Karya sastra
adalah sebuah karya yang mengungkapkan perasaan seseorang yang terkemas dalam
sebuah tulisan ataupun sebuah cerita yang bisa mempengaruhi pembacanya (Faidah,
2018). Pendapat yang senada diungkapkan oleh Arifin (2019) bahwa karya sastra
adalah karya kreatif dari penulis yang merupakan hasil imajinasi penulisnya
yang menghasilkan ide-ide baru/ gagasan yang selama ini sudah ada tetapi
diperbaharui lagi. Berdasarkan dua pendapat di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa karya sastra adalah capaian hasil belajar dari seseorang/penulis yang menghasilkan
hasil kreativitas tertulis dari penulis yang berisi pengalaman hidup, kritik,
saran, bahkan bernilai pendidikan, dan nilai-nilai lainnya.
Apa hubungannya dengan pendidikan karakter? Kusnoto
(2017) mengungkapkan bahwa pendidikan
karakter tidaklah sesuatu yang baru, tidak juga suatu mata pelajaran kelas,
juga bukan suatu kurikulum, tetapi merupakan suatu penguatan dari proses
pembelajaran dan sebagai roh dalam suatu pendidikan. Pendidikan karakter
menjadi fokus dalam dunia pendidikan di Indonesia, karena kemerosotan moral
adalah masalah penting yang sangat mengkhawatirkan (Anggreani, Purnomo,
& Hidayat, 2021). Sekarang ini, pendidikan karakter merupakan suatu
tantangan besar yang berhubungan dengan kemerosotan moral di dalam masyarakat
maupun di lingkungan pemerintahan (Suraji & Sastrodiharjo,
2021).
Pendapat tersebut tidaklah berlebihan jika kita mengamati banyaknya kasus
perundungan yang terjadi di lembaga pendidikan, banyaknya pelajar yang terlibat
dalam perkelahian antar pelajar, tawuran pelajar, kasus penyalahgunaan narkoba
dan zat terlarang lainnya. Media seolah setiap hari memberitakan hal tersebut. Berdasarkan
siaran Pers dari KPAI sebagaimana dipublikasikan di laman resmi KPAI, diketahui
bahwa data sampai Agustus
2023 terdapat 87 kasus perundungan, anak korban kekerasan fisik dan psikis
sebanyak 236 kasus, korban kekerasan seksual sebanyak 487 kasus.
Presiden Indonesia mengeluarkan kebijakan melalui Perpres No 87 tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter agar hal-hal yang terkait karakter dan moral peserta didik tidak semakin meburuk.Selanjutnya dilakukan kajian mendalam dan ditemukan bahwa terdapat delapan belas nilai pendidikan karakter yang bersumber dari Agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu: Religius, Jujur, Toleransi,
Disiplin, Kerja keras, Kreatif, Mandiri,
Demokratis, Rasa Ingin Tahu, Semangat Kebangsaan, Cinta Tanah Air, Menghargai
Prestasi, Bersahabat/Komunikatif, Cinta Damai, Gemar Membaca, Peduli Lingkungan, Peduli Sosial, Tanggung Jawab. Kebijakan ini haruslah disambut oleh seluruh lembaga pendidikan dengan berbagai metode agar penguatan pendidikan karakter bisa diimplementasikan dan berhasil sesuai tujuannya. salah satu terobosan yang dapat dilakukan adalah melalui pembelajaran sastra pada mata pelajaran Bahasa Indonesia.
Pembelajaran karya sastra sebagai bagian dari pelajaran Bahasa
Indonesia di sekolah, bisa menjadi salah satu upaya untuk mengangkat kembali
marwah pendidikan Indonesia agar menghasilkan lulusan yang cerdas tetapi tetap
menunjung tinggi nilai-nilai pendidikan karakter. Hal ini tidaklah berlebihan
karena beberapa riset menunjukkan bahwa pembelajaran sastra memiliki manfaat
terhadap pengembangan sikap positif dari peserta didik. Kanzunnudin dalam
Harmanti (2020) menyatakan bahawa penyajian
karya sastra yang komunikatif dapat memberikan manfaat bagi pengarang dan
pembacanya, membentuk kepribadian, menambah imajinasi, meningkatkan ekspresi, dan
konstruktif. Sastra tidak hanya
menyajikan sesuatu yang menarik dan memberikan suatu hiburan, sastra juga mampu
menumbuhkan rasa keindahan. Disamping itu, sastra juga mampu memberikan
pencerahan mental dan intelektual. Materi karya sastra yang terdapat dalam
bahan ajar, harus dapat digunakan sebagai alat dalam membangun karakter. Maksudnya,
jika hanya sekedar membaca sebuah karya sastra saja itu tidakakan mampu
memperbaiki karakter, tetapi jika diimbangi dengan kegiatan apresiasi seperti
kreasi maka hal itu akan membangun karakter seseorang (Septiningsih, 2015).
Penjelasan tersebut
secara tidak langsung menyatakan peran karya sastra sebagai upaya penguatan
pendidikan karakter. Hal ini tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan,
semua memerlukan proses dan waktu yang cukup lama untuk bisa melhat keberhasilan
dari program penguatan pendidikan karakter di lembaga pendidikan. Kunci
utamanya adalah kepala sekolah guru dan tenaga kependidikan di sekolah harus
bisa memberikan contoh teladan yang baik. Misalnya: tentang kedisiplinan,
religiusitas, peduli sosial, dll. Guru yang menggunakan bahan ajar salah satu
jenis karya sastra misalnya novel, cerpen dan jenis lainnya harus lebih variatif dalam mengimplementasikan metode pembelajaran, sehingga peserta didik
tidak merasa jenuh dalam belajar dan mendapatkan asupan nilai-nilai pendidikan
karakter. Jika hal ini mampu diterapkan pada semua jenjang pendidikan di
Indonesia, maka bisa dipastikan tujuan pendidikan karakter akan dapat tercapai,
dan visi, misi serta tujuan pendidikan
nasional sebagaimana tertuang dalam Pasal UU No 20 tahun 2003 akan segera bisa tercapai
yaitu bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.