f ' Inspirasi Pendidikan: Kajian Ilmiah

Inspirasi Pendidikan untuk Indonesia

Pendidikan bukan cuma pergi ke sekolah dan mendapatkan gelar. Tapi, juga soal memperluas pengetahuan dan menyerap ilmu kehidupan.

Bersama Bergerak dan Menggerakkan pendidikan

Kurang cerdas bisa diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur itu sulit diperbaiki (Bung Hatta)

Berbagi informasi dan Inspirasi

Tinggikan dirimu, tapi tetapkan rendahkan hatimu. Karena rendah diri hanya dimiliki orang yang tidak percaya diri.

Mari berbagi informasi dan Inspirasi

Hanya orang yang tepat yang bisa menilai seberapa tepat kamu berada di suatu tempat.

Mari Berbagi informasi dan menginspirasi untuk negeri

Puncak tertinggi dari segala usaha yang dilakukan adalah kepasrahan.

Tampilkan postingan dengan label Kajian Ilmiah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kajian Ilmiah. Tampilkan semua postingan

Rabu, 05 Maret 2025

MENJADI GURU IDOLA DI ERA DIGITAL ; MENGAJAR DENGAN HATI, BERKARYA DENGAN TEKNOLOGI


 Oleh: Hariyanto*

Guru adalah panggilan hati, bukan panggilan materi, meski begitu jangan dieksploitasi dengan dalih mengabdi.” 

Guru memiliki peran penting dalam membentuk karakter dan kualitas akademik peserta didik. Mereka bukan hanya sebagai penyampai ilmu pengetahuan, tetapi juga sebagai panutan dan inspirasi bagi siswa. Dalam perkembangan zaman yang semakin pesat, khususnya di era digital, harapan terhadap guru pun semakin tinggi. Guru tidak hanya dituntut menguasai materi pembelajaran, tetapi juga mampu beradaptasi dengan teknologi serta memahami kebutuhan emosional dan sosial peserta didik.

Di era digital saat ini, peserta didik cenderung lebih kritis dalam memilih sosok yang mereka idolakan. Guru yang sekadar mengajar dengan metode konvensional cenderung kurang menarik bagi mereka. Sebaliknya, guru yang inovatif, inspiratif, serta memahami teknologi memiliki peluang lebih besar untuk menjadi idola bagi siswa. Selain itu, guru yang dapat membangun kedekatan emosional dan memberikan motivasi lebih sering mendapat tempat di hati peserta didik.

Paragraf di atas berisi kalimat-kalimat yang seolah begitu sederhana untuk menjadi guru yang diidolakan bagi peserta didik, tetapi kenyataannya begitu banyak fakultas keguruan dan ilmu pendidikan yang mencetak guru-guru di Indonesia masih belum mampu menghasilkan guru-guru yang betul-betul berkualitas dan memiliki keterampilan mengajar yang mumpuni. Hal ini didukung dengan perkembangan teknologi informasi yang begitu cepat tetapi tidak berbanding lurus dengan kemampuan inovasi dan kreatifitas guru dalam mengajar.  

Berpuluh tahun lalu, Donald R Cruicksank (1980) dalam bukunya yang berjudul Teaching is Tough telah mengindikasikan beberapa problem yang dihadapi guru dan guru diharapkan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapinya tersebut. Problem yang dihadapi antara lain (1)  Problem kurang relevannya pendidikan guru dengan kebutuhan  masyarakat yang semakin dinamis. (2) Terdapat kecemasan pada guru meskipun sudah memiliki pengalaman mengajar yang lama, hal ini dikarenakan problem dinamisnya perkembangan teknologi dan karakter peserta didik. (3) Kebutuhan akan kepuasan guru, hal ini bisa dikaitkan permasalahan kesejahteraan guru yang belum tercapai, sementara beban dan tuntutan orang tua di pundaknya semakin berat. (4) Problem yang terkait dengan proses belajar mengajar, seperti: tindakan yang sesuai untuk penegakan aturan kedisiplinan di sekolah yang terkadang tidak bisa diterima secara bijak oleh orang tua dan siswa, problem guru dalam menjalin kerjasama antara orang tua dengan guru, dan membangun interaksi positif dengan peserta didik.

Sekarang  ini  Era digital membawa banyak kemudahan dalam dunia pendidikan, terutama dalam aspek pembelajaran yang lebih interaktif dan akses informasi yang lebih luas. Namun, di sisi lain, digitalisasi juga menghadirkan berbagai tantangan bagi guru, khususnya dalam menanamkan pendidikan karakter kepada peserta didik. Berikut beberapa masalah utama yang dihadapi guru dalam kaitannya dengan pendidikan karakter di era digital:

1. Kurangnya Interaksi Tatap Muka yang Berkualitas

Pembelajaran berbasis teknologi, seperti e-learning atau kelas daring, sering kali mengurangi interaksi langsung antara guru dan siswa. Akibatnya, nilai-nilai karakter seperti sopan santun, empati, dan kepedulian sosial sulit ditanamkan karena keterbatasan komunikasi nonverbal dan interaksi emosional.

2. Pengaruh Negatif Media Digital

Peserta didik memiliki akses yang luas terhadap internet dan media sosial, yang tidak selalu memberikan pengaruh positif. Konten negatif seperti ujaran kebencian, hoaks, perundungan daring (cyberbullying), dan gaya hidup hedonis dapat memengaruhi karakter mereka. Guru harus berperan sebagai filter dan pembimbing dalam memilah informasi yang sesuai dengan nilai-nilai moral dan etika.

3. Perubahan Pola Pikir dan Gaya Hidup Peserta Didik

Teknologi mengubah cara berpikir dan bertindak siswa. Banyak dari mereka lebih individualistis, kurang sabar, dan cenderung mengutamakan kepuasan instan (instant gratification). Hal ini menjadi tantangan bagi guru dalam menanamkan nilai-nilai seperti kerja keras, kesabaran, dan tanggung jawab.

4. Menurunnya Otoritas Guru dalam Pendidikan Karakter

Di era digital, peserta didik tidak lagi hanya bergantung pada guru sebagai sumber utama informasi. Mereka lebih banyak mencari jawaban sendiri melalui internet. Hal ini menyebabkan otoritas guru dalam membentuk karakter siswa menjadi berkurang, karena mereka lebih mudah dipengaruhi oleh figur lain di dunia maya yang belum tentu memberikan teladan yang baik.

5. Kurangnya Literasi Digital di Kalangan Guru

Tidak semua guru memiliki keterampilan digital yang memadai untuk menyesuaikan metode pembelajaran dengan perkembangan teknologi. Akibatnya, mereka kesulitan dalam mendampingi siswa menghadapi tantangan moral di dunia digital, seperti etika berinternet, keamanan digital, dan bagaimana menggunakan teknologi secara positif.

6. Tantangan dalam Mengajarkan Nilai-Nilai Kedisiplinan

Kemudahan teknologi sering kali membuat siswa menjadi lebih fleksibel dan kurang disiplin, terutama dalam hal menghargai waktu dan tanggung jawab. Misalnya, siswa lebih mudah menunda tugas dengan alasan jaringan internet bermasalah atau kurang fokus karena distraksi media sosial. Guru harus mencari cara untuk tetap menanamkan kedisiplinan dalam lingkungan digital.

7.  Kurangnya Dukungan dari Orang Tua dalam Pendidikan Karakter

Di era digital, banyak orang tua yang sibuk dengan pekerjaan dan kurang terlibat dalam pendidikan karakter anak. Mereka sering menyerahkan tanggung jawab sepenuhnya kepada guru, padahal pendidikan karakter harus ditanamkan secara bersama antara sekolah dan keluarga.

Selanjutnya apa solusi dari permasalahan dan tantangan di atas? Dalam pandangan penulis guru seharusnya: (1) Meningkatkan Literasi Digital Guru: guru harus terus belajar dan mengembangkan keterampilan digital agar bisa menyesuaikan metode pengajaran dengan kebutuhan era digital. (2) Menerapkan Pendidikan Karakter Berbasis Digital: Mengajarkan etika berinternet, literasi digital, dan cara menggunakan media sosial secara positif. (3)Memaksimalkan Interaksi Emosional; Meskipun menggunakan teknologi, guru tetap harus membangun kedekatan dengan siswa, baik secara daring maupun luring. (4) Menjadi Role Model dalam Penggunaan Teknologi: Guru harus menunjukkan contoh yang baik dalam penggunaan media sosial dan teknologi agar siswa bisa meniru sikap positif. (5) Berkolaborasi dengan Orang Tua dan Masyarakat: Guru perlu bekerja sama dengan orang tua dalam membentuk karakter siswa agar nilai-nilai moral tetap terjaga di lingkungan digital.

Di era digital yang penuh dengan perubahan cepat dan tantangan baru, guru tetap menjadi sosok yang diidolakan oleh peserta didik bukan hanya karena ilmunya, tetapi juga karena keteladanan, inovasi, dan kepeduliannya. Teknologi, termasuk kecerdasan buatan (AI), memang telah mengubah cara belajar-mengajar, namun tidak akan pernah bisa menggantikan peran guru sebagai inspirator dan pembimbing karakter. Guru yang mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi, mengajarkan nilai-nilai moral, serta membangun kedekatan emosional dengan siswa akan selalu dihormati dan dicintai. Oleh karena itu, di tengah pesatnya arus digitalisasi, guru harus terus berkembang, tidak hanya sebagai pendidik tetapi juga sebagai panutan yang membawa harapan bagi generasi masa depan.

Daftar Rujukan:

Cruickshank, D.R. (1980). Teaching is Tough. New Jersey: Prentice-Hall Inc.
Daryanto & Karim, S. (2017). Pembelajaran Abad 21. Yogyakarta: Gava Media.
Prensky, M. (2001). Digital Natives, Digital Immigrants. On the Horizon, 9(5), 1–6.
Sugiyono. (2018). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Tilaar, H. A. R. (2002). Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia. Jakarta: Grasindo.
Wahyuni, S. (2020). Peran Guru dalam Pendidikan Karakter di Era Digital. Jakarta: Erlangga.
-------------  
*Penulis adalah dosen FTIK IAIN Ponorogo

Jumat, 20 September 2024

INTERNASIONALISASI BAHASA INDONESIA

Penulis

Oleh: Afrilia Eka Prasetyawati, M.Pd

Bahasa Indonesia merupakan hasil dari komitmen besar bangsa Indonesia yang digunakan sebagai media pemersatu bangsa. Sebagaimana kita ketahui, bahwa Indonesia memiliki banyak suku dan bahasa. Masing-masing daerah memiliki bahasa yang berbeda-beda. Hal ini memang merupakan kekayaan dan potensi bangsa yang tidak dimiliki oleh bangsa lain, tetapi bisa juga menjadi sumber rapuhnya kesatuan bangsa. Karena itu jauh sebelum Indonesia menyatakan proklamasi kemerdekaannya, tanggal 28 Oktober 1928 para pemuda dari berbagai daerah bersumpah menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. “Kami putra dan Putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” Sumpah pemuda tersebut mengisyaratkan sebuah pesan penting bahwa jika menghendaki sebuah negara yang merdeka dan bersatu, maka perlu diikat dengan bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Penetapan kedudukan bahasa Indonesia juga tercantum dalam pasal 36 UUD 1945 yang menyebutkan bahasa negara adalah bahasa Indonesia. Ketentuan Pasal 36 ini menegaskan kedudukan yang kuat bahasa Indonesia dalam tata pemerintahan dan urusan kenegaraan.

Kemudian bagaimana kedudukan bahasa Indonesia di tengah era global saat ini? bukankah bahasa Internasional yang banyak dipelajari di kurikulum semua jenjang pendidikan adalah bahasa Inggris, bahasa Arab, Mandarin, dan banyak bahasa asing lainnya. Sementara kecenderungannya para peserta didik saat ini lebih menyukai bahas asing daripada bahasa Indonesia. Para mahasiswa yang mengambil jurusan bahasa dan sastra Indonesia relatif lebih sedikit dibandingkan dengan jurusan bahasa asing. Dalam pandangan penulis, inilah yang harusnya menjadi garapan dari pemerintah dan seluruh elemen bangsa termasuk guru dan tenaga kependidikan, agar kebanggaan terhadap bahasa Indonesia tidak luntur tergerus oleh perkembangan teknologi dan informasi sekarang ini.

Di tengah kekhawatiran tersebut, ada angin segar yang terhembus dari UNESCO, sebuah resolusi yang berjudul “Recognition of Bahasa Indonesia as an Official Language of The General Conference of UNESCO.” Pada tanggal 20 Desember 2023, Bahasa Indonesia diakui sebagai bahasa resmi pada forum resmi di Unesco. Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi yang kesepuluh, setelah Bahasa Inggris, Bahasa Arab, Bahasa Mandarin, Bahasa Prancis, Bahasa Spanyol, Bahasa Rusia, Hindi, Italia dan Portugal. Keberhasilan pemerintah dalam mendorong bahasa Indonesia sebagai bahasa Internasional ini patut dibanggakan, mengingat beberapa negara, misalnya negara tetangga Malaysia, Singapore justru jejak bahasa Melayu nya semakin luntur, para generasi mudanya lebih cenderung menggunakan bahasa asing daripada bahasa Melayu. Bahkan ironisnya ada yang sudah tidak bisa bahasa Melayu, meskipun lahir dan dibesarkan di negara tersebut.

Pengakuan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi di UNESCO ini sudah seharusnya diberikan, mengingat jika melihat data dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, jumlah penutur bahasa Indonesia di Indonesia kurang labih 269 juta. Di asia tenggara jumlah penuturnya mencapai 5,2 juta. Dan tercatat sebanyak 143 ribu pemelajar aktif bahasa Indonesia yang berasal dari penutur asing. Jumlah yang sangat besar dan potensi yang kuat untuk menyebarkan bahasa Indonesia sehingga dikenal oleh masyarakat dunia dan siapa tahu suatu saat ini bahasa Indonesia bisa menjadi bahasa internasional yang tidak hanya digunakan di forum resmi Unesco tetapi juga digunakan di semua event resmi internasional.

Rasa optimis yang penulis sampaikan ini tidaklah berlebihan, karena itu upaya pemerintah dalam menjadikan bahasa Indonesia lebih dikenal di kancah internasional wajib mendapatkan dukungan semua warga negara Indonesia. Penulis mengajukan beberapa masukan atau pendapat terkait dengan pembudayaan bahasa Indonesia ini, yaitu:

1.   Jangan malu menggunakan bahasa Indonesia. Rasa bangga ini adalah cerminan nasionalisme terhadap bangsa dan negara. Meskipun demikian, kita juga harus mempelajari bahasa internasional lainnya sebagai media komunikasi dan transfer pengetahuan dari negara lainnya. Hal ini bisa dicontohkan terlebih dahulu oleh pejabat publik, pada setiap acara resmi kenegaraan di Indonesia, gunakanlah bahasa Indonesia. Tamu negara dari negara lain bisa menggunakan jasa penterjemah jika ingin memperlancar dan menyampaikan maksud komunikasi tersebut. Kecuali untuk urusan pembicaraan serius antar negara dan hanya diketahui oleh kedua pimpinan /pejabat negara, maka bisa menggunakan bahasa Inggris atau bahasa internasional lainnya;

2.  Upaya internasionalisasi  bahasa Indonesia ini harus didukung dengan kebijakan pemerintah. Misalnya: Saat ini banyak pelajar manca negara yang study di Indonesia, maka sebagai salah satu persyaratannya adalah mereka harus bisa berbahasa Indonesia. Begitu juga dengan para pekerja asing dari luar negeri yang bekerja di Indonesia, maka harus ada kewajiban bagi mereka untuk bisa berbahasa Indonesia.

3.   Terkait dengan pendapat nomor 2 tersebut, maka sudah saatnya Indonesia memiliki TOIFL (Test of Indonesian as a Foreign Language) sebagai salah satu sarana screening bagi mahasiswa luar negeri atau para pekerja migran dari luar negeri. Mereka hanya akan mendapatkan izin tinggal di Indonesia seteleh menunjukkan skor TOIFL nya.

4.  Perbanyak jurnal jurnal berbahasa Indonesia yang terindeks internasional. Selama ini yang kita ketahui artikel jurnal yang terindeks Scopus, WOS atau DOAJ mayoritas berbahasa Inggris, sementara yang berbahasa Indonesia masih sedikit.

5.   Pembangunan literasi yang berkelanjutan di semua jenjang pendidikan. Hasil karya tulis para peserta didik tidak hanya dipajang di perpustakaan saja, tetapi juga harus diunggah di website resmi lembaga, sehingga akan lebih dikenal masyarakat dunia. Harus diingat bangsa Indonesia memiliki modal yang sangat besar, yaitu jumlah penutur bahasa Indonesia yang sangat banyak;

6.   Lestarikan bahasa Indonesia dengan mengadakan acara di semua lembaga pendidikan, misalnya pada perayaan Bulan Bahasa, maka semua sekolah di semua jenjang pendidikan mengadakan acara dengan segenap kreativitas masing-masing. Hal ini untuk menumbuhkan dan tetap melestarikan bahasa Indonesia.

7.   Terjemahkan buku-buku referensi berbahasa asing ke dalam bahasa Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar terjadi percepatan penguasaan keterampilan dan pengetahuan oleh bangsa Indonesia.

Bahasa adalah identitas bangsa begitu kata pepatah, maka sudah selayaknya kita tunjukkan kepada dunia identitas Bangsa Indonesia melalui karya-karya yang berbahasa Indonesia. Dengan demikian peradaban bangsa Indonesia tidak akan tertinggal dari negara-negara lainya, dan Indonesia siap untuk menyongsong Indonesia emas pada tahun 2045.

Penulis adalah guru Bahasa Indonesia dan Alumnn Magister PBSI UNIPMA Madiun

Senin, 29 Juli 2024

BERSATU MELAWAN WABAH JUDI ONLINE DI KALANGAN PELAJAR

 Oleh: Afrilia EkaPrasetyawati, M.Pd

        Judi online atau Judi Daring akhir-akhir ini menjadi topik hangat dalam perbincangan di media sosial, media mainstream maupun di kalangan masyarakat. Beberapa kasus kriminal yang terjadi sebagian berawal dari keterlibatan pelakunya dalam judi online. Ratusan milyar uang melayang di meja judi online ini, dan kebanyakan pelakunya dan yang menjadi korban adalah mereka yang status ekonominya menengah ke bawah. Hal ini tentu sangat disayangkan karena bisa berdampak pada angka kemiskinan yang akan semakin meningkat, belum lagi dampak sosial yang ditimbulkannya.

Menanggapi banyaknya kasus judi online yang meresahkan masyarakat dan masa depan bangsa ini, Presiden Joko Widodo kemudian membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Judi Online dengan payung hukum Kepres nomor 21 tahun 2024. Dibawah kendali Menkopolhukan, Bapak Hadi Tjahjanto, satgas kemudian menelisik dan menemukan data yang mencengangkan yaitu setelah dipetakan ternyata masyarakat Indonesia yang terlibat dalam judi online ini berkisar 2,37 Juta penduduk. Sebuah angka yang fantastis apalagi di negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama yang melarang perbuatan judi atau mengundi nasib. Lebih rinci menteri Hadi Tjahjanto menjelaskan sebagaimana dilangsir kompas.com bahwa diantara jumlah tersebut terdapat 2 % anak dibawah 10 tahun, anak usia 10 sampai 20 tahun sebesar 11 % atau sekitar 440.000. Usia 21 tahun sampai 30 tahun sebanyak 13% atau sekitar 520.000 penduduk. Usia 30-50 tahun sebanyak 40% atau 1.640.000 dan usia di atas 50 tahun sebanyak 34 % atau 1.350.000 penduduk.

Terkait dengan keterlibatan anak dalam judi online ini juga ditegaskan oleh komisioner PPAI, Sylvana Maria Apituly bahwa ditemukan data sebanyak 80.000 anak terlibat judi online. Angka ini sebesar 0,1 % dari jumlah anak Indonesia sebesar 80 juta anak. Kemudian yang harus kita renungkan adalah bukankah anak-anak itu masih di usia sekolah? maka sudah pasti bisa disimpulkan bahwa sebagian pelajar di Indonesia juga terlibat dalam judi online ini. hanya saja riset yang fokus kepada pelajar yang terlibat judi online belum banyak atau bahkan belum pernah dilaksanakan. Hanya sekedar persepsi saja. Kendati demikian data KPAI ini menjadi warning bagi para pendidik, praktisi pendidikan dan pemegang kebijakan pendidikan untuk bisa mencegah dan memberantas pelajar yang terlibat serta merehabilitasi mereka sehingga bisa kembali fokus pada pendidikannya.

Dampak yang bisa terjadi karena keterlibatan anak/ pelajar dalam judi online bisa bermacam-macam. Seperti dampak psikologis yang serius dan berkepanjangan, antara lain: 1) Kecemasan dan depresi akibat ketidak pastian hasil dalam perjudian dan kegagalannya dalam perjudian. 2) Perubahan perilaku, kadang anak beruah menjadi impulsive, agresif, sulit konsentrasi dan menjauhkan diri dari teman dan keluarganya. 3) Bagi yang kecanduan judi online seringkali mengalami gangguan insomnia atau sulit untuk tidur. 4) Penurunan prestasi akademik. Hal ini karena fokusnya pada keinginan untuk mendapatkan uang yang banyak dengan cara singkat, buka lagi untuk belajar dan mendapatkan kesempatan lebih luas untuk mendapatkan pekerjaan setelah lulus pendidikannya.

Dampak yang dipaparkan di atas, belum termasuk dampak sosial, dampak ekonomi, dll. Sekarang mari kita analisis apa yang menjadi penyebab para pelajar ini terlibat dalam judi online ini. Menurut penulis keterlibatan para pelajar ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: 1) Mudahnya anak/pelajar mendapat akses judi online di internet. Hal ini diperparah lagi dengan iklan terselubung melalui media sosial, keterlibatan oknum selebgram yang mengiklankan judi online, dll. Karena itu upaya pencegahan untuk memblokir situs dan media online yang terlibat harus terus dilakukan oleh pemerintah, begitu juga dengan penegakan hukumnya. 2) Iklan yang menarik bagi anak/pelajar. Kerapkali judi online disamarkan dalam game online. Sehingga pada awalnya anak merasa bahwa yang dilakukan adalah game saja, tetapi ternyata itu adalah modus operandi dari Bandar judi online. 3) Kurangnya pengawasan orang tua. Tidak bisa dipungkiri bahwa gadget/ handphone saat ini sudah dimiliki sebagian besar bahkan mungkin semua pelajar di Indonesia. Mereka bisa menggunakannya untuk kegiatan pembelajaran daring, akses materi pelajaran dan lain-lain. Tetapi dampak negatifnya juga ada, salah satunya adalah kemudahan akses pada situs judi online. Karena itu orang tua juga harus ekstra dalam mengawasi penggunaan gadget anak-anaknya. 4) Pengaruh dari teman sebaya. Jika ada temannya yang sudah terlibat judi online, maka akan sangat memungkinkan untuk mengajak teman-temannya. Lagi-lagi orang tua juga harus mengenali dan mengetahui dengan siapa saja anaknya bergaul di sekolah maupun di luar sekolah.

Berdasarkan analisis penyebab dan dampak judi online di atas, sekolah harus segera bertindak agar wabah judi  ini tidak terus menyebar dan menyasar para pelajar. Diantaranya dengan melakukan hal-hal sebagai berikut:

  • Edukasi tentang Bahaya Judi Online: Sekolah dapat Melaksanakan kegiatan penyuluhan atau seminar tentang bahaya judi online, dampaknya terhadap kesehatan mental, dan cara mencegahnya. Mengintegrasikan materi tentang pencegahan judi online ke dalam kurikulum, terutama pada mata pelajaran seperti pendidikan kewarganegaraan atau BK.
  • Deteksi Dini: sekolah melakukan observasi terhadap perubahan perilaku siswa, seperti penurunan prestasi, perubahan suasana hati yang drastis, atau isolasi sosial. Memberikan perhatian khusus pada siswa yang sering membawa uang dalam jumlah besar ke sekolah. Bidang kesiswaan, wali kelas, dan guru BK yang paling bertanggung jawab dan memiliki kewenangan tersebut.
  • Kerjasama dengan Orang Tua: Sekolah membangun komunikasi yang baik dengan orang tua untuk memantau aktivitas anak di rumah. Mengadakan pertemuan orang tua untuk membahas masalah ini dan memberikan tips-tips mengatasi masalah judi online.
  • Membangun Lingkungan Sekolah yang Positif: Hal ini bisa diakukan dengan menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan mendukung. Memberikan berbagai kegiatan ekstrakurikuler yang positif untuk menyalurkan minat dan bakat siswa.
  • Meningkatkan Literasi Digital: Mengajarkan siswa cara menggunakan internet secara aman dan bertanggung jawab. Memberikan pengetahuan tentang cara mengenali dan menghindari konten yang berbahaya di internet.
Menegaskan langkah yang dapat dilakukan oleh sekolah tersebut, maka sekolah dapat kembali pada pentingnya pendidikan karakter bagi peserta didiknya. Pendidikan karakter bertujuan untuk membentuk pribadi yang berakhlak mulia, bertanggung jawab, dan memiliki nilai-nilai positif. Nilai-nilai inilah yang menjadi benteng pertahanan terhadap godaan untuk terlibat dalam aktivitas yang merugikan diri sendiri dan orang lain, seperti judi online.  Selain itu karena pendidikan karakter akan dapat membentuk nilai-nilai moral yang kuat dilandasi ajaran agama untuk mencegah anak pelajar terjerat dalam judi online. Pendidikan karakter juga akan membentuk anak sadar akan konsekuensi terhadap apa yang dilakukan, baik dan buruknya suatu tindakan akan kembali kepada dirinya sendiri.

Harus disadari bahwa seiring berkembangnya teknologi informasi ini, maka peran orang tua, sekolah, masyarakat dan pemerintah khususnya dalam pencegahan dan pemberantasan judi online yang menyasar pelajar di Indonesia harus terus ditingkatkan. Pelajar-pelajar ini adalah calon pemimpin masa depan. Maka sudah mejadi kewajiban bersama untuk menghindarkan mereka dari hal-hal yang merugikan dirinya sendiri, lingkungannya dan untuk masa depan negeri ini. Pemerintah tidak boleh kalah dengan Bandar judi online. Pendidikan harus bisa mencegah dan membersihkan noda judi online yang sudah mulai merembes pada para pelajar. Tanggung jawab dan kerjasama antar lembaga pemerintahan, LSM, Organisasi kemasyarakatan, dll yang didukung dengan penegakan hukum yang adil dan tegas akan menjadi cara yang ampuh untuk mengamputasi wabah judi online dari pelajar dan masyarakat Indonesia. (Hary, 29/7/2024)

-------- 

* Penulis adalah pemerhati bidang pendidikan


Minggu, 21 Juli 2024

MEMANDU PESERTA DIDIK MENUJU KEMANDIRIAN BERPIKIR KRITIS

Oleh: Dr. Hariyanto, M.Pd*

Era digital saat ini membuat peserta didik dihadapkan dengan informasi yang berlimpah dari berbagai sumber. Informasi tersebut dapat berupa berita, artikel, opini, iklan, dan lain sebagainya. Tidak semua informasi tersebut akurat dan dapat dipercaya. Banyaknya orang yang tidak bijak menggunakan informasi yang diperoleh dari media sosial, kerap kali harus tersandung masalah hukum karena pelanggaran terhadap UU nomor 1 tahun 2024 tentang perubahan kedua atas UU nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pengembangan kompetensi berpikir kritis pada peserta didik adalah investasi untuk masa depan mereka. Dengan kemampuan ini, mereka akan menjadi individu yang mandiri, bertanggung jawab, dan mampu berkontribusi secara positif bagi masyarakat.

Kemampuan berpikir kritis bagi peserta didik, memiliki manfaat yang besar. Manfaat yang dapat diperoleh misalnya: 1) Peserta didik mampu menyaring informasi yang akurat dan relevan. Dengan bekal kemampuan ini, peserta didik dapat belajar memilah dan memilih informasi yang tepat dan bermanfaat bagi dirinya dan bagi orang-orang di sekitarnya. Peserta didik juga akan dapat terhindar dari informasi hoax, yang menyesatkan dan berbahaya. 2) Peserta didik dapat belajar membuat keputusan yang tepat dalam kehidupan mereka. 3) Peserta didik akan aktif dalam masyarakat sebagai warga negara yang kritis dan bertanggung jawab.4) Peserta didik yang kemampuan berpikirnya terasah dengan baik, ketika sudah lulus sekolah dan berada dalam dunia kerja akan dapat belajar dengan cepat dan beradaptasi dengan perubahan yang terjadi, mampu memecahkan masalah secara kreatif dan inovatif, bekerjasama dengan orang lain secara efektif dan memiliki kemampuan komunikasi yang baik dan persuasif.

Pentingnya kemampuan berpikir kritis sebagaimana dipaparkan di atas, mengharuskan sekolah untuk lebih maksimal mengasahnya. Tentu saja hal ini dimulai dari proses belajar mengajar di kelas, ketika berinteraksi dengan teman sebaya  dan dengan gurunya. Sayangnya, dalam beberapa kasus sering kita jumpai justru oknum gurulah yang memadamkan semangat berpikir kritis dari peserta didik. Misalnya ketika peserta didik bertanya di luar konteks pembelajaran yang dibahas, maka peserta didik mendapatkan tanggapan yang tidak menyenangkan dari guru, atau ketika peserta didik bertanya karena kurang paham terhadap materi yang disampaikan, maka guru menggunakan bahasa tubuh yang kurang mengenakkan atau dengan tanggapan “hal yang mudah saja ditanyakan,” “bodoh amat sih gini saja tidak tahu,” “kamu itu dengerin pakai telinga donk jangan pakai dengkul” dan lain-lain. Ungkapan yang negative ini sesungguhnya merupakan pendangkalan terhadap kemampuan berpikir kritis peserta didik dan lambat laun mereka pun akan mati kekritisannya.

Keterampilan berpikir kritis sebagai sebuah keterampilan di abad ini perlu ditingkatkan. Berbagai macam strategi perlu diterapkan tidak hanya oleh guru di sekolah, tetapi juga oleh orang tua. Strategi yang dapat digunakan antara lain:

1)    Menanamkan budaya berpikir kritis; budaya berpikir kritis ini dapat dilakukan dengan memberikan kesempatan dan penghargaan kepada peserta didik yang berani untuk bertanya dan mengungkapkan pendapatnya di kelas. Guru juga dapat mendorong peserta didik untuk selalu mempertanyakan informasi yang mereka terima dan mencari jawabannya sendiri. Sebagai sebuah pendapat, guru harus tetap menghargai pendapat siswa meskipun pendapat tersebut berbeda dengan pendapat siswa lainnya. Karena disinilah lingkugan belajar yang aman dan nyaman dalam berdiskusi dan bertukar pikiran akan terbangun.

2)    Membiasakan peserta didik dengan proses berpikir kritis; Ajarkan peserta didik tentang langkah-langkah berpikir kritis, seperti identifikasi masalah, analisis informasi, evaluasi argumen, dan pembentukan kesimpulan. Berikan contoh-contoh bagaimana cara berpikir kritis dalam kehidupan sehari-hari. Gunakan berbagai metode pembelajaran, seperti diskusi, debat, pemecahan masalah, dan proyek.

3)    Memberikan kesempatan untuk berlatih berpikir kritis; Caranya dengan memberikan tugas-tugas yang menantang peserta didik untuk berpikir kritis, seperti menganalisis artikel berita, mengevaluasi iklan, dan memecahkan masalah. Libatkan peserta didik dalam kegiatan yang mendorong mereka untuk bekerja sama dan bertukar pikiran, seperti simulasi, permainan peran, dan proyek kelompok. Berikan umpan balik yang konstruktif kepada peserta didik tentang bagaimana mereka dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis mereka.

4)     Memanfaatkan teknologi; Guru dapat menggunakan teknologi untuk membantu peserta didik belajar tentang berpikir kritis, seperti permainan edukasi, simulasi, dan aplikasi pembelajaran. Dorong peserta didik untuk mencari informasi dari berbagai sumber yang kredibel dan terpercaya. Ajarkan peserta didik bagaimana cara mengevaluasi informasi yang mereka temukan di internet.

5)    Dalam pembelajaran di kelas, guru dapat menerapkan pembelajaran berbasis masalah (PBL) dengan cara memberikan peserta didik kesempatan untuk memecahkan masalah yang nyata dan kompleks.

6)    Guru juga dapat melaksanakan pembelajaran kolaboratif, mendorong peserta didik untuk berdiskusi dan bertukar ide dengan orang lain.

7)    Memberikan Contoh dan Teladan; Guru dan orang tua harus menjadi teladan bagi peserta didik dalam hal berpikir kritis. Tunjukkan kepada peserta didik bagaimana cara Anda berpikir kritis dalam kehidupan sehari-hari. Berikan contoh bagaimana cara Anda mengevaluasi informasi dan membuat keputusan.

8)    Orang tua mendorong anak untuk selalu mempertanyakan informasi yang mereka terima dan mencari jawabannya sendiri. Budaya untuk berpikir kritis dalam lingkup keluarga yang berpola asuh demokratis akan cepat tumbuh subur.

9)    Orang tua mengajak anak untuk berdiskusi tentang berbagai hal, berikan mereka tugas-tugas yang menantang, dan dorong mereka untuk mencari solusi kreatif.

10)  Jadilah orang tua yang menjadi pendengar yang baik atas ide dan gagasan anak tanpa harus selalu menghakimi, berikan apresiasi dan penghargaan kepada anak yang menunjukkan kemampuan kritisnya di rumah.

11)  Orang tua dapat membiasakan anak dengan berbagai sumber informasi: Ajak anak untuk membaca buku, menonton film dokumenter, dan mengunjungi museum. Membuat aturan dengan kesepakatan bersama tentang penggunaan gadget sehingga anak tidak hanyut dalam pusaran negative dari penggunaan gadget yang berlebihan yang akan berdampak pada kompetensi dan prestasinya.

Bagi seorang pendidik, untuk mengimplementasikan strategi tersebut di atas, maka guru harus memainkan perannya dengan baik, yaitu:

1)   Sebagai Fasilitator, sebagai seorang fasilitator guru harus mampu:

  1. Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif untuk berpikir kritis, yaitu lingkungan yang aman, terbuka, dan menghargai perbedaan pendapat.
  2. Memfasilitasi kegiatan pembelajaran yang mendorong peserta didik untuk berpikir kritis, seperti diskusi, debat, pemecahan masalah, dan proyek.
  3. Memberikan panduan dan arahan kepada peserta didik dalam proses berpikir kritis, seperti cara mengidentifikasi masalah, menganalisis informasi, mengevaluasi argumen, dan menarik kesimpulan.

2)    Sebagai Motivator, yang dapat dilakukan antara lain:

  1. Memotivasi peserta didik untuk selalu ingin tahu dan mencari informasi.
  2. Membangun rasa percaya diri pada peserta didik untuk berani mengungkapkan pendapat dan ide mereka.
  3. Memberikan penghargaan kepada peserta didik yang menunjukkan kemajuan dalam kemampuan berpikir kritis mereka.

3)      Sebagai Model, guru harus membiasakan melakukan hal-hal berikut:

  1. Menunjukkan contoh bagaimana cara berpikir kritis dalam kehidupan sehari-hari.
  2. Membiasakan diri untuk berpikir kritis dalam proses pembelajaran dan pengambilan keputusan.
  3. Terbuka terhadap kritik dan saran dari peserta didik.

4)      Sebagai Penilai, yang harus dilakukan guru yaitu:

  1. Mengevaluasi kemampuan berpikir kritis peserta didik secara berkala.
  2. Memberikan umpan balik yang konstruktif kepada peserta didik tentang bagaimana mereka dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis mereka.
  3. Membuat laporan tentang perkembangan kemampuan berpikir kritis peserta didik kepada orang tua.

Memainkan peran bagi guru dan orang tua dan megimplementasikan berbagai strategi di atas tidaklah semudah teori. Karena pada selalu ada kendala dan tantangan yang bisa menjadi penghalang dalam mengimplementasikan peningkatan keterampilan berpikir kritis peserta didik. Adapun tantangan dan kedala yang dimaksud yaitu:

1)  Kurangnya pemahaman tentang berpikir kritis, Banyak orang yang belum memahami apa itu berpikir kritis dan bagaimana cara mengembangkannya. Hal ini berdapak pada kurangnya komitmen dari berbagai pihak untuk mendukung pengembangan kemampuan berpikir kritis.

2)  Kurikulum dan Pembelajaran yang Tidak Mendukung. Implementasi kurikulum di banyak sekolah masih berfokus pada menghafal dan mengulang informasi, daripada mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Begitu juga metode pembelajaran yang digunakan di kelas tidak selalu mendorong peserta didik untuk berpikir kritis.

3) Kurangnya Sumber Daya. Sekolah seringkali kekurangan sumber daya untuk mendukung pengembangan kemampuan berpikir kritis, seperti guru yang terlatih, buku-buku, dan teknologi. Orang tua juga mungkin tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk membantu anak mereka mengembangkan kemampuan berpikir kritis di rumah.

4)   Kebiasaan Berpikir yang tidak tepat. Peserta didik terbiasa berpikir instan dan menerima informasi tanpa mempertanyakannya. Mereka tidak terbiasa untuk menganalisis informasi, mengevaluasi argumen, dan membentuk kesimpulan sendiri.

5)   Budaya yang tidak mendukung. Masyarakat pada umumnya tidak menghargai kemampuan berpikir kritis. Orang tua dan guru mungkin tidak mendorong peserta didik untuk berpikir kritis karena takut mereka akan menantang otoritas.

 Solusi dari tantangan dan kendala sebagaimana dipaparkan sebelumya yaitu:

1)   Meningkatkan pemahaman tentang berpikir kritis: Perlu dilakukan kampanye edukasi untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang berpikir kritis dan pentingnya mengembangkan kemampuan ini.

2)    Mengembangkan kurikulum dan pembelajaran yang mendukung: Kurikulum dan metode pembelajaran perlu diubah agar lebih fokus pada pengembangan kemampuan berpikir kritis.

3)    Menyediakan sumber daya: Pemerintah, sekolah, dan organisasi lain perlu menyediakan sumber daya yang dibutuhkan untuk mendukung pengembangan kemampuan berpikir kritis, seperti guru yang terlatih, buku-buku, dan teknologi.

4)    Membiasakan peserta didik dengan kebiasaan berpikir kritis: Peserta didik perlu dibiasakan untuk berpikir kritis sejak usia dini melalui berbagai kegiatan, seperti diskusi, debat, dan pemecahan masalah.

5)     Menciptakan budaya yang mendukung: Perlu diciptakan budaya yang menghargai kemampuan berpikir kritis dan mendorong orang untuk selalu berpikir kritis.

Meningkatkan kompetensi berpikir kritis pada peserta didik adalah tantangan yang besar. Namun, dengan strategi yang tepat dan komitmen dari semua pihak, tantangan ini dapat diatasi. Pengembangan kemampuan berpikir kritis adalah investasi untuk masa depan, dan semua peserta didik berhak untuk mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan ini. Karena itu tanggung jawab dan tugas bersama antara sekolah atau guru, orang tua, dan masyarakat, utamanya pemangku kepentingan untuk bersama-sama mendorong implementasi keterampilan berpikir kritis bagi peserta didik.

------------
*Penulis adalah pemerhati bidang pendidikan

Jumat, 21 Juni 2024

OPINI: ANALISIS PENYEBAB LEMBAGA PENDIDIKAN GULUNG TIKAR

 Oleh: Afrilia Eka Prasetyawati, M.Pd*

“Jika ingin mengetahui seberapa visioner seorang pimpinan lembaga pendidikan, lihatlah perencanaan pendidikannya. Jika ingin mengetahui kemampuan kepemimpinannya, maka lihatlah cara mengkoordinir sumber daya yang dimiliki lembaga pendidikan”- (Hary)


Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) masih belum selesai. Beberapa sekolah baik negeri maupun swasta masih berjuang untuk mendapatkan peserta didik dengan berbagai cara, termasuk memberikan janji manis bagi calon peserta didik dan orang tua. Kemasan gula-gula kualitas tersebut disajikan dengan berbagai cara. Beberapa sekolah sudah berada dalam tahapan aman karena Pagu sudah terpenuhi, meskipun demikian masih ada juga sekolah yang masih “harap-harap cemas” karena peminatnya masih sedikit, bahkan ada yang mengalami penurunan secara drastis dari tahun ke tahun. Sekolah-sekolah di sekitar kita sudah mulai banyak yang tidak bisa operasional, dampaknya gaji guru dan  tenaga kependidikan tidak bisa diberikan, sarana prasarana tidak ada pembaharuan, beberapa sudah rusak karena kurangnya perawatan, dll. Apa penyebabnya? Mengapa setiap tahun terus ada sekolah mulai jenjang SD sampai Sekolah Menengah yang terpaksa tutup atau “gulung tikar”? Bagaimana peran Kepala sekolahnya? Bagaimana Dinas Pendidikan melakukan fungsi pembinaannya? JIka sekolah dibawah yayasan, apa peran Yayasan? Apa yang seharusnya dilakukan? Tentu saja tidak bijak jika hanya mencari kambing hitam kepada Panitia Penerimaan Peserta Didik Baru. Karena pada dasarnya tidaklah sesederhana itu. Melalui tulisan ini, penulis mencoba untuk menguraikan hal-hal tersebut, sehingga manfaatya dapat diperoleh untuk pembelajaran bagi insan pendidikan.

Penyebab menurunnya peminat peserta didik baru terhadap sebuah lembaga pendidikan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor Internal lebih disebabkan oleh sumber daya yang dimiliki  sekolah tersebut. Sedangkan faktor eksternal disebabkan oleh faktor yang berasal dari luar sekolah tersebut. Apa saja faktor internalnya?

1.  Kualitas pendidikan yang rendah, hal ini dapat dilihat dengan mudah melalui prestasi yang diperoleh oleh siswa maupun oleh gurunya dalam event baik skala lokal, regional, nasional bahkan internasional. Jika tidak ada prestasi bidang akademik maupun non akademik sebagaimana disebutkan sebelumnya, maka ini sudah menjadi indikator awal bahwa kualitas pendidikannya rendah.

2. Proses pembelajaran yang tidak maksimal akibat guru yang tidak kompeten. Inovasi dalam pembelajaran tidak bisa diimplementasikan, cenderung monoton. Akibatnya peserta didik tidak termotivasi dalam belajar. Dalam konteks seperti ini, perlu dilihat kembali bagaimana proses rekruitmen sebelumnya, langkah pengembangan SDM dan evaluasi yang dilakukan. Sehingga upaya pengembangan SDM ke depannya akan lebih baik lagi dan diperoleh SDM yang berkualitas.

3. Kepemimpinan yang lemah, Bagaimanapun sebagai seorang manajer pendidikan harus bertanggung jawab terhadap masa depan lembaga yang dipimpinnya. Maju mundurnya sekolah yang dipimpin adalah tanggung jawabnya. Kepala sekolah yang bijaksana tidak akan lepas tangan jika sekolah yang dipimpinnya mulai ada kecenderungan sepi peminat. Apalagi dengan menyalahkan bawahanannya tanpa bisa berinovasi mengimplementasikan perencanaan dan tindakan strategis untuk menjaga eksistensi lembaganya. Kohesivitas, kekompakan dan pengimplementasian kepemimpinan yang demokratis akan dapat mengatasi masalah ini, apalagi ditunjang dengan keadilan dalam pemberian hak kesejahteraan para guru dan tenaga kependidikannya. Pemilihan dan pengangkatan kepala sekolah sudah ada aturan yang jelas bagi sekolah negeri, tetapi pada sekolah swasta terkadang pemilihan atau pengangkatannya diserahkan sepenuhnya oleh yayasan. Sering juga ditemui pegangkatan atau pemilihannya hanya didasarkan pada kedekatan secara personal bukan berdasarkan kemampuan atau kompetensi yang dimiliki oleh calon kepala sekolah. inilah yang menjadi cikal bakal tidak berkembangnya sekolah.

4. Yayasan Penyelenggara yang kurang kepedulian. Jika sekolah yang diselenggarakan sudah ada indikasi tidak lagi dipercayai masyarakat, maka harusnya dilakukan evaluasi dan mengambil tindakan secepatnya untuk perbaikan. Evaluasi dilakukan kepada kepemimpinan kepala sekolah, dan SDM lainnya, strategi marketing, pembiayaan dll. Sudah menjadi kewajiban dan tanggung jawab yayasan untuk memberikan dukungan finansial, material dan imaterial berupa pembinaan secara berkelanjutan. Bagaimana jika yayasan justru mengabaikannya karena dianggap tidak memberikan profit? Penulis menganjurkan melihat kembali visi dan misi yayasan sebagai lembaga sosial yang menyelenggarakan lembaga pendidikan dan merupakan lembaga non profit. Bukan untuk mencari keuntungan. Jika ingin mencari keuntungan, jangan mendirikan yayasan, tapi perusahaan.

5.  Kurangnya Promosi,  Era kompetisi antar lembaga pendidikan saat ini mengharuskan sekolah cermat dan piawai dalam menginformasikan tentang sekolah kepada masyarakat. Promosi yang dilakukan secara cerdas dan berkelanjutan, sehingga terbentuk opini di masyarakat bahwa sekolah memang benar-benar layak sebagai tempat menimba ilmu. Penggunaan media sosial seperti IG, Twitter, Facebook, Youtube dll bisa menjadi alternatif yang jitu untuk mendukung promosi pendidikan. SDM yang membidangi promosi pendidikan harus kreatif dan inovatif dalam memprmosikan.

6.  Keamanan dan ketertiban, Kondisi sekolah dan lingkungannya yang tertib dan aman menjadi salah satu pertimbangan orang tua untuk menyekolahkan anaknya. Budaya akademik yang diciptakan dan dibiasakan di sekolah akan mendorong bakat dan minat peserta didik. Bullying atau perundungan sebaiknya diantisipasi jangan sampai terjadi, karena akan berdampak pada citra lembaga menjadi tidak baik.

 

Setelah memahami beberapa faktor internal di atas, yang harus mendapatkan perhatian adalah faktor eksternal. Yaitu:

1. Perubahan minat dan kebutuhan masyarakat: Minat dan kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan terus berkembang. Lembaga pendidikan yang tidak mampu beradaptasi dengan perubahan ini dapat mengalami penurunan minat peserta didik. Mencermati hal tersebut, sudah semestinya sekolah melakukan langkah-langkah inovatif progressif, misalnya dengan mengadakan berbagai macam ekskul yang diminati peserta didik, atau program-program unggulan lain yang kompetitif dimana sekolah lain di sekitar belum ada.

2.  Persaingan dengan lembaga pendidikan lain: Semakin banyak lembaga pendidikan yang tersedia, semakin ketat pula persaingannya. Lembaga pendidikan yang tidak memiliki keunggulan kompetitif dapat kalah bersaing dan kehilangan peserta didik.

3. Ketersediaan lapangan pekerjaan: Kurangnya lapangan pekerjaan yang sesuai dengan jurusan pendidikan yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan dapat membuat masyarakat ragu untuk menyekolahkan anaknya di sana. Utamanya untuk lembaga pendidikan pada jenjang sekolah menengah atas sampai jenjang pendidikan tinggi. Bagi Pendidikan tinggi, sulitnya alumni mendapatkan pekerjaan setelah lulus, juga menjadi pertimbangan untuk tidak memilih jurusan atau program studi tersebut.

4. Faktor ekonomi: Krisis ekonomi dapat menyebabkan masyarakat memprioritaskan kebutuhan pokok daripada pendidikan. sehingga cenderung memilih sekolah yang menawarkan beasiswa atau sekolah yang biaya pendidikannya relative lebih terjangkau. Karena itu strategi pembiayaan pendidikan yang tepat harus dipertimbangkan oleh sekolah.

5.  Faktor Alam dan Pandemi, Faktor lain yang juga bisa mempengaruhi minat peserta didik dan orang tua untuk tidak menyekolahkan anaknya ke suatu lembaga pendidikan adalah bencana alam dan pandemic (misalnya covid-19).

 

Penurunan minat peserta didik untuk masuk di sebuah lembaga pendidikan dapat berakibat fatal bagi lembaga tersebut. Oleh karena itu, penting bagi lembaga pendidikan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan penurunan minat tersebut dan mengambil langkah-langkah untuk mengatasinya. Dampak dari ditutupnya lembaga pendidikan oleh karena sedikitnya peserta didik ini tentu saja akan menimpa peserta didik, para guru, tenaga kependidikan yang mengajar di sekolah tersebut. Bagi peserta didik yang masih sekolah di sekolah yang hendak ditutup tersebut akan mengalami beban moral dan stress karena ikut memikirkan keberlangsungan pendidikannya. Sementara bagi orang tua, maka akan ada penambahan beban finansial karena untuk memindahkan ke sekolah lain juga memerlukan biaya. Potensi anak putus sekolah juga terjadi, karena keengganan anak untuk pindah ke sekolah lain. Bagi guru dan tenaga kependidikan di sekolah swasta akan menganggur. Ini diperparah lagi jika yayasan penyelenggara tidak memberikan hak-haknya seperti gaji dan tunjangan yang seharusnya diberikan.

Lantas apa solusi bijak untuk mengatasi masalah yang kompleks ini? Pemerintah melalui Dinas Pendidikan yang memiliki kewenangan seharusnya turut membantu agar ditemukan solusi antara lain:

1. Pemerintah perlu melakukan pemetaan jumlah penduduk usia sekolah di setiap wilayah. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui perbadingan jumlah calon siswa dengan jumlah sekolah dan  ruang kelasnya. Kebijakan ini juga diperlukan untuk pertimbangan pemberian izin pendirian sekolah baru. Jika sudah banyak sekolah di suatu daerah, maka sebaiknya tidak ada pemberian izin operasional sekolah baru.

2. Pemerintah perlu meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah-sekolah yang kekurangan murid. Jika memungkinkan melakukan merger antar sekolah negeri yang sama-sama kekurangan murid. Begitu juga sekolah swasta, didorong dan difasilitasi agar yayasan penyelenggara bisa merger dengan yayasan atau sekolah lainnya agar bisa lebih berkembang. Tetapi yang harus diperhatikan adalah kepentingan peserta didik sehingga mereka tidak dirugikan dengan kebijakan merger tersebut. Begitu juga dengan guru dan tenaga kependidikannya, hak-hak nya juga harus terpenuhi dan difasilitasi sebaik mungkin jika ingin pindah home base.

3. Pemerintah perlu memberikan bantuan biaya pendidikan bagi keluarga kurang mampu. Bagi sekolah yang hendak ditutup dan masih ada siswa yang tersisa, maka urusan perpindahan dengan biaya administrasi yang menyertainya jika ada, harus ditanggung oleh pemerintah melalui dinas pendidikan. Jika sekolah swasta, maka yayasan penyelenggara harus membantu biaya yang dikeluarkan sebagai pertanggungjawaban moral atas dilakukannya merger atau ditutupnya sekolah dibawah naungan yayasan tersebut.

4. Dinas Pendidikan atau Yasayan perlu menyampaikan secara terbuka tentang penutupan atau kebijakan merger kepada peserta didik dan orang tua, sehingga peserta didik dan orang tua tidak merasa dirugikan dengan kebijakan ini. 

Penutupan sebuah lembaga pendidikan dikarenakan kekurangan peserta didik, adalah opsi terakhir  dari opsi-opsi lainnya yang tentu harus dilakukan terlebih dahulu oleh sekolah atau yayasan penyelenggara. Opsi-opsi lainnya seperti; melakukan analisis mendalam mengenai kondisi internal sekolah, peningkatan kualitas pendidikan, meningkatkan promosi sekolah, menekan biaya pendidikan, membangun kerjasama dengan pihak-pihak lain, mengadakan program-program baru yang membangkitkan minat calon siswa, dan merger dengan sekolah lainnya. Memang tidak mudah dilakukan, tetapi jika sumber daya yang ada memiliki kualitas yang baik dan daya juang tinggi dan ditopang dengan kepemimpinan yang hebat, maka kemungkinan untuk memulihkan kepercayaan masyarakat akan dapat dilakukan. Jika keputusan terakhir adalah menutup sekolah, maka harus dilakukan secara bijaksana dengan tetap mengedepankan kepentingan dan hak peserta didik, guru dan tenaga kependidikan yang ada. Sehingga sudah seharusnya sebelum mengambil keputusan tersebut harus melibatkan stakeholder, mendapatkan saran dan masukan dari pemerintah melalui dinas pendidikan. Harapannya kebijakan yang diambil tidak berdampak negatif di masa mendatang. Bagaimana jika hal-hal tersebut tidak dilaksanakan oleh yayasan penyelenggara, maka pemerintah melalui dinas pendidikan yang berwenang hendaknya memberikan teguran keras dan jika yayasan yang sama hendak menyelenggarakan pendidikan lagi, maka sudah tidak diizinkan lagi atau black list.(Efi, 21/6/2024)

Afrilia (Penulis)
Pemerhati Bidang Pendidikan