f ' Inspirasi Pendidikan: Ilmu Pendidikan

Inspirasi Pendidikan untuk Indonesia

Pendidikan bukan cuma pergi ke sekolah dan mendapatkan gelar. Tapi, juga soal memperluas pengetahuan dan menyerap ilmu kehidupan.

Bersama Bergerak dan Menggerakkan pendidikan

Kurang cerdas bisa diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur itu sulit diperbaiki (Bung Hatta)

Berbagi informasi dan Inspirasi

Tinggikan dirimu, tapi tetapkan rendahkan hatimu. Karena rendah diri hanya dimiliki orang yang tidak percaya diri.

Mari berbagi informasi dan Inspirasi

Hanya orang yang tepat yang bisa menilai seberapa tepat kamu berada di suatu tempat.

Mari Berbagi informasi dan menginspirasi untuk negeri

Puncak tertinggi dari segala usaha yang dilakukan adalah kepasrahan.

Tampilkan postingan dengan label Ilmu Pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ilmu Pendidikan. Tampilkan semua postingan

Selasa, 14 Maret 2023

PEMBUDAYAAN PENDIDIKAN

 

PEMBUDAYAAN PENDIDIKAN

Oleh: Dr. Hariyanto, M.Pd

           Mengawali tulisan ini, terlebih dahulu penulis akan menjelaskan bahwa dengan menuliskan judul ”Pembudayaan Pendidikan” tidak berarti penulis  memisah dan hendak mencabut budaya dari pendidikan atau sebaliknya menceraikan pendidikan dari budaya. Karena pada dasarnya antara budaya dan pendidikan adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Antara pendidikan dan kebudayaan terdapat hubungan yang sangat erat dalam arti keduanya berkenaan dengan suatu hal yang sama yakni nilai-nilai. Dalam konteks kebudayaan justeru pendidikan memainkan peranan sebagai agen pengajaran nilai-nilai budaya. Pada dasarnya pendidikan yang berlangsung adalah suatu proses pembentukan kualitas manusia sesuai dengan kodrat budaya yang dimiliki.
    Theodore Brameld dalam karyanya “Cultural Foundation of Education” (1957) menyatakan adanya keterkaitan yang erat antara pendidikan dengan kebudayaan berkenaan dengan satu urusan yang sama, dalam hal ini ialah pengembangan nilai. Sementara itu Edward B. Tylor dalam karyanya "Primitive Culture" (1929) menulis apabila kebudayaan mempunyai tiga komponen strategis, yaitu sebagai tata kehidupan (order), suatu proses (process) , serta bervisi tertentu (goals), maka pendidikan merupakan proses pembudayaan. Masih menurut Tylor, tidak ada proses pendidikan tanpa kebudayaan dan tanpa adanya masyarakat; sebaliknya tidak ada kebudayaan dalam pengertian proses tanpa adanya pendidikan.
      Berdasarkan pengertian tersebut, kita bisa memposisi pendidikan dengan kebudayaan di dalam tata hubungan yang saling mempengaruhi (reciprocal relationship); atau pendidikan merupakan variabel yang mendorong terjadinya perubahan kebudayaan di dalam tata hubungan asimetris di mana suatu variabel mempengaruhi variabel yang lainnya (causal asymetrical relationship) . (Ki Supriyoko, 2003)
    Afinitas mengenai pendidikan dan kebudayaan dapat kita cermati dalam ciri khas manusia sebagai makhluk simbolik. Hanya manusialah yang mengenal dan memanfaatkan simbol-simbol di dalam kelanjutan kehidupannya. Simbol-simbol itu dapat kita lihat di dalam kebudayaan manusia. Mengingat kebudayaan dilestarikan dan dikembangkan melalui simbol-simbol maka semua tingkah laku manusia terdiri dari, dan tergantung pada simbol-simbol tersebut. Sebaliknya kebudayaan bisa lestari apabila memiliki daya kerja yang kuat dalam memberikan arahan para pendukungnya. Oleh karena itu kebudayaan diturunkan kepada generasi penerusnya lewat proses belajar tentang tata cara bertingkah laku. Sehingga secara wujudnya, substansi kebudayaan itu telah mendarah daging dalam kepribadian anggota-anggotanya.
    Pembudayaan pendidikan merupakan langkah dalam mewujudkan berlangsungnya proses pendidikan secara terus menerus sesuai dengan kondisi dan situasi dimana individu berada. Dalam masyarakat proses pembudayaan sebagai regenerasi terus berlangsung namun pembudayaan dalam pendidikan memiliki ketergeseran fungsi yang dipengaruhi oleh globalisasi dan berdampak pada perubahan sosial dan kebudayaan didalamnya mencakup hubungan antara kebudayaan dan kepribadian.
Selanjutnya yang akan dibahas sekarang adalah (1) Bagaimana pembudayaan pendidikan pada masyarakat Indonesia? (2) Bagaimana peran lembaga pendidikan sebagai agen budaya? (3) Apakah kendala-kendala pembudayaan pendidikan ?


 Pembudayaan Pendidikan Pada Masyarakat Indonesia
    Pembudayaan pendidikan pada masyarakat Indonesia pada hakekatnya merupakan proses pewarisan budaya di masyarakat dengan berbagai bidang, dapat diartikan pula membudayakan pemahaman masyarakat pada pendidikan untuk alih (transfer) keilmuan dan teknologi sebagai modal inovasi dalam peradaban masyarakat.
    Pendidikan nasional tidak saja tak terpisahkan dari budaya, falsafah dan amanat konstitusional bangsa Indonesia tetapi juga sebagai wahana untuk mewujudkannya dalam perikehidupan berbangsa dan bernegara senyatanya. Menurut Semiawan (1993:3), dalam konteks yang luas pembangunan sistem pendidikan nasional “merupakan suatu pendekatan budaya untuk meningkatkan pengalaman belajar manusia secara kreatif menjadi bermanfaat bagi kehidupan manusia pada umumnya, masyarakat Indonesia khususnya, sehingga suatu proses pendidikan selalu mengandung makna pembudayaan apa yang menjadi isi pendidikan tersebut. Dengan demikian pendidikan memiliki jangkauan yang lebih luas dari sekedar pembelajaran, karena mendidik berimplikasi membudayakan. Dalam satu konsep sederhana, pembudayaan adalah proses pencapaian hasil yang permanen berupa penghayatan segenap pengetahuan dan keterampilan yang didapat melalui pendidikan sehingga dengannya individu yang bersangkutan mampu berbuat atau melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupannya dan/atau kehidupan orang lain. Proses ini seyogyanya berlangsung seiring dengan proses pendidikan itu sendiri.
    Dengan demikian pembudayaan mensyaratkan ‘penghayatan’ dan ‘perbuatan’ nyata yang timbul pada individu sebagai hasil pendidikan, baik yang berlangsung dalam keluarga, di masyarakat, ataupun dalam lembaga pendidikan formal seperti sekolah. Dalam pengertian ini, hasil nyata pendidikan dapat dilihat dari seberapa tinggi penghayatan peserta didik terhadap apa yang diperolehnya melalui pendidikan serta seberapa ia mampu berbuat untuk memperoleh manfaat dari pendidikannya baik bagi dirinya sendiri maupun bagi masyarakatnya. Peserta didik yang memperoleh berbagai pengetahuan melalui proses pendidikan formal, misalnya, tetapi tidak pernah mengetahui manfaat dari apa yang diketahuinya itu, jelas tidak tersentuh oleh proses pembudayaan secara memadai. Peserta didik yang hanya melihat (disadarinya atau tidak) proses pembelajaran sebagai usaha untuk bisa menjawab soal-soal ujian atau untuk lulus atau memperoleh nilai bagus dalam evaluasi akhir merupakan contoh lain dari kurang memadainya sentuhan pembudayaan dalam pendidikan yang dialaminya.

      Peran Lembaga Pendidikan Sebagai Agen Budaya
    Sekolah sering berada dalam posisi yang ‘kurang mengenakkan’ dalam masyarakat. Di satu pihak, pandangan dan harapan masyarakat begitu tinggi terhadap sekolah dan cenderung berimplikasi bahwa sekolah ‘can do everything’ dan ‘can solve all problems,’ sehingga orang tua sering berpendapat bahwa dengan memasukkan putra-putrinya ke sekolah segala pendidikannya akan ‘beres.’ Di pihak lain, sebagai penyelenggara pendidikan, sekolah sering dilihat sebagai satu-satunya yang bertanggungjawab terhadap keberhasilan atau kegagalan pendidikan. Segala fenomena masyarakat yang bisa dihubungkan dengan tingkat keterdidikan pelaku-pelaku yang terlibat, terutama yang ber-implikasi negatif, akan secara otomatis dikaitkan dengan pendidikan dan, sehubungan dengan ini, sekolah sebagai institusi pendidikan akan langsung menjadi sorotan. Sementara perilaku masyarakat berkaitan erat dengan tingkat pendidikannya (Susanto, 2000), fenomena seperti korupsi, kebrutalan massa, amuk massa, kerusuhan, main hakim sendiri, kekurangdisiplinan, merapuhnya sopan santun, dan sejenisnya akan dihubungkan dengan kegagalan pendidikan, dan ini, paling tidak sebagiannya, dianggap kegagalan sekolah (periksa, misalnya, Supriyoko, 1999; Darmaningtyas, 1999; dan Amir Santoso, 2000).
    Hasil pendidikan di sekolah memang tidak sepenuhnya bisa dihubungkan dengan kebobrokan yang ada di masyarakat. Demikian juga berbagai situasi sosial, politik, ekonomi, dan hukum di masyarakat yang ada dalam posisi ‘krisis’ tidak mesti berkaitan  dengan hasil-hasil pendidikan di sekolah. Akan tetapi memang ada aspek-aspek tertentu dalam sistem penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang masih perlu dicermati, antara lain kurang diperhatikannya fungsi sekolah sebagai agen pembudayaan. Situasi ini bisa dikaitkan dengan kebijakan di tingkat makro, di samping praktik penyelenggaraan pendidikan secara mikro di sekolah-sekolah.
     Proses pembelajaran atau proses belajar-mengajar seperti yang terlaksana sekarang tidak secara otomatis merupakan proses pembudayaan dari mata pelajaran yang dipelajari atau diajarkan. Mata pelajaran yang diajarkan dengan hanya menekankan pada aspek pengalaman kognitif saja belum tentu ‘terbudayakan’ secara memadai pada peserta didik. Artinya, siswa mungkin menginternalisasi kemampuan komprehensi sampai kemampuan sintesis dalam mata pelajaran yang bersangkutan, tetapi tidak sampai menyentuh sisi afektifnya, sehingga tidak terjadi penghayatan terhadap mata pelajaran tersebut. Dengan kata lain, proses pembelajaran yang terjadi tidak sampai menimbulkan rasa senang atau kecintaan terhadap apa yang dipelajari. Sering yang terjadi adalah kebalikannya, yaitu rasa tidak senang, rasa tidak mampu, frustasi, dan sejenisnya yang pada akhirnya menimbulkan kebencian peserta didik terhadap mata pelajaran tertentu.
    Pembudayaan akan terjadi kalau proses pembelajaran, disamping merangsang dan melatih nalar kognitif peserta didik, juga menggugah secara memadai nalar afektifnya. Secara mikro, peranan metodologis-didaktis guru dengan segala kiat yang digunakannya akan cukup menentukan seberapa jauh sisi afektif siswa terhadap suatu mata pelajaran bisa diaktifkan dalam proses pembelajaran sehingga menggugah dan membangkitkan penghayatannya terhadap apa yang dipelajarinya itu. Dari sudut pandang lain, dituntut juga bahwa guru tidak hanya menekankan instructional effects mata pelajaran yang diajarnya tetapi juga memberikan perhatian yang cukup terhadap nurturant effects yang menyertai proses belajar mengajar itu.
    Di samping sebagai pengajar, guru adalah pendidik (Buchori, 1994) dan pembudaya (Napitupulu, 1999). Guru dituntut untuk membudayakan apa yang diajarkannya pada peserta didik. Misalnya di bidang matematika, proses belajar-mengajar bisa diarahkan untuk mengembangkan nilai-nilai ketelitian, keuletan, dan kejujuran dan sekaligus penghayatan terhadap matematika sebagai disiplin ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan, sehingga matematika tidak perlu menjadi ‘momok’ peserta didik. Hadiwardoyo (1993) menekankan bahwa guru sebagai pendidik harus mampu menggugah hati peserta didik untuk mempraktikkan atau mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam mata pelajaran dan juga harus menyadari bahwa proses ini berlangsung tahap demi tahap serta memerlukan integritas dan keteladanan yang mantap dari guru itu sendiri.
    Melalui proses belajar-mengajar guru juga bisa membudayakan IPTEK, yang sangat penting peranannya dalam mensejahterakan umat manusia. Sikap, ketekunan, dan curiosity peneliti bisa dibudayakan secara bertahap pada peserta didik, mulai dari proses mengidentifikasi masalah, mencari pemecahan, pengujian sampai pada pembuktian kebenaran. Yang penting adalah bahwa semua ini ditempuh dengan secara maksimal mengaktifkan kemampuan afektif peserta didik, di samping memberinya pengalaman kognitif yang diperlukan. Budaya baca-tulis juga sangat erat hubungannya dengan IPTEK sehingga perlu ditanamkan di kalangan peserta didik. Kegemaran dan kecintaan terhadap mem-baca, misalnya, tidak bisa dihasilkan dari proses pembelajaran membaca saja. Kebiasaan membaca yang baik dan menyenangkan adalah hasil pembudayaan. 
    Sekolah juga merupakan agen pembudayaan nilai-nilai kebangsaan dan budaya bangsa. Seperti telah dikemukakan di bagian depan tulisan ini, pendidikan nasional adalah wahana penanaman dan pengembangan budaya bangsa. Dalam pengertian yang luas, setiap bagian dari ikhtiar pendidikan tidak hanya harus mengacu kepada nilai-nilai budaya bangsa tetapi juga mampu menanamkan nilai-nilai tersebut pada peserta didik. Melalui pendidikan nasional dilakukan upaya memajukan kebudayaan nasional, yang harus diartikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kemampuan intelektual dan profesional, sikap, watak, dan kepribadian manusia Indonesia yang demokratis dan berbudaya (Soedijarto, 1999).
    Dalam era teknologi dan derasnya arus globalisasi dewasa ini pendidikan untuk memantapkan integritas nilai-nilai budaya dan integritas bangsa menempati posisi yang sangat krusial. Sering terjadi bahwa kemajuan IPTEK dan kesejahteraan dicapai oleh satu masyarakat bangsa dengan mengorbankan identitas dan kepribadian bangsanya. Hal ini mengisyaratkan bahwa kita dihadapkan pada tantangan dalam menyusun program pendidikan yang mampu menghasilkan manusia-manusia modern yang didukung oleh penguatan dalam pewarisan budaya dan identitas bangsa (Suryadi dan Tilaar, 1993). Raka Joni (1990) menggambarkan masyarakat Indonesia masa depan sebagai masyarakat moderen yang bernafaskan Pancasila. Kalau tujuan pendidikan nasional mengacu kepada masyarakat seperti ini, maka pendidikan nasional harus melakukan dua hal dalam waktu yang bersamaan: memoderenkan bangsa Indonesia dan melestarikan nilai-nilai budaya bangsa yang tersirat dalam Pancasila. 
    Sekolah sebagai agen pembudayaan dituntut untuk mampu menyelenggarakan pendidikan yang menanamkan nilai-nilai budaya bangsa dalam rangka menguatkan integritas dan kepribadian bangsa. Pada tingkat mikro, proses pembudayaan ini dilakukan melalui proses belajar-mengajar yang tidak bisa hanya diberikan melalui pengalaman kognitif, melainkan harus secara signifikan menyentuh kecerdasan afektif peserta didik. Penanaman nilai-nilai budaya bangsa melalui perpaduan antara logika, etika, dan estetika (Donosepoetro, 2000b) akan menggugah penghayatan dan kecintaan peserta didik terhadap nilai-nilai budaya bangsanya.

      Kendala-Kendala Pembudayaan Pendidikan
Kendala yang perlu dibahas dalam hubungannya dengan peningkatan mutu pendidikan di tanah air, khususnya yang berkaitan dengan pembudayaan melalui pendidikan di sekolah. Ada kendala di tingkat kebijakan (makro) dan ada pula kendala di tingkat sekolah (mikro).

    1. Kualifikasi Formal dan Sistem Pendidikan Guru
Mencermati kualifikasi formal dan sistem pendidikan guru yang berlaku saat ini di LPTK, beberapa hal perlu dicatat sebagai kelemahan. Pertama, kualifikasi formal guru, baik untuk jenjang pendidikan dasar maupun menengah, masih rendah. Yang ideal adalah bahwa guru SD dan SLTP sedikitnya berkualifikasi S1 (sarjana muda) dan guru sekolah menengah sedikitnya berkualifikasi S2 (magister). Kedua, kurikulum pendidikan guru di LPTK sangat didominasi oleh mata kuliah yang terlalu berorientasi kognitif. Ini bisa dilihat dari pembelajaran yang exam-oriented dan sistem evaluasi yang sangat mene-lantarkan kemampuan afektif mahasiswa. Ketiga, praktik pengalaman lapangan (PPL), di samping waktunya yang umumnya terlalu singkat, tidak menjamin sistem bimbingan yang profesional dan efektif. Keempat, sistem saringan melalui ujian masuk perguruan tinggi secara umum dan tersentralisir (SPMB, UMPTN, apapun namanya) kurang tepat untuk LPTK, karena tidak bisa membedakan antara calon yang betul-betul berminat menjadi guru dan yang sebenarnya tidak berminat tetapi ‘terpaksa.’
       Karena profesi guru sebagai pendidik dan pembudaya memerlukan kemampuan afektif yang tinggi, sistem pendidikan guru yang hanya menekankan pada kemampuan kognitif akan menjadi kendala bagi tersedianya tenaga guru yang betul-betul memenuhi kualifikasi pendidik dan pembudaya. Demikian juga tingkat kemampuan profesionalnya yang paspasan akan menjadi kendala baginya dalam menjalankan profesinya secara op-timal. Misalnya guru SD dengan kualifikasi D2 akan mengalami kesulitan kalau dituntut untuk meningkatkan kualitas pengajarannya melalui penelitian karena kemampuan meneliti belum dimilikinya. Praktik pengalaman lapangan yang tidak memadai tidak bisa menjamin bahwa lulusan LPTK memiliki kesiapan penuh sebagai pengajar, apalagi se-bagai pendidik dan pembudaya.
  Mahasiswa LPTK yang terjaring melalui ujian masuk perguruan tinggi yang diselenggarakan secara nasional (SPMB) belum tentu mempunyai minat dan kecintaan terhadap profesi guru, walaupun mereka telah memilih untuk masuk LPTK. Kalau ter-nyata mereka tidak berminat menjadi guru tetapi kemudian lulus dan diangkat sebagai guru, akan timbul masalah integritas yang serius sepanjang kariernya sebagai guru dan ini akan mengganggu pelaksanaan tugas-tugasnya. Dengan masalah seperti ini tentu saja dia tidak akan bisa menjadi pendidik dan pembudaya yang baik.

    2. Budaya Top-Down
    Budaya top-down yang menjadi ciri khas kebijakan pendidikan nasional selama ini ‘membunuh’ kreativitas sekolah dan guru. Budaya seperti ini juga mempengaruhi sikap guru terhadap peserta didiknya, yaitu guru akan menganut sikap ‘serba ditentukan dari atas. Kreativitas sekolah dalam mengelola pendidikan sesuai dengan situasi dan kondisi setempat-setempat sangat mempengaruhi efektivitas pendidikan. Kalau guru menganut budaya ‘serba ditentukan dari atas’ maka proses pembelajaran di kelas akan terpasung dalam suasana yang kaku sehingga kreativitas siswa akan mati. Sedangkan proses pembudayaan memerlukan kreativitas peserta didik, suasana bebas terbuka yang menyenangkan, dan hubungan guru-siswa yang demokratis. Dalam budaya top-down, peserta didik juga akan ‘membudayakan’ suasana ‘serba diatur’ sehingga prakarsa dan rasa tanggungjawabnya tidak berkembang. Budaya kritis dan mandiri tidak tumbuh, sementara budaya bergantung menjadi bertambah subur.
    Situasi seperti ini jelas merugikan pendidikan nasional dan akan berdampak terhadap budaya masyarakat terpelajar kita. Salah satu contoh budaya top-down yang mengingkari keanekaragaman daerah adalah kebijakan ‘buku paket.’ Kebijakan ini, di samping sering mengalami kendala teknis seperti kesulitan transportasi dari pusat ke daerah, juga melecehkan kewenangan dan kemampuan sekolah untuk mengatur pengelolaan pendidikan sesuai dengan aspirasi masyarakat lingkungannya. Tambahan lagi, kebijakan buku paket bisa menumbuhkan budaya KKN, yang tentu saja menjadi sebuah ironi yang menyakitkan dalam dunia pendidikan kita.
    Semoga degan diberlakukannya kurikulum merdeka, akan juga berdampak untuk mengikis hal-hal tersebut dan bukan bertambah menyuburkannya.

3.   Hubungan Guru-Siswa

    Seperti telah dikemukakan di bagian depan, hubungan guru siswa dalam konteks pembelajaran atau proses belajar-mengajar selama ini berpola top-down. Dengan pola ini, hubungan guru-murid menjadi kaku dan dominasi guru mewarnai interaksi pendidikan. Modus pendidikan seperti ini tidak bisa mengembangkan budaya demokrasi di sekolah dan ini akan berlanjut kelak di masyarakat. Kreativitas peserta didik juga terpasung sampai titik terendah.

4.   Faktor Pendukung Profesi Guru
    Di samping kendala rendahnya tingkat kesejahteraan dan kualitas profesional guru, beberapa faktor pendukung yang menopang profesi guru sering sangat minim ke-beradaannya di sekolah. Misalnya, untuk kebanyakan sekolah di tanah air, guru tidak memiliki ruang kerja yang memadai di mana dia bisa bekerja dengan nyaman pada wak-tu tidak berada di kelas. Yang ada hanya sebuah ‘common room’ yang kadang-kadang tidak cukup luas untuk memberikan kenyamanan walaupun hanya untuk melepaskan lelah. Sekolah juga tidak memiliki perpustakaan guru yang memadai, apalagi yang up to date. Fasilitas pendidikan lainnya umumnya juga sangat terbatas.
Berdasarkan uraian diatas, penulis dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :

1. Pembudayaan pendidikan pada masyarakat Indonesia pada hakekatnya merupakan proses pewarisan budaya di masyarakat dengan berbagai bidang, dapat diartikan pula membudayakan pemahaman masyarakat pada pendidikan untuk alih (transfer) keilmuan dan teknologi sebagai modal inovasi dalam peradaban masyarakat.

2.  Terdapat beberapa Kendala dalam hubungannya dengan peningkatan mutu pendidikan di tanah air, khususnya yang berkaitan dengan pembudayaan melalui pendidikan di sekolah. Ada kendala di tingkat kebijakan (makro) dan ada pula kendala di tingkat sekolah (mikro). Misalnya; Kualifikasi formal dan pendidikan guru, Budaya Top-Down, Relasi guru dengan Siswa di kelas, faktor pendukung profesi guru , dll. 

            Walaupun secara konseptual pembudayaan itu ‘bersenyawa’ dengan pendidikan, namun kenyataan dalam praktik tidak sepenuhnya mendukung hal itu. Berbagai kendala yang ada, baik di tingkat kebijakan maupun di tingkat sekolah, menyebabkan hampir tidak pernah pendidikan itu tersampaikan secara utuh di sekolah. Sekolah lebih banyak menyelenggarakan ‘pengajaran’ daripada pendidikan. Oleh karena itu sangat perlu diupayakan agar pendidikan yang kita selenggarakan betul-betul membudayakan apa yang dididikkan kepada peserta didik.

3.  Sekolah sebagai agen pembudayaan dituntut untuk mampu menyelenggarakan pendidikan yang menanamkan nilai-nilai budaya bangsa dalam rangka menguatkan integritas dan kepribadian bangsa. Pada tingkat mikro, proses pembudayaan ini dilakukan melalui proses belajar-mengajar yang tidak bisa hanya diberikan melalui pengalaman kognitif, melainkan harus secara signifikan menyentuh kecerdasan afektif peserta didik. Penanaman nilai-nilai budaya bangsa melalui perpaduan antara logika, etika, dan estetika akan menggugah penghayatan dan kecintaan peserta didik terhadap nilai-nilai budaya bangsanya.

---------------------
* Penulis adalah pemerhati di bidang pendidikan


MANUSIA, PENDIDIKAN DAN PERKEMBANGAN PERADABAN

 


MANUSIA, PENDIDIKAN DAN PERKEMBANGAN PERADABAN

Oleh: Dr. Hariyanto, M.Pd*

Manusia memiliki peran penting dalam perkembangan pendidikan dan peradaban suatu bangsa. Keberadaan manusia menjadi subyek sekaligus menjadi obyek dalam percaturan pendidikan yang pada akhirnya memberikan sumbangsih pada pasang surutnya peradaban. Untuk membahas lebih detail tentang korelasi ketiga unsur tersebut, maka kita akan memulainya dengan konsep manusia, kemudian pendidikan, dan yang terakhir adalah peradaban.

Manusia

Terdapat berbagai pandangan yang mencoba mengupas hakekat manusia. Dalam sudut pandang yang berbeda. dalam Perspektif filsafat: Menurut filsuf Plato: Manusia adalah makhluk berakal dan akal manusia berfungsi mengarahkan budi. Menurut filsuf Aristoteles: Manusia adalah binatang yang berfikir. Perspektif antropologi: Manusia tergolong primata yang paling sempurna jasmani dan rohani, sehingga tidak tertutup kemungkinan melahirkan perilaku dalam berbagai bentuk dan implikasinya. Perspektif psikologi modern: Bagi Aliran Behaviorisme, manusia adalah makhluk netral. Ketika manusia dilahirkan, pada dasarnya tidak membawa bakat apa-apa. Manusia akan berkembang berdasarkan stimulasi dalam lingkungannya. Bagi Aliran Psikoanalisis: Manusia adalah makhluk yang hidup atas bekerjanya dorongan seksualitas yang memberi daya pada eqo (kesadaran terhadap realitas kehidupan dan super eqo (kesadaran normatif). Perspektif Psikologi humanistik: Manusia pada dasarnya punya potensi yang baik dan kemampuan yang tak terhingga serta memiliki otoritas atas kehidupannya sendiri. Manusia memiliki kualitas insani yang unik yaitu (kemampuan abstraksi, daya analisis dan sisntesis, imajinasi, kreativitas, kebebasan kehendak, tanggungjawab, aktualisasi diri, sikap etis dan estetika. Perspektif psikologi tranpersonal: Perspektif ini merupakan lanjutan dari psikologi humanistik. yaitu; Manusia memiliki potensi luhur dalam bentuk dimensi spiritual dan fenomena kesadaran transendental (manusia memiliki pengalaman subjektif transendental dan pengalaman spiritual). Perspektif Pendidikan: Manusia adalah homo edukatif. Ketidakberdayaan manusia ketika lahir menjadi peluang bahwa manusia adalah makhluk yang dapat dididik. Perspektif Sosiologi : Manusia adalah homo sosio yaitu makhluk bermasyarakat. (Rahmat, 2010).

Tirtaraharja dan Sulo (2005) memaparkan sifat hakekat manusia yaitu (1) Kemampuan menyadari diri, (2) Kemampuan bereksistensi, (3)Pemilikan kata hati, (4)Moral, (5) Kemampuan bertanggung jawab, (6) Rasa kebebasan (kemerdekaan), (7) Kesediaan melaksanakan kewajiban dan menyadari hak Kemampuan menghayati kebahagiaan.

Berbagai perspektif tentang manusia di atas menunjukkan betapa kompleks dan potensi dasar yang dimiliki manusia. Dalam sudut pandang agama Islam sesungguhnya Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk-Nya yang termulia. Kemuliaan penciptaan manusia mencakup dua aspek yang sangat menonjol, yaitu kesempurnaan jasmani dan kesempurnaan rohani. Dilihat dari bentuk jasmani (fisik), nampak betapa sempurna rupa dan keindahannya. Keseimbangan bentuknya serasi dengan fungsi organ tubuhnya. Dari segi psikhis, nampak betapa manusia diberikan banyak kelebihan dibandingkan dengan makhluk Allah SWT. yang lainnya. Dua aspek yang sangat sempurna menyatu dalam suatu bentuk makhluk Allah SWT., yang bernama manusia (Yusuf, 2018).

Pendidikan

Manusia tidak bisa dilepaskan dari pendidikan. Sejak manusia pertama diciptakan sesungguhnya sudah dimulai proses pendidikan tersebut. Qur’an Surat Al Baqarah ayat 31 yang artinya: “ dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar!”

Ayat di atas, mengindikasikan dua hal: pertama: bahwa sejarah pendidikan lahir bersamaan dengan sejarah kadatangan manusia, dan kedua: pendidikan inheren dengan kehidupan manusia.

Dalam perspektif teori pendidikan modern, ayat di atas, juga menjelaskan lima unsur pokok dalam dalam proses pendidikan dan pembelajaran, yaitu: (1) pendidik, yaitu Allah swt, (2) peserta didik, yaitu Adam a.s., (3) materi pendidikan yaitu pembelajaran tentang nama-nama benda, (4) metode yaitu bagaimana Allah swt mengajarkan Adam tentang nama-nama benda tersebut, (5) evaluasi, yaitu Adam diuji kemampuannya dengan menyebutkan nama-nama benda yang telah diajarkan kepadanya.

Unsur-unsur pokok dalam pendidikan tersebut jika kita terapkan dalam perspektif pendidikan saat ini adalah  Peserta didik. Peserta didik  berstatus sebagai subjek didik dalam suatu pendidikan. Peserta didik merupakan seseorang yang memiliki potensi fisik dan psikis, seorang individu yang berkembang serta individu yang membutuhkan bimbingan dan perlakuan manusiawi. Peserta didik juga memiliki kemampuan untuk mandiri. Peserta didik juga tidak memandang usia.  Pendidik, Pendidik adalah orang yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan pendidikan dengan sasaran peserta didik. Pendidik bisa berasal dari lingkungan pendidikan yang berbeda, misalnya lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Oleh karena itu, seorang pendidik bisa berupa orang tua, guru, pemimpin masyarakat dan lain-lain. Pendidik juga harus memiliki kewibawaan dan kedewasaan, baik rohani maupun jasmani. Interaksi edukatif, Interaksi edukatif adalah komunikasi timbal balik antara peserta didik dengan pendidik yang terarah kepada tujuan pendidikan. Pencapaian tujuan pendidikan secara optimal ditempuh melalui proses berkomunikasi intensif dengan manipulasi isi, metode serta alat-alat pendidikan. Ketika pendidik memberi bahan ajar berupa materi pelajaran dan contoh-contoh. diharapkan adanya respon yang baik dari para peserta didik dengan tetap menjunjung sifat saling menghargai satu sama lain. Tujuan pendidikan, Tujuan pendidikan merupakan hal yang ingin dicapai dalam proses pembelajaran dan tujuan ke arah mana bimbingan ditujukan. Secara umum tujuan pendidikan bersifat abstrak karena memuat nilai-nilai yang sifatnya abstrak. Tujuan demikian bersifat umum, ideal dan kandungannya sangat luas sehingga sulit untuk dilaksanakan di dalam praktek. Alat dan metode pendidikan, adalah segala sesuatu yang dilakukan ataupun diadakan dengan sengaja untuk mencapai tujuan pendidikan. Alat pendidikan merupakan jenisnya sedangkan metode pendidikan melihat efisiensi dan efektifitasnya. Contoh alat pendidikan adalah komputer, sosial media, buku ajar dan alat peraga. Sedangkan metode pendidikan merupakan cara penyampaian materi pendidikan dari pendidik pada peserta didik. Materi Pendidikan, Materi pendidikan merupakan bahan ajar dalam suatu pendidikan dan merupakan pengaruh yang diberikan dalam bimbingan. Dalam sistem pendidikan persekolahan, materi telah diramu dalam kurikulum yang akan disajikan sebagai sarana pencapaian tujuan. Kurikulum ini menampung materi-materi pendidikan secara terstruktur. Mater iini meliputi materi inti maupun muatan lokal.   Lingkungan Pendidikan, Lingkungan pendidikan merupakan tempat dimana peristiwa bimbingan atau pendidikan berlangsung. Secara umum lingkungan pendidikan dibagi menjadi tiga yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Ketiganya sering disebut sebagai tri pusat pendidikan.

Unsur-unsur utama pendidikan di atas menyatu dengan segenap kualitas yang dimiliki di setiap unsur tersebut, maka akan memberikan sumbangan besar dalam peradaban suatu bangsa.

 Peradaban

Peradaban (civilization): sisi material dan instrument dari kebudayaan manusia yang lazimnya terangkum dalam bentuk sains, teknologi dan situs-situs. Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa  peradaban adalah akumulasi fenomena kemajuan materi, keilmuan, seni, sastra dan sosial pada suatu kelompok masyarakat atau beberapa kelompok masyarakat. A civilization is a complex human society that may have certain characteristics of cultural and techonological development.  https://education.nationalgeographic.org/resource/civilizations/).Civilization is an advanced state of human society, in which a high level of culture, science, industry, and government has been reached. (https://www.dictionary.com/browse/civilization).

Berdasarkan pengertian di atas, dapat diketahui bahwa kemajuan suatu peradaban ditandai dengan karya-karya adiluhung di zamannya. dan tentu saja karya-karya tersebut dihasilkan melalui sebuah proses pendidikan.

Merujuk pada tujuan pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu: Berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Jika tujuan tersebut dapat diwujudkan dengan baik, melalui proses yang unggul, menghasilkan produk yang unggul, maka keberadaan pendidikan dapat memberikan sumbangsih yang baik terhadap kemajuan peradaban suatu bangsa.

Sumbangsih pendidikan terhadap peradaban juga dapat dilihat dari beberapa hal:

  1. Pendidikan menjadi titik tolak dan srategi utama dalam membentuk manusia yang   berkualitas, insan yang paripurna;
  2. Pendidikan merupakan satu-satunya usaha yang dapat membawa manusia kepada kehidupan yang bermartabat;
  3. Pendidikan dituntut untuk mampu memperkenalkan nilai-nilai yang diperlukan di masa depan, mengajarkannya dan mengembangkannya dalam diri anak didik, sehingga kelak tidak hanya mampu mandiri tetapi juga menjadi modal sosial.

Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan tentang manusia, pendidikan, dan korelasinya terhadap peradaban sebagai berikut:

  1. Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk-Nya yang termulia. Kemuliaan penciptaan manusia mencakup dua aspek yang sangat menonjol, yaitu kesempurnaan jasmani dan kesempurnaan rohani;
  2. Kenyataan hidup manusia menunjukkan bahwa manusia mengalami kehidupan yang dinamis. Dinamika kehidupan tersebut tercermin dari upaya manusia untuk hidup lebih baik dari waktu ke waktu. Mengapa demikian, tidak lain karena kemampuan manusia yang dianugerahkan oleh Allah SWT., sebagai makhluk yang sempurna;
  3. Upaya untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, dapat dilakukan melalui pemerolehan pendidikan yang baik;
  4. Kebudayaan dan peradaban yang berkembang adalah buah dari dinamika kehidupan manusia serta menjadi bukti bahwa manusia memiliki  keunggulan dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya;
  5. Pendidikan menjadi barometer kemajuan dan peradaban;
  6. Nelson Mandela dalam pengantar buku yang ditulis oleh Klaus Dieter Bieter, menyebut pendidikan sebagai kekuatan dahsyat yang membangun setiap Insan, dan seluruh negara di dunia menempatkan pendidikan sebagai salah satu hak asasi;
  7. Pembukaan UUD 1945 jelas mengamanatkan untuk “Mencerdaskan kehidupan bangsa” 

Referensi:

Amka. 2019. Filsafat Pendidikan. Sidoarjo: Nizamia Learning Center.

Azis, Rosmiyati. 2016. Ilmu Pendidikan Islam. Yogyakarta: Penerbit Sibuku.

Hamengkubuwono. 2016. Ilmu Pendidikan dan Teori-Teori Pendidikan. Curup: LP2P STAIn Curup.

Sukadari & Sulistyono. 2017. Ilmu Pendidikan (Konsep Dasar). Yogyakarta: Penerbit Cipta Bersama.

Tohirin. 2005. Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis
Integrasi dan Kompetensi.Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Undang-undang RI. No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Yusuf, Munir. 2018. Pengantar Ilmu Pendidikan. Palopo: Penerbit IAIN Palopo.

Syukur, T.A.,& Rofiqoh, S. 2022. Pengantar Ilmu Pendidikan.Jakarta: CV. Patju Kreasi.

 

-----------------------
* Penulis adalah Pemerhati di bidang pendidikan

Rabu, 01 Maret 2023

FILSAFAT PENDIDIKAN


 


IDEOLOGI / FILSAFAT PENDIDIKAN
Hariyanto*

ABSTRACT

Humans are social beings, intelligent and always try to make her life better, more civilized and more prosperous than ever. The development of science and technology is one form of power of human thought in the face nature (the environment) where he lives. Humans act not only to survive, but humans are also born as a figure of a reformer for the environment. Hence the deep thoughts became the base birth of ideology and philosophy in all areas, including education. There are various of philosophy or ideology of education such as idealism, realism, pragmatism, essentialism, progressivism, etc. Difference ideology/ philosophy should be adopted and synthesized into culture of Indonesia that has Pacasila as the ideology for Indonesian.


A.      Pendahuluan

Manusia adalah makhluk sosial yang berakal dan akan selalu berusaha menjadikan hidupnya lebih baik, lebih beradab dan lebih sejahtera dari sebelumnya. Perkembangan IPTEK adalah salah satu bentuk kekuatan pikir manusia dalam menghadapi alam (lingkungan) dimana ia berada. Manusia bertindak bukan sekedar untuk survive, tetapi manusia terlahir sebagai sosok pembaharu bagi lingkungannya. Hal inilah yang membedakan antara manusia dengan makhluk lainnya. Dengan akal pikirannya , manusia mampu melangsungkan dan mengembangkan kehidupannya sesuai dengan waktu dan ruang yang ia tempati. Dalam hal ini manusia secara kolektif meyakini adanya nilai-nilai, budaya, doktrin dan kebenaran yang harus dilestarikan secara berkelanjutan ke generasi berikutnya. Pada generasi berikutnya akan melakukan verifikasi dan pengembangan ke arah yang lebih sesuai dengan zaman, tentunya dilakukan oleh sekelompok orang atau lembaga yang bernama pendidikan.
Pendidikan merupakan hal yang kompleks, karena terkait dengan berbagai aspek kehidupan dan kepentingan-kepentingan seperti ideologi, politik, sosial, budaya, agama, ekonomi, kemanusiaan, dsb. karena itulah permasalahan-permasalahan pendidikan masih tetap terjadi saat ini. Jhon S. Brubacher, seorang Professor di bidang Sejarah dan Filsafat Pendidikan dari Universitas Yale Amerika Serikat dalam bukunya "A History of the Problems of Education" menyebutkan bahwa persoalan-persoalan pendidikan sudah sejak dahulu kala telah memiliki keterikatan yang sangat erat (closely inter-related) dengan persoalan-persoalan filsafat. Banyak hal yang menyebabkan persoalan pendidikan memiliki keterikatan dengan filsafat. Salah satunya adalah pendidikan selalu berusaha membentuk kepribadian manusia sebagai subyek sekaligus obyek pendidikan. Dalam konteks ini, pendidikan dihadapkan pada perumusan tujuan yang akan dicapai seseorang setelah pendidikan itu berlangsung. Setiap rumusan tujuan pendidikan selalu berupaya menjangkau kawasan paling ideal dan baik seperti; mandiri dan berguna (UU No. 20 Tahun 2003), dewasa (Langevel), atau insan kamil (Atiyah al-Abrasy). Formulasi tujuan pendidikan merupakan persoalan yang mendasar dan dalam, sehingga tidak mungkin dapat dirumuskan dan terjawab oleh analisis ilmiah yang dangkal, tetapi memerlukan analisis dan pemikiran filosofis.
 Sebagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan, negara Indonesia menjalin kerja sama dengan negara-negara tetangga, seperti Kanada, Amerika, Australia, Malaysia dan negara-negara maju yang lain. Upaya ini, jelas memberikan kontribusi yang berarti bagi kemajuan pendidikan di Indonesia. Dengan mengadopsi berbagai bentuk sistem pendidikan dari negara-negara maju yang menggunakan logika saling melengkapi, pemerintah Indonesia mengandaikan percepatan pembangunan dan peningkatan kualitas pendidikan Indonesia yang sampai saat ini masih dalam keadaan mengenaskan. Ketidakjelasan arah kebijakan di dunia pendidikan telah membuat bingung berbagai pihak yang terkait.
Dampak dari kerjasama tersebut membuahkan improvisasi system  pendidikan dan meningkatkan wawasan multi-cultural education. Akan tetapi, biar bagaimanapun, sikap inferioritas negara terbelakang (under developed country) yang berlebihan terhadap negara maju (developed country) sebagai simbol kemodernan dan kemajuan, akan menimbulkan krisis identitas bangsa itu sendiri. Selain itu, ketergantungan pendidikan dengan negara (Barat) yang terlalu lama dan berlebihan, tanpa adanya upaya pembaharuan pendidikan di negara tuan rumah, bisa menciptakan penetrasi budaya. Akibatnya arus budaya manca berkembang semakin kuat di Nusantara ini, bahkan di kalangan generasi muda telah terlihat dengan jelas perubahan-perubahan sosio-kultural yang berkaca pada gaya hidup barat.
Pertanyaannya adalah Siapkah kita dengan “pertarungan ideologi” dan “benturan kebudayaan”, apabila lembaga pendidikan asing masuk ke negara kita? Pertanyaan menggelitik itulah yang sampai sekarang belum mampu dijawab oleh bangsa Indonesia. Dalam konteks inilah penulis mencoba memaparkan pandangan pendidikan berdasarkan sudut pandang ideologi yang mengakar pada filsafat pendidikan. Agar tidak membingungkan para pembaca, maka dalam makalah ini penulis tidak membedakan penggunaan terminology “Ideologi” dan “Filsafat”, meskipun terdapat perbedaan pendapat tentang makna yang terkandung dalam penggunaan istilah tersebut.

B.   Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian Filsafat secara umum dan filsafat pendidikan?
2. Apakah sudut pandang pembahasan tentang filsafat/ideologi pendidikan?
3. Apakah aliran-aliran dalam filsafat/ideology pendidikan? Dan Bagaimanakah implikasi aliran-aliran filsafat/ideology pendidikan tersebut dalam pendidikan?

C.  Pembahasan
1.   Pengertian Filsafat/Ideologi Pendidikan
Kata filsafat atau falsafat, berasal dari bahasa Yunani: philoshophia yang banyak diperoleh pengertian-pengertian, baik secara harfiah atau etimologi. Terdiri dari kata philos yang berarti cinta, gemar, suka dan kata sophia berarti pengetahuan, hikmah dan kebijaksanaan. filsafat menurut arti katanya dapat diartikan sebagai cinta, cinta kepada ilmu pengetahuan atau kebenaran, suka kepada hikmah juga kebijaksanaan.   
       Di dalam filsafat pendidikan, akan kita jumpai berbagai macam hal baru yang tentunya akan menambah wawasan keilmuan kita. Dan didalam makalah yang singkat ini akan diterangkan mengenai pengertian filsafat, objek kajian filsafat, serta fungsi dan tugas filsafat pendidikan itu sendiri. Corak pendidikan itu erat hubungannya dengan corak penghidupan, karenanya jika corak penghidupan itu berubah, berubah pulalah corak pendidikannya, agar si anak siap untuk memasuki lapangan penghidupan itu.
Filsafat pendidikan pada umumnya adalah bagian dari ilmu filsafat, maka dalam mempelajari filsafat pendidikan perlu memahami terlebih dahulu tentang pengertian filsafat terutama dengan hubungannya dengan masalah pendidikan. Hasan Shadily mengatakan bahwa filsafat menurut arti katanya adalah cinta akan kebenaran. Dengan demikian dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa filsafat adalah cinta kepada ilmu pengetahuan atau kebenaran, suka kepada hikmah dan kebijaksanaan. Jadi orang yang berfilsafat adalah orang yang mencintai akan kebenaran, berilmu pengetahuan, ahli hikmah dan bijaksana.
Berbagai pengertian (definisi) tentang Filsafat Pendidikan yang telah dikemukakan oleh para ahli, Al-Syaibany mengartikan bahwa filsafat pendidikan ialah aktifitas pikiran yang teratur yang menjadikan filsafat tersebut sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan. Artinya, bahwa filsafat pendidikan dapat menjelaskan nilai-nilai dan maklumat-maklumat yang diupayakan untuk mencapainya, maka filsafat pendidikan dan pengalaman kemanusian merupakan faktor yang integral atau satu kesatuan. Sementara itu, filsafat juga didefinisikan sebagai pelaksana pandangan falsafah dan kaidah falsafah dalam bidang pendidikan, falsafah tersebut menggambarkan satu aspek dari aspek-aspek pelaksana falsafah umum dan menitik beratkan kepada pelaksanaan prinsip-prinsip dan kepercayaan yang menjadi dasar dari filsafat umum dalam upaya memecahkan persoalan-persoalan pendidikan secara praktis. Barnadib mempunyai versi pengertian atas filsafat pendidikan, yakni ilmu yang pada hakikatnya merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam bidang pendidikan. Karenanya, dengan bersifat filosofis, bermakna bahwa filsafat pendidikan merupakan aplikasi sesuatu analisa filosofis terhadap bidang pendidikan.

2.  Sudut Pandang Pembahasan Tentang Filsafat/Ideologi Pendidikan
Pengertian Pendidikan dalam Tinjauan Filsafat Pendidikan tentu sedikit memiliki spesifikasi khusus. Berbeda dengan filsafat umum yang objeknya adalah kenyataan keseluruhan segala sesuatu, filsafat khusus mempunyai objek kenyataan salah satu aspek kehidupan manusia yang penting. Filsafat pendidikan yang menyelidiki hakikat pelaksanaan pendidikan yang bersangkut paut dengan tujuan, latar belakang, cara, dan hasilnya, serta hakikat ilmu pendidikan yang bersangkut paut dengan analisis kritis terhadap struktur dan kegunaannya. Apabila ditinjau dari filsafat pendidikan sebagai filsafat khusus, maka filsafat ilmu pendidikan merupakan bagian dari filsafat pendidikan yang menyelidiki pendidikan sebagai ilmu, yang objeknya dapat dibedakan atas empat macam yaitu;
a. Metafisik            ; berkaitan dengan hakekat kenyataan
b. epistemology     ; berkaitan dengan hakikat mengetahui dan pengetahuan;
c. logika            ;berkaitan dengan hakikat menyimpulkan untuk memperoleh pengetahuan.
d. aksiologi      : berkaitan dengan hakikat nilai-nilai dalam kaitannya dengan pengetahuan, para filsosof dengan berbagai alirannya memiliki perbedaaan pandangan. Berikut ini disajikan dalam tabel:
FILSAFAT
METAFISIKA
EPISTEMOLOGY
AXIOLOGY
TOKOH
IDEALISME
Kenyataan adalah mental atau spiritual dan esensi spriritual bertahan lama tidak berubah
Pengetahuan adalah didasarkan pada pengakuan  dan pemikiran kembali secaa mendalam tentang ide-ide yang sudah ada pada diri seseorang

Nilai merefleksikan sifatnya di alam yang mutlak, abadi dan universal
1.    Berkeley
2.    Butler
3.    Froebel
4.    Hegel
5.    Plato
FILSAFAT
METAFISIKA
EPISTEMOLOGY
AXIOLOGY
TOKOH
REALISME
Kenyataan adalah obyek yang tersusun atas materi dan bentuk yang berpadu menurut hukum alam
Pengetahuan terdiri dari sensasi dan abstraksi. Manusia dapat mengetahui objek berdasarkan sensasi dan data sesnsory seperti warna, ukuran, berat, bau, atau bunyi.
Nilai memiliki sifat absolute dan abadi berdasarkan hukum alam
1.    Aquinas
2.    Aritotle
3.    Broudy
4.    Martin
5.    Pestalozzi
PRAGMATISME (Experimentalism)
Kenyataan merupakan interaksi antara individu dengan lingkungannatau pengalaman; kenyataan selalu berubah
Pengetahuan berasal dari pengalaman menggunakan metode ilmiah
Nilai adalah situasional dan relatif
1.    Childs
2.    Dewey
3.    James
4.    Peirce
EXISTENSIALISM
Kenyataan adalah subyektif. Eksistensi mengawali adanya esensi;
Pengetahuan adalah pilihan pribadi
Nilai seharusnya dipilih secara bebas
1.    Sartre
2.    Marcel
3.    Morris
4.    Soderquist
 Sumber: Ornsteine & Levine, 1984

Aliran-aliran filsafat pendidikan tersebut diatas, kemudian menghasilkan teori-teori pendidikan. Seperti Perenialisme, Essentialisme, Progresivisme, dan Reconstructionism. Secara ringkas dipaparkan dalam table berikut:
TEORI
TUJUAN
KURIKULUM
TOKOH
PERENIALISME
(berakar pada filsafat Realisme)
Untuk mendidik manusia yang berakal
Mata pelajaran yang disusun secara hirarkis dimaksudkan untuk meningkatkan intektualialitas
1.    Adler
2.    Hutchins
3.    Maritain
ESSENTIALISM
(berakar pada Idealisme dan Realisme)
Untuk mendidik orang yang kompeten dan berguna
Pendidikan dasar; membaca, menulis, aritmatika, sejarah, bahasa inggris, sains, bahasa asing
1.     Bagley
2.     Bestor
3.     Conant
4.     Morrison
PROGRESIVISM
(berakar pada Pragmatism)
Untuk mendidik individu berdasarkan kebutuhan dan minat individu tersebut
Sebuah aktivitas dan proyeh
1.     Dewey
2.     Johnson
3.     Kilpatrick
4.     Parker
5.     washburne
RECONSTRUCTIONISM
(berakar pada Pragmatisme)
Untuk merekonstruksi masyarakat
Ilmu pengetahuan sosial-sains  digunakan untuk alat untuk merekonstruksi
1.      Brameld
2.      Counts
3.      Stanley
Sumber: Ornsteine & Levine, 1984

3. Aliran-Aliran Dalam Filsafat/Ideology Pendidikan dan Implikasinya dalam Pendidikan
A. Aliran Filsafat Idealisme dalam Pendidikan
    Idealisme adalah aliran filsafat yang berpendapat bahwa pengetahuan itu tidak lain daripada kejadian dalam jiwa manusia, sedangkan kenyataan yang diketahui manusia itu terletak di luarnya. Konsep filsafat menurut aliran idealisme adalah: (1) Metafisika-idealisme; Secara absolut kenyataan yang sebenarnya adalah spiritual dan rohaniah, sedangkan secara kritis yaitu adanya kenyataan yang bersifat fisik dan rohaniah, tetapi kenyataan rohaniah yang lebih dapat berperan; (2) Humanologi-idealisme; Jiwa dikarunai kemampuan berpikir yang dapat menyebabkan adanya kemampuan memilih; (3) Epistemologi-idealisme; Pengetahuan yang benar diperoleh melalui intuisi dan pengingatan kembali melalui berpikir. Kebenaran hanya mungkin dapat dicapai oleh beberapa orang yang mempunyai akal pikiran yang cemerlang; sebagian besar manusia hanya sampai pada tingkat berpendapat; (4) Aksiologi-idealisme; Kehidupan manusia diatur oleh kewajiban-kewajiban moral yang diturunkan dari pendapat tentang kenyataan atau metafisika.
    Dalam hubungannya dengan pendidikan, idealisme memberi sumbangan yang besar tehadap perkembangan filsafat pendidikan. Kaum idealis percaya bahwa anak merupakan bagian dari alam spiritual, yang memiliki pembawaan spiritual sesuai potensialitasnya. Oleh karena itu, pendidikan harus mengajarkan hubungan antara anak dengan bagian alam spiritual. Pendidikan harus menekankan kesesuian batin antara anak dan alam semesta. Pendidikan merupakan pertumbuhan ke arah tujuan pribadi manusia yang ideal. Pendidik yang idealisme mewujudkan sedapat mungkin watak yang terbaik. Pendidik harus memandang anak sebagai tujuan, bukan sebagai alat.
      Menurut Power (1982), implikasi filsafat pendidikan idealisme adalah sebagai berikut: (1) Tujuan: untuk membentuk karakter, mengembangkan bakat atau kemampuan dasar, serta kebaikkan  sosial; (2) Kurikulum: pendidikan liberal untuk pengembangan kemam-puan dan pendidikan praktis untuk memperoleh pekerjaan; (3) Metode: diutamakan metode dialektika, tetapi metode lain yang efektif dapat dimanfaatkan; (4) Peserta didik bebas untuk mengembangkan kepribadian, bakat dan kemampuan dasarnya; (5) Pendidik bertanggungjawab dalam menciptakan lingkungan pendidikan melalui kerja sama dengan alam.
B. Aliran Filsafat Realisme dalam Pendidikan
    Aliran filsafat realisme berpendirian bahwa pengetahuan manusia itu adalah gambaran yang baik dan tepat dari kebenaran. Konsep filsafat menurut aliran realisme adalah: (1) Metafisika-realisme; Kenyataan yang sebenarnya hanyalah  kenyataan fisik (materialisme); kenyataan material dan imaterial (dualisme), dan kenyataan yang terbentuk dari berbagai  kenyataan (pluralisme); (2) Humanologi-realisme; Hakekat manusia terletak pada apa yang dapat dikerjakan. Jiwa merupakan sebuah organisme kompleks yang mempunyai kemampuan berpikir; (3) Epistemologi-realisme; Kenyataan hadir dengan sendirinya tidak tergantung pada pengetahuan dan gagasan manusia, dan kenyataan dapat diketahui oleh pikiran. Pengetahuan dapat diperoleh melalui penginderaan. Kebenaran pengetahuan dapat dibuktikan dengan  memeriksa kesesuaiannya dengan fakta; (4) Aksiologi-realisme; Tingkah laku manusia diatur oleh hukum-hukum alam yang diperoleh melalui ilmu, dan pada taraf yang lebih rendah diatur oleh kebiasaan-kebiasaan atau adat-istiadat yang telah teruji dalam kehidupan.
    Dalam hubungannya dengan pendidikan, pendidikan harus universal, seragam, dimulai sejak pendidikan yang paling rendah, dan merupakan suatu kewajiban. Pada tingkat pendidikan yang paling rendah, anak akan menerima jenis pendidikan yang sama. Pembawaan dan sifat manusia sama pada semua orang. Oleh karena itulah, metode, isi, dan proses pendidikan harus seragam. Namun, manusia tetap berbeda dalam derajatnya, di mana ia dapat mencapainya. Oleh karena itu, pada tingkatan pendidikan yang paling tinggi tidak boleh hanya ada satu jenis pendidikan, melainkan harus beraneka ragam jenis pendidikan. Inisiatif dalam pendidikan terletak pada pendidik bukan pada peserta didik. Materi atau bahan pelajaran yang baik adalah bahan pelajaran yang memberi kepuasan pada minat dan kebutuhan pada peserta didik. Namun, yang paling penting bagi pendidik adalah bagaimana memilih bahan pelajaran yang benar, bukan memberikan kepuasan terhadap minat dan kebutuhan pada peserta didik. Memberi kepuasan terhadap minat dan kebutuhan siswa hanyalah merupakan alat dalam mencapai tujuan pendidikan, atau merupakan strategi mengajar yang bermanfaat.
    Menurut Power (1982), implikasi filsafat pendidikan realisme adalah sebagai berikut: (1) Tujuan: penyesuaian hidup dan tanggung jawab sosial; (2) Kurikulum: komprehensif mencakup semua pengetahuan yang berguna berisi pentahuan umum dan pengetahuan praktis; (3) Metode: Belajar tergantung pada pengalaman baik langsung atau tidak langsung. Metodenya harus logis dan psikologis. Metode pontiditioning (Stimulus-Respon) adalah metode pokok yang digunakan; (4) Peran peserta didik adalah menguasai pengetahuan yang handal dapat dipercaya. Dalam hal disiplin,  peraturan yang baik adalah esensial dalam belajar. Disiplin mental dan moral dibutuhkan untuk memperoleh hasil yang baik; (5) Peranan pendidik adalah menguasai pengetahuan, terampil dalam teknik mengajar dan dengan keras menuntut prestasi peserta didik
C. Aliran Filsafat Pragmatisme dalam Pendidikan
       Filsafat pragmatisme muncul bersamaan dengan munculnya tokoh di Amerika yang lahir pada tahun 1842, yaitu William James. Tokoh lain dalam faham ini adalah John Dewey dan F.C.S. Schiller. William James berusia sekitar 68 tahun (1842-1910). James adalah guru besar di Universitas Harvard dari tahun 1881 sampai tahun 1907. Ia menentang teori filsafat materialisme tentang alam. Ia juga telah memaparkan kelemahan-kelemahan yang ada dalam metode metafisika. Selain itu, dirinya juga menolak teori dialektika. Namun disisi lain, ia menegaskan dukungannya terhadap doktrin irrasionalisme dan menguatkan analisanya tentang akal yang dinilainya sebagi aliran-aliran kesadaran. James banyak terpengaruh oleh C.S. Pierce. Hasil karyanya yang terkenal adalah “Pragmatisme” (1907). Tokoh ini juga berjasa dalam bidang lain, terutama dalam bidang psikologi. Hasil karyanya yang lain adalah bukunya yang berjudul “The Meaning of Truth”.
        Tokoh yang sejalan pemikirannya dengan William James adalah John Dewey yang hidup antara tahun 1859 – 1952. Tokoh asal Amerika ini memiliki pengaruh yang sangat luas di bidang kajian ilmiah. Problematika nilai merupakan konsentrasi utama kajiannya. Puncak kajiannya adalah revolusi di bidang pendidikan. Berbagai program pendidikan yang dinilai Dewey sebagai kriteria pendidikan yang maju dan progressif adalah kesimpulan alami dari keseluruhan filsafatnya. Dewey banyak terpengaruh oleh pemikiran C.S.Pierce.
Pragmatisme (dari bahasa Yunani: pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan) merupakan sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh William James (1842 – 1910) di Amerika Serikat. Menurut filsafat ini, benar tidaknya suatu ucapan, dalil atau teori semata-mata bergantung pada manusia dalam bertindak. Istilah pragmaticisme ini diangkat pada tahun 1865 oleh Charles S. Pierce (1839-1914) sebagai doktrin pragmatisme. Doktrin dimaksud selanjutnya diumumkan pada tahun 1978.
        Diakui atau tidak, paham pragmatisme menjadi sangat berpengaruh dalam pola pikir bangsa Amerika Serikat. Pengaruh pragmatisme menjalar di segala aspek kehidupan, tidak terkecuali di dunia pendidikan. Salah satu tokoh sentral yang sangat berjasa dalam pengembangan pragmatisme pendidikan adalah John Dewey (1859 – 1952). Pragmatisme Dewey merupakan sintensis pemikiran-pemikiran Charles S. Pierce dan William James. Dewey mencapai popularitasnya di bidang logika, etika epistemologi, filsafat politik, dan pendidikan. Tulisan ini sendiri selanjutnya akan mendeskripsikan pemikiran John Dewey tentang pragmatisme pendidikan.
    Dalam menghadapi industrialisasi Eropa dan Amerika, Dewey berpendirian bahwa sistem pendidikan sekolah harus diubah. Sains, menurutnya, tidak mesti diperoleh dari buku-buku, melainkan harus diberikan kepada siswa melalui praktek dan tugas-tugas yang berguna. Belajar harus lebih banyak difokuskan melalui tindakan dari pada melalui buku. Dewey percaya terhadap adanya pembagian yang tepat antara teori dan praktek. Hal ini membuat Dewey demikian lekat dengan atribut learning by doing. Yang dimaksud di sini bukan berarti ia menyeru anti intelektual, tetapi untuk mengambil kelebihan fakta bahwa manusia harus aktif, penuh minat dan siap mengadakan eksplorasi.
    Dalam masyarakat industri, sekolah harus merupakan miniatur lokakarya dan miniatur komunitas. Belajar haruslah dititik tekankan pada praktek dan trial and error. Akhirnya, pendidikan harus disusun kembali bukan hanya sebagai persiapan menuju kedewasaan, tetapi pendidikan sebagai kelanjutan pertumbuhan pikiran dan kelanjutan penerang hidup. Sekolah hanya dapat memberikan kita alat pertumbuhan mental, sedangkan pendidikan yang sebenarnya adalah saat kita telah meninggalkan bangku sekolah, dan tidak ada alasan mengapa pendidikan harus berhenti sebelum kematian menjemput.
    Tujuan pendidikan adalah efisiensi sosial dengan cara memberikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan demi pemenuhan kepentingan dan kesejahteraan bersama secara bebas dan maksimal. Tata susunan masyarakat yang dapat menampung individu yang memiliki efisiensi di atas adalah sistem demokrasi yang didasarkan atas kebebasan, asas saling menghormati kepentingan bersama, dan asas ini merupakan sarana kontrol sosial. Mengenai konsep demokrasi dalam pendidikan, Dewey berpendapat bahwa dalam proses belajar siswa harus diberikan kebebasan mengeluarkan pendapat. Siswa harus aktif dan tidak hanya menerima pengetahuan yang diberikan oleh guru. Begitu pula, guru harus menciptakan suasana agar siswa senantiasa merasa haus akan pengetahuan.
    Karena pendidikan merupakan proses masyarakat dan banyak terdapat macam masyarakat, maka suatu kriteria untuk kritik dan pembangunan pendidikan mengandung cita-cita utama dan istimewa. Masyarakat yang demikian harus memiliki semacam pendidikan yang memberikan interes perorangan kepada individu dalam hubungan kemasyarakatan dan mempunyai pemikiran yang menjamin perubahan-perubahan sosial.
    Filsafat tidak dapat dipisahkan dari pendidikan, karena filsafat pendidikan merupakan rumusan secara jelas dan tegas membahas problema kehidupan mental dan moral dalam kaitannya dengan menghadapi tantangan dan kesulitan yang timbul dalam realitas sosial dewasa ini. Problema tersebut jelas memerlukan pemecahan sebagai solusinya. Pikiran dapat dipandang sebagai instrumen yang dapat menyelesaikan problema dan kesulitan tersebut.
    Di dalam filsafat John Dewey disebutkan adanya experimental continum atau rangkaian kesatuan pengalaman, yaitu proses pendidikan yang semula dari pengalaman menuju ide tentang kebiasaan (habit) dan diri (self) kepada hubungan antara pengetahuan dan kesadaran, dan kembali lagi ke pendidikan sebagai proses sosial. Kesatuan rangkaian pengalaman tersebut memiliki dua aspek penting untuk pendidikan, yaitu hubungan kelanjutan individu dan masyarakat serta hubungan kelanjutan pikiran dan benda.
Kurang lebih ada tiga sumbangan pemikiran Dewey dalam pendidikan:
  1. Dewey melahirkan konsep baru tentang kesosialan pendidikan. Disini dijelaskan bahwa pendidikan memiliki fungsi sosial yang dinyatakan oleh Plato dalam bukunya, Republic, dan selanjutnya oleh banyak penulis disebutkan sebagai teori pendidikan yang umum. Tetapi Dewey lebih dari itu, bahwa pendidikan adalah instrumen potensial tidak hanya sekedar untuk konservasi masyarakat, melainkan juga untuk pembaharuannya. Ini ternyata menjadi doktrin yang akhirnya diakui sebagai demokrasi, dimana Dewey memperoleh kredit yang tinggi dalam hal ini. Selanjutnya hubungan yang erat antara pendidikan dan masyarakat; bahwa pendidikan harus terefleksikan dalam menajemennya dan dalam kehidupan di sekolah terefleksi prinsip-prinsip dan gagasan-gagasan yang memotivasi masyarakat. Akhirnya proses pembelajaran adalah lebih tepat disuasanakan sebagai aktivitas sosial, sehingga iklim kerja sama dan timbal balik menggeser suasana kompetensi dan keterasingan dalam memperoleh pengetahuan.
  2. Dewey memberikan bentuk baru terhadap konsep keberpusatan pada anak. Dalam hal ini pemikiran Dewey berdasar pada landasan-lndasan filosofis, sehingga lebih kuat jika dibandingkan dengan para pendahulunya. Demikian pula pada sebuah penelitiannya tentang anak menjadi lebih meyakinkan dengan dukungan pendekatan keilmuan dan tidak terkesan sentrimental.
  3. Proyek dan problem solving yang mekar dari sentral konsep Dewey tentang pengalaman telah diterima sebagai bagian dalam tekhnik pembelajaran di kelas. Meskipun bukan sebagai pencetus, namun Dewey membangunnya sebagai alat pembelajaran yang lebih sempurna dengan memberi kerangka teoritik dan berbasis eksperimen. Dengan demikian, Deweylah yang telah membawa orang menjadi tetarik untuk menerapkannya dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari di sekolah, termasuk digalakannya kegiatan berlatih menggunakan inteligensi dalam rangka penemuan.
Dengan ketiga penekanan dalam pendidikan tersebut, telah memberikan udara segar terhadap konsep pendidikan sebagai suatu proses sosial terkait erat dengan kehidupan masyarakat secara luas di luar sekolah; dan sebaliknya hal ini juga memberikan kontribusi terhadap peningkatan kehidupan mesyarakat di sekolah, dan hubungan antara guru dan pengajaran

D. Filsafat Existensialisme dalam Pendidikan
George R. Knight (1982:6) mengatakan bahwa filsafat tradisional mempunyai kesamaan mendasar yaitu mengarahkan pemikirannya pada metafisika sebagai isu utama. Lain halnya dengan filsafat modern, ada perubahan yang jelas secara hierarkis mengenai arti penting dari tiga kategori filsafat yang mendasar. Perubahan ini dipicu oleh adanya penemuan sains modern. Beberapa abad lamanya perspektif filsafat dan pengetahuan tentang manusia cenderung stabil. Perubahan dimulai pada abad XVII dan XVIII, dimulai dengan penemuan ilmiah dan teori-teori ilmiah. Kemudian diikuti dengan teknologi yang menyebabkan revolusi industri. Dari sinilah terjadi diskontinuitas dengan pola sosial dan pemikiran filsafat tradisional di dunia Barat. 
Eksistensialisme adalah salah satu pendatang baru dalam dunia filsafat. Eksistensialisme hampir sepenuhnya merupakan produk abad XX. Dalam banyak hal. eksistensialisme lebih dekat dengan sastra dan seni daripada filsafat formal. Tidak diragukan lagi bahwa eksistensialisme memusatkan perhatiannya pada emosi manusia daripada pikiran.
Eksistensialisme tidak harus dipandang sebagai sebuah aliran filsafat dalam arti yang sama  sebagaimana tradisi filsafat sebelumnya. Eksistensialisme mempunyai  ciri:
  1.        Penolakan untuk dimasukkan dalam aliran filsafat tertentu;
  2.         Tidak mengakui adekuasi sistem filsafat dan ajaran keyakinan (agama) 
  3.        Sangat  tidak puas  dengan sistem filsafat tradisional yang bersifat dangkal, akademis   dan jauh dari kehidupan.
 Individualisme adalah pilar sentral dari eksistensialisme. Kaum eksistensialis tidak mengakui sesuatu itu sebagai bagian dari tujuan alam raya ini. Hanya manusia, yang individual yang mempunyai tujuan.
Eksistensialisme berakar pada karya Soren Kierkegaard (1813-1855) dan Friedrich Nietzsche (1844-1900). Kedua orang ini bereaksi terhadap impersonalisme dan formalisme dari ajaran Kristen dan filsafat spekulatif Hegel. Kierkegaard mencoba merevitalisasi ajaran Kristen dari  dalam dengan memberi tempat pada individu dan peran pilihan dan komitmen pribadi. Pada sisi lain, Nietzsche menolak Kekristenan, menyatakan kematian Tuhan dan memperkenalkan ajarannya tentang superman (manusia super).
Eksistensialisme telah berpengaruh  khususnya sejak perang  dunia II. Pencarian kembali akan  makna menjadi penting dalam dunia yang telah menderita depresi berkepanjangan dan diperparah dengan dua perang dunia yang dampaknya ternyata sangat besar. Hal ini kemudian menjadi pemicu bagi kaum eksistensialis memperbaharui pencarian akan makna dan signifikansi sebagai akibat dari adanya dampak sistem industri modern yang mendehumanisasikan manusia. Eksistensialisme merupakan penolakan yang luas terhadap masyarakat yang telah merampas individualitas manusia. Juru bicara eksistensialisme yang berpengaruh pada abad XX termasuk  adalah Karl Jaspers, Gabriel Marcel, Martin Heidegger, Jean Paul Sartre dan Albert Camus.
Sebagai pendatang baru dalam dunia filsafat, eksistensialisme memfokuskan utamanya pada masalah filsafat  dan belum begitu eksplisit terhadap praktik-praktik pendidikan. Beberapa pengecualian ditemukan pada tokoh-tokoh seperti Martin Buber, Maxine Greene, George Kneller dan Van Cleve Morris. Eksistensialisme bukanlah filsafat yang sistematis, tetapi memberi semangat dan sikap yang dapat diterapkan dalam usaha pendidikan.
Secara relatif, eksistensialisme tidak begitu dikenal dalam dunia pendidikan, tidak menampakkan pengaruh yang besar pada sekolah. Sebaliknya, penganut eksistensialisme kebingungan dengan apa yang akan mereka temukan melalui pembangunan pendidikan.  Mereka menilai bahwa tidak ada yang disebut pendidikan, tetapi bentuk propaganda untuk memikat orang lain. Mereka juga menunjukkan bahwa bagaimana pendidikan memunculkan bahaya yang nyata, sejak penyiapan murid sebagai konsumen atau menjadikan mereka penggerak mesin pada teknologi industri dan birokrasi modern. Malahan sebaliknya pendidikan tidak membantu membentuk kepribadian dan kreativitas, sehingga para eksistensialis mengatakan sebagian besar sekolah  melemahkan dan mengganggu atribut-atribut esensi kemanusiaan. Mereka mengkritik kecenderungan masyarakat masa kini dan praktik pendidikan bahwa ada pembatasan realisasi diri karena ada tekanan sosio-ekonomi yang membuat persekolahan hanya menjadi pembelajaran peran tertentu. Sekolah menentukan peran untuk kesuksesan ekonomi seperti memperoleh pekerjaan dengan gaji yang tinggi dan menaiki tangga menuju ke kalangan ekonomi kelas atas; sekolah juga menentukan tujuan untuk menjadi warga negara yang baik, juga menentukan apa yang menjadi kesuksesan sosial di masyarakat. Siswa diharapkan untuk belajar peran-peran ini dan berperan dengan baik pula. Dalam keadaan yang demikian, kesempatan bagi pilihan untuk merealisasikan diri secara asli  dan autentik menjadi hilang atau sangat berkurang. Keautentikan menjadi begitu beresiko karena tidak dapat membawa pada kesuksesan sebagaimana didefinisikan oleh orang lain Di antara kecenderungan masa kini yang begitu menyebar cepat tetapi sangat sulit dipisahkan adalah mengikisnya kemungkinan keautentikan manusia karena adanya tirani dari yang rata-rata  (tyranny of the average). Tirani dari aturan yang diktatorial dan otoriter, rejim dan institusi adalah bentuk  nyata dari penindasan dan paksaan. Tirani dari yang rata-rata  tampak  seolah demokratis tetapi dalam kenyataannya adalah gejala penyakit pikiran massa dan pilihan-pilihan nilainya.  Dalam masyarakat yang berorientasi konsumsi, produk barang dan jasa dibuat dan dipasarkan untuk membentuk kelompok konsumen terbesar. Media massa, seni dan hiburan juga dirancang sebagai produk yang akan menarik lebih banyak audiens. Agen-agen ini yang disebut sebagai agen pendidikan informal merefleksikan dan menciptakan selera populer. Dalam masayarakat yang seperti ini, penyimpangan dari yang rata-rata atau kebanyakan orang tidak akan diterima baik. Keunikan menjadi begitu mahal sehingga hanya dapat dinikmati oleh orang-orang istimewa, yaitu kaum elit, atau oleh  orang-orang yang tidak populer disebut masyarakat marjinal  (Gutek, 1988:123-124).
Secara filosofis, hal tersebut merupakan pemberontakan terhadap cara hidup individu dalam budaya populer. Harapan kaum eksistensialis,  individu menjadi pusat dari upaya pendidikan. Maka, sebagaimana dikatakan oleh Van Cleve Morris bahwa penganut eksestensialis dalam pendidikan lebih fokus untuk membantu secara individual dalam merealisasikan diri secara penuh melalui bebera pernyataan berikut:
a.  Saya sebagai wakil dari kehendak, tidak sanggup menghindar dari kehendak hidup yang telah ada;
b.   Saya sebagai wakil yang bebas, bebas mutlak dalam menentukan tujuan hidup;
c.   Saya wakil yang bertanggung jawab, pribadi yang terukur untuk memilih secara bebas yang tampak pada cara saya menjalani hidup.
Tata cara para guru eksistensialis tidak ditemukan pada tata cara guru tradisional. Guru-guru eksistensialis tidak pernah terpusat pada pengalihan pengetahuan kognitif dan dengan berbagai pertanyaan. Ia akan lebih cenderung membantu siswa-siswa untuk mengembangkan kemungkinan-kemungkinan pertanyaan.
Guru akan fokus pada keunikan indiviadu di antara sesama siswa. Ia akan menunjukkan tidak ada dua individu yang benar-benar sama di antara mereka  yaang sama satu sama lain, karena itu tidak ada kebutuhan yang sama dalam pendidikan. Penganut eksistensialis akan mencari hubungan setiap murid sebagaimana yang disebutkan sebagai acuan hubungan Buber dalam I-Thou dan I-It. Hal itu berarti, ia akan memperlakukan siswa secara individual di mana ia dapat mengidentifikasi dirinya secara personal.
Para guru eksistensialis berusaha keras memperjelas pernyataan Rogers tentang fasilitator. Dalam  aturan ini guru memperhatikan emosi dan hal-hal yang tidak masuk akal pada setiap invidu, dan berupaya untuk memandu siswanya untuk lebih memahami diri mereka sendiri. Ia dan anak-anak muda yang  bersamanya akan memunculkan pertanyaan-pertanyaan tentang hidup, kematian, dan makna yang mereka tampilkan dalam berbagai pengalaman kemanusiaan dengan beberapa sudut pandang. Melalui berbagai pengalaman ini, guru-guru dan siswa akan belajar dan bertukar informasi tentang penemuan jati diri dan bagaimana realisasinya dalam kehidupan dunia antar-sesama dan sebagai individu.
Kurikulum pada sekolah eksistensialis sangat terbuka terhadap perubahan karena  ada dinamika dalam konsep kebenaran, penerapan, dan perubahan-perubahannya. Melalui perspektif tersebut, siswa harus  memilih mata pelajaran yang terbaik. Tetapi, hal ini tidak berarti bahwa mata pelajaran dan pendekatan kurikuler pada filsafat tradisional tidak diberi tempat.
Kaum eksistensialis membuat kesepakatan umum    bahwa fundamen pendidikan tradisional adalah Reading, Writing, Aritmathics (Three R’s), ilmu alam, dan pengetahuan sosial. Ini semua sebagai dasar atau  fondasi usaha kreatif dan kemampuan manusia memahami dirinya sendiri. Namun mata pelajaran dasar ini seharusnya disajikan dengan menghubungkannya secara lebih  banyak lsgi pada perkembangan afektif siswa. Mereka tidak menganjurkan pemisahan mata pelajaran dengan makna dan maksud individual sebagaimana yang terjadi dalam  pendidikan tradisional.
Ilmu humaniora juga tampak lebih luas dalam kurikulum eksistensialis, karena mereka memberi banyak pemahaman dalam dilema-dilema utama eksistensi manusia. Humaniora mengembangkan tema-tema di seputar penentuan pilihan manusia dalam   dalam hal seks, cinta, benci, kematian, penyakit, dan berbagai aspek kehidupan yang bermakna lainnya. Mereka menyampaikan pandangan tentang manusia secara menyeluruh, baik dari perspektif positif maupun negatif,  dan oleh karena itu ilmu  mampu menolong manusia memahami dirinya sendiri. Di luar ilmu dasar dan humaniora, kurikulum eksistensialis terbuka untuk lainnya. Beberapa mata pelajaran yang bermakna bagi individu disepakati untuk diajarkan.
Bagi kaum eksistensialis, metodologi memiliki sejumlah kemungkinan yang tidak terbatas. Mereka menolak penyeragaman mata pelajaran, kurikulum dan pengajaran, dan menyampaikan bahwa itu semua sebagai pilihan-pilihan terbuka bagi siswa yang memiliki hasrat untuk belajar. Pilihan-pilihan ini tidak harus dibatasi pada sekolah tradisional, tetapi mungkin ditemukan pada berbagai tipe sekolah alternatif, atau dalam praktek bisnis, pemerintahan, dan usaha-usaha perseorangan. Ivan Illich meletakkan empat saran untuk variasi pendidikan dalam masyarakat tanpa sekolah yang dihargai oleh sebagian besar kaum eksistensialis.
Kriteria metodologi kaum eksistensialis berpusat seputar konsep tanpa kekerasan dan metode-metode itu yang akan membantu siswa menemukan dan menjadi dirinya sendiri. Mungkin tipe ideal metodologi kaum eksistensialis dapat dilihat sebagaimana pendekatan yang dilakukan oleh Carl Rogers “kebebasan belajar” (1969) dan A.S. Neills di Sumerhill: sebuah pendekatan radikal dalam pembelajaran anak (1960).
Kaum eksistensialis secara umum tidak menaruh perhatian  khusus terhadap kebijakan sosial pendidikan atau sekolah. Filsafat mereka bertumpu pada  kebebasan individual daripada aspek-aspek sosial eksistensi manusia (Knight, 1982:76-77).

F. Penutup
    Setiap pemikiran filsafat lahir tidak pernah lepas dari konteks zamannya, demikian pula dengan  eksistensialisme, Idealisme, Realisme, Pragmatisme. sebagai bangsa Indonesia yang berfilsafat Pancasila, ada pula hal-hal yang harus direnungkan kembali dalam menyikapi  berbagai aliran filsafat tersebut. Bagi masyarakat Indonesia, terutama pendidik, jangan sampai dijadikan ideologi. Karena ideologi akan mengarah pada absolutisasi kebenaran. Sikap kritis diperlukan dalam memaknai dan mengambil intisari aliran-aliran filsafat atau ideologi ini . Tetapi, perlu pula dikritisi bahwa para pendidik Indonesia harus dapat memilih dan memilah atau dalam istilah yang dikemukakan oleh Notonagoro ”eklektif in corporatif’. Proses ini pada intinya adalah mengambil hal-hal yang baik dari berbagai pemikiran yang ada dengan menyeleksi terlebih dahulu, untuk kemudian dijadikan bagian integral pemikiran khas Indonesia.  .

DAFTAR PUSTAKA

Asy-Syarafa, Ismail. 2002. Ensiklopedi Filsafat diterjemahkan oleh Shofiyullah Mukhlas, Khalifa, Jakarta.
Fasli Jalal & Dedi Supriadi. 2001. Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta; Depdiknas – Bappenas - Adicita.Karya Nusa
Knight, George. R, 1982. Issues and Alternatives in Educational Philosophy. Michigan: Andrews University Press.
Mudyahardjo, R., (2001). Filsafat Ilmu Pendidikan: Suatu Pengantar. Remaja Rosdakarya: Bandung
Notonagoro, 1987. Pancasila secara Ilmiah Populer. Penerbit Pancuran Tujuh: Jakarta.
O’neill, William F. 2010. Ideologi-Ideologi pendidikan, Terjemahan oleh: Oki Intan Naomi. Pustaka Pelajar: Bandung.
Ornstein, Allan,C, & Levine, Daniel.U. 1985. An Introduction to the Foundation of Education. Houghton Mifflin Comapany; Boston
R.C. Salomon dan K.M. Higgins,2003.  Sejarah Filsafat, Bentang Budaya: Yogyakarta
Sadulloh, U. (2004). Pengantar Pilsafat Pendidikan. Bandung: Alpabeta.
Sudarsono. 2001.  Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Rineka Cipta: Jakarta

-------------------------
* Penulis adalah pemerhati di bidang pendidikan