Oleh: Dr. Hariyanto, M.Pd*
Di era globalisasi dan persaingan bisnis yang semakin
ketat, perusahaan dituntut untuk memiliki sumber daya manusia yang berkualitas
dan produktif. Kinerja karyawan merupakan salah satu faktor kunci yang
menentukan keberhasilan perusahaan dalam mencapai tujuannya. Namun, kinerja
karyawan tidak hanya dipengaruhi oleh kemampuan dan keterampilan individu,
tetapi juga oleh faktor lingkungan kerja.
Lingkungan kerja yang sehat dan
positif dapat memotivasi karyawan untuk bekerja dengan lebih baik dan
meningkatkan produktivitas mereka. Sebaliknya, lingkungan kerja yang toxic
dapat berdampak negatif terhadap kinerja karyawan, bahkan dapat menyebabkan
masalah kesehatan mental dan fisik. Lingkungan kerja yang toxic ditandai dengan
adanya perilaku negatif seperti perundungan (bullying), diskriminasi,
pelecehan, dan komunikasi yang buruk. Kondisi ini dapat menciptakan suasana
kerja yang tidak nyaman, tidak aman, dan tidak produktif. Karyawan yang bekerja
di lingkungan yang toxic cenderung merasa stres, tidak dihargai, dan tidak
termotivasi untuk memberikan yang terbaik. Disinilah peran kepemimpinan
seharusnya mengambil peran untuk menjaga kondusifitas perusahaan. Bukan justru
menjadi penyebab atau pemicu terciptanya lingkungan yang toxic tersebut.
Pendapat di atas sesuai dengan hasil sejumlah peneltian yang
menunjukkan bahwa lingkungan kerja yang toxic memiliki korelasi negatif dengan
produktivitas kinerja. Sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal "Work
& Stress" menemukan bahwa karyawan yang mengalami perundungan di
tempat kerja memiliki tingkat produktivitas yang lebih rendah dibandingkan
dengan karyawan yang tidak mengalami perundungan. Studi lain yang diterbitkan
dalam jurnal "Journal of Occupational Health Psychology"
menemukan bahwa lingkungan kerja yang ditandai dengan komunikasi yang buruk dan
kurangnya dukungan sosial dapat menurunkan kinerja karyawan. Beberapa kasus
perusahaan yang mengalami penurunan produktivitas akibat lingkungan kerja yang toxic
juga telah banyak dipublikasikan. Misalnya, kasus yang terjadi di sebuah
perusahaan teknologi besar di Amerika Serikat, di mana karyawan melaporkan
adanya budaya kerja yang toxic dan diskriminatif. Akibatnya, banyak
karyawan yang mengundurkan diri dan produktivitas perusahaan pun menurun
drastis.
Bagaimana kita
mengenali apakah lingkungan kerja sudah terkategori toxic atau
lingkungan yang memiliki aura positif? Berikut ini adalah ciri-ciri lingkungan
kerja yang toxic:
1 1. Komunikasi
yang Buruk:
o Komunikasi yang tidak jelas,
agresif, atau pasif-agresif dapat menciptakan ketegangan dan kebingungan di
tempat kerja.
o Kurangnya transparansi dan informasi
yang tidak merata juga dapat menjadi tanda lingkungan kerja yang toxic.
o Menurut penelitian, komunikasi yang
buruk secara signifikan menurunkan kinerja karyawan.
2. Perilaku Negatif dan Tidak
Profesional:
o Perundungan (bullying),
pelecehan, diskriminasi, dan perilaku tidak etis lainnya sering terjadi di
lingkungan kerja yang toxic.
o Perilaku ini dapat menciptakan
suasana kerja yang tidak aman dan tidak nyaman bagi karyawan. Para ahli
psikologi organisasi telah lama mengidentifikasi bahwa tindakan perundungan di
tempat kerja memiliki dampak yang sangat negatif terhadap kesehatan mental
karyawan.
3. Kurangnya Dukungan dan Kerja Sama:
o Lingkungan kerja yang toxic
sering kali ditandai dengan kurangnya dukungan dari rekan kerja dan atasan.
o Persaingan yang tidak sehat dan
kurangnya kerja sama tim dapat menciptakan suasana kerja yang tidak produktif.
o Penelitian menunjukkan bahwa
dukungan sosial di tempat kerja sangat penting untuk kesejahteraan karyawan dan
produktivitas.
4. Atasan yang Toxic:
o Atasan yang suka melakukan
micromanaging, narsis, atau tidak adil dapat menciptakan lingkungan kerja yang
sangat tidak sehat.
o Atasan yang tidak memberikan umpan
balik yang konstruktif atau tidak menghargai kontribusi karyawan juga dapat
menjadi masalah.
o Banyak riset telah mendokumentasikan
dampak negatif dari kepemimpinan yang toxic terhadap kepuasan kerja dan
retensi karyawan. Retensi karyawan dapat dilihat dari banyaknya karyawan yang
mengundurkan diri atau berhenti. Tanda-tanda itu sudah menunjukkan bahawa ada
yang tidak beres dalam kepemimpinan di perusahaan atau instansi tersebut.
5. Kurangnya Batasan dan Keseimbangan
Kerja-Hidup:
o Lingkungan kerja yang toxic sering
kali tidak menghormati batasan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.
o Tekanan untuk selalu terhubung dan
bekerja di luar jam kerja dapat menyebabkan stres dan kelelahan.
o Para ahli kesehatan kerja menekankan
pentingnya keseimbangan kerja-hidup untuk mencegah kelelahan dan meningkatkan
kesejahteraan karyawan.
6. Tidak adanya ruang untuk berkembang:
o Karyawan merasa terjebak tanpa
kemajuan, mengakibatkan frustrasi dan kekecewaan.
o Kurangnya pengakuan terhadap
prestasi.
o
Ketidakjelasan
dalam rencana karier.
Berdasarkan
ciri-ciri tersebut, apabila instansi/perusahaan sudah terjangkit beberapa
gejala tersebut di atas, maka harus segera dicarikan solusi. Solusi yang
ditawarkan seperti:
1. Jika penyebab lingkungan yang toxic
salah satunya adalah pimpinan/ atasan, maka sebaiknya segera diganti dengan
pimpinan/ manager yang lebih kompeten, visioner dan bijaksana;
2. Perusahaan perlu membangun budaya
kerja yang saling menghormati, menghargai, dan mendukung;
3. Bangunlah komunikasi yang efektif
dan positif antara bawahan dengan atasan, atau antar staff. Komunikasi yang
efektif antara atasan dan bawahan sangat penting untuk menciptakan lingkungan
kerja yang sehat;
4. Memberikan pelatihan: Pelatihan tentang
anti-perundungan, anti-diskriminasi, dan komunikasi yang efektif perlu diberikan
kepada seluruh karyawan;
5. Menegakkan aturan: Perusahaan perlu memiliki aturan/
kode etik yang jelas dan tegas mengenai perilaku yang tidak pantas di tempat
kerja. Kode etik tersebut perlu diterapkan dengan tegas.
Lingkungan kerja yang toxic memiliki
dampak negatif yang signifikan terhadap produktivitas kinerja karyawan. Oleh
karena itu, perusahaan perlu mengambil langkah-langkah proaktif untuk mengatasi
masalah ini. Dengan menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan positif,
perusahaan dapat meningkatkan produktivitas kinerja karyawan dan mencapai
kesuksesan yang lebih besar.
Daftar Pustaka:
Einarsen, S., & Skogstad, A. (2005). The relationship
between workplace bullying and psychological health. Work & Stress, 19(3),
207-221.
Michel, J. S., Kotrba, L. M., Mitchelson, J. K., Clark, M.
A., & Baltes, B. B. (2011). Antecedents of work–family conflict: A
meta-analytic review. Journal of Organizational Behavior, 32(5),
689-725.
Spector, P. E.,
& Jex, H. C. (1998). Organizations: A social psychology perspective.
John Wiley & Sons.
* Penulis adalah Dosen di IAIN Ponorogo
0 comments:
Posting Komentar