Oleh: Afrilia Eka Prasetyawati, M.Pd*
“Jika ingin mengetahui seberapa visioner seorang pimpinan
lembaga pendidikan, lihatlah perencanaan pendidikannya. Jika ingin mengetahui
kemampuan kepemimpinannya, maka lihatlah cara mengkoordinir sumber daya yang
dimiliki lembaga pendidikan”- (Hary)
Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) masih belum selesai. Beberapa sekolah baik negeri maupun swasta masih berjuang untuk mendapatkan peserta didik dengan berbagai cara, termasuk memberikan janji manis bagi calon peserta didik dan orang tua. Kemasan gula-gula kualitas tersebut disajikan dengan berbagai cara. Beberapa sekolah sudah berada dalam tahapan aman karena Pagu sudah terpenuhi, meskipun demikian masih ada juga sekolah yang masih “harap-harap cemas” karena peminatnya masih sedikit, bahkan ada yang mengalami penurunan secara drastis dari tahun ke tahun. Sekolah-sekolah di sekitar kita sudah mulai banyak yang tidak bisa operasional, dampaknya gaji guru dan tenaga kependidikan tidak bisa diberikan, sarana prasarana tidak ada pembaharuan, beberapa sudah rusak karena kurangnya perawatan, dll. Apa penyebabnya? Mengapa setiap tahun terus ada sekolah mulai jenjang SD sampai Sekolah Menengah yang terpaksa tutup atau “gulung tikar”? Bagaimana peran Kepala sekolahnya? Bagaimana Dinas Pendidikan melakukan fungsi pembinaannya? JIka sekolah dibawah yayasan, apa peran Yayasan? Apa yang seharusnya dilakukan? Tentu saja tidak bijak jika hanya mencari kambing hitam kepada Panitia Penerimaan Peserta Didik Baru. Karena pada dasarnya tidaklah sesederhana itu. Melalui tulisan ini, penulis mencoba untuk menguraikan hal-hal tersebut, sehingga manfaatya dapat diperoleh untuk pembelajaran bagi insan pendidikan.
Penyebab menurunnya peminat peserta didik baru terhadap sebuah lembaga pendidikan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor Internal lebih disebabkan oleh sumber daya yang dimiliki sekolah tersebut. Sedangkan faktor eksternal disebabkan oleh faktor yang berasal dari luar sekolah tersebut. Apa saja faktor internalnya?
1. Kualitas pendidikan yang rendah, hal ini dapat dilihat
dengan mudah melalui prestasi yang diperoleh oleh siswa maupun oleh gurunya
dalam event baik skala lokal, regional, nasional bahkan internasional.
Jika tidak ada prestasi bidang akademik maupun non akademik sebagaimana
disebutkan sebelumnya, maka ini sudah menjadi indikator awal bahwa kualitas
pendidikannya rendah.
2. Proses pembelajaran yang tidak maksimal akibat guru yang
tidak kompeten. Inovasi dalam pembelajaran tidak bisa diimplementasikan,
cenderung monoton. Akibatnya peserta didik tidak termotivasi dalam belajar.
Dalam konteks seperti ini, perlu dilihat kembali bagaimana proses rekruitmen
sebelumnya, langkah pengembangan SDM dan evaluasi yang dilakukan. Sehingga
upaya pengembangan SDM ke depannya akan lebih baik lagi dan diperoleh SDM yang
berkualitas.
3. Kepemimpinan yang lemah, Bagaimanapun sebagai
seorang manajer pendidikan harus bertanggung jawab terhadap masa depan lembaga
yang dipimpinnya. Maju mundurnya sekolah yang dipimpin adalah tanggung
jawabnya. Kepala sekolah yang bijaksana tidak akan lepas tangan jika sekolah
yang dipimpinnya mulai ada kecenderungan sepi peminat. Apalagi dengan
menyalahkan bawahanannya tanpa bisa berinovasi mengimplementasikan perencanaan
dan tindakan strategis untuk menjaga eksistensi lembaganya. Kohesivitas,
kekompakan dan pengimplementasian kepemimpinan yang demokratis akan dapat
mengatasi masalah ini, apalagi ditunjang dengan keadilan dalam pemberian hak kesejahteraan
para guru dan tenaga kependidikannya. Pemilihan dan pengangkatan kepala sekolah
sudah ada aturan yang jelas bagi sekolah negeri, tetapi pada sekolah swasta
terkadang pemilihan atau pengangkatannya diserahkan sepenuhnya oleh yayasan.
Sering juga ditemui pegangkatan atau pemilihannya hanya didasarkan pada
kedekatan secara personal bukan berdasarkan kemampuan atau kompetensi yang
dimiliki oleh calon kepala sekolah. inilah yang menjadi cikal bakal tidak
berkembangnya sekolah.
4. Yayasan Penyelenggara yang kurang
kepedulian. Jika sekolah yang diselenggarakan sudah ada indikasi tidak
lagi dipercayai masyarakat, maka harusnya dilakukan evaluasi dan mengambil
tindakan secepatnya untuk perbaikan. Evaluasi dilakukan kepada kepemimpinan
kepala sekolah, dan SDM lainnya, strategi marketing, pembiayaan dll. Sudah
menjadi kewajiban dan tanggung jawab yayasan untuk memberikan dukungan
finansial, material dan imaterial berupa pembinaan secara berkelanjutan.
Bagaimana jika yayasan justru mengabaikannya karena dianggap tidak memberikan
profit? Penulis menganjurkan melihat kembali visi dan misi yayasan sebagai
lembaga sosial yang menyelenggarakan lembaga pendidikan dan merupakan lembaga
non profit. Bukan untuk mencari keuntungan. Jika ingin mencari keuntungan,
jangan mendirikan yayasan, tapi perusahaan.
5. Kurangnya Promosi, Era kompetisi antar lembaga pendidikan saat
ini mengharuskan sekolah cermat dan piawai dalam menginformasikan tentang
sekolah kepada masyarakat. Promosi yang dilakukan secara cerdas dan
berkelanjutan, sehingga terbentuk opini di masyarakat bahwa sekolah memang
benar-benar layak sebagai tempat menimba ilmu. Penggunaan media sosial seperti
IG, Twitter, Facebook, Youtube dll bisa menjadi alternatif yang jitu untuk
mendukung promosi pendidikan. SDM yang membidangi promosi pendidikan harus
kreatif dan inovatif dalam memprmosikan.
6. Keamanan dan ketertiban, Kondisi sekolah dan
lingkungannya yang tertib dan aman menjadi salah satu pertimbangan orang tua
untuk menyekolahkan anaknya. Budaya akademik yang diciptakan dan dibiasakan di
sekolah akan mendorong bakat dan minat peserta didik. Bullying atau
perundungan sebaiknya diantisipasi jangan sampai terjadi, karena akan berdampak
pada citra lembaga menjadi tidak baik.
Setelah memahami beberapa faktor internal di atas, yang harus mendapatkan perhatian adalah faktor eksternal. Yaitu:
1. Perubahan minat dan
kebutuhan masyarakat:
Minat dan kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan terus berkembang. Lembaga
pendidikan yang tidak mampu beradaptasi dengan perubahan ini dapat mengalami
penurunan minat peserta didik. Mencermati hal tersebut, sudah semestinya
sekolah melakukan langkah-langkah inovatif progressif, misalnya dengan
mengadakan berbagai macam ekskul yang diminati peserta didik, atau
program-program unggulan lain yang kompetitif dimana sekolah lain di sekitar
belum ada.
2. Persaingan dengan lembaga pendidikan lain: Semakin banyak lembaga pendidikan yang
tersedia, semakin ketat pula persaingannya. Lembaga pendidikan yang tidak
memiliki keunggulan kompetitif dapat kalah bersaing dan kehilangan peserta
didik.
3. Ketersediaan lapangan pekerjaan: Kurangnya lapangan pekerjaan yang
sesuai dengan jurusan pendidikan yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan dapat
membuat masyarakat ragu untuk menyekolahkan anaknya di sana. Utamanya untuk
lembaga pendidikan pada jenjang sekolah menengah atas sampai jenjang pendidikan
tinggi. Bagi Pendidikan tinggi, sulitnya alumni mendapatkan pekerjaan setelah
lulus, juga menjadi pertimbangan untuk tidak memilih jurusan atau program studi
tersebut.
4. Faktor ekonomi:
Krisis ekonomi dapat menyebabkan masyarakat memprioritaskan kebutuhan pokok
daripada pendidikan. sehingga cenderung memilih sekolah yang menawarkan
beasiswa atau sekolah yang biaya pendidikannya relative lebih terjangkau.
Karena itu strategi pembiayaan pendidikan yang tepat harus dipertimbangkan oleh
sekolah.
5. Faktor Alam dan Pandemi, Faktor lain yang juga bisa mempengaruhi minat peserta didik
dan orang tua untuk tidak menyekolahkan anaknya ke suatu lembaga pendidikan
adalah bencana alam dan pandemic (misalnya covid-19).
Penurunan minat peserta didik untuk
masuk di sebuah lembaga pendidikan dapat berakibat fatal bagi lembaga tersebut.
Oleh karena itu, penting bagi lembaga pendidikan untuk mengidentifikasi
faktor-faktor yang menyebabkan penurunan minat tersebut dan mengambil
langkah-langkah untuk mengatasinya. Dampak dari ditutupnya lembaga pendidikan
oleh karena sedikitnya peserta didik ini tentu saja akan menimpa peserta didik,
para guru, tenaga kependidikan yang mengajar di sekolah tersebut. Bagi peserta
didik yang masih sekolah di sekolah yang hendak ditutup tersebut akan mengalami
beban moral dan stress karena ikut memikirkan keberlangsungan pendidikannya.
Sementara bagi orang tua, maka akan ada penambahan beban finansial karena untuk
memindahkan ke sekolah lain juga memerlukan biaya. Potensi anak putus sekolah
juga terjadi, karena keengganan anak untuk pindah ke sekolah lain. Bagi guru
dan tenaga kependidikan di sekolah swasta akan menganggur. Ini diperparah lagi
jika yayasan penyelenggara tidak memberikan hak-haknya seperti gaji dan
tunjangan yang seharusnya diberikan.
Lantas apa solusi bijak untuk mengatasi
masalah yang kompleks ini? Pemerintah melalui Dinas Pendidikan yang memiliki
kewenangan seharusnya turut membantu agar ditemukan solusi antara lain:
1. Pemerintah perlu
melakukan pemetaan jumlah penduduk usia sekolah di setiap wilayah. Hal ini
dimaksudkan untuk mengetahui perbadingan jumlah calon siswa dengan jumlah
sekolah dan ruang kelasnya. Kebijakan
ini juga diperlukan untuk pertimbangan pemberian izin pendirian sekolah baru.
Jika sudah banyak sekolah di suatu daerah, maka sebaiknya tidak ada pemberian
izin operasional sekolah baru.
2. Pemerintah perlu
meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah-sekolah yang kekurangan murid. Jika
memungkinkan melakukan merger antar sekolah negeri yang sama-sama kekurangan
murid. Begitu juga sekolah swasta, didorong dan difasilitasi agar yayasan
penyelenggara bisa merger dengan yayasan atau sekolah lainnya agar bisa
lebih berkembang. Tetapi yang harus diperhatikan adalah kepentingan peserta
didik sehingga mereka tidak dirugikan dengan kebijakan merger tersebut.
Begitu juga dengan guru dan tenaga kependidikannya, hak-hak nya juga harus
terpenuhi dan difasilitasi sebaik mungkin jika ingin pindah home base.
3. Pemerintah perlu memberikan bantuan biaya pendidikan bagi
keluarga kurang mampu. Bagi sekolah yang hendak ditutup dan masih ada siswa
yang tersisa, maka urusan perpindahan dengan biaya administrasi yang
menyertainya jika ada, harus ditanggung oleh pemerintah melalui dinas
pendidikan. Jika sekolah swasta, maka yayasan penyelenggara harus membantu
biaya yang dikeluarkan sebagai pertanggungjawaban moral atas dilakukannya merger
atau ditutupnya sekolah dibawah naungan yayasan tersebut.
4. Dinas Pendidikan atau Yasayan perlu menyampaikan secara terbuka tentang penutupan atau kebijakan merger kepada peserta didik dan orang tua, sehingga peserta didik dan orang tua tidak merasa dirugikan dengan kebijakan ini.
Penutupan sebuah lembaga pendidikan
dikarenakan kekurangan peserta didik, adalah opsi terakhir dari opsi-opsi lainnya yang tentu harus
dilakukan terlebih dahulu oleh sekolah atau yayasan penyelenggara. Opsi-opsi
lainnya seperti; melakukan analisis mendalam mengenai kondisi internal sekolah,
peningkatan kualitas pendidikan, meningkatkan promosi sekolah, menekan biaya
pendidikan, membangun kerjasama dengan pihak-pihak lain, mengadakan
program-program baru yang membangkitkan minat calon siswa, dan merger dengan
sekolah lainnya. Memang tidak mudah dilakukan, tetapi jika sumber daya yang ada
memiliki kualitas yang baik dan daya juang tinggi dan ditopang dengan
kepemimpinan yang hebat, maka kemungkinan untuk memulihkan kepercayaan
masyarakat akan dapat dilakukan. Jika keputusan terakhir adalah menutup
sekolah, maka harus dilakukan secara bijaksana dengan tetap mengedepankan
kepentingan dan hak peserta didik, guru dan tenaga kependidikan yang ada.
Sehingga sudah seharusnya sebelum mengambil keputusan tersebut harus melibatkan
stakeholder, mendapatkan saran dan masukan dari pemerintah melalui dinas
pendidikan. Harapannya kebijakan yang diambil tidak berdampak negatif di masa
mendatang. Bagaimana jika hal-hal tersebut tidak dilaksanakan oleh yayasan
penyelenggara, maka pemerintah melalui dinas pendidikan yang berwenang
hendaknya memberikan teguran keras dan jika yayasan yang sama hendak
menyelenggarakan pendidikan lagi, maka sudah tidak diizinkan lagi atau black
list.(Efi, 21/6/2024)
Afrilia (Penulis) Pemerhati Bidang Pendidikan |