f ' Juni 2024 ~ Inspirasi Pendidikan

Inspirasi Pendidikan untuk Indonesia

Pendidikan bukan cuma pergi ke sekolah dan mendapatkan gelar. Tapi, juga soal memperluas pengetahuan dan menyerap ilmu kehidupan.

Bersama Bergerak dan Menggerakkan pendidikan

Kurang cerdas bisa diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur itu sulit diperbaiki (Bung Hatta)

Berbagi informasi dan Inspirasi

Tinggikan dirimu, tapi tetapkan rendahkan hatimu. Karena rendah diri hanya dimiliki orang yang tidak percaya diri.

Mari berbagi informasi dan Inspirasi

Hanya orang yang tepat yang bisa menilai seberapa tepat kamu berada di suatu tempat.

Mari Berbagi informasi dan menginspirasi untuk negeri

Puncak tertinggi dari segala usaha yang dilakukan adalah kepasrahan.

Jumat, 21 Juni 2024

OPINI: ANALISIS PENYEBAB LEMBAGA PENDIDIKAN GULUNG TIKAR

 Oleh: Afrilia Eka Prasetyawati, M.Pd*

“Jika ingin mengetahui seberapa visioner seorang pimpinan lembaga pendidikan, lihatlah perencanaan pendidikannya. Jika ingin mengetahui kemampuan kepemimpinannya, maka lihatlah cara mengkoordinir sumber daya yang dimiliki lembaga pendidikan”- (Hary)


Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) masih belum selesai. Beberapa sekolah baik negeri maupun swasta masih berjuang untuk mendapatkan peserta didik dengan berbagai cara, termasuk memberikan janji manis bagi calon peserta didik dan orang tua. Kemasan gula-gula kualitas tersebut disajikan dengan berbagai cara. Beberapa sekolah sudah berada dalam tahapan aman karena Pagu sudah terpenuhi, meskipun demikian masih ada juga sekolah yang masih “harap-harap cemas” karena peminatnya masih sedikit, bahkan ada yang mengalami penurunan secara drastis dari tahun ke tahun. Sekolah-sekolah di sekitar kita sudah mulai banyak yang tidak bisa operasional, dampaknya gaji guru dan  tenaga kependidikan tidak bisa diberikan, sarana prasarana tidak ada pembaharuan, beberapa sudah rusak karena kurangnya perawatan, dll. Apa penyebabnya? Mengapa setiap tahun terus ada sekolah mulai jenjang SD sampai Sekolah Menengah yang terpaksa tutup atau “gulung tikar”? Bagaimana peran Kepala sekolahnya? Bagaimana Dinas Pendidikan melakukan fungsi pembinaannya? JIka sekolah dibawah yayasan, apa peran Yayasan? Apa yang seharusnya dilakukan? Tentu saja tidak bijak jika hanya mencari kambing hitam kepada Panitia Penerimaan Peserta Didik Baru. Karena pada dasarnya tidaklah sesederhana itu. Melalui tulisan ini, penulis mencoba untuk menguraikan hal-hal tersebut, sehingga manfaatya dapat diperoleh untuk pembelajaran bagi insan pendidikan.

Penyebab menurunnya peminat peserta didik baru terhadap sebuah lembaga pendidikan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor Internal lebih disebabkan oleh sumber daya yang dimiliki  sekolah tersebut. Sedangkan faktor eksternal disebabkan oleh faktor yang berasal dari luar sekolah tersebut. Apa saja faktor internalnya?

1.  Kualitas pendidikan yang rendah, hal ini dapat dilihat dengan mudah melalui prestasi yang diperoleh oleh siswa maupun oleh gurunya dalam event baik skala lokal, regional, nasional bahkan internasional. Jika tidak ada prestasi bidang akademik maupun non akademik sebagaimana disebutkan sebelumnya, maka ini sudah menjadi indikator awal bahwa kualitas pendidikannya rendah.

2. Proses pembelajaran yang tidak maksimal akibat guru yang tidak kompeten. Inovasi dalam pembelajaran tidak bisa diimplementasikan, cenderung monoton. Akibatnya peserta didik tidak termotivasi dalam belajar. Dalam konteks seperti ini, perlu dilihat kembali bagaimana proses rekruitmen sebelumnya, langkah pengembangan SDM dan evaluasi yang dilakukan. Sehingga upaya pengembangan SDM ke depannya akan lebih baik lagi dan diperoleh SDM yang berkualitas.

3. Kepemimpinan yang lemah, Bagaimanapun sebagai seorang manajer pendidikan harus bertanggung jawab terhadap masa depan lembaga yang dipimpinnya. Maju mundurnya sekolah yang dipimpin adalah tanggung jawabnya. Kepala sekolah yang bijaksana tidak akan lepas tangan jika sekolah yang dipimpinnya mulai ada kecenderungan sepi peminat. Apalagi dengan menyalahkan bawahanannya tanpa bisa berinovasi mengimplementasikan perencanaan dan tindakan strategis untuk menjaga eksistensi lembaganya. Kohesivitas, kekompakan dan pengimplementasian kepemimpinan yang demokratis akan dapat mengatasi masalah ini, apalagi ditunjang dengan keadilan dalam pemberian hak kesejahteraan para guru dan tenaga kependidikannya. Pemilihan dan pengangkatan kepala sekolah sudah ada aturan yang jelas bagi sekolah negeri, tetapi pada sekolah swasta terkadang pemilihan atau pengangkatannya diserahkan sepenuhnya oleh yayasan. Sering juga ditemui pegangkatan atau pemilihannya hanya didasarkan pada kedekatan secara personal bukan berdasarkan kemampuan atau kompetensi yang dimiliki oleh calon kepala sekolah. inilah yang menjadi cikal bakal tidak berkembangnya sekolah.

4. Yayasan Penyelenggara yang kurang kepedulian. Jika sekolah yang diselenggarakan sudah ada indikasi tidak lagi dipercayai masyarakat, maka harusnya dilakukan evaluasi dan mengambil tindakan secepatnya untuk perbaikan. Evaluasi dilakukan kepada kepemimpinan kepala sekolah, dan SDM lainnya, strategi marketing, pembiayaan dll. Sudah menjadi kewajiban dan tanggung jawab yayasan untuk memberikan dukungan finansial, material dan imaterial berupa pembinaan secara berkelanjutan. Bagaimana jika yayasan justru mengabaikannya karena dianggap tidak memberikan profit? Penulis menganjurkan melihat kembali visi dan misi yayasan sebagai lembaga sosial yang menyelenggarakan lembaga pendidikan dan merupakan lembaga non profit. Bukan untuk mencari keuntungan. Jika ingin mencari keuntungan, jangan mendirikan yayasan, tapi perusahaan.

5.  Kurangnya Promosi,  Era kompetisi antar lembaga pendidikan saat ini mengharuskan sekolah cermat dan piawai dalam menginformasikan tentang sekolah kepada masyarakat. Promosi yang dilakukan secara cerdas dan berkelanjutan, sehingga terbentuk opini di masyarakat bahwa sekolah memang benar-benar layak sebagai tempat menimba ilmu. Penggunaan media sosial seperti IG, Twitter, Facebook, Youtube dll bisa menjadi alternatif yang jitu untuk mendukung promosi pendidikan. SDM yang membidangi promosi pendidikan harus kreatif dan inovatif dalam memprmosikan.

6.  Keamanan dan ketertiban, Kondisi sekolah dan lingkungannya yang tertib dan aman menjadi salah satu pertimbangan orang tua untuk menyekolahkan anaknya. Budaya akademik yang diciptakan dan dibiasakan di sekolah akan mendorong bakat dan minat peserta didik. Bullying atau perundungan sebaiknya diantisipasi jangan sampai terjadi, karena akan berdampak pada citra lembaga menjadi tidak baik.

 

Setelah memahami beberapa faktor internal di atas, yang harus mendapatkan perhatian adalah faktor eksternal. Yaitu:

1. Perubahan minat dan kebutuhan masyarakat: Minat dan kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan terus berkembang. Lembaga pendidikan yang tidak mampu beradaptasi dengan perubahan ini dapat mengalami penurunan minat peserta didik. Mencermati hal tersebut, sudah semestinya sekolah melakukan langkah-langkah inovatif progressif, misalnya dengan mengadakan berbagai macam ekskul yang diminati peserta didik, atau program-program unggulan lain yang kompetitif dimana sekolah lain di sekitar belum ada.

2.  Persaingan dengan lembaga pendidikan lain: Semakin banyak lembaga pendidikan yang tersedia, semakin ketat pula persaingannya. Lembaga pendidikan yang tidak memiliki keunggulan kompetitif dapat kalah bersaing dan kehilangan peserta didik.

3. Ketersediaan lapangan pekerjaan: Kurangnya lapangan pekerjaan yang sesuai dengan jurusan pendidikan yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan dapat membuat masyarakat ragu untuk menyekolahkan anaknya di sana. Utamanya untuk lembaga pendidikan pada jenjang sekolah menengah atas sampai jenjang pendidikan tinggi. Bagi Pendidikan tinggi, sulitnya alumni mendapatkan pekerjaan setelah lulus, juga menjadi pertimbangan untuk tidak memilih jurusan atau program studi tersebut.

4. Faktor ekonomi: Krisis ekonomi dapat menyebabkan masyarakat memprioritaskan kebutuhan pokok daripada pendidikan. sehingga cenderung memilih sekolah yang menawarkan beasiswa atau sekolah yang biaya pendidikannya relative lebih terjangkau. Karena itu strategi pembiayaan pendidikan yang tepat harus dipertimbangkan oleh sekolah.

5.  Faktor Alam dan Pandemi, Faktor lain yang juga bisa mempengaruhi minat peserta didik dan orang tua untuk tidak menyekolahkan anaknya ke suatu lembaga pendidikan adalah bencana alam dan pandemic (misalnya covid-19).

 

Penurunan minat peserta didik untuk masuk di sebuah lembaga pendidikan dapat berakibat fatal bagi lembaga tersebut. Oleh karena itu, penting bagi lembaga pendidikan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan penurunan minat tersebut dan mengambil langkah-langkah untuk mengatasinya. Dampak dari ditutupnya lembaga pendidikan oleh karena sedikitnya peserta didik ini tentu saja akan menimpa peserta didik, para guru, tenaga kependidikan yang mengajar di sekolah tersebut. Bagi peserta didik yang masih sekolah di sekolah yang hendak ditutup tersebut akan mengalami beban moral dan stress karena ikut memikirkan keberlangsungan pendidikannya. Sementara bagi orang tua, maka akan ada penambahan beban finansial karena untuk memindahkan ke sekolah lain juga memerlukan biaya. Potensi anak putus sekolah juga terjadi, karena keengganan anak untuk pindah ke sekolah lain. Bagi guru dan tenaga kependidikan di sekolah swasta akan menganggur. Ini diperparah lagi jika yayasan penyelenggara tidak memberikan hak-haknya seperti gaji dan tunjangan yang seharusnya diberikan.

Lantas apa solusi bijak untuk mengatasi masalah yang kompleks ini? Pemerintah melalui Dinas Pendidikan yang memiliki kewenangan seharusnya turut membantu agar ditemukan solusi antara lain:

1. Pemerintah perlu melakukan pemetaan jumlah penduduk usia sekolah di setiap wilayah. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui perbadingan jumlah calon siswa dengan jumlah sekolah dan  ruang kelasnya. Kebijakan ini juga diperlukan untuk pertimbangan pemberian izin pendirian sekolah baru. Jika sudah banyak sekolah di suatu daerah, maka sebaiknya tidak ada pemberian izin operasional sekolah baru.

2. Pemerintah perlu meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah-sekolah yang kekurangan murid. Jika memungkinkan melakukan merger antar sekolah negeri yang sama-sama kekurangan murid. Begitu juga sekolah swasta, didorong dan difasilitasi agar yayasan penyelenggara bisa merger dengan yayasan atau sekolah lainnya agar bisa lebih berkembang. Tetapi yang harus diperhatikan adalah kepentingan peserta didik sehingga mereka tidak dirugikan dengan kebijakan merger tersebut. Begitu juga dengan guru dan tenaga kependidikannya, hak-hak nya juga harus terpenuhi dan difasilitasi sebaik mungkin jika ingin pindah home base.

3. Pemerintah perlu memberikan bantuan biaya pendidikan bagi keluarga kurang mampu. Bagi sekolah yang hendak ditutup dan masih ada siswa yang tersisa, maka urusan perpindahan dengan biaya administrasi yang menyertainya jika ada, harus ditanggung oleh pemerintah melalui dinas pendidikan. Jika sekolah swasta, maka yayasan penyelenggara harus membantu biaya yang dikeluarkan sebagai pertanggungjawaban moral atas dilakukannya merger atau ditutupnya sekolah dibawah naungan yayasan tersebut.

4. Dinas Pendidikan atau Yasayan perlu menyampaikan secara terbuka tentang penutupan atau kebijakan merger kepada peserta didik dan orang tua, sehingga peserta didik dan orang tua tidak merasa dirugikan dengan kebijakan ini. 

Penutupan sebuah lembaga pendidikan dikarenakan kekurangan peserta didik, adalah opsi terakhir  dari opsi-opsi lainnya yang tentu harus dilakukan terlebih dahulu oleh sekolah atau yayasan penyelenggara. Opsi-opsi lainnya seperti; melakukan analisis mendalam mengenai kondisi internal sekolah, peningkatan kualitas pendidikan, meningkatkan promosi sekolah, menekan biaya pendidikan, membangun kerjasama dengan pihak-pihak lain, mengadakan program-program baru yang membangkitkan minat calon siswa, dan merger dengan sekolah lainnya. Memang tidak mudah dilakukan, tetapi jika sumber daya yang ada memiliki kualitas yang baik dan daya juang tinggi dan ditopang dengan kepemimpinan yang hebat, maka kemungkinan untuk memulihkan kepercayaan masyarakat akan dapat dilakukan. Jika keputusan terakhir adalah menutup sekolah, maka harus dilakukan secara bijaksana dengan tetap mengedepankan kepentingan dan hak peserta didik, guru dan tenaga kependidikan yang ada. Sehingga sudah seharusnya sebelum mengambil keputusan tersebut harus melibatkan stakeholder, mendapatkan saran dan masukan dari pemerintah melalui dinas pendidikan. Harapannya kebijakan yang diambil tidak berdampak negatif di masa mendatang. Bagaimana jika hal-hal tersebut tidak dilaksanakan oleh yayasan penyelenggara, maka pemerintah melalui dinas pendidikan yang berwenang hendaknya memberikan teguran keras dan jika yayasan yang sama hendak menyelenggarakan pendidikan lagi, maka sudah tidak diizinkan lagi atau black list.(Efi, 21/6/2024)

Afrilia (Penulis)
Pemerhati Bidang Pendidikan

Selasa, 04 Juni 2024

OPINI: INTERNASIONALISASI ATAU KOMERSIALISASI PENDIDIKAN

Oleh: Dr. Hariyanto, M.Pd*

Penulis
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Perlunya pendidikan saat ini sudah semakin disadari oleh masyarakat Indonesia. Hal ini tentu dapat dilihat dari angka partisipasi kasar sekolah yang dari tahun ke tahun semakin meningkat, tahun 2023 APK untuk tingkat SD/sederajat sebesar 105,62%, tingkat SMP/sederajat sebesar 92,51%, dan tingkat SMA/sederajat sebesar 86,34%. Kesadaran untuk mendapatkan pendidikan ini tentu berkorelasi dengan keinginan masyarakat untuk mendapatkan pekerjaan dan tingkat kesejahteraan yang lebih baik. Kendati demikian, animo tinggi masyarakat ini belum diiringi oleh mutu pendidikan di Indonesia. Misalnya jika kita merujuk pada hasil survey yang dilakukan oleh PISA (Progam for International student assessment)  tahun 2022 yang dirilis pada 05 Desember 2023. Indonesia berada di peringkat 68 dari 203 negara dengan skor matematika 379, Sains 398 dan membaca memperoleh skor 371.

Tingginya minat masyarakat untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas dapat dilihat pada minggu-minggu terakhir ini, karena musim PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru). Para orang tua dan peserta didik berlomba mendapatkan informasi tentang sekolah terbaik bagi putra putrinya. Pihak sekolah juga demikian, menebar jaring pesona lembaga pendidikannya melalui berbagai upaya marketing, seperti mempromosikan di media sosial, mengikuti pameran pendidikan, mengadakan lomba/kompetisi dalam bidang akademik dan non akademik, bahkan ada juga yang menawarkan beasiswa dan program-program sekolah yang menggiurkan seperti program kelas internasional atau lebih dikenal dengan International class program (ICP). Program ICP inilah yang saat ini menjadi magnet kuat agar para peserta didik mau menempuh pendidikan di sekolah penyelenggara program tersebut. Jika ditelusuri lebih jauh program kelas internasional ini hampir sama dengan kebijakan pemerintah pada era tahun 2000 an yaitu RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional) dan SBI (Sekolah Bertaraf Internasional).

Sejenak mari kita kilas balik mengetahui seputar program RSBI dan SBI yang kemudian ditutup oleh pemerintah pasca dibatalkannya Pasal 50 Ayat 3, UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional oleh Mahkamah Konstitusi. Bunyi dari ayat tersebut adalah “Pemeritah dan atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan berstandard internasional.” Sebelum diusulkannya judicial review oleh Koalisi Anti Komersialisasi Pendidikan (KAKP) pada waktu itu, maka kebijakan tentang SBI dan RSBI ini sudah berjalan bahkan pemerintah memberikan bantuan atau block grant kepada sekolah-sekolah yang tergolong SBI.

Beberapa ciri dari sekolah yang termasuk RSBI dan SBI antara lain (1) Memiliki keunggulan yang ditunjukkan dengan pengakuan internasional terhadap proses dan hasil pendidikan yang berkualitas dalam berbagai aspek, (2) Pengakuan hasil akreditasi baik dari salah satu negara anggota OECD dan atau negara maju lainnya di bidang pendidikan. (2) Menerapkan kurikulum nasional yang diperkaya dengan kurikulum standar internasional, (3) Menerapkan sistem kredit semester di jenjangan SMA/MA/ Sederajat, (4) Memenuhi 8 SNP, (5) Menerapakan pembelajaran berbasis TIK pada semua mata pelajaran, (6) Pembelajaran kelompok sains, matematika dan inti kejuruan menggunakan bahasa Ingris. Karakteristik pendidik dan tenaga kependidikannya (1) harus mampu memfasilitasi pembelajaran berbasis TIK, (2) Guru sains, matematika dan inti kejuruan harus mampu berbahasa Inggris secara aktif, (3) 10-20% guru berpendidikan S2/S3 (4) kepala sekolahnya berpendidikan minimal S2, dan mampu berbahasa Inggris aktif, serta mampu membangun jejaring internasional. Sarana dan prasarananya juga harus lengkap. Dalam hal pengelolaan, maka sekolah harus menjalin hubungan “sister school” dengan sekolah bertaraf internasional di luar negeri.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa untuk menjadikan sekolah RSBI dan SBI adalah tidak mudah. Meskipun demikian, saat ini banyak sekolah yang hanya bermodalkan menjalin kerjasama dengan sekolah luar negeri, dan mengaplikasikan kurikulumnya sudah memberikan label pada sekolahnya sebagai sekolah penyelenggara kelas internasional. Uniknya masyarakat begitu mudah percaya dengan label program internasional, padahal belum terlihat dari aspek kualitas outputnya. Nampaknya secara sederhana jika sudah menerapkan atau ”membeli” kurikulum dari sekolah luar negeri, maka sekolah tersebut seolah sudah menyetarakan kualitasnya dengan sekolah yang kurikulumnya diadopsi tersebut. Salahkah hal tersebut? Tentu saja tidak sepenuhnya salah karena sekolah pun ingin meningkatkan kualitasnya, apalagi dengan era persaingan antar lembaga pendidikan saat ini, maka sekolah harus berinovasi untuk mempromosikan sekolahnya termasuk dengan menghadirkan program-program yang membangkitkan minat para orang tua dan peserta didik untuk melanjutkan studi di sekolah tersebut.

Sebagai masyarakat yang merupakan customer pendidikan, maka sudah seharusnya cerdas menyikapi hal tersebut. Kita lihat apakah keunggulan dan kelemahan dari penyelenggaraan sekolah atau kelas internasional ini. Keunggulannya antara lain: (1) penggunaan bahasa asing (bahasa Inggris) yang baik. Keterampilan berbahasa Inggris sebagai bahasa Internasional harusnya lebih dimiliki oleh peserta didik dan guru yang mengajarnya dibanding peserta didik dan guru yang mengajar di kelas non internasional. (2) Penggunaan kurikulum internasional akan memberikan pengetahuan dan wawasan secara global bagi peserta didik sehingga bisa berkompetisi dengan lulusan dari sekolah lain di luar negeri. (3) Sekolah memiliki jaringan internasional, sehingga memungkinkan membangun kerjasama seperti pelaksanaan student exchange dan bentuk-bentuk lainnya (4) Peserta didik dapat mengembangkan keterampilan berfikir critical thinking, problem solving, communication, collaboration, dan creativity, yang akan menjadi bekal berharga untuk masa depannya. (5) Bagi yang bermaksud kuliah di luar negeri, maka kelas internasional bisa digunakan untuk mempersiapkannya.

Secara obyektif juga harus kita ketahui dan akui kelemahan atau kekurangan dari program kelas internasional atau sekolah bertaraf internasional ini, antara lain: (1) Biaya yang mahal, hal ini bisa memberatkan orang tua dari kalangan kurang mampu. meskipun anaknya memiliki kemampuan akademik dan non akademik bagus tetapi tidak akan mampu menyekolahkannya di kelas internasional. Dengan demikian dalam satu lembaga/ sekolah sudah terbentuk sebuah komunitas dari kalangan atas yang mendapatkan perlakuan istimewa dari sekolah. Hal ini dimungkinkan karena biaya pendidikannya yang mahal, dan fasilitas sarana prasarana yang lebih baik untuk dinikmati peserta didik dari kelas internasional. Sementara itu ada juga kelas non internasional yang fasilitas sarana prasarananya kalah dengan kelas internasional. Begitu kuga kualitas dari pendidik dan tenaga kependidikannya, bisa jadi dianggap atau dipersepsikan kurang baik dibandingkan yang mengajar di kelas internasional  (2) Adaptasi dari anak peserta kelas internasional karena penggunaan bahasa asing di semua kegiatan pembelajaran, hal ini bisa menyebabkan anak stress, terbebani dalam belajar. Kehidupan sosial anak-anak dari kelas internasional dengan anak-anak dari kelas non internasional/ regular juga bisa menciptakan kesenjangan karena dipengaruhi oleh latar belakang ekonomi mereka. (3) kemungkinan lunturnya kecintaan terhadap Bahasa Indonesia, karena membiasakan bahasa asing di sekolahnya. (4) Menipisnya kedekatan dengan budaya lokal. Bagaimanapun harus diakui bahwa bahasa adalah bagian dari budaya. Ketika peserta didik belajar bahasa asing terus-menerus, maka mereka pun akan berinteraksi dengan budaya asal dari bahasa tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, orang tua sudah seharusnya memahami dampak dari pemilihan program sekolah untuk anak-anaknya, sehingga harus secara logis mempertimbangkan keunggulan dan kekurangannya sebagaimana penulis sebutkan di atas. Pertanyaannya apakah Kelas/ Sekolah internasional yang saat ini mulai bermunculan merupakan bentuk baru dari RSBI dan SBI yang sudah dihapuskan oleh pemerintah? Jika ya, mengapa pemerintah membiarkannya saja dan mengizinkannya untuk operasional dengan memasang tarif tinggi untuk biaya masuknya. Bukankah kualitasnya juga belum sepenuhnya teruji? Jika memang ini direstui oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atau Kementerian Agama yang memiliki ratusan ribu sekolah/ madrasah di seluruh Indonesia, maka patutlah kembali kedua kementerian tersebut merenungkan kembali latar belakang Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk menghapus pasal 50 ayat 3 UU No. 20 tahun 2003, sekaligus sebagai tonggak dihapuskannya RSBI dan SBI.

Kualitas pendidikan di Indonesia dapat ditingkatkan bukan semata karena penggunaan kurikulum dari luar negeri, bahkan dengan hanya menggunakan kurikulum nasional saja bisa berkualitas asalkan faktor pendukungnya juga tercukupi. Misalnya: perhatian terhadap kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan, peningkatan sarana dan prasarana pendidikan, kualitas pendidik dan tenaga kependidikan yang lebih baik, serta pemerataan akses pendidikan di seluruh wilayah Indonesia dan di seluruh lapisan masyarakat tanpa memandang status sosial ekonominya.

Terakhir, penulis ingin mengingatkan bahwa sebuah negara yang diakui kualitas pendidikannya seperti findlandia. Negara ini konsisten dengan kebijakannya terkait pendidikan, berganti pucuk pimpinan pemerintahan pun Findlandia masih memberlakukan tidak ada pengkastaan siswa dalam lembaga pendidikan, tidak ada perbedaan perlakuan pemerintah baik antara sekolah swasta dan sekolah negeri. Guru-gurunya ditingkatkan terus kemampuannya sehingga mereka menjadi pakar kurikulum yang bisa diterapkan di sekolahnya masing-masing. Tidak menggantungkan kualitas pendidikannya dari mengadopsi dan mengimplementasikan kurikulum dari negara lain. Semoga Pendidikan di Indonesia di masa mendatang akan lebih baik lagi (HAR, 04/06/24)

* Penulis adalah pemerhati bidang pendidikan