IDEOLOGI / FILSAFAT PENDIDIKAN
Hariyanto*
ABSTRACT
Humans are social beings, intelligent and always try to make her life better, more civilized and more prosperous than ever. The development of science and technology is one form of power of human thought in the face nature (the environment) where he lives. Humans act not only to survive, but humans are also born as a figure of a reformer for the environment. Hence the deep thoughts became the base birth of ideology and philosophy in all areas, including education. There are various of philosophy or ideology of education such as idealism, realism, pragmatism, essentialism, progressivism, etc. Difference ideology/ philosophy should be adopted and synthesized into culture of Indonesia that has Pacasila as the ideology for Indonesian.
A.
Pendahuluan
Manusia
adalah makhluk sosial yang berakal dan akan selalu berusaha menjadikan hidupnya
lebih baik, lebih beradab dan lebih sejahtera dari sebelumnya. Perkembangan
IPTEK adalah salah satu bentuk kekuatan pikir manusia dalam menghadapi alam
(lingkungan) dimana ia berada. Manusia bertindak bukan sekedar untuk survive, tetapi manusia terlahir sebagai
sosok pembaharu bagi lingkungannya. Hal inilah yang membedakan antara manusia
dengan makhluk lainnya. Dengan akal pikirannya , manusia mampu melangsungkan
dan mengembangkan kehidupannya sesuai dengan waktu dan ruang yang ia tempati.
Dalam hal ini manusia secara kolektif meyakini adanya nilai-nilai, budaya,
doktrin dan kebenaran yang harus dilestarikan secara berkelanjutan ke generasi
berikutnya. Pada generasi berikutnya akan melakukan verifikasi dan pengembangan
ke arah yang lebih sesuai dengan zaman, tentunya dilakukan oleh sekelompok
orang atau lembaga yang bernama pendidikan.
Pendidikan
merupakan hal yang kompleks, karena terkait dengan berbagai aspek kehidupan dan
kepentingan-kepentingan seperti ideologi, politik, sosial, budaya, agama,
ekonomi, kemanusiaan, dsb. karena itulah permasalahan-permasalahan pendidikan
masih tetap terjadi saat ini. Jhon S. Brubacher, seorang Professor di bidang
Sejarah dan Filsafat Pendidikan dari Universitas Yale Amerika Serikat dalam
bukunya "A History of the Problems
of Education" menyebutkan bahwa persoalan-persoalan pendidikan sudah
sejak dahulu kala telah memiliki keterikatan yang sangat erat (closely inter-related) dengan persoalan-persoalan
filsafat. Banyak hal yang menyebabkan persoalan pendidikan memiliki keterikatan
dengan filsafat. Salah satunya adalah pendidikan selalu berusaha membentuk
kepribadian manusia sebagai subyek sekaligus obyek pendidikan. Dalam konteks
ini, pendidikan dihadapkan pada perumusan tujuan yang akan dicapai seseorang
setelah pendidikan itu berlangsung. Setiap rumusan tujuan pendidikan selalu
berupaya menjangkau kawasan paling ideal dan baik seperti; mandiri dan berguna
(UU No. 20 Tahun 2003), dewasa (Langevel), atau insan kamil (Atiyah al-Abrasy).
Formulasi tujuan pendidikan merupakan persoalan yang mendasar dan dalam,
sehingga tidak mungkin dapat dirumuskan dan terjawab oleh analisis ilmiah yang
dangkal, tetapi memerlukan analisis dan pemikiran filosofis.
Sebagai upaya untuk
meningkatkan mutu pendidikan, negara Indonesia menjalin kerja sama dengan
negara-negara tetangga, seperti Kanada, Amerika, Australia, Malaysia dan
negara-negara maju yang lain. Upaya ini, jelas memberikan kontribusi yang
berarti bagi kemajuan pendidikan di Indonesia. Dengan mengadopsi berbagai
bentuk sistem pendidikan dari negara-negara maju yang menggunakan logika saling
melengkapi, pemerintah Indonesia mengandaikan percepatan pembangunan dan
peningkatan kualitas pendidikan Indonesia yang sampai saat ini masih dalam
keadaan mengenaskan. Ketidakjelasan arah kebijakan di dunia pendidikan telah
membuat bingung berbagai pihak yang terkait.
Dampak dari kerjasama tersebut membuahkan improvisasi system pendidikan dan meningkatkan wawasan multi-cultural
education. Akan tetapi, biar bagaimanapun, sikap inferioritas negara
terbelakang (under developed country) yang berlebihan terhadap negara
maju (developed country) sebagai simbol kemodernan dan kemajuan, akan
menimbulkan krisis identitas bangsa itu sendiri. Selain itu, ketergantungan
pendidikan dengan negara (Barat) yang terlalu lama dan berlebihan, tanpa adanya
upaya pembaharuan pendidikan di negara tuan rumah, bisa menciptakan penetrasi
budaya. Akibatnya arus budaya manca berkembang semakin kuat di Nusantara ini,
bahkan di kalangan generasi muda telah terlihat dengan jelas perubahan-perubahan
sosio-kultural yang berkaca pada gaya hidup barat.
Pertanyaannya adalah Siapkah kita dengan “pertarungan
ideologi” dan “benturan kebudayaan”, apabila lembaga pendidikan asing masuk ke
negara kita? Pertanyaan menggelitik itulah yang sampai sekarang belum mampu
dijawab oleh bangsa Indonesia. Dalam konteks inilah penulis mencoba memaparkan
pandangan pendidikan berdasarkan sudut pandang ideologi yang mengakar pada
filsafat pendidikan. Agar tidak membingungkan para pembaca, maka dalam makalah
ini penulis tidak membedakan penggunaan terminology “Ideologi” dan “Filsafat”,
meskipun terdapat perbedaan pendapat tentang makna yang terkandung dalam
penggunaan istilah tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian Filsafat secara umum dan filsafat
pendidikan?
2. Apakah sudut pandang pembahasan tentang filsafat/ideologi
pendidikan?
3. Apakah aliran-aliran dalam filsafat/ideology pendidikan? Dan Bagaimanakah
implikasi aliran-aliran filsafat/ideology pendidikan tersebut dalam pendidikan?
C. Pembahasan
1. Pengertian Filsafat/Ideologi Pendidikan
Kata
filsafat atau falsafat, berasal dari bahasa Yunani: philoshophia yang banyak diperoleh pengertian-pengertian, baik
secara harfiah atau etimologi. Terdiri dari kata philos yang berarti cinta, gemar, suka dan kata sophia berarti pengetahuan, hikmah dan
kebijaksanaan. filsafat menurut arti katanya dapat diartikan sebagai cinta,
cinta kepada ilmu pengetahuan atau kebenaran, suka kepada hikmah juga
kebijaksanaan.
Di dalam filsafat pendidikan, akan kita jumpai berbagai macam hal baru yang
tentunya akan menambah wawasan keilmuan kita. Dan didalam makalah yang singkat
ini akan diterangkan mengenai pengertian filsafat, objek kajian filsafat, serta
fungsi dan tugas filsafat pendidikan itu sendiri. Corak pendidikan itu erat hubungannya dengan corak penghidupan, karenanya jika
corak penghidupan itu berubah, berubah pulalah corak pendidikannya, agar si
anak siap untuk memasuki lapangan penghidupan itu.
Filsafat
pendidikan pada umumnya adalah bagian dari ilmu filsafat, maka dalam
mempelajari filsafat pendidikan perlu memahami terlebih dahulu tentang
pengertian filsafat terutama dengan hubungannya dengan masalah pendidikan.
Hasan Shadily mengatakan bahwa filsafat menurut arti katanya adalah cinta akan
kebenaran. Dengan demikian dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa filsafat adalah
cinta kepada ilmu pengetahuan atau kebenaran, suka kepada hikmah dan
kebijaksanaan. Jadi orang yang berfilsafat adalah orang yang mencintai akan
kebenaran, berilmu pengetahuan, ahli hikmah dan bijaksana.
Berbagai
pengertian (definisi) tentang Filsafat Pendidikan yang telah dikemukakan oleh
para ahli, Al-Syaibany mengartikan bahwa filsafat pendidikan ialah aktifitas
pikiran yang teratur yang menjadikan filsafat tersebut sebagai jalan untuk
mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan. Artinya, bahwa
filsafat pendidikan dapat menjelaskan nilai-nilai dan maklumat-maklumat yang
diupayakan untuk mencapainya, maka filsafat pendidikan dan pengalaman
kemanusian merupakan faktor yang integral atau satu kesatuan. Sementara itu,
filsafat juga didefinisikan sebagai pelaksana pandangan falsafah dan kaidah
falsafah dalam bidang pendidikan, falsafah tersebut menggambarkan satu aspek dari
aspek-aspek pelaksana falsafah umum dan menitik beratkan kepada pelaksanaan
prinsip-prinsip dan kepercayaan yang menjadi dasar dari filsafat umum dalam
upaya memecahkan persoalan-persoalan pendidikan secara praktis. Barnadib
mempunyai versi pengertian atas filsafat pendidikan, yakni ilmu yang pada
hakikatnya merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam bidang
pendidikan. Karenanya, dengan bersifat filosofis, bermakna bahwa filsafat
pendidikan merupakan aplikasi sesuatu analisa filosofis terhadap bidang
pendidikan.
2.
Sudut Pandang Pembahasan Tentang Filsafat/Ideologi Pendidikan
Pengertian Pendidikan dalam Tinjauan Filsafat Pendidikan tentu sedikit
memiliki spesifikasi khusus. Berbeda dengan filsafat umum yang objeknya adalah
kenyataan keseluruhan segala sesuatu, filsafat khusus mempunyai objek kenyataan
salah satu aspek kehidupan manusia yang penting. Filsafat pendidikan yang
menyelidiki hakikat pelaksanaan pendidikan yang bersangkut paut dengan tujuan,
latar belakang, cara, dan hasilnya, serta hakikat ilmu pendidikan yang
bersangkut paut dengan analisis kritis terhadap struktur dan kegunaannya.
Apabila ditinjau dari filsafat pendidikan sebagai filsafat khusus, maka filsafat
ilmu pendidikan merupakan bagian dari filsafat pendidikan yang menyelidiki pendidikan
sebagai ilmu, yang objeknya dapat dibedakan atas empat macam yaitu;
a. Metafisik ; berkaitan
dengan hakekat kenyataan
b. epistemology ; berkaitan
dengan hakikat
mengetahui dan pengetahuan;
c. logika ;berkaitan dengan hakikat
menyimpulkan untuk memperoleh pengetahuan.
d. aksiologi : berkaitan dengan hakikat
nilai-nilai dalam
kaitannya dengan pengetahuan, para filsosof dengan berbagai alirannya memiliki
perbedaaan pandangan. Berikut ini disajikan dalam tabel:
FILSAFAT
|
METAFISIKA
|
EPISTEMOLOGY
|
AXIOLOGY
|
TOKOH
|
IDEALISME
|
Kenyataan
adalah mental atau spiritual dan esensi spriritual bertahan lama tidak
berubah
|
Pengetahuan
adalah didasarkan pada pengakuan dan
pemikiran kembali secaa mendalam tentang ide-ide yang sudah ada pada diri
seseorang
|
Nilai
merefleksikan sifatnya di alam yang mutlak, abadi dan universal
|
1.
Berkeley
2.
Butler
3.
Froebel
4.
Hegel
5.
Plato
|
FILSAFAT
|
METAFISIKA
|
EPISTEMOLOGY
|
AXIOLOGY
|
TOKOH
|
REALISME
|
Kenyataan
adalah obyek yang tersusun atas materi dan bentuk yang berpadu menurut hukum
alam
|
Pengetahuan
terdiri dari sensasi dan abstraksi. Manusia dapat mengetahui objek
berdasarkan sensasi dan data sesnsory seperti warna, ukuran, berat, bau, atau
bunyi.
|
Nilai
memiliki sifat absolute dan abadi berdasarkan hukum alam
|
1.
Aquinas
2.
Aritotle
3.
Broudy
4.
Martin
5.
Pestalozzi
|
PRAGMATISME
(Experimentalism)
|
Kenyataan
merupakan interaksi antara individu dengan lingkungannatau pengalaman;
kenyataan selalu berubah
|
Pengetahuan
berasal dari pengalaman menggunakan metode ilmiah
|
Nilai
adalah situasional dan relatif
|
1.
Childs
2.
Dewey
3.
James
4.
Peirce
|
EXISTENSIALISM
|
Kenyataan
adalah subyektif. Eksistensi mengawali adanya esensi;
|
Pengetahuan
adalah pilihan pribadi
|
Nilai
seharusnya dipilih secara bebas
|
1.
Sartre
2.
Marcel
3.
Morris
4.
Soderquist
|
Sumber: Ornsteine & Levine, 1984
Aliran-aliran
filsafat pendidikan tersebut diatas, kemudian menghasilkan teori-teori
pendidikan. Seperti Perenialisme, Essentialisme, Progresivisme, dan
Reconstructionism. Secara ringkas dipaparkan dalam table berikut:
TEORI
|
TUJUAN
|
KURIKULUM
|
TOKOH
|
PERENIALISME
(berakar
pada filsafat Realisme)
|
Untuk
mendidik manusia yang berakal
|
Mata
pelajaran yang disusun secara hirarkis dimaksudkan untuk meningkatkan
intektualialitas
|
1.
Adler
2.
Hutchins
3.
Maritain
|
ESSENTIALISM
(berakar
pada Idealisme dan Realisme)
|
Untuk
mendidik orang yang kompeten dan berguna
|
Pendidikan
dasar; membaca, menulis, aritmatika, sejarah, bahasa inggris, sains, bahasa
asing
|
1.
Bagley
2.
Bestor
3.
Conant
4.
Morrison
|
PROGRESIVISM
(berakar
pada Pragmatism)
|
Untuk
mendidik individu berdasarkan kebutuhan dan minat individu tersebut
|
Sebuah
aktivitas dan proyeh
|
1.
Dewey
2.
Johnson
3.
Kilpatrick
4.
Parker
5.
washburne
|
RECONSTRUCTIONISM
(berakar
pada Pragmatisme)
|
Untuk
merekonstruksi masyarakat
|
Ilmu
pengetahuan sosial-sains digunakan
untuk alat untuk merekonstruksi
|
1.
Brameld
2.
Counts
3.
Stanley
|
Sumber:
Ornsteine & Levine, 1984
3. Aliran-Aliran Dalam
Filsafat/Ideology Pendidikan dan Implikasinya dalam Pendidikan
A. Aliran Filsafat
Idealisme dalam Pendidikan
Idealisme adalah aliran filsafat yang berpendapat bahwa pengetahuan itu
tidak lain daripada kejadian dalam jiwa manusia, sedangkan kenyataan yang
diketahui manusia itu terletak di luarnya. Konsep filsafat menurut aliran
idealisme adalah: (1) Metafisika-idealisme; Secara absolut kenyataan yang
sebenarnya adalah spiritual dan rohaniah, sedangkan secara kritis yaitu adanya
kenyataan yang bersifat fisik dan rohaniah, tetapi kenyataan rohaniah yang
lebih dapat berperan; (2) Humanologi-idealisme; Jiwa dikarunai kemampuan
berpikir yang dapat menyebabkan adanya kemampuan memilih; (3)
Epistemologi-idealisme; Pengetahuan yang benar diperoleh melalui intuisi dan
pengingatan kembali melalui berpikir. Kebenaran hanya mungkin dapat dicapai
oleh beberapa orang yang mempunyai akal pikiran yang cemerlang; sebagian besar
manusia hanya sampai pada tingkat berpendapat; (4) Aksiologi-idealisme;
Kehidupan manusia diatur oleh kewajiban-kewajiban moral yang diturunkan dari
pendapat tentang kenyataan atau metafisika.
Dalam hubungannya dengan pendidikan, idealisme memberi sumbangan yang besar
tehadap perkembangan filsafat pendidikan. Kaum idealis percaya bahwa anak
merupakan bagian dari alam spiritual, yang memiliki pembawaan spiritual sesuai
potensialitasnya. Oleh karena itu, pendidikan harus mengajarkan hubungan antara
anak dengan bagian alam spiritual. Pendidikan harus menekankan kesesuian batin
antara anak dan alam semesta. Pendidikan merupakan pertumbuhan ke arah tujuan
pribadi manusia yang ideal. Pendidik yang idealisme mewujudkan sedapat mungkin
watak yang terbaik. Pendidik harus memandang anak sebagai tujuan, bukan sebagai
alat.
Menurut Power (1982), implikasi filsafat pendidikan idealisme adalah
sebagai berikut: (1) Tujuan: untuk membentuk karakter, mengembangkan bakat atau
kemampuan dasar, serta kebaikkan sosial; (2) Kurikulum: pendidikan
liberal untuk pengembangan kemam-puan dan pendidikan praktis untuk memperoleh
pekerjaan; (3) Metode: diutamakan metode dialektika, tetapi metode lain yang
efektif dapat dimanfaatkan; (4) Peserta didik bebas untuk mengembangkan
kepribadian, bakat dan kemampuan dasarnya; (5) Pendidik bertanggungjawab dalam
menciptakan lingkungan pendidikan melalui kerja sama dengan alam.
B. Aliran Filsafat
Realisme dalam Pendidikan
Aliran filsafat realisme berpendirian bahwa pengetahuan manusia itu adalah
gambaran yang baik dan tepat dari kebenaran. Konsep filsafat menurut aliran
realisme adalah: (1) Metafisika-realisme; Kenyataan yang sebenarnya
hanyalah kenyataan fisik (materialisme); kenyataan material dan imaterial
(dualisme), dan kenyataan yang terbentuk dari berbagai kenyataan
(pluralisme); (2) Humanologi-realisme; Hakekat manusia terletak pada apa yang
dapat dikerjakan. Jiwa merupakan sebuah organisme kompleks yang mempunyai
kemampuan berpikir; (3) Epistemologi-realisme; Kenyataan hadir dengan
sendirinya tidak tergantung pada pengetahuan dan gagasan manusia, dan kenyataan
dapat diketahui oleh pikiran. Pengetahuan dapat diperoleh melalui penginderaan.
Kebenaran pengetahuan dapat dibuktikan dengan memeriksa kesesuaiannya
dengan fakta; (4) Aksiologi-realisme; Tingkah laku manusia diatur oleh
hukum-hukum alam yang diperoleh melalui ilmu, dan pada taraf yang lebih rendah
diatur oleh kebiasaan-kebiasaan atau adat-istiadat yang telah teruji dalam
kehidupan.
Dalam hubungannya dengan pendidikan, pendidikan harus universal, seragam,
dimulai sejak pendidikan yang paling rendah, dan merupakan suatu kewajiban. Pada tingkat pendidikan yang
paling rendah, anak akan menerima jenis pendidikan yang sama. Pembawaan dan sifat manusia sama pada
semua orang. Oleh karena itulah, metode, isi, dan proses pendidikan harus
seragam. Namun, manusia tetap berbeda dalam derajatnya, di mana ia dapat
mencapainya. Oleh karena itu, pada tingkatan pendidikan yang paling tinggi
tidak boleh hanya ada satu jenis pendidikan, melainkan harus beraneka ragam
jenis pendidikan. Inisiatif dalam pendidikan terletak pada pendidik bukan pada
peserta didik. Materi atau bahan pelajaran yang baik adalah bahan pelajaran
yang memberi kepuasan pada minat dan kebutuhan pada peserta didik. Namun, yang
paling penting bagi pendidik adalah bagaimana memilih bahan pelajaran yang
benar, bukan memberikan kepuasan terhadap minat dan kebutuhan pada peserta
didik. Memberi kepuasan terhadap minat dan kebutuhan siswa hanyalah merupakan
alat dalam mencapai tujuan pendidikan, atau merupakan strategi mengajar yang
bermanfaat.
Menurut Power (1982), implikasi filsafat pendidikan realisme adalah sebagai
berikut: (1) Tujuan: penyesuaian hidup dan tanggung jawab sosial; (2)
Kurikulum: komprehensif mencakup semua pengetahuan yang berguna berisi
pentahuan umum dan pengetahuan praktis; (3) Metode: Belajar tergantung pada
pengalaman baik langsung atau tidak langsung. Metodenya harus logis dan
psikologis. Metode pontiditioning (Stimulus-Respon) adalah metode pokok yang
digunakan; (4) Peran peserta didik adalah menguasai pengetahuan yang handal
dapat dipercaya. Dalam hal disiplin, peraturan yang baik adalah esensial
dalam belajar. Disiplin mental dan moral dibutuhkan untuk memperoleh hasil yang
baik; (5) Peranan pendidik adalah menguasai pengetahuan, terampil dalam teknik
mengajar dan dengan keras menuntut prestasi peserta didik
C. Aliran Filsafat Pragmatisme dalam Pendidikan
Filsafat
pragmatisme muncul bersamaan dengan munculnya tokoh di Amerika yang lahir pada
tahun 1842, yaitu William James. Tokoh lain dalam faham ini adalah John Dewey
dan F.C.S. Schiller. William James
berusia sekitar 68 tahun (1842-1910). James adalah guru besar di Universitas
Harvard dari tahun 1881 sampai tahun 1907. Ia menentang teori filsafat
materialisme tentang alam. Ia juga telah memaparkan kelemahan-kelemahan yang ada
dalam metode metafisika. Selain itu, dirinya juga menolak teori dialektika.
Namun disisi lain, ia menegaskan dukungannya terhadap doktrin irrasionalisme
dan menguatkan analisanya tentang akal yang dinilainya sebagi aliran-aliran
kesadaran. James banyak terpengaruh oleh C.S. Pierce. Hasil karyanya yang
terkenal adalah “Pragmatisme” (1907). Tokoh ini juga berjasa dalam bidang lain,
terutama dalam bidang psikologi. Hasil karyanya yang lain adalah bukunya yang
berjudul “The Meaning of Truth”.
Tokoh yang
sejalan pemikirannya dengan William James adalah John Dewey yang hidup antara
tahun 1859 – 1952. Tokoh asal Amerika ini memiliki pengaruh yang sangat luas di
bidang kajian ilmiah. Problematika nilai merupakan konsentrasi utama kajiannya.
Puncak kajiannya adalah revolusi di bidang pendidikan. Berbagai program
pendidikan yang dinilai Dewey sebagai kriteria pendidikan yang maju dan
progressif adalah kesimpulan alami dari keseluruhan filsafatnya. Dewey banyak
terpengaruh oleh pemikiran C.S.Pierce.
Pragmatisme
(dari bahasa Yunani: pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan,
perbuatan, tindakan) merupakan sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh
William James (1842 – 1910) di Amerika Serikat. Menurut filsafat ini, benar
tidaknya suatu ucapan, dalil atau teori semata-mata bergantung pada manusia
dalam bertindak. Istilah pragmaticisme ini diangkat pada tahun 1865
oleh Charles S. Pierce (1839-1914) sebagai doktrin pragmatisme. Doktrin
dimaksud selanjutnya diumumkan pada tahun 1978.
Diakui atau
tidak, paham pragmatisme menjadi sangat berpengaruh dalam pola pikir bangsa
Amerika Serikat. Pengaruh pragmatisme menjalar di segala aspek kehidupan, tidak
terkecuali di dunia pendidikan. Salah satu tokoh sentral yang sangat berjasa
dalam pengembangan pragmatisme pendidikan adalah John Dewey (1859 – 1952).
Pragmatisme Dewey merupakan sintensis pemikiran-pemikiran Charles S. Pierce dan
William James. Dewey mencapai popularitasnya di bidang logika, etika
epistemologi, filsafat politik, dan pendidikan. Tulisan ini sendiri selanjutnya
akan mendeskripsikan pemikiran John Dewey tentang pragmatisme pendidikan.
Dalam menghadapi industrialisasi Eropa dan Amerika, Dewey
berpendirian bahwa sistem pendidikan sekolah harus diubah. Sains, menurutnya,
tidak mesti diperoleh dari buku-buku, melainkan harus diberikan kepada siswa
melalui praktek dan tugas-tugas yang berguna. Belajar harus lebih banyak
difokuskan melalui tindakan dari pada melalui buku. Dewey percaya terhadap
adanya pembagian yang tepat antara teori dan praktek. Hal ini membuat Dewey
demikian lekat dengan atribut learning by doing. Yang dimaksud di sini
bukan berarti ia menyeru anti intelektual, tetapi untuk mengambil kelebihan
fakta bahwa manusia harus aktif, penuh minat dan siap mengadakan eksplorasi.
Dalam masyarakat industri, sekolah harus merupakan miniatur
lokakarya dan miniatur komunitas. Belajar haruslah dititik tekankan pada
praktek dan trial and error. Akhirnya, pendidikan harus disusun kembali
bukan hanya sebagai persiapan menuju kedewasaan, tetapi pendidikan
sebagai kelanjutan pertumbuhan pikiran dan kelanjutan penerang hidup. Sekolah
hanya dapat memberikan kita alat pertumbuhan mental, sedangkan pendidikan yang
sebenarnya adalah saat kita telah meninggalkan bangku sekolah, dan tidak ada
alasan mengapa pendidikan harus berhenti sebelum kematian menjemput.
Tujuan pendidikan adalah efisiensi sosial dengan cara
memberikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan demi
pemenuhan kepentingan dan kesejahteraan bersama secara bebas dan maksimal. Tata
susunan masyarakat yang dapat menampung individu yang memiliki efisiensi di
atas adalah sistem demokrasi yang didasarkan atas kebebasan, asas saling
menghormati kepentingan bersama, dan asas ini merupakan sarana kontrol sosial.
Mengenai konsep demokrasi dalam pendidikan, Dewey berpendapat bahwa dalam
proses belajar siswa harus diberikan kebebasan mengeluarkan pendapat. Siswa
harus aktif dan tidak hanya menerima pengetahuan yang diberikan oleh guru.
Begitu pula, guru harus menciptakan suasana agar siswa senantiasa merasa haus
akan pengetahuan.
Karena pendidikan merupakan proses masyarakat dan banyak
terdapat macam masyarakat, maka suatu kriteria untuk kritik dan pembangunan
pendidikan mengandung cita-cita utama dan istimewa. Masyarakat yang demikian
harus memiliki semacam pendidikan yang memberikan interes perorangan kepada
individu dalam hubungan kemasyarakatan dan mempunyai pemikiran yang menjamin
perubahan-perubahan sosial.
Filsafat tidak dapat dipisahkan dari pendidikan, karena
filsafat pendidikan merupakan rumusan secara jelas dan tegas membahas problema
kehidupan mental dan moral dalam kaitannya dengan menghadapi tantangan dan
kesulitan yang timbul dalam realitas sosial dewasa ini. Problema tersebut jelas
memerlukan pemecahan sebagai solusinya. Pikiran dapat dipandang sebagai
instrumen yang dapat menyelesaikan problema dan kesulitan tersebut.
Di dalam filsafat John Dewey disebutkan adanya experimental
continum atau rangkaian kesatuan pengalaman, yaitu proses pendidikan yang
semula dari pengalaman menuju ide tentang kebiasaan (habit) dan diri (self)
kepada hubungan antara pengetahuan dan kesadaran, dan kembali lagi ke
pendidikan sebagai proses sosial. Kesatuan rangkaian pengalaman tersebut
memiliki dua aspek penting untuk pendidikan, yaitu hubungan kelanjutan individu
dan masyarakat serta hubungan kelanjutan pikiran dan benda.
Kurang lebih ada tiga sumbangan pemikiran Dewey dalam
pendidikan:
- Dewey melahirkan konsep baru tentang kesosialan
pendidikan. Disini dijelaskan bahwa pendidikan memiliki fungsi sosial yang dinyatakan
oleh Plato dalam bukunya, Republic, dan selanjutnya oleh banyak penulis
disebutkan sebagai teori pendidikan yang umum. Tetapi Dewey lebih dari itu,
bahwa pendidikan adalah instrumen potensial tidak hanya sekedar untuk
konservasi masyarakat, melainkan juga untuk pembaharuannya. Ini ternyata
menjadi doktrin yang akhirnya diakui sebagai demokrasi, dimana Dewey memperoleh
kredit yang tinggi dalam hal ini. Selanjutnya hubungan yang erat antara
pendidikan dan masyarakat; bahwa pendidikan harus terefleksikan dalam
menajemennya dan dalam kehidupan di sekolah terefleksi prinsip-prinsip dan
gagasan-gagasan yang memotivasi masyarakat. Akhirnya proses pembelajaran adalah
lebih tepat disuasanakan sebagai aktivitas sosial, sehingga iklim kerja sama
dan timbal balik menggeser suasana kompetensi dan keterasingan dalam memperoleh
pengetahuan.
- Dewey memberikan bentuk baru terhadap konsep keberpusatan
pada anak. Dalam hal ini pemikiran Dewey berdasar pada landasan-lndasan
filosofis, sehingga lebih kuat jika dibandingkan dengan para pendahulunya.
Demikian pula pada sebuah penelitiannya tentang anak menjadi lebih meyakinkan
dengan dukungan pendekatan keilmuan dan tidak terkesan sentrimental.
- Proyek dan problem solving yang mekar dari sentral konsep
Dewey tentang pengalaman telah diterima sebagai bagian dalam tekhnik
pembelajaran di kelas. Meskipun bukan sebagai pencetus, namun Dewey
membangunnya sebagai alat pembelajaran yang lebih sempurna dengan memberi
kerangka teoritik dan berbasis eksperimen. Dengan demikian, Deweylah yang telah
membawa orang menjadi tetarik untuk menerapkannya dalam kegiatan pembelajaran
sehari-hari di sekolah, termasuk digalakannya kegiatan berlatih menggunakan
inteligensi dalam rangka penemuan.
Dengan ketiga penekanan dalam pendidikan tersebut, telah memberikan udara segar terhadap konsep pendidikan sebagai suatu proses sosial
terkait erat dengan kehidupan masyarakat secara luas di luar sekolah; dan
sebaliknya hal ini juga memberikan kontribusi terhadap peningkatan kehidupan
mesyarakat di sekolah, dan hubungan antara guru dan pengajaran
D. Filsafat Existensialisme
dalam Pendidikan
George R. Knight (1982:6) mengatakan
bahwa filsafat tradisional mempunyai kesamaan mendasar yaitu mengarahkan
pemikirannya pada metafisika sebagai isu utama. Lain halnya dengan filsafat modern, ada perubahan
yang jelas secara hierarkis mengenai arti penting dari tiga kategori filsafat
yang mendasar. Perubahan ini dipicu oleh adanya penemuan sains modern. Beberapa
abad lamanya perspektif filsafat dan pengetahuan tentang manusia cenderung
stabil. Perubahan dimulai pada abad XVII dan XVIII, dimulai dengan penemuan
ilmiah dan teori-teori ilmiah. Kemudian diikuti dengan teknologi yang
menyebabkan revolusi industri. Dari sinilah terjadi diskontinuitas dengan pola
sosial dan pemikiran filsafat tradisional di dunia Barat.
Eksistensialisme
adalah salah satu pendatang baru dalam dunia filsafat. Eksistensialisme hampir
sepenuhnya merupakan produk abad XX. Dalam banyak hal. eksistensialisme lebih
dekat dengan sastra dan seni daripada filsafat formal. Tidak diragukan lagi
bahwa eksistensialisme memusatkan perhatiannya pada emosi manusia daripada
pikiran.
Eksistensialisme
tidak harus dipandang sebagai sebuah aliran filsafat dalam arti yang sama sebagaimana tradisi filsafat sebelumnya.
Eksistensialisme mempunyai ciri:
- Penolakan
untuk dimasukkan dalam aliran filsafat tertentu;
- Tidak
mengakui adekuasi sistem filsafat dan ajaran keyakinan (agama)
- Sangat tidak puas
dengan sistem filsafat
tradisional yang bersifat dangkal, akademis dan jauh dari kehidupan.
Individualisme
adalah pilar sentral dari eksistensialisme. Kaum eksistensialis tidak mengakui
sesuatu itu sebagai bagian dari tujuan alam raya ini. Hanya manusia, yang
individual yang mempunyai tujuan.
Eksistensialisme
berakar pada karya Soren Kierkegaard (1813-1855) dan Friedrich Nietzsche
(1844-1900). Kedua orang ini bereaksi terhadap impersonalisme dan formalisme
dari ajaran Kristen dan filsafat spekulatif Hegel. Kierkegaard mencoba
merevitalisasi ajaran Kristen dari dalam
dengan memberi tempat pada individu dan peran pilihan dan komitmen pribadi.
Pada sisi lain, Nietzsche menolak Kekristenan, menyatakan kematian Tuhan dan
memperkenalkan ajarannya tentang superman
(manusia super).
Eksistensialisme
telah berpengaruh khususnya sejak
perang dunia II. Pencarian kembali
akan makna menjadi penting dalam dunia
yang telah menderita depresi berkepanjangan dan diperparah dengan dua perang
dunia yang dampaknya ternyata sangat besar. Hal ini kemudian menjadi pemicu
bagi kaum eksistensialis memperbaharui pencarian akan makna dan signifikansi
sebagai akibat dari adanya dampak sistem industri modern yang
mendehumanisasikan manusia. Eksistensialisme merupakan penolakan yang luas
terhadap masyarakat yang telah merampas individualitas manusia. Juru bicara
eksistensialisme yang berpengaruh pada abad XX termasuk adalah Karl Jaspers, Gabriel Marcel, Martin
Heidegger, Jean Paul Sartre dan Albert Camus.
Sebagai
pendatang baru dalam dunia filsafat, eksistensialisme memfokuskan utamanya pada
masalah filsafat dan belum begitu
eksplisit terhadap praktik-praktik pendidikan. Beberapa pengecualian ditemukan
pada tokoh-tokoh seperti Martin Buber, Maxine Greene, George Kneller dan Van
Cleve Morris. Eksistensialisme bukanlah filsafat yang sistematis, tetapi
memberi semangat dan sikap yang dapat diterapkan dalam usaha pendidikan.
Secara relatif,
eksistensialisme tidak begitu dikenal dalam dunia pendidikan, tidak menampakkan
pengaruh yang besar pada sekolah.
Sebaliknya, penganut eksistensialisme kebingungan dengan apa yang akan mereka
temukan melalui pembangunan pendidikan.
Mereka menilai bahwa tidak ada yang disebut pendidikan, tetapi bentuk
propaganda untuk memikat orang lain. Mereka juga menunjukkan bahwa bagaimana
pendidikan memunculkan bahaya yang nyata, sejak penyiapan murid sebagai
konsumen atau menjadikan mereka penggerak mesin pada teknologi industri dan
birokrasi modern. Malahan sebaliknya pendidikan tidak membantu membentuk
kepribadian dan kreativitas, sehingga para eksistensialis mengatakan sebagian
besar sekolah melemahkan dan mengganggu
atribut-atribut esensi kemanusiaan. Mereka mengkritik kecenderungan masyarakat
masa kini dan praktik pendidikan bahwa ada pembatasan realisasi diri karena ada
tekanan sosio-ekonomi yang membuat persekolahan hanya menjadi pembelajaran
peran tertentu. Sekolah menentukan peran untuk kesuksesan ekonomi seperti
memperoleh pekerjaan dengan gaji yang tinggi dan menaiki tangga menuju ke
kalangan ekonomi kelas atas; sekolah juga menentukan tujuan untuk menjadi warga
negara yang baik, juga menentukan apa yang menjadi kesuksesan sosial di
masyarakat. Siswa diharapkan untuk belajar peran-peran ini dan berperan dengan
baik pula. Dalam keadaan yang demikian, kesempatan bagi pilihan untuk
merealisasikan diri secara asli dan
autentik menjadi hilang atau sangat berkurang. Keautentikan menjadi begitu
beresiko karena tidak dapat membawa pada kesuksesan sebagaimana didefinisikan
oleh orang lain Di antara kecenderungan masa kini yang begitu menyebar cepat
tetapi sangat sulit dipisahkan adalah mengikisnya kemungkinan keautentikan
manusia karena adanya tirani dari yang rata-rata (tyranny
of the average). Tirani dari aturan yang diktatorial dan otoriter, rejim
dan institusi adalah bentuk nyata dari
penindasan dan paksaan. Tirani dari yang rata-rata tampak
seolah demokratis tetapi dalam kenyataannya adalah gejala penyakit
pikiran massa dan pilihan-pilihan nilainya.
Dalam masyarakat yang berorientasi konsumsi, produk barang dan jasa
dibuat dan dipasarkan untuk membentuk kelompok konsumen terbesar. Media massa,
seni dan hiburan juga dirancang sebagai produk yang akan menarik lebih banyak
audiens. Agen-agen ini yang disebut sebagai agen pendidikan informal
merefleksikan dan menciptakan selera populer. Dalam masayarakat yang seperti
ini, penyimpangan dari yang rata-rata atau kebanyakan orang tidak akan diterima
baik. Keunikan menjadi begitu mahal sehingga hanya dapat dinikmati oleh
orang-orang istimewa, yaitu kaum elit, atau oleh orang-orang yang tidak populer disebut
masyarakat marjinal (Gutek, 1988:123-124).
Secara filosofis,
hal tersebut merupakan pemberontakan terhadap cara hidup individu dalam budaya
populer. Harapan kaum eksistensialis,
individu menjadi pusat dari upaya pendidikan. Maka, sebagaimana
dikatakan oleh Van Cleve Morris bahwa penganut eksestensialis dalam pendidikan
lebih fokus untuk membantu secara individual dalam merealisasikan diri secara
penuh melalui bebera pernyataan berikut:
a. Saya
sebagai wakil dari kehendak, tidak sanggup menghindar dari kehendak hidup yang
telah ada;
b. Saya
sebagai wakil yang bebas, bebas mutlak dalam menentukan tujuan hidup;
c. Saya
wakil yang bertanggung jawab, pribadi yang terukur untuk memilih secara bebas
yang tampak pada cara saya menjalani hidup.
Tata cara para guru
eksistensialis tidak ditemukan pada tata cara guru tradisional. Guru-guru
eksistensialis tidak pernah terpusat pada pengalihan pengetahuan kognitif dan
dengan berbagai pertanyaan. Ia akan lebih cenderung membantu siswa-siswa untuk
mengembangkan kemungkinan-kemungkinan pertanyaan.
Guru akan fokus
pada keunikan indiviadu di antara sesama siswa. Ia akan menunjukkan tidak ada
dua individu yang benar-benar sama di antara mereka yaang sama satu sama lain, karena itu tidak
ada kebutuhan yang sama dalam pendidikan. Penganut eksistensialis akan mencari
hubungan setiap murid sebagaimana yang disebutkan sebagai acuan hubungan Buber
dalam I-Thou dan I-It. Hal itu berarti, ia akan memperlakukan siswa secara
individual di mana ia dapat mengidentifikasi dirinya secara personal.
Para guru
eksistensialis berusaha keras memperjelas pernyataan Rogers tentang
fasilitator. Dalam aturan ini guru
memperhatikan emosi dan hal-hal yang tidak masuk akal pada setiap invidu, dan
berupaya untuk memandu siswanya untuk lebih memahami diri mereka sendiri. Ia
dan anak-anak muda yang bersamanya akan
memunculkan pertanyaan-pertanyaan tentang hidup, kematian, dan makna yang
mereka tampilkan dalam berbagai pengalaman kemanusiaan dengan beberapa sudut
pandang. Melalui berbagai pengalaman ini, guru-guru dan siswa akan belajar dan
bertukar informasi tentang penemuan jati diri dan bagaimana realisasinya dalam
kehidupan dunia antar-sesama dan sebagai individu.
Kurikulum pada
sekolah eksistensialis sangat terbuka terhadap perubahan karena ada dinamika dalam konsep kebenaran,
penerapan, dan perubahan-perubahannya. Melalui perspektif tersebut, siswa harus memilih mata pelajaran yang terbaik. Tetapi,
hal ini tidak berarti bahwa mata pelajaran dan pendekatan kurikuler pada
filsafat tradisional tidak diberi tempat.
Kaum eksistensialis
membuat kesepakatan umum bahwa
fundamen pendidikan tradisional adalah Reading,
Writing, Aritmathics (Three R’s),
ilmu alam, dan pengetahuan sosial. Ini semua sebagai dasar atau fondasi usaha kreatif dan kemampuan manusia
memahami dirinya sendiri. Namun mata pelajaran dasar ini seharusnya disajikan
dengan menghubungkannya secara lebih
banyak lsgi pada perkembangan afektif siswa. Mereka tidak menganjurkan
pemisahan mata pelajaran dengan makna dan maksud individual sebagaimana yang
terjadi dalam pendidikan tradisional.
Ilmu humaniora juga
tampak lebih luas dalam kurikulum eksistensialis, karena mereka memberi banyak
pemahaman dalam dilema-dilema utama eksistensi manusia. Humaniora mengembangkan
tema-tema di seputar penentuan pilihan manusia dalam dalam hal seks, cinta, benci, kematian,
penyakit, dan berbagai aspek kehidupan yang bermakna lainnya. Mereka
menyampaikan pandangan tentang manusia secara menyeluruh, baik dari perspektif
positif maupun negatif, dan oleh karena
itu ilmu mampu menolong manusia memahami
dirinya sendiri. Di luar ilmu dasar dan humaniora, kurikulum eksistensialis
terbuka untuk lainnya. Beberapa mata pelajaran yang bermakna bagi individu
disepakati untuk diajarkan.
Bagi kaum
eksistensialis, metodologi memiliki sejumlah kemungkinan yang tidak terbatas.
Mereka menolak penyeragaman mata pelajaran, kurikulum dan pengajaran, dan
menyampaikan bahwa itu semua sebagai pilihan-pilihan terbuka bagi siswa yang
memiliki hasrat untuk belajar. Pilihan-pilihan ini tidak harus dibatasi pada
sekolah tradisional, tetapi mungkin ditemukan pada berbagai tipe sekolah
alternatif, atau dalam praktek bisnis, pemerintahan, dan usaha-usaha
perseorangan. Ivan Illich meletakkan empat saran untuk variasi pendidikan dalam
masyarakat tanpa sekolah yang dihargai oleh sebagian besar kaum eksistensialis.
Kriteria metodologi
kaum eksistensialis berpusat seputar konsep tanpa kekerasan dan metode-metode
itu yang akan membantu siswa menemukan dan menjadi dirinya sendiri. Mungkin
tipe ideal metodologi kaum eksistensialis dapat dilihat sebagaimana pendekatan
yang dilakukan oleh Carl Rogers “kebebasan belajar” (1969) dan A.S. Neills di
Sumerhill: sebuah pendekatan radikal dalam pembelajaran anak (1960).
Kaum eksistensialis
secara umum tidak menaruh perhatian
khusus terhadap kebijakan sosial pendidikan atau sekolah. Filsafat
mereka bertumpu pada kebebasan
individual daripada aspek-aspek sosial eksistensi manusia (Knight, 1982:76-77).
F. Penutup
Setiap pemikiran filsafat lahir tidak pernah lepas dari konteks zamannya,
demikian pula dengan eksistensialisme,
Idealisme, Realisme, Pragmatisme. sebagai bangsa Indonesia yang berfilsafat Pancasila, ada pula hal-hal yang
harus direnungkan kembali dalam menyikapi
berbagai aliran filsafat tersebut. Bagi masyarakat Indonesia, terutama pendidik,
jangan sampai dijadikan ideologi. Karena ideologi akan mengarah pada
absolutisasi kebenaran. Sikap kritis diperlukan dalam memaknai dan mengambil
intisari aliran-aliran filsafat atau ideologi ini . Tetapi, perlu pula
dikritisi bahwa para pendidik Indonesia harus dapat memilih dan memilah atau
dalam istilah yang dikemukakan oleh Notonagoro ”eklektif in corporatif’. Proses ini pada intinya adalah mengambil
hal-hal yang baik dari berbagai pemikiran yang ada dengan menyeleksi terlebih
dahulu, untuk kemudian dijadikan bagian integral pemikiran khas Indonesia. .
DAFTAR PUSTAKA
Asy-Syarafa, Ismail. 2002. Ensiklopedi
Filsafat diterjemahkan oleh Shofiyullah Mukhlas, Khalifa, Jakarta.
Fasli Jalal & Dedi
Supriadi. 2001. Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta; Depdiknas – Bappenas - Adicita.Karya
Nusa
Knight,
George. R, 1982. Issues and Alternatives
in Educational Philosophy. Michigan: Andrews University Press.
Mudyahardjo, R., (2001). Filsafat Ilmu
Pendidikan: Suatu Pengantar. Remaja Rosdakarya: Bandung
Notonagoro,
1987. Pancasila secara Ilmiah Populer.
Penerbit Pancuran Tujuh: Jakarta.
O’neill, William F. 2010.
Ideologi-Ideologi pendidikan, Terjemahan oleh: Oki Intan Naomi. Pustaka
Pelajar: Bandung.
Ornstein, Allan,C, &
Levine, Daniel.U. 1985. An Introduction
to the Foundation of Education. Houghton Mifflin Comapany; Boston
R.C. Salomon dan K.M. Higgins,2003.
Sejarah Filsafat, Bentang
Budaya: Yogyakarta
Sadulloh, U. (2004). Pengantar
Pilsafat Pendidikan. Bandung: Alpabeta.
Sudarsono. 2001. Ilmu Filsafat
Suatu Pengantar, Rineka Cipta: Jakarta