolah. Sebagaimana tercantum dalam Permendikbud ristekdikti no 46 tahun 2023 pada pasal 5, bahwa kekerasan di satuan pendidikan mencakup  Kekerasan yang dilakukan oleh Peserta Didik, Pendidik, Tenaga Kependidikan, anggota Komite Sekolah, dan warga Satuan Pendidikan Lainnya atau terhadap Peserta Didik, Pendidik, Tenaga Kependidikan, anggota Komite Sekolah, dan Warga Satuan Pendidikan Lainnya di dalam lokasi satuan pendidikan dan bisa juga di luar lokasi satuan pendidikan.

Adapun bentuk kekerasan yang dapat terjadi di satuan pendidikan bisa berbentuk kekerasan fisik, psikhis, perundungan, kekerasan seksual, diskriminasi dan intoleransi, kebijakan yang mengandung kekerasan, dan bentuk kekerasan lainnya.

Melihat banyaknya jenis kekerasan dan perundungan tersebut, maka sangatlah mungkin hal itu terjadi di sekolah, di rumah, dan di tempat lainnya. Mengapa mayoritas terjadi di sekolah? Tentu saja karena anak-anak selalu berinteraksi lebih lama di sekolah dibandingkan di rumah. Apalagi sekolah yang full days school. Perundungan yang terjadi di sekolah, misalnya: Guru menjuluki anak A dengan “si Nakal”, Siswa satu memalak uang jajan siswa yang lainnya, dan bentuk lainnya yang berujung pada kekerasan baik fisik, verbal, maupun sosial di sekolah.

Hal yang harus dipahami adalah mengapa mereka melakukan perundungan di sekolah? Beberapa ahli berpendapat bahwa bisa jadi mereka melakukan perundungan karena meniru perilaku orang dewasa di sekelilingnya atau melalui media sosial, mencari perhatian teman sebaya atau dari guru dan orang tua, atau bahkan karena pernah mengalami perundungan sehingga melakukan pelampiasan dengan melakukan perundungan pada siswa lain yang dianggap lebih lemah, merasa cemburu dengan yang dimiliki oleh orang lain, berusaha menunjukkan kekuatan atau kekuasaan yang dimiliki, dan kurangnya rasa empati dalam diri pelaku.

Dampak dari aksi perundungan ini tidak boleh dianggap sederhana, karena itu guru, orang tua, dan sekolah harus semaksimal mungkin mengeliminir tindakan bullying ini. Diantara akibat dari perundungan ini adalah gangguan fisik, bisa sulit tidur, sakit berkelanjutan, lemah dan lesu, luka fisik, hilang selera makan. Dampaknya bisa ditebak, bisa berlanjut pada gangguan emosional, seperti korban akan mudah marah dan sedih, menurun rasa percaya diri, prestasi menurun. Malas sekolah, mudah tersinggung dan bisa jadi jika terpaksa dia akan menyerang balik pelakunya.

Melihat dampak yang besar bagi perkembangan fisik dan rohani, juga prestasi anak, maka orang tua juga harus bijak menyikapinya. Apa yang harus dilakukan? 1) Orang tua harusnya mengenali dan mamu mendeteksi secara dini ciri-ciri anak yang terkena perundungan, 2) Berikan pemahaman terhadap anak tentang akibat perundungan dan bagaimana anak menyikapinya, sehingga anak tidak menjadi pelaku bahkan menjadi korban perundungan. 3) Jalin komunikasi dan berikan kasih sayang sepenuh hati kepada anak. Hal ini memungkinkan anak akan menceritakan secara terbuka apa yang dialaminya di sekolah.  4) Pembinaan karakter dan pendidikan agama kepada anak adalah modal utama agar terhindar dari perbuatan yang tidak terpuji ini.

Hal-hal tersebut harus juga dilakukan di sekolah, sehingga kerjasama orang tua di rumah dengan sekolah akan bersinergi. Pendidikan karakter harus dimaksimalkan, pemberian contoh teladan dari guru dan tenaga kependidikan akan memberikan kenyamanan dan keamanan bagi anak-anak yang sekolah. Sekolah ramah anak bukan hanya slogan saja tetapi harus benar-benar diwujudkan. Selain itu peran guru bimbingan konseling dan wali kelas harus dioptimalkan sehingga bisa mendeteksi sekaligus mencegah secara dini jika ada peserta didiknya yang melakukan perundungan.

Sekolah sudah saatnya benar-benar mengimplementasikan Permendikbudristek No 46 tahun 2023 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan dimana didalamnya juga diatur pembentukan TPPK (Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan), yaitu tim yang dibentuk satuan pendidikan untuk melaksanakan upaya Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di satuan pendidikan. Dengan acuan dasar hukum Permendikbudristek No 46 tahun 2023 ini, Sekolah memiliki pegangan dan dasar untuk melakukan pencegahan dan penanganan terhadap berbagai macam bentuk perundungan dan kekerasan di satuan pendidikan. Sehingga di kemudian hari tidak lagi terjadi kasus-kasus kekerasan sebagaimana yang saat ini terjadi di satuan pendidikan.

---------- 
*Penulis adalah pemerhati bidang pendidikan


0 comments:

Posting Komentar