Oleh: Hariyanto*
“Guru adalah panggilan hati, bukan panggilan materi, meski begitu jangan dieksploitasi dengan dalih mengabdi.”
Guru
memiliki peran penting dalam membentuk karakter dan kualitas akademik peserta
didik. Mereka bukan hanya sebagai penyampai ilmu pengetahuan, tetapi juga
sebagai panutan dan inspirasi bagi siswa. Dalam perkembangan zaman yang semakin
pesat, khususnya di era digital, harapan terhadap guru pun semakin tinggi. Guru
tidak hanya dituntut menguasai materi pembelajaran, tetapi juga mampu
beradaptasi dengan teknologi serta memahami kebutuhan emosional dan sosial
peserta didik.
Di era digital saat ini, peserta didik
cenderung lebih kritis dalam memilih sosok yang mereka idolakan. Guru yang
sekadar mengajar dengan metode konvensional cenderung kurang menarik bagi
mereka. Sebaliknya, guru yang inovatif, inspiratif, serta memahami teknologi
memiliki peluang lebih besar untuk menjadi idola bagi siswa. Selain itu, guru
yang dapat membangun kedekatan emosional dan memberikan motivasi lebih sering
mendapat tempat di hati peserta didik.
Paragraf
di atas berisi kalimat-kalimat yang seolah begitu sederhana untuk menjadi guru
yang diidolakan bagi peserta didik, tetapi kenyataannya begitu banyak fakultas
keguruan dan ilmu pendidikan yang mencetak guru-guru di Indonesia masih belum
mampu menghasilkan guru-guru yang betul-betul berkualitas dan memiliki
keterampilan mengajar yang mumpuni. Hal ini didukung dengan perkembangan
teknologi informasi yang begitu cepat tetapi tidak berbanding lurus dengan kemampuan
inovasi dan kreatifitas guru dalam mengajar.
Berpuluh
tahun lalu, Donald R Cruicksank (1980) dalam bukunya yang berjudul Teaching
is Tough telah mengindikasikan beberapa problem yang dihadapi guru dan guru
diharapkan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapinya tersebut. Problem
yang dihadapi antara lain (1) Problem
kurang relevannya pendidikan guru dengan kebutuhan masyarakat yang semakin dinamis. (2) Terdapat
kecemasan pada guru meskipun sudah memiliki pengalaman mengajar yang lama, hal
ini dikarenakan problem dinamisnya perkembangan teknologi dan karakter peserta
didik. (3) Kebutuhan akan kepuasan guru, hal ini bisa dikaitkan permasalahan
kesejahteraan guru yang belum tercapai, sementara beban dan tuntutan orang tua di
pundaknya semakin berat. (4) Problem yang terkait dengan proses belajar
mengajar, seperti: tindakan yang sesuai untuk penegakan aturan kedisiplinan di
sekolah yang terkadang tidak bisa diterima secara bijak oleh orang tua dan
siswa, problem guru dalam menjalin kerjasama antara orang tua dengan guru, dan membangun
interaksi positif dengan peserta didik.
Sekarang ini Era
digital membawa banyak kemudahan dalam dunia pendidikan, terutama dalam aspek
pembelajaran yang lebih interaktif dan akses informasi yang lebih luas. Namun,
di sisi lain, digitalisasi juga menghadirkan berbagai tantangan bagi guru,
khususnya dalam menanamkan pendidikan karakter kepada peserta didik. Berikut
beberapa masalah utama yang dihadapi guru dalam kaitannya dengan pendidikan
karakter di era digital:
1. Kurangnya Interaksi
Tatap Muka yang Berkualitas
Pembelajaran
berbasis teknologi, seperti e-learning atau kelas daring, sering kali
mengurangi interaksi langsung antara guru dan siswa. Akibatnya, nilai-nilai
karakter seperti sopan santun, empati, dan kepedulian sosial sulit ditanamkan
karena keterbatasan komunikasi nonverbal dan interaksi emosional.
2.
Pengaruh Negatif Media Digital
Peserta
didik memiliki akses yang luas terhadap internet dan media sosial, yang tidak
selalu memberikan pengaruh positif. Konten negatif seperti ujaran kebencian,
hoaks, perundungan daring (cyberbullying), dan gaya hidup hedonis dapat
memengaruhi karakter mereka. Guru harus berperan sebagai filter dan pembimbing
dalam memilah informasi yang sesuai dengan nilai-nilai moral dan etika.
3.
Perubahan Pola Pikir dan Gaya Hidup Peserta Didik
Teknologi
mengubah cara berpikir dan bertindak siswa. Banyak dari mereka lebih
individualistis, kurang sabar, dan cenderung mengutamakan kepuasan instan
(instant gratification). Hal ini menjadi tantangan bagi guru dalam menanamkan
nilai-nilai seperti kerja keras, kesabaran, dan tanggung jawab.
4.
Menurunnya Otoritas Guru dalam Pendidikan Karakter
Di
era digital, peserta didik tidak lagi hanya bergantung pada guru sebagai sumber
utama informasi. Mereka lebih banyak mencari jawaban sendiri melalui internet.
Hal ini menyebabkan otoritas guru dalam membentuk karakter siswa menjadi
berkurang, karena mereka lebih mudah dipengaruhi oleh figur lain di dunia maya
yang belum tentu memberikan teladan yang baik.
5.
Kurangnya Literasi Digital di Kalangan Guru
Tidak
semua guru memiliki keterampilan digital yang memadai untuk menyesuaikan metode
pembelajaran dengan perkembangan teknologi. Akibatnya, mereka kesulitan dalam
mendampingi siswa menghadapi tantangan moral di dunia digital, seperti etika
berinternet, keamanan digital, dan bagaimana menggunakan teknologi secara
positif.
6.
Tantangan dalam Mengajarkan Nilai-Nilai Kedisiplinan
Kemudahan
teknologi sering kali membuat siswa menjadi lebih fleksibel dan kurang
disiplin, terutama dalam hal menghargai waktu dan tanggung jawab. Misalnya,
siswa lebih mudah menunda tugas dengan alasan jaringan internet bermasalah atau
kurang fokus karena distraksi media sosial. Guru harus mencari cara untuk tetap
menanamkan kedisiplinan dalam lingkungan digital.
7.
Kurangnya Dukungan dari Orang Tua dalam
Pendidikan Karakter
Di
era digital, banyak orang tua yang sibuk dengan pekerjaan dan kurang terlibat dalam
pendidikan karakter anak. Mereka sering menyerahkan tanggung jawab sepenuhnya
kepada guru, padahal pendidikan karakter harus ditanamkan secara bersama antara
sekolah dan keluarga.
Selanjutnya apa solusi dari
permasalahan dan tantangan di atas? Dalam pandangan penulis guru seharusnya: (1) Meningkatkan Literasi Digital Guru: guru harus terus
belajar dan mengembangkan keterampilan digital agar bisa menyesuaikan metode
pengajaran dengan kebutuhan era digital. (2) Menerapkan Pendidikan Karakter
Berbasis Digital: Mengajarkan etika berinternet, literasi digital, dan cara
menggunakan media sosial secara positif. (3)Memaksimalkan Interaksi Emosional; Meskipun
menggunakan teknologi, guru tetap harus membangun kedekatan dengan siswa, baik
secara daring maupun luring. (4) Menjadi Role Model dalam Penggunaan Teknologi:
Guru harus menunjukkan contoh yang baik dalam penggunaan media sosial dan
teknologi agar siswa bisa meniru sikap positif. (5) Berkolaborasi dengan Orang Tua dan
Masyarakat: Guru perlu bekerja sama dengan orang tua dalam membentuk karakter
siswa agar nilai-nilai moral tetap terjaga di lingkungan digital.
Di
era digital yang penuh dengan perubahan cepat dan tantangan baru, guru tetap
menjadi sosok yang diidolakan oleh peserta didik bukan hanya karena ilmunya,
tetapi juga karena keteladanan, inovasi, dan kepeduliannya. Teknologi, termasuk
kecerdasan buatan (AI), memang telah mengubah cara belajar-mengajar, namun
tidak akan pernah bisa menggantikan peran guru sebagai inspirator dan
pembimbing karakter. Guru yang mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi,
mengajarkan nilai-nilai moral, serta membangun kedekatan emosional dengan siswa
akan selalu dihormati dan dicintai. Oleh karena itu, di tengah pesatnya arus
digitalisasi, guru harus terus berkembang, tidak hanya sebagai pendidik tetapi
juga sebagai panutan yang membawa harapan bagi generasi masa depan.
Daftar Rujukan: