f ' Inspirasi Pendidikan: Kajian Ilmiah

Inspirasi Pendidikan untuk Indonesia

Pendidikan bukan cuma pergi ke sekolah dan mendapatkan gelar. Tapi, juga soal memperluas pengetahuan dan menyerap ilmu kehidupan.

Bersama Bergerak dan Menggerakkan pendidikan

Kurang cerdas bisa diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur itu sulit diperbaiki (Bung Hatta)

Berbagi informasi dan Inspirasi

Tinggikan dirimu, tapi tetapkan rendahkan hatimu. Karena rendah diri hanya dimiliki orang yang tidak percaya diri.

Mari berbagi informasi dan Inspirasi

Hanya orang yang tepat yang bisa menilai seberapa tepat kamu berada di suatu tempat.

Mari Berbagi informasi dan menginspirasi untuk negeri

Puncak tertinggi dari segala usaha yang dilakukan adalah kepasrahan.

Tampilkan postingan dengan label Kajian Ilmiah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kajian Ilmiah. Tampilkan semua postingan

Senin, 29 Juli 2024

BERSATU MELAWAN WABAH JUDI ONLINE DI KALANGAN PELAJAR

 Oleh: Afrilia EkaPrasetyawati, M.Pd

Judi online atau Judi Daring akhir-akhir ini menjadi topik hangat dalam perbincangan di media sosial, media mainstream maupun di kalangan masyarakat. Beberapa kasus kriminal yang terjadi sebagian berawal dari keterlibatan pelakunya dalam judi online. Ratusan milyar uang melayang di meja judi online ini, dan kebanyakan pelakunya dan yang menjadi korban adalah mereka yang status ekonominya menengah ke bawah. Hal ini tentu sangat disayangkan karena bisa berdampak pada angka kemiskinan yang akan semakin meningkat, belum lagi dampak sosial yang ditimbulkannya.

Menanggapi banyaknya kasus judi online yang meresahkan masyarakat dan masa depan bangsa ini, Presiden Joko Widodo kemudian membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Judi Online dengan payung hukum Kepres nomor 21 tahun 2024. Dibawah kendali Menkopolhukan, Bapak Hadi Tjahjanto, satgas kemudian menelisik dan menemukan data yang mencengangkan yaitu setelah dipetakan ternyata masyarakat Indonesia yang terlibat dalam judi online ini berkisar 2,37 Juta penduduk. Sebuah angka yang fantastis apalagi di negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama yang melarang perbuatan judi atau mengundi nasib. Lebih rinci menteri Hadi Tjahjanto menjelaskan sebagaimana dilangsir kompas.com bahwa diantara jumlah tersebut terdapat 2 % anak dibawah 10 tahun, anak usia 10 sampai 20 tahun sebesar 11 % atau sekitar 440.000. Usia 21 tahun sampai 30 tahun sebanyak 13% atau sekitar 520.000 penduduk. Usia 30-50 tahun sebanyak 40% atau 1.640.000 dan usia di atas 50 tahun sebanyak 34 % atau 1.350.000 penduduk.

Terkait dengan keterlibatan anak dalam judi online ini juga ditegaskan oleh komisioner PPAI, Sylvana Maria Apituly bahwa ditemukan data sebanyak 80.000 anak terlibat judi online. Angka ini sebesar 0,1 % dari jumlah anak Indonesia sebesar 80 juta anak. Kemudian yang harus kita renungkan adalah bukankah anak-anak itu masih di usia sekolah? maka sudah pasti bisa disimpulkan bahwa sebagian pelajar di Indonesia juga terlibat dalam judi online ini. hanya saja riset yang fokus kepada pelajar yang terlibat judi online belum banyak atau bahkan belum pernah dilaksanakan. Hanya sekedar persepsi saja. Kendati demikian data KPAI ini menjadi warning bagi para pendidik, praktisi pendidikan dan pemegang kebijakan pendidikan untuk bisa mencegah dan memberantas pelajar yang terlibat serta merehabilitasi mereka sehingga bisa kembali fokus pada pendidikannya.

Dampak yang bisa terjadi karena keterlibatan anak/ pelajar dalam judi online bisa bermacam-macam. Seperti dampak psikologis yang serius dan berkepanjangan, antara lain: 1) Kecemasan dan depresi akibat ketidak pastian hasil dalam perjudian dan kegagalannya dalam perjudian. 2) Perubahan perilaku, kadang anak beruah menjadi impulsive, agresif, sulit konsentrasi dan menjauhkan diri dari teman dan keluarganya. 3) Bagi yang kecanduan judi online seringkali mengalami gangguan insomnia atau sulit untuk tidur. 4) Penurunan prestasi akademik. Hal ini karena fokusnya pada keinginan untuk mendapatkan uang yang banyak dengan cara singkat, buka lagi untuk belajar dan mendapatkan kesempatan lebih luas untuk mendapatkan pekerjaan setelah lulus pendidikannya.

Dampak yang dipaparkan di atas, belum termasuk dampak sosial, dampak ekonomi, dll. Sekarang mari kita analisis apa yang menjadi penyebab para pelajar ini terlibat dalam judi online ini. Menurut penulis keterlibatan para pelajar ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: 1) Mudahnya anak/pelajar mendapat akses judi online di internet. Hal ini diperparah lagi dengan iklan terselubung melalui media sosial, keterlibatan oknum selebgram yang mengiklankan judi online, dll. Karena itu upaya pencegahan untuk memblokir situs dan media online yang terlibat harus terus dilakukan oleh pemerintah, begitu juga dengan penegakan hukumnya. 2) Iklan yang menarik bagi anak/pelajar. Kerapkali judi online disamarkan dalam game online. Sehingga pada awalnya anak merasa bahwa yang dilakukan adalah game saja, tetapi ternyata itu adalah modus operandi dari Bandar judi online. 3) Kurangnya pengawasan orang tua. Tidak bisa dipungkiri bahwa gadget/ handphone saat ini sudah dimiliki sebagian besar bahkan mungkin semua pelajar di Indonesia. Mereka bisa menggunakannya untuk kegiatan pembelajaran daring, akses materi pelajaran dan lain-lain. Tetapi dampak negatifnya juga ada, salah satunya adalah kemudahan akses pada situs judi online. Karena itu orang tua juga harus ekstra dalam mengawasi penggunaan gadget anak-anaknya. 4) Pengaruh dari teman sebaya. Jika ada temannya yang sudah terlibat judi online, maka akan sangat memungkinkan untuk mengajak teman-temannya. Lagi-lagi orang tua juga harus mengenali dan mengetahui dengan siapa saja anaknya bergaul di sekolah maupun di luar sekolah.

Berdasarkan analisis penyebab dan dampak judi online di atas, sekolah harus segera bertindak agar wabah judi  ini tidak terus menyebar dan menyasar para pelajar. Diantaranya dengan melakukan hal-hal sebagai berikut:

  • Edukasi tentang Bahaya Judi Online: Sekolah dapat Melaksanakan kegiatan penyuluhan atau seminar tentang bahaya judi online, dampaknya terhadap kesehatan mental, dan cara mencegahnya. Mengintegrasikan materi tentang pencegahan judi online ke dalam kurikulum, terutama pada mata pelajaran seperti pendidikan kewarganegaraan atau BK.
  • Deteksi Dini: sekolah melakukan observasi terhadap perubahan perilaku siswa, seperti penurunan prestasi, perubahan suasana hati yang drastis, atau isolasi sosial. Memberikan perhatian khusus pada siswa yang sering membawa uang dalam jumlah besar ke sekolah. Bidang kesiswaan, wali kelas, dan guru BK yang paling bertanggung jawab dan memiliki kewenangan tersebut.
  • Kerjasama dengan Orang Tua: Sekolah membangun komunikasi yang baik dengan orang tua untuk memantau aktivitas anak di rumah. Mengadakan pertemuan orang tua untuk membahas masalah ini dan memberikan tips-tips mengatasi masalah judi online.
  • Membangun Lingkungan Sekolah yang Positif: Hal ini bisa diakukan dengan menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan mendukung. Memberikan berbagai kegiatan ekstrakurikuler yang positif untuk menyalurkan minat dan bakat siswa.
  • Meningkatkan Literasi Digital: Mengajarkan siswa cara menggunakan internet secara aman dan bertanggung jawab. Memberikan pengetahuan tentang cara mengenali dan menghindari konten yang berbahaya di internet.
Menegaskan langkah yang dapat dilakukan oleh sekolah tersebut, maka sekolah dapat kembali pada pentingnya pendidikan karakter bagi peserta didiknya. Pendidikan karakter bertujuan untuk membentuk pribadi yang berakhlak mulia, bertanggung jawab, dan memiliki nilai-nilai positif. Nilai-nilai inilah yang menjadi benteng pertahanan terhadap godaan untuk terlibat dalam aktivitas yang merugikan diri sendiri dan orang lain, seperti judi online.  Selain itu karena pendidikan karakter akan dapat membentuk nilai-nilai moral yang kuat dilandasi ajaran agama untuk mencegah anak pelajar terjerat dalam judi online. Pendidikan karakter juga akan membentuk anak sadar akan konsekuensi terhadap apa yang dilakukan, baik dan buruknya suatu tindakan akan kembali kepada dirinya sendiri.

Harus disadari bahwa seiring berkembangnya teknologi informasi ini, maka peran orang tua, sekolah, masyarakat dan pemerintah khususnya dalam pencegahan dan pemberantasan judi online yang menyasar pelajar di Indonesia harus terus ditingkatkan. Pelajar-pelajar ini adalah calon pemimpin masa depan. Maka sudah mejadi kewajiban bersama untuk menghindarkan mereka dari hal-hal yang merugikan dirinya sendiri, lingkungannya dan untuk masa depan negeri ini. Pemerintah tidak boleh kalah dengan Bandar judi online. Pendidikan harus bisa mencegah dan membersihkan noda judi online yang sudah mulai merembes pada para pelajar. Tanggung jawab dan kerjasama antar lembaga pemerintahan, LSM, Organisasi kemasyarakatan, dll yang didukung dengan penegakan hukum yang adil dan tegas akan menjadi cara yang ampuh untuk mengamputasi wabah judi online dari pelajar dan masyarakat Indonesia. (Hary, 29/7/2024)

-------- 

* Penulis adalah pemerhati bidang pendidikan


Minggu, 21 Juli 2024

MEMANDU PESERTA DIDIK MENUJU KEMANDIRIAN BERPIKIR KRITIS

Oleh: Dr. Hariyanto, M.Pd*

Era digital saat ini membuat peserta didik dihadapkan dengan informasi yang berlimpah dari berbagai sumber. Informasi tersebut dapat berupa berita, artikel, opini, iklan, dan lain sebagainya. Tidak semua informasi tersebut akurat dan dapat dipercaya. Banyaknya orang yang tidak bijak menggunakan informasi yang diperoleh dari media sosial, kerap kali harus tersandung masalah hukum karena pelanggaran terhadap UU nomor 1 tahun 2024 tentang perubahan kedua atas UU nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pengembangan kompetensi berpikir kritis pada peserta didik adalah investasi untuk masa depan mereka. Dengan kemampuan ini, mereka akan menjadi individu yang mandiri, bertanggung jawab, dan mampu berkontribusi secara positif bagi masyarakat.

Kemampuan berpikir kritis bagi peserta didik, memiliki manfaat yang besar. Manfaat yang dapat diperoleh misalnya: 1) Peserta didik mampu menyaring informasi yang akurat dan relevan. Dengan bekal kemampuan ini, peserta didik dapat belajar memilah dan memilih informasi yang tepat dan bermanfaat bagi dirinya dan bagi orang-orang di sekitarnya. Peserta didik juga akan dapat terhindar dari informasi hoax, yang menyesatkan dan berbahaya. 2) Peserta didik dapat belajar membuat keputusan yang tepat dalam kehidupan mereka. 3) Peserta didik akan aktif dalam masyarakat sebagai warga negara yang kritis dan bertanggung jawab.4) Peserta didik yang kemampuan berpikirnya terasah dengan baik, ketika sudah lulus sekolah dan berada dalam dunia kerja akan dapat belajar dengan cepat dan beradaptasi dengan perubahan yang terjadi, mampu memecahkan masalah secara kreatif dan inovatif, bekerjasama dengan orang lain secara efektif dan memiliki kemampuan komunikasi yang baik dan persuasif.

Pentingnya kemampuan berpikir kritis sebagaimana dipaparkan di atas, mengharuskan sekolah untuk lebih maksimal mengasahnya. Tentu saja hal ini dimulai dari proses belajar mengajar di kelas, ketika berinteraksi dengan teman sebaya  dan dengan gurunya. Sayangnya, dalam beberapa kasus sering kita jumpai justru oknum gurulah yang memadamkan semangat berpikir kritis dari peserta didik. Misalnya ketika peserta didik bertanya di luar konteks pembelajaran yang dibahas, maka peserta didik mendapatkan tanggapan yang tidak menyenangkan dari guru, atau ketika peserta didik bertanya karena kurang paham terhadap materi yang disampaikan, maka guru menggunakan bahasa tubuh yang kurang mengenakkan atau dengan tanggapan “hal yang mudah saja ditanyakan,” “bodoh amat sih gini saja tidak tahu,” “kamu itu dengerin pakai telinga donk jangan pakai dengkul” dan lain-lain. Ungkapan yang negative ini sesungguhnya merupakan pendangkalan terhadap kemampuan berpikir kritis peserta didik dan lambat laun mereka pun akan mati kekritisannya.

Keterampilan berpikir kritis sebagai sebuah keterampilan di abad ini perlu ditingkatkan. Berbagai macam strategi perlu diterapkan tidak hanya oleh guru di sekolah, tetapi juga oleh orang tua. Strategi yang dapat digunakan antara lain:

1)    Menanamkan budaya berpikir kritis; budaya berpikir kritis ini dapat dilakukan dengan memberikan kesempatan dan penghargaan kepada peserta didik yang berani untuk bertanya dan mengungkapkan pendapatnya di kelas. Guru juga dapat mendorong peserta didik untuk selalu mempertanyakan informasi yang mereka terima dan mencari jawabannya sendiri. Sebagai sebuah pendapat, guru harus tetap menghargai pendapat siswa meskipun pendapat tersebut berbeda dengan pendapat siswa lainnya. Karena disinilah lingkugan belajar yang aman dan nyaman dalam berdiskusi dan bertukar pikiran akan terbangun.

2)    Membiasakan peserta didik dengan proses berpikir kritis; Ajarkan peserta didik tentang langkah-langkah berpikir kritis, seperti identifikasi masalah, analisis informasi, evaluasi argumen, dan pembentukan kesimpulan. Berikan contoh-contoh bagaimana cara berpikir kritis dalam kehidupan sehari-hari. Gunakan berbagai metode pembelajaran, seperti diskusi, debat, pemecahan masalah, dan proyek.

3)    Memberikan kesempatan untuk berlatih berpikir kritis; Caranya dengan memberikan tugas-tugas yang menantang peserta didik untuk berpikir kritis, seperti menganalisis artikel berita, mengevaluasi iklan, dan memecahkan masalah. Libatkan peserta didik dalam kegiatan yang mendorong mereka untuk bekerja sama dan bertukar pikiran, seperti simulasi, permainan peran, dan proyek kelompok. Berikan umpan balik yang konstruktif kepada peserta didik tentang bagaimana mereka dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis mereka.

4)     Memanfaatkan teknologi; Guru dapat menggunakan teknologi untuk membantu peserta didik belajar tentang berpikir kritis, seperti permainan edukasi, simulasi, dan aplikasi pembelajaran. Dorong peserta didik untuk mencari informasi dari berbagai sumber yang kredibel dan terpercaya. Ajarkan peserta didik bagaimana cara mengevaluasi informasi yang mereka temukan di internet.

5)    Dalam pembelajaran di kelas, guru dapat menerapkan pembelajaran berbasis masalah (PBL) dengan cara memberikan peserta didik kesempatan untuk memecahkan masalah yang nyata dan kompleks.

6)    Guru juga dapat melaksanakan pembelajaran kolaboratif, mendorong peserta didik untuk berdiskusi dan bertukar ide dengan orang lain.

7)    Memberikan Contoh dan Teladan; Guru dan orang tua harus menjadi teladan bagi peserta didik dalam hal berpikir kritis. Tunjukkan kepada peserta didik bagaimana cara Anda berpikir kritis dalam kehidupan sehari-hari. Berikan contoh bagaimana cara Anda mengevaluasi informasi dan membuat keputusan.

8)    Orang tua mendorong anak untuk selalu mempertanyakan informasi yang mereka terima dan mencari jawabannya sendiri. Budaya untuk berpikir kritis dalam lingkup keluarga yang berpola asuh demokratis akan cepat tumbuh subur.

9)    Orang tua mengajak anak untuk berdiskusi tentang berbagai hal, berikan mereka tugas-tugas yang menantang, dan dorong mereka untuk mencari solusi kreatif.

10)  Jadilah orang tua yang menjadi pendengar yang baik atas ide dan gagasan anak tanpa harus selalu menghakimi, berikan apresiasi dan penghargaan kepada anak yang menunjukkan kemampuan kritisnya di rumah.

11)  Orang tua dapat membiasakan anak dengan berbagai sumber informasi: Ajak anak untuk membaca buku, menonton film dokumenter, dan mengunjungi museum. Membuat aturan dengan kesepakatan bersama tentang penggunaan gadget sehingga anak tidak hanyut dalam pusaran negative dari penggunaan gadget yang berlebihan yang akan berdampak pada kompetensi dan prestasinya.

Bagi seorang pendidik, untuk mengimplementasikan strategi tersebut di atas, maka guru harus memainkan perannya dengan baik, yaitu:

1)   Sebagai Fasilitator, sebagai seorang fasilitator guru harus mampu:

  1. Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif untuk berpikir kritis, yaitu lingkungan yang aman, terbuka, dan menghargai perbedaan pendapat.
  2. Memfasilitasi kegiatan pembelajaran yang mendorong peserta didik untuk berpikir kritis, seperti diskusi, debat, pemecahan masalah, dan proyek.
  3. Memberikan panduan dan arahan kepada peserta didik dalam proses berpikir kritis, seperti cara mengidentifikasi masalah, menganalisis informasi, mengevaluasi argumen, dan menarik kesimpulan.

2)    Sebagai Motivator, yang dapat dilakukan antara lain:

  1. Memotivasi peserta didik untuk selalu ingin tahu dan mencari informasi.
  2. Membangun rasa percaya diri pada peserta didik untuk berani mengungkapkan pendapat dan ide mereka.
  3. Memberikan penghargaan kepada peserta didik yang menunjukkan kemajuan dalam kemampuan berpikir kritis mereka.

3)      Sebagai Model, guru harus membiasakan melakukan hal-hal berikut:

  1. Menunjukkan contoh bagaimana cara berpikir kritis dalam kehidupan sehari-hari.
  2. Membiasakan diri untuk berpikir kritis dalam proses pembelajaran dan pengambilan keputusan.
  3. Terbuka terhadap kritik dan saran dari peserta didik.

4)      Sebagai Penilai, yang harus dilakukan guru yaitu:

  1. Mengevaluasi kemampuan berpikir kritis peserta didik secara berkala.
  2. Memberikan umpan balik yang konstruktif kepada peserta didik tentang bagaimana mereka dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis mereka.
  3. Membuat laporan tentang perkembangan kemampuan berpikir kritis peserta didik kepada orang tua.

Memainkan peran bagi guru dan orang tua dan megimplementasikan berbagai strategi di atas tidaklah semudah teori. Karena pada selalu ada kendala dan tantangan yang bisa menjadi penghalang dalam mengimplementasikan peningkatan keterampilan berpikir kritis peserta didik. Adapun tantangan dan kedala yang dimaksud yaitu:

1)  Kurangnya pemahaman tentang berpikir kritis, Banyak orang yang belum memahami apa itu berpikir kritis dan bagaimana cara mengembangkannya. Hal ini berdapak pada kurangnya komitmen dari berbagai pihak untuk mendukung pengembangan kemampuan berpikir kritis.

2)  Kurikulum dan Pembelajaran yang Tidak Mendukung. Implementasi kurikulum di banyak sekolah masih berfokus pada menghafal dan mengulang informasi, daripada mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Begitu juga metode pembelajaran yang digunakan di kelas tidak selalu mendorong peserta didik untuk berpikir kritis.

3) Kurangnya Sumber Daya. Sekolah seringkali kekurangan sumber daya untuk mendukung pengembangan kemampuan berpikir kritis, seperti guru yang terlatih, buku-buku, dan teknologi. Orang tua juga mungkin tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk membantu anak mereka mengembangkan kemampuan berpikir kritis di rumah.

4)   Kebiasaan Berpikir yang tidak tepat. Peserta didik terbiasa berpikir instan dan menerima informasi tanpa mempertanyakannya. Mereka tidak terbiasa untuk menganalisis informasi, mengevaluasi argumen, dan membentuk kesimpulan sendiri.

5)   Budaya yang tidak mendukung. Masyarakat pada umumnya tidak menghargai kemampuan berpikir kritis. Orang tua dan guru mungkin tidak mendorong peserta didik untuk berpikir kritis karena takut mereka akan menantang otoritas.

 Solusi dari tantangan dan kendala sebagaimana dipaparkan sebelumya yaitu:

1)   Meningkatkan pemahaman tentang berpikir kritis: Perlu dilakukan kampanye edukasi untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang berpikir kritis dan pentingnya mengembangkan kemampuan ini.

2)    Mengembangkan kurikulum dan pembelajaran yang mendukung: Kurikulum dan metode pembelajaran perlu diubah agar lebih fokus pada pengembangan kemampuan berpikir kritis.

3)    Menyediakan sumber daya: Pemerintah, sekolah, dan organisasi lain perlu menyediakan sumber daya yang dibutuhkan untuk mendukung pengembangan kemampuan berpikir kritis, seperti guru yang terlatih, buku-buku, dan teknologi.

4)    Membiasakan peserta didik dengan kebiasaan berpikir kritis: Peserta didik perlu dibiasakan untuk berpikir kritis sejak usia dini melalui berbagai kegiatan, seperti diskusi, debat, dan pemecahan masalah.

5)     Menciptakan budaya yang mendukung: Perlu diciptakan budaya yang menghargai kemampuan berpikir kritis dan mendorong orang untuk selalu berpikir kritis.

Meningkatkan kompetensi berpikir kritis pada peserta didik adalah tantangan yang besar. Namun, dengan strategi yang tepat dan komitmen dari semua pihak, tantangan ini dapat diatasi. Pengembangan kemampuan berpikir kritis adalah investasi untuk masa depan, dan semua peserta didik berhak untuk mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan ini. Karena itu tanggung jawab dan tugas bersama antara sekolah atau guru, orang tua, dan masyarakat, utamanya pemangku kepentingan untuk bersama-sama mendorong implementasi keterampilan berpikir kritis bagi peserta didik.

------------
*Penulis adalah pemerhati bidang pendidikan

Jumat, 21 Juni 2024

OPINI: ANALISIS PENYEBAB LEMBAGA PENDIDIKAN GULUNG TIKAR

 Oleh: Afrilia Eka Prasetyawati, M.Pd*

“Jika ingin mengetahui seberapa visioner seorang pimpinan lembaga pendidikan, lihatlah perencanaan pendidikannya. Jika ingin mengetahui kemampuan kepemimpinannya, maka lihatlah cara mengkoordinir sumber daya yang dimiliki lembaga pendidikan”- (Hary)


Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) masih belum selesai. Beberapa sekolah baik negeri maupun swasta masih berjuang untuk mendapatkan peserta didik dengan berbagai cara, termasuk memberikan janji manis bagi calon peserta didik dan orang tua. Kemasan gula-gula kualitas tersebut disajikan dengan berbagai cara. Beberapa sekolah sudah berada dalam tahapan aman karena Pagu sudah terpenuhi, meskipun demikian masih ada juga sekolah yang masih “harap-harap cemas” karena peminatnya masih sedikit, bahkan ada yang mengalami penurunan secara drastis dari tahun ke tahun. Sekolah-sekolah di sekitar kita sudah mulai banyak yang tidak bisa operasional, dampaknya gaji guru dan  tenaga kependidikan tidak bisa diberikan, sarana prasarana tidak ada pembaharuan, beberapa sudah rusak karena kurangnya perawatan, dll. Apa penyebabnya? Mengapa setiap tahun terus ada sekolah mulai jenjang SD sampai Sekolah Menengah yang terpaksa tutup atau “gulung tikar”? Bagaimana peran Kepala sekolahnya? Bagaimana Dinas Pendidikan melakukan fungsi pembinaannya? JIka sekolah dibawah yayasan, apa peran Yayasan? Apa yang seharusnya dilakukan? Tentu saja tidak bijak jika hanya mencari kambing hitam kepada Panitia Penerimaan Peserta Didik Baru. Karena pada dasarnya tidaklah sesederhana itu. Melalui tulisan ini, penulis mencoba untuk menguraikan hal-hal tersebut, sehingga manfaatya dapat diperoleh untuk pembelajaran bagi insan pendidikan.

Penyebab menurunnya peminat peserta didik baru terhadap sebuah lembaga pendidikan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor Internal lebih disebabkan oleh sumber daya yang dimiliki  sekolah tersebut. Sedangkan faktor eksternal disebabkan oleh faktor yang berasal dari luar sekolah tersebut. Apa saja faktor internalnya?

1.  Kualitas pendidikan yang rendah, hal ini dapat dilihat dengan mudah melalui prestasi yang diperoleh oleh siswa maupun oleh gurunya dalam event baik skala lokal, regional, nasional bahkan internasional. Jika tidak ada prestasi bidang akademik maupun non akademik sebagaimana disebutkan sebelumnya, maka ini sudah menjadi indikator awal bahwa kualitas pendidikannya rendah.

2. Proses pembelajaran yang tidak maksimal akibat guru yang tidak kompeten. Inovasi dalam pembelajaran tidak bisa diimplementasikan, cenderung monoton. Akibatnya peserta didik tidak termotivasi dalam belajar. Dalam konteks seperti ini, perlu dilihat kembali bagaimana proses rekruitmen sebelumnya, langkah pengembangan SDM dan evaluasi yang dilakukan. Sehingga upaya pengembangan SDM ke depannya akan lebih baik lagi dan diperoleh SDM yang berkualitas.

3. Kepemimpinan yang lemah, Bagaimanapun sebagai seorang manajer pendidikan harus bertanggung jawab terhadap masa depan lembaga yang dipimpinnya. Maju mundurnya sekolah yang dipimpin adalah tanggung jawabnya. Kepala sekolah yang bijaksana tidak akan lepas tangan jika sekolah yang dipimpinnya mulai ada kecenderungan sepi peminat. Apalagi dengan menyalahkan bawahanannya tanpa bisa berinovasi mengimplementasikan perencanaan dan tindakan strategis untuk menjaga eksistensi lembaganya. Kohesivitas, kekompakan dan pengimplementasian kepemimpinan yang demokratis akan dapat mengatasi masalah ini, apalagi ditunjang dengan keadilan dalam pemberian hak kesejahteraan para guru dan tenaga kependidikannya. Pemilihan dan pengangkatan kepala sekolah sudah ada aturan yang jelas bagi sekolah negeri, tetapi pada sekolah swasta terkadang pemilihan atau pengangkatannya diserahkan sepenuhnya oleh yayasan. Sering juga ditemui pegangkatan atau pemilihannya hanya didasarkan pada kedekatan secara personal bukan berdasarkan kemampuan atau kompetensi yang dimiliki oleh calon kepala sekolah. inilah yang menjadi cikal bakal tidak berkembangnya sekolah.

4. Yayasan Penyelenggara yang kurang kepedulian. Jika sekolah yang diselenggarakan sudah ada indikasi tidak lagi dipercayai masyarakat, maka harusnya dilakukan evaluasi dan mengambil tindakan secepatnya untuk perbaikan. Evaluasi dilakukan kepada kepemimpinan kepala sekolah, dan SDM lainnya, strategi marketing, pembiayaan dll. Sudah menjadi kewajiban dan tanggung jawab yayasan untuk memberikan dukungan finansial, material dan imaterial berupa pembinaan secara berkelanjutan. Bagaimana jika yayasan justru mengabaikannya karena dianggap tidak memberikan profit? Penulis menganjurkan melihat kembali visi dan misi yayasan sebagai lembaga sosial yang menyelenggarakan lembaga pendidikan dan merupakan lembaga non profit. Bukan untuk mencari keuntungan. Jika ingin mencari keuntungan, jangan mendirikan yayasan, tapi perusahaan.

5.  Kurangnya Promosi,  Era kompetisi antar lembaga pendidikan saat ini mengharuskan sekolah cermat dan piawai dalam menginformasikan tentang sekolah kepada masyarakat. Promosi yang dilakukan secara cerdas dan berkelanjutan, sehingga terbentuk opini di masyarakat bahwa sekolah memang benar-benar layak sebagai tempat menimba ilmu. Penggunaan media sosial seperti IG, Twitter, Facebook, Youtube dll bisa menjadi alternatif yang jitu untuk mendukung promosi pendidikan. SDM yang membidangi promosi pendidikan harus kreatif dan inovatif dalam memprmosikan.

6.  Keamanan dan ketertiban, Kondisi sekolah dan lingkungannya yang tertib dan aman menjadi salah satu pertimbangan orang tua untuk menyekolahkan anaknya. Budaya akademik yang diciptakan dan dibiasakan di sekolah akan mendorong bakat dan minat peserta didik. Bullying atau perundungan sebaiknya diantisipasi jangan sampai terjadi, karena akan berdampak pada citra lembaga menjadi tidak baik.

 

Setelah memahami beberapa faktor internal di atas, yang harus mendapatkan perhatian adalah faktor eksternal. Yaitu:

1. Perubahan minat dan kebutuhan masyarakat: Minat dan kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan terus berkembang. Lembaga pendidikan yang tidak mampu beradaptasi dengan perubahan ini dapat mengalami penurunan minat peserta didik. Mencermati hal tersebut, sudah semestinya sekolah melakukan langkah-langkah inovatif progressif, misalnya dengan mengadakan berbagai macam ekskul yang diminati peserta didik, atau program-program unggulan lain yang kompetitif dimana sekolah lain di sekitar belum ada.

2.  Persaingan dengan lembaga pendidikan lain: Semakin banyak lembaga pendidikan yang tersedia, semakin ketat pula persaingannya. Lembaga pendidikan yang tidak memiliki keunggulan kompetitif dapat kalah bersaing dan kehilangan peserta didik.

3. Ketersediaan lapangan pekerjaan: Kurangnya lapangan pekerjaan yang sesuai dengan jurusan pendidikan yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan dapat membuat masyarakat ragu untuk menyekolahkan anaknya di sana. Utamanya untuk lembaga pendidikan pada jenjang sekolah menengah atas sampai jenjang pendidikan tinggi. Bagi Pendidikan tinggi, sulitnya alumni mendapatkan pekerjaan setelah lulus, juga menjadi pertimbangan untuk tidak memilih jurusan atau program studi tersebut.

4. Faktor ekonomi: Krisis ekonomi dapat menyebabkan masyarakat memprioritaskan kebutuhan pokok daripada pendidikan. sehingga cenderung memilih sekolah yang menawarkan beasiswa atau sekolah yang biaya pendidikannya relative lebih terjangkau. Karena itu strategi pembiayaan pendidikan yang tepat harus dipertimbangkan oleh sekolah.

5.  Faktor Alam dan Pandemi, Faktor lain yang juga bisa mempengaruhi minat peserta didik dan orang tua untuk tidak menyekolahkan anaknya ke suatu lembaga pendidikan adalah bencana alam dan pandemic (misalnya covid-19).

 

Penurunan minat peserta didik untuk masuk di sebuah lembaga pendidikan dapat berakibat fatal bagi lembaga tersebut. Oleh karena itu, penting bagi lembaga pendidikan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan penurunan minat tersebut dan mengambil langkah-langkah untuk mengatasinya. Dampak dari ditutupnya lembaga pendidikan oleh karena sedikitnya peserta didik ini tentu saja akan menimpa peserta didik, para guru, tenaga kependidikan yang mengajar di sekolah tersebut. Bagi peserta didik yang masih sekolah di sekolah yang hendak ditutup tersebut akan mengalami beban moral dan stress karena ikut memikirkan keberlangsungan pendidikannya. Sementara bagi orang tua, maka akan ada penambahan beban finansial karena untuk memindahkan ke sekolah lain juga memerlukan biaya. Potensi anak putus sekolah juga terjadi, karena keengganan anak untuk pindah ke sekolah lain. Bagi guru dan tenaga kependidikan di sekolah swasta akan menganggur. Ini diperparah lagi jika yayasan penyelenggara tidak memberikan hak-haknya seperti gaji dan tunjangan yang seharusnya diberikan.

Lantas apa solusi bijak untuk mengatasi masalah yang kompleks ini? Pemerintah melalui Dinas Pendidikan yang memiliki kewenangan seharusnya turut membantu agar ditemukan solusi antara lain:

1. Pemerintah perlu melakukan pemetaan jumlah penduduk usia sekolah di setiap wilayah. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui perbadingan jumlah calon siswa dengan jumlah sekolah dan  ruang kelasnya. Kebijakan ini juga diperlukan untuk pertimbangan pemberian izin pendirian sekolah baru. Jika sudah banyak sekolah di suatu daerah, maka sebaiknya tidak ada pemberian izin operasional sekolah baru.

2. Pemerintah perlu meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah-sekolah yang kekurangan murid. Jika memungkinkan melakukan merger antar sekolah negeri yang sama-sama kekurangan murid. Begitu juga sekolah swasta, didorong dan difasilitasi agar yayasan penyelenggara bisa merger dengan yayasan atau sekolah lainnya agar bisa lebih berkembang. Tetapi yang harus diperhatikan adalah kepentingan peserta didik sehingga mereka tidak dirugikan dengan kebijakan merger tersebut. Begitu juga dengan guru dan tenaga kependidikannya, hak-hak nya juga harus terpenuhi dan difasilitasi sebaik mungkin jika ingin pindah home base.

3. Pemerintah perlu memberikan bantuan biaya pendidikan bagi keluarga kurang mampu. Bagi sekolah yang hendak ditutup dan masih ada siswa yang tersisa, maka urusan perpindahan dengan biaya administrasi yang menyertainya jika ada, harus ditanggung oleh pemerintah melalui dinas pendidikan. Jika sekolah swasta, maka yayasan penyelenggara harus membantu biaya yang dikeluarkan sebagai pertanggungjawaban moral atas dilakukannya merger atau ditutupnya sekolah dibawah naungan yayasan tersebut.

4. Dinas Pendidikan atau Yasayan perlu menyampaikan secara terbuka tentang penutupan atau kebijakan merger kepada peserta didik dan orang tua, sehingga peserta didik dan orang tua tidak merasa dirugikan dengan kebijakan ini. 

Penutupan sebuah lembaga pendidikan dikarenakan kekurangan peserta didik, adalah opsi terakhir  dari opsi-opsi lainnya yang tentu harus dilakukan terlebih dahulu oleh sekolah atau yayasan penyelenggara. Opsi-opsi lainnya seperti; melakukan analisis mendalam mengenai kondisi internal sekolah, peningkatan kualitas pendidikan, meningkatkan promosi sekolah, menekan biaya pendidikan, membangun kerjasama dengan pihak-pihak lain, mengadakan program-program baru yang membangkitkan minat calon siswa, dan merger dengan sekolah lainnya. Memang tidak mudah dilakukan, tetapi jika sumber daya yang ada memiliki kualitas yang baik dan daya juang tinggi dan ditopang dengan kepemimpinan yang hebat, maka kemungkinan untuk memulihkan kepercayaan masyarakat akan dapat dilakukan. Jika keputusan terakhir adalah menutup sekolah, maka harus dilakukan secara bijaksana dengan tetap mengedepankan kepentingan dan hak peserta didik, guru dan tenaga kependidikan yang ada. Sehingga sudah seharusnya sebelum mengambil keputusan tersebut harus melibatkan stakeholder, mendapatkan saran dan masukan dari pemerintah melalui dinas pendidikan. Harapannya kebijakan yang diambil tidak berdampak negatif di masa mendatang. Bagaimana jika hal-hal tersebut tidak dilaksanakan oleh yayasan penyelenggara, maka pemerintah melalui dinas pendidikan yang berwenang hendaknya memberikan teguran keras dan jika yayasan yang sama hendak menyelenggarakan pendidikan lagi, maka sudah tidak diizinkan lagi atau black list.(Efi, 21/6/2024)

Afrilia (Penulis)
Pemerhati Bidang Pendidikan

Selasa, 04 Juni 2024

OPINI: INTERNASIONALISASI ATAU KOMERSIALISASI PENDIDIKAN

Oleh: Dr. Hariyanto, M.Pd*

Penulis
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Perlunya pendidikan saat ini sudah semakin disadari oleh masyarakat Indonesia. Hal ini tentu dapat dilihat dari angka partisipasi kasar sekolah yang dari tahun ke tahun semakin meningkat, tahun 2023 APK untuk tingkat SD/sederajat sebesar 105,62%, tingkat SMP/sederajat sebesar 92,51%, dan tingkat SMA/sederajat sebesar 86,34%. Kesadaran untuk mendapatkan pendidikan ini tentu berkorelasi dengan keinginan masyarakat untuk mendapatkan pekerjaan dan tingkat kesejahteraan yang lebih baik. Kendati demikian, animo tinggi masyarakat ini belum diiringi oleh mutu pendidikan di Indonesia. Misalnya jika kita merujuk pada hasil survey yang dilakukan oleh PISA (Progam for International student assessment)  tahun 2022 yang dirilis pada 05 Desember 2023. Indonesia berada di peringkat 68 dari 203 negara dengan skor matematika 379, Sains 398 dan membaca memperoleh skor 371.

Tingginya minat masyarakat untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas dapat dilihat pada minggu-minggu terakhir ini, karena musim PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru). Para orang tua dan peserta didik berlomba mendapatkan informasi tentang sekolah terbaik bagi putra putrinya. Pihak sekolah juga demikian, menebar jaring pesona lembaga pendidikannya melalui berbagai upaya marketing, seperti mempromosikan di media sosial, mengikuti pameran pendidikan, mengadakan lomba/kompetisi dalam bidang akademik dan non akademik, bahkan ada juga yang menawarkan beasiswa dan program-program sekolah yang menggiurkan seperti program kelas internasional atau lebih dikenal dengan International class program (ICP). Program ICP inilah yang saat ini menjadi magnet kuat agar para peserta didik mau menempuh pendidikan di sekolah penyelenggara program tersebut. Jika ditelusuri lebih jauh program kelas internasional ini hampir sama dengan kebijakan pemerintah pada era tahun 2000 an yaitu RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional) dan SBI (Sekolah Bertaraf Internasional).

Sejenak mari kita kilas balik mengetahui seputar program RSBI dan SBI yang kemudian ditutup oleh pemerintah pasca dibatalkannya Pasal 50 Ayat 3, UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional oleh Mahkamah Konstitusi. Bunyi dari ayat tersebut adalah “Pemeritah dan atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan berstandard internasional.” Sebelum diusulkannya judicial review oleh Koalisi Anti Komersialisasi Pendidikan (KAKP) pada waktu itu, maka kebijakan tentang SBI dan RSBI ini sudah berjalan bahkan pemerintah memberikan bantuan atau block grant kepada sekolah-sekolah yang tergolong SBI.

Beberapa ciri dari sekolah yang termasuk RSBI dan SBI antara lain (1) Memiliki keunggulan yang ditunjukkan dengan pengakuan internasional terhadap proses dan hasil pendidikan yang berkualitas dalam berbagai aspek, (2) Pengakuan hasil akreditasi baik dari salah satu negara anggota OECD dan atau negara maju lainnya di bidang pendidikan. (2) Menerapkan kurikulum nasional yang diperkaya dengan kurikulum standar internasional, (3) Menerapkan sistem kredit semester di jenjangan SMA/MA/ Sederajat, (4) Memenuhi 8 SNP, (5) Menerapakan pembelajaran berbasis TIK pada semua mata pelajaran, (6) Pembelajaran kelompok sains, matematika dan inti kejuruan menggunakan bahasa Ingris. Karakteristik pendidik dan tenaga kependidikannya (1) harus mampu memfasilitasi pembelajaran berbasis TIK, (2) Guru sains, matematika dan inti kejuruan harus mampu berbahasa Inggris secara aktif, (3) 10-20% guru berpendidikan S2/S3 (4) kepala sekolahnya berpendidikan minimal S2, dan mampu berbahasa Inggris aktif, serta mampu membangun jejaring internasional. Sarana dan prasarananya juga harus lengkap. Dalam hal pengelolaan, maka sekolah harus menjalin hubungan “sister school” dengan sekolah bertaraf internasional di luar negeri.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa untuk menjadikan sekolah RSBI dan SBI adalah tidak mudah. Meskipun demikian, saat ini banyak sekolah yang hanya bermodalkan menjalin kerjasama dengan sekolah luar negeri, dan mengaplikasikan kurikulumnya sudah memberikan label pada sekolahnya sebagai sekolah penyelenggara kelas internasional. Uniknya masyarakat begitu mudah percaya dengan label program internasional, padahal belum terlihat dari aspek kualitas outputnya. Nampaknya secara sederhana jika sudah menerapkan atau ”membeli” kurikulum dari sekolah luar negeri, maka sekolah tersebut seolah sudah menyetarakan kualitasnya dengan sekolah yang kurikulumnya diadopsi tersebut. Salahkah hal tersebut? Tentu saja tidak sepenuhnya salah karena sekolah pun ingin meningkatkan kualitasnya, apalagi dengan era persaingan antar lembaga pendidikan saat ini, maka sekolah harus berinovasi untuk mempromosikan sekolahnya termasuk dengan menghadirkan program-program yang membangkitkan minat para orang tua dan peserta didik untuk melanjutkan studi di sekolah tersebut.

Sebagai masyarakat yang merupakan customer pendidikan, maka sudah seharusnya cerdas menyikapi hal tersebut. Kita lihat apakah keunggulan dan kelemahan dari penyelenggaraan sekolah atau kelas internasional ini. Keunggulannya antara lain: (1) penggunaan bahasa asing (bahasa Inggris) yang baik. Keterampilan berbahasa Inggris sebagai bahasa Internasional harusnya lebih dimiliki oleh peserta didik dan guru yang mengajarnya dibanding peserta didik dan guru yang mengajar di kelas non internasional. (2) Penggunaan kurikulum internasional akan memberikan pengetahuan dan wawasan secara global bagi peserta didik sehingga bisa berkompetisi dengan lulusan dari sekolah lain di luar negeri. (3) Sekolah memiliki jaringan internasional, sehingga memungkinkan membangun kerjasama seperti pelaksanaan student exchange dan bentuk-bentuk lainnya (4) Peserta didik dapat mengembangkan keterampilan berfikir critical thinking, problem solving, communication, collaboration, dan creativity, yang akan menjadi bekal berharga untuk masa depannya. (5) Bagi yang bermaksud kuliah di luar negeri, maka kelas internasional bisa digunakan untuk mempersiapkannya.

Secara obyektif juga harus kita ketahui dan akui kelemahan atau kekurangan dari program kelas internasional atau sekolah bertaraf internasional ini, antara lain: (1) Biaya yang mahal, hal ini bisa memberatkan orang tua dari kalangan kurang mampu. meskipun anaknya memiliki kemampuan akademik dan non akademik bagus tetapi tidak akan mampu menyekolahkannya di kelas internasional. Dengan demikian dalam satu lembaga/ sekolah sudah terbentuk sebuah komunitas dari kalangan atas yang mendapatkan perlakuan istimewa dari sekolah. Hal ini dimungkinkan karena biaya pendidikannya yang mahal, dan fasilitas sarana prasarana yang lebih baik untuk dinikmati peserta didik dari kelas internasional. Sementara itu ada juga kelas non internasional yang fasilitas sarana prasarananya kalah dengan kelas internasional. Begitu kuga kualitas dari pendidik dan tenaga kependidikannya, bisa jadi dianggap atau dipersepsikan kurang baik dibandingkan yang mengajar di kelas internasional  (2) Adaptasi dari anak peserta kelas internasional karena penggunaan bahasa asing di semua kegiatan pembelajaran, hal ini bisa menyebabkan anak stress, terbebani dalam belajar. Kehidupan sosial anak-anak dari kelas internasional dengan anak-anak dari kelas non internasional/ regular juga bisa menciptakan kesenjangan karena dipengaruhi oleh latar belakang ekonomi mereka. (3) kemungkinan lunturnya kecintaan terhadap Bahasa Indonesia, karena membiasakan bahasa asing di sekolahnya. (4) Menipisnya kedekatan dengan budaya lokal. Bagaimanapun harus diakui bahwa bahasa adalah bagian dari budaya. Ketika peserta didik belajar bahasa asing terus-menerus, maka mereka pun akan berinteraksi dengan budaya asal dari bahasa tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, orang tua sudah seharusnya memahami dampak dari pemilihan program sekolah untuk anak-anaknya, sehingga harus secara logis mempertimbangkan keunggulan dan kekurangannya sebagaimana penulis sebutkan di atas. Pertanyaannya apakah Kelas/ Sekolah internasional yang saat ini mulai bermunculan merupakan bentuk baru dari RSBI dan SBI yang sudah dihapuskan oleh pemerintah? Jika ya, mengapa pemerintah membiarkannya saja dan mengizinkannya untuk operasional dengan memasang tarif tinggi untuk biaya masuknya. Bukankah kualitasnya juga belum sepenuhnya teruji? Jika memang ini direstui oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atau Kementerian Agama yang memiliki ratusan ribu sekolah/ madrasah di seluruh Indonesia, maka patutlah kembali kedua kementerian tersebut merenungkan kembali latar belakang Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk menghapus pasal 50 ayat 3 UU No. 20 tahun 2003, sekaligus sebagai tonggak dihapuskannya RSBI dan SBI.

Kualitas pendidikan di Indonesia dapat ditingkatkan bukan semata karena penggunaan kurikulum dari luar negeri, bahkan dengan hanya menggunakan kurikulum nasional saja bisa berkualitas asalkan faktor pendukungnya juga tercukupi. Misalnya: perhatian terhadap kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan, peningkatan sarana dan prasarana pendidikan, kualitas pendidik dan tenaga kependidikan yang lebih baik, serta pemerataan akses pendidikan di seluruh wilayah Indonesia dan di seluruh lapisan masyarakat tanpa memandang status sosial ekonominya.

Terakhir, penulis ingin mengingatkan bahwa sebuah negara yang diakui kualitas pendidikannya seperti findlandia. Negara ini konsisten dengan kebijakannya terkait pendidikan, berganti pucuk pimpinan pemerintahan pun Findlandia masih memberlakukan tidak ada pengkastaan siswa dalam lembaga pendidikan, tidak ada perbedaan perlakuan pemerintah baik antara sekolah swasta dan sekolah negeri. Guru-gurunya ditingkatkan terus kemampuannya sehingga mereka menjadi pakar kurikulum yang bisa diterapkan di sekolahnya masing-masing. Tidak menggantungkan kualitas pendidikannya dari mengadopsi dan mengimplementasikan kurikulum dari negara lain. Semoga Pendidikan di Indonesia di masa mendatang akan lebih baik lagi (HAR, 04/06/24)

* Penulis adalah pemerhati bidang pendidikan

Senin, 05 Februari 2024

PENDEKATAN PBL : INOVASI PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA MATERI CERITA KEPALA SUKU LEN PADA SISWA KELAS IV SD NEGERI 076071 LASARA LAFAU

 

LAPORAN BEST PRACTICE
PENDEKATAN PROBLEM BASED LEARNING (PBL) DENGAN BANTUAN AUDIO
VISUAL DAPAT MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR SISWA KELAS IV 
BAB 2 

DI BAWAH ATAP TEMA TUGAS DI RUMAH ATAU SEKOLAH

 

  

 


Disusun Oleh

LATIHAN LASE, S.Pd
NIM :
23021141533

 

 

 


 

  

 


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI GURU
ANGKATAN III TAHUN 2023
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PGRI MADIUN


 ----------------------------------------------------------------------------------------------------

Sabtu, 09 Desember 2023

PERAN KARYA SASTRA DALAM PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER

Afrilia Eka Prasetyawati: Penulis


Karya sastra adalah sebuah karya yang mengungkapkan perasaan seseorang yang terkemas dalam sebuah tulisan ataupun sebuah cerita yang bisa mempengaruhi pembacanya (Faidah, 2018). Pendapat yang senada diungkapkan oleh Arifin (2019) bahwa karya sastra adalah karya kreatif dari penulis yang merupakan hasil imajinasi penulisnya yang menghasilkan ide-ide baru/ gagasan yang selama ini sudah ada tetapi diperbaharui lagi. Berdasarkan dua pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa karya sastra adalah capaian hasil belajar dari seseorang/penulis yang menghasilkan hasil kreativitas tertulis dari penulis yang berisi pengalaman hidup, kritik, saran, bahkan bernilai pendidikan, dan nilai-nilai lainnya.

Apa hubungannya dengan pendidikan karakter? Kusnoto (2017) mengungkapkan bahwa pendidikan karakter tidaklah sesuatu yang baru, tidak juga suatu mata pelajaran kelas, juga bukan suatu kurikulum, tetapi merupakan suatu penguatan dari proses pembelajaran dan sebagai roh dalam suatu pendidikan. Pendidikan karakter menjadi fokus dalam dunia pendidikan di Indonesia, karena kemerosotan moral adalah masalah penting yang sangat mengkhawatirkan (Anggreani, Purnomo, & Hidayat, 2021). Sekarang ini, pendidikan karakter merupakan suatu tantangan besar yang berhubungan dengan kemerosotan moral di dalam masyarakat maupun di lingkungan pemerintahan (Suraji & Sastrodiharjo, 2021). Pendapat tersebut tidaklah berlebihan jika kita mengamati banyaknya kasus perundungan yang terjadi di lembaga pendidikan, banyaknya pelajar yang terlibat dalam perkelahian antar pelajar, tawuran pelajar, kasus penyalahgunaan narkoba dan zat terlarang lainnya. Media seolah setiap hari memberitakan hal tersebut. Berdasarkan siaran Pers dari KPAI sebagaimana dipublikasikan di laman resmi KPAI, diketahui bahwa data sampai Agustus 2023 terdapat 87 kasus perundungan, anak korban kekerasan fisik dan psikis sebanyak 236 kasus, korban kekerasan seksual sebanyak 487 kasus. 

Presiden Indonesia mengeluarkan kebijakan melalui Perpres No 87 tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter agar hal-hal yang terkait karakter dan moral peserta didik tidak semakin meburuk.Selanjutnya dilakukan kajian mendalam dan ditemukan bahwa terdapat delapan belas nilai pendidikan karakter  yang bersumber dari Agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu: Religius, Jujur, Toleransi, Disiplin, Kerja keras, Kreatif,  Mandiri, Demokratis, Rasa Ingin Tahu, Semangat Kebangsaan, Cinta Tanah Air, Menghargai Prestasi, Bersahabat/Komunikatif, Cinta Damai, Gemar Membaca, Peduli Lingkungan, Peduli Sosial, Tanggung Jawab. Kebijakan ini haruslah disambut oleh seluruh lembaga pendidikan dengan berbagai metode agar penguatan pendidikan karakter bisa diimplementasikan dan berhasil sesuai tujuannya. salah satu terobosan yang dapat dilakukan adalah melalui pembelajaran sastra pada mata pelajaran Bahasa Indonesia.

Pembelajaran karya sastra sebagai bagian dari pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah, bisa menjadi salah satu upaya untuk mengangkat kembali marwah pendidikan Indonesia agar menghasilkan lulusan yang cerdas tetapi tetap menunjung tinggi nilai-nilai pendidikan karakter. Hal ini tidaklah berlebihan karena beberapa riset menunjukkan bahwa pembelajaran sastra memiliki manfaat terhadap pengembangan sikap positif dari peserta didik. Kanzunnudin dalam Harmanti (2020) menyatakan bahawa penyajian karya sastra yang komunikatif dapat memberikan manfaat bagi pengarang dan pembacanya, membentuk kepribadian, menambah imajinasi, meningkatkan ekspresi, dan konstruktif. Sastra tidak hanya menyajikan sesuatu yang menarik dan memberikan suatu hiburan, sastra juga mampu menumbuhkan rasa keindahan. Disamping itu, sastra juga mampu memberikan pencerahan mental dan intelektual. Materi karya sastra yang terdapat dalam bahan ajar, harus dapat digunakan sebagai alat dalam membangun karakter. Maksudnya, jika hanya sekedar membaca sebuah karya sastra saja itu tidakakan mampu memperbaiki karakter, tetapi jika diimbangi dengan kegiatan apresiasi seperti kreasi maka hal itu akan membangun karakter seseorang (Septiningsih, 2015).

Penjelasan tersebut secara tidak langsung menyatakan peran karya sastra sebagai upaya penguatan pendidikan karakter. Hal ini tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan, semua memerlukan proses dan waktu yang cukup lama untuk bisa melhat keberhasilan dari program penguatan pendidikan karakter di lembaga pendidikan. Kunci utamanya adalah kepala sekolah guru dan tenaga kependidikan di sekolah harus bisa memberikan contoh teladan yang baik. Misalnya: tentang kedisiplinan, religiusitas, peduli sosial, dll. Guru yang menggunakan bahan ajar salah satu jenis karya sastra misalnya novel, cerpen dan jenis lainnya harus lebih variatif dalam mengimplementasikan metode pembelajaran, sehingga peserta didik tidak merasa jenuh dalam belajar dan mendapatkan asupan nilai-nilai pendidikan karakter. Jika hal ini mampu diterapkan pada semua jenjang pendidikan di Indonesia, maka bisa dipastikan tujuan pendidikan karakter akan dapat tercapai, dan visi, misi serta tujuan  pendidikan nasional sebagaimana tertuang dalam Pasal UU No 20 tahun 2003 akan segera bisa tercapai yaitu bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

----------------------------------------------
*Penulis adalah guru dan mahasiswa Magister PBSI UNIPMA Madiun