f ' Inspirasi Pendidikan

Inspirasi Pendidikan untuk Indonesia

Pendidikan bukan cuma pergi ke sekolah dan mendapatkan gelar. Tapi, juga soal memperluas pengetahuan dan menyerap ilmu kehidupan.

Bersama Bergerak dan Menggerakkan pendidikan

Kurang cerdas bisa diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur itu sulit diperbaiki (Bung Hatta)

Berbagi informasi dan Inspirasi

Tinggikan dirimu, tapi tetapkan rendahkan hatimu. Karena rendah diri hanya dimiliki orang yang tidak percaya diri.

Mari berbagi informasi dan Inspirasi

Hanya orang yang tepat yang bisa menilai seberapa tepat kamu berada di suatu tempat.

Mari Berbagi informasi dan menginspirasi untuk negeri

Puncak tertinggi dari segala usaha yang dilakukan adalah kepasrahan.

Jumat, 15 Juli 2022

PENTINGNYA PERENCANAAN BAGI LEMBAGA PENDIDIKAN

 

Penulis
Afrilia Eka P, S.Pd

PENTINGNYA PERENCANAAN BAGI LEMBAGA PENDIDIKAN
Oleh: Afrilia Eka Prasetyawati, S.Pd

 Pendidikan merupakan kebutuhan manusia, tetapi kita sering kali melupakan atau bahkan tidak memahami esensi dari pendidikan itu sendiri. Pendidikan adalah upaya untuk mengembangkan unsur pribadi manusia secara seimbang. Unsur pribadi manusia yang meliputi unsur jasmani, rohani, intelektual, estetika dan sosial diarahkan pada satu tujuan utama yaitu untuk memanusiakan manusia. Konsep seperti inilah yang harus dipahami dan terinternalisasi dalam diri setiap praktisi pendidikan di tingkat satuan pendidikan sampai tingkat teratas di pemerintahan. Sehingga untuk dapat menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas unggul diperlukan perencanaan yang baik.
    Menurut pendapat Garth N.Jone (2007, Perencanaan yaitu pemikiran rasional berdasarkan fakta-fakta dan atau perkiraan yang mendekati (estimate) sebagai persiapan untuk melaksanakan tindakan-tindakan kemudian. Terry (2015) menyatakan bahwa Perencanaan adalah  pemilihan dan menghubungkan fakta-fakta, membuat serta menggunakan asumsi-asumsi yang berkaitan dengan masa datang dengan menggambarkan dan merumuskan kegiatan-kegiatan tertentu yang diyakini diperlukan untuk mencapai suatu hasil tertentu. Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Perencanaan disini menekankan pada usaha menyeleksi dan menghubungkan sesuatu untuk kepentingan masa yang akan datang serta usaha untuk mencapainya.
    Bagaimana dengan perencanaan pendidikan?  Albert Waterson (Don Adam 1975) menyatakan bahwa Perencanaan pendidikan adalah investasi pendidikan yang dapat dijalankan melalui kegiatan-kegiatan pembangunan lain yang didasarkan atas pertimbangan ekonomi dan biaya serta keuntungan sosial. Coombs (1982) mengaskan bahwa Perencanaan pendidikan adalah suatu penerapan yang rasional, dianalisis sistematis dengan tujuan agar pendidikan itu lebih efektif dan efisien serta sesuai dengan kebutuhan dan tujuan para peserta didik dan masyarakat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Perencanaan pendidikan memiliki peran penting dan berada pada tahap awal proses manajemen pendidikan. Perencanaan pendidikan dijadikan panduan bagi pelaksanaan, pengendalian, dan pengawasan penyelenggaraan pendidikan.
    Pentingnya perencanaan pada organisasi termasuk sekolah tidak dapat dipungkiri. Karena itu setiap ahli di bidang manajemen selalu menempatkan perencanaan /planning pada tahap pertama fungsi manajemen. Apabila kita melihat di sekitar kita sesungguhnya banyak pelajaran yang dapat kita petik. Sejenak mari kita perhatikan pohon bambu yang tumbuh menjulang tinggi. Ketika masih kecil/rebung akan membutuhkan waktu yang lama sekali sampai akarnya betul-betul kuat untuk menopang batangnya yang tumbuh tinggi. Jika kita dikaitkan dengan perencanaan pada lembaga pendidikan, maka Akar dari pohon bambu itu adalah perencanaan. Kuatnya perencanaan akan dapat menopang tingginya/ keberhasilan sekolah dalam mencapai visi dan misi yang telah ditetapkan sebelumnya.
    Dengan demikian, jika ada kepala sekolah yang tidak melaksanakan perencanaan dengan baik, maka bisa dikatakan kepala sekolah tersebut tidak memahami betape pentingnya perencanaan dalam pengelolaan pendidikan, dan itu sama artinya dengan merencanakan kegagalan di sekolahnya. Apa bentuk perencanaan di sekolah? Contoh sederhanaya adalah penyusunan RKAS (Recana Kegiatan Anggaran Sekolah), RKS (Rencana Kegiatan Sekolah), RKJM (Rencana Kerja Jangka Menengah).  Sangat irois jika masih ada sekolah yang tidak menyusun RKAS sebagaimana prosedurnya telah diatur  oleh pemerintah. Atau jika menyusun RKAS hasil copy paste dari tahun sebelumnya atau bahkan mencontoh dari sekolah lainnya tanpa mendasarkan pada EDS (Evaluasi Diri Sekolah).
    Awal tahun ajaran baru sudah dimulai, beberapa sekolah sudah siap dengan perencanaan yang komprehensif melibatkan stakeholder pendidikan. Mulai dari penyusunan RKAS, prioritas program kerja yang akan dilakukan dalam satu tahun ke depan, persiapan implementasi kurikulum merdeka yang dimulai dari pelatihan yang diberikan kepada para guru dan tenaga kependidikan, perencanaan kegiata MPLS dll. Harapannya adalah perencanaan tersebut akan dicapai dengan baik, tentu saja apabila diikuti dengan pengorganisasian, pengarahan dan kontrol yang baik juga. Semua berharap akan kemajuan pendidikan di Indonesia. Tetapi semua itu tidak akan berhasil jika masing-masing satuan pendidikan tidak berupaya maksimal dalam memajukan dan mengembangkan lembaga pendidikan/sekolahnya. Harus diingat ”Seorang pemimpin yang visioner dapat dilihat dari perencanaannya, dan pemimpin yang  berpotensi memiliki keberhasilan dalam memajukan sekolahnya dapat dilihat dari bagaimana dia mengorganisir, menggerakkan dan mengevaluasi semua perencanaan yang telah ditetapkan sebelunya.”

Kamis, 14 Juli 2022

Pengembangan Profesionalisme Dosen

Artikel tentang pendidikan
Penulis

STRATEGI PENGEMBANGAN PROFESIONALISME DOSEN

(APLIKASI BELAJAR MANDIRI DALAM PENGEMBANGAN DOSEN YANG BERWAWASAN TEKNOLOGI) 

Oleh: Dr. Hariyanto, M.Pd

A. Pendahuluan

Dosen adalah salah satu komponen esensial  dalam suatu sistem pendidikan di Perguruan Tinggi. Peran, Tugas, dan Tanggung Jawab dosen sangat penting dalam mewujudkan Tujuan Pendidikan Nasional, sebagaimana termaktup dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab II pasal 3, yaitu “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Dalam menjabarkan Tugas amanat Undang-Undang tersebut, seorang dosen harus memiliki persyaratan yang memadai dari segi kompetensi, dan aspek legal formal.  Pada pasal 1 UU. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen disebutkan bahwa  Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.  Yang dimaksud Profesional disini adalah sebagaimana tercantum dalam pasal 1butir 4 yaitu  pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.

Berdasarkan Undang-Undang tersebut di atas, jelaslah kalau dosen sangat menentukan mutu pendidikan dan lulusan yang dilahirkan perguruan tinggi tersebut, di samping secara umum kualitas perguruan tinggi itu sendiri. Jika para dosennya bermutu tinggi, maka kualitas perguruan tinggi tersebut juga akan tinggi, demikian pula sebaliknya. Sebaik apapun program pendidikan yang dicanangkan, bila tidak didukung oleh para dosen bermutu tinggi, maka akan berakhir pada hasil yang tidak memuaskan. Dengan memiliki dosen-dosen yang baik dan bermutu tinggi, perguruan tinggi dapat merumuskan program serta kurikulum sesuai  untuk menjamin lahirnya lulusan-lulusan yang berprestasi dan berkualitas istimewa. 

Profesionalisme dosen dapat dilihat dari kompetensi dosen, yaitu kompetensi dosen dalam melaksankaan Kegiatan professional dosen yang meliputi Kompetensi pedagogik, professional, kepribadian dan social yang diperlukan dalam praktek pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Pengharagaan terhadap profesionalisme dosen diwujudkan dalam bentuk tunjangan profesi dan diberikannya Sertifikasi bagi dosen.

Kondisi Global yang ditandai dengan perkembangan teknologi dan informasi juga menjadi penyumbang dalam profesionalisme dosen, karena ICT tidak bisa dielakkan aplikasinya dalam pembelajaran di kelas. Kondisi yang saat ini terjadi, kebanyakan dosen di  PT belum bisa mentransformasikan dan mengintegrasikan teknologi kedalam pembelajarannya. Diperlukan upaya signifikan dari para dosen untuk meningkatkan profesionalisme mereka sebagai elemen pokok perguruan tinggi. Sebagian mereka bahkan kurang menyadari bahwa profesi dosen, sebagaimana profesi lainnya, juga terkait dengan dimensi pengetahuan, keahlian, dan etika yang perlu terus dikembangkan.  Kondisi ini menunjukkan bahwa masih ada jurang yang lebar antara cita-cita ideal dengan kondisi riil para dosen perguruan tinggi di Indonesia saat ini.

Kenyataan ini ironis mengingat salah satu cita-cita besar perguruan tinggi di Indonesia adalah menjadi universitas bertaraf internasional (world class university) bahkan untuk mencapai World Recognized University. Mudjiman (2011; 179) berpendapat bahwa Status Perguruan Tinggi bisa ditingkatkan lebih mendekat ke WRU karena dihasilkan karya-karya yang bermanfaat dan diakui masyarakat internasonal. Lebih lanjut dikemukakan Prof. Haris Mudjiman bahwa Dosen mempunyai kedudukan sentral dalam upaya mencapai status WRU. Dengan dosen-dosen yang professional, diharapkan mahasiswa dan tenaga akademik di PT terdorong menjadi lebih professional. Maka ditetapkan PT menyelenggarakan program khusus berupa Sistem Pengembangan Profesionalisme Dosen (SPPD).



Lebih lengkap untuk membaca artikel tersebut di atas, dapat di download di link di bawah ini. Semoga bisa menginspirasi untuk pengembangan pendidikan 
di Indonesia.

Selasa, 12 Juli 2022

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional


UU NO 20 TAHUN 2003 TENTANG SISDIKNAS


Sistem Pendidikan Nasional diatur dalam sebuah Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional. yaitu UU No. 20 tahun 2003. Sebelumnya Indonesia juga sudah memiliki UU No 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang kemudian dinyatakan tidak berlaku dengan diterbitkannya Undang-Undang yang baru. Dalam UU ini diatur mengenai dasar, fungsi, dan tujuan sistem pendidikan nasional; prinsip penyelenggaraan pendidikan; hak dan kewajiban warga negara, orang tua, masyarakat, dan pemerintah; peserta didik; jalur, jenjang, dan jenis pendidikan; bahasa pengantar; dan wajib belajar.

UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah beberapa kali di uji oleh Mahkamah Konstitusi, dan beberapa norma pasalnya telah dinyatakan tidak berlaku diantaranya adalah: Pasal 50 ayat (3) (Putusan Nomor 5/PUU-X/2012).
Saat ini, Undang Undang No 20 tahun 2003 sedang dalam proses untuk dilakukan perubahan di legislatif. Rencana perubahan ini sebenarnya sudah tercantum dalam Rencana Strategis Kemdikbudristedikti tahun 2020-2024.

Isi tentang UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dapat di download di bawah ini:



Merdeka Belajar-Kampus Merdeka

 

Memahami  Kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka

   Dalam rangka mewujudkan tujuan nasional pendidikan sebagai amanah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memfasilitasi Perguruan Tinggi untuk mewujudkan tujuan tersebut melalui kebijakan Merdeka Belajar – Kampus Merdeka. Permendikbud Nomor 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi, menjelaskan bahwa terdapat empat amanah kebijakan terkait Merdeka Belajar – Kampus Merdeka, yang meliputi: kemudahan pembukaan program studi baru, perubahan sistem akreditasi perguruan tinggi, perubahan perguruan tinggi menjadi badan hukum, dan hak belajar tiga semester di luar program studi.
  Kebijakan Merdeka Belajar – Kampus Merdeka dilaksanakan dalam rangka mewujudkan proses pembelajaran di perguruan tinggi yang otonom dan fleksibel sehingga tercipta kultur belajar yang inovatif, tidak mengekang, dan sesuai dengan kebutuhan mahasiswa. Kebijakan ini juga bertujuan untuk meningkatkan link and match dengan dunia usaha dan dunia industri, serta untuk mempersiapkan mahasiswa dalam dunia kerja sejak awal.
    Pembelajaran dalam Kampus Merdeka memberikan tantangan dan kesempatan untuk pengembangan kreativitas, kapasitas, kepribadian, dan kebutuhan mahasiswa, serta mengembangkan kemandirian dalam mencari dan menemukan pengetahuan melalui kenyataan dan dinamika lapangan seperti persyaratan kemampuan, permasalahan ril, interaksi sosial, kolaborasi, manajemen diri, tuntutan kinerja, target dan pencapaiannya.
    Agar tidak gagal paham terhadap kebijakan tersebut, silahkan download buku Saku Panduan Merdeka Belajar Kampus Merdeka. Klik teks dibawah ini.

Sekolah Unggulan


Sekolah Unggulan

BERBURU SEKOLAH UNGGULAN


        Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) baru saja berkhir. Tahapan berikutnya adalah para peserta didik memasuki tahap Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Apabila kita amati dengan seksama berbagai metode pemasaran sekolah menjelang dan selama PPDB yang sudah lalu, maka bisa dilihat upaya keras sekolah untuk menarik minat customer dengan berbagai 'iming-iming' yang terkadang sangat menggiurkan, seperti pemberian beasiswa penuh, gratis uang gedung, gratis buku selama sekolah, beasiswa lanjutan ke jenjang yang lebih tinggi, beasiswa yayasan, beasiswa prestasi dll. Sekolah dan bersolek memoles gedung-gedungnya, membenahi sarana prasarananya agar bisa memikat calon peserta didik/ mahasiswanya.Tidak bisa dipungkiri bahwa kompetisi antar sekolah begitu ketat terutama sekolah swasta. sehingga tidak jarang sekolah negeri pun kadang tidak mendapatkan calon peserta didik atau calon siswa. 

        Hal tersebut terkadang membingungkan pilihan bagi calon peserta didik dan tentu saja orang tua. Karena itu, sebelum memastikan diri untuk melanjutkan studi di sekolah tertentu, orang tua harus benar-benar mengetahui tentang sekolah tersebut. Jumlah peminatnya, jumlah siswa yang masih aktif, tenaga penedidik dan tenaga kependidikan, prestasi yang pernah di raih, serta keunggulan yang dimiliki sekolah tersebut dibandingkan dengan sekolah lainnya. Terdapat 3 keunggulan yang bisa menjadi acuan untuk menentukan apakah sekolah itu bisa dikategorikan sebagai sekolah yang unggul. antara lain: (Keunggulan komparatif, keunggulan kompetitif, dan keunggualn distinctive). lebih jelasnya akan kami bahas satu per satu.

Keunggulan Komparatif

Keunggulan komparatif ini dapat dilihat dengan membandingkan dengan keunggulan yang dimiliki sekolah lain. berbagai prestasi akademik dan non akademik yang dimiliki sekolah dibandingkan dengan sekolah lain. Seberapa unggul satu sekolah dengan sekolah lainnya. Keunggulan ini juga bisa dilihat dari program-program ekstrakurikuler yang diadakan di sekolah tersebut dibandingkan dengan sekolah lainnya yang sederajat. Jika ekstrakurikuler yang jenisnya sama tetapi suatu sekolah lebih banyak ketrampilan dan  prestasinya dibandingkan dengan sekolah di sekitarya, maka bisa dikatakan sekolah tersebut sudah memiliki keunggulan komparatif.

Keunggulan Kompetitif

Keunggulan ini lebih menekankan pada nilai tambah yang dimiliki dari suatu sekolah. Bagaimana sekolah tersebut dari waktu ke waktu mampu berkompetisi dengan sekolah lainnya untuk meningkatkan manajemen pelayanannya kepada stakeholder, mengimplementasikan manajemen berbasis sekolah secara baik, manajemen peserta didik, manajemen kelas oleh guru-gurunya, dan manajamen pendidikan lainnya di lingkungan sekolah tersebut.

Keunggulan Distinctive

Terdapat suatu slogan yang cukup akrab dalam keseharian kita yaitu "Inovasi tiada henti". Slogan tersebut dimiliki oleh suatu produk kendaraan bermotor. Slogan ini pun bisa diterapkan dalam lembaga pendidikan. Inovasi dalam manajemen, inovasi dalam pelayanan kepada mahasiswa, inovasi terhadap program-program sekolah untuk dijadikan program unggulan. Sekolah memiliki perbedaan, menjadi leading, menjadi pelopor dalam berinovasi. Misalnya; suatu sekolah memiliki keunggulan distinctive yang tidak dimiliki sekolah lainnya dalam bentuk program tahfidz Qur'an dengan jaminan sampai kelas 6 sudah dapat menghafalkan minimal 2 juz Al Qur'an . di sinilah peran kepala sekolah berupaya untuk berinovasi. Contoh keunggulan distinctive lainnya, seperti dalam bidang literasi digital, dimana semua siswa harus memiliki blog sendiri dan diisi sesuai kemampuan siswa. Sementara sekolah lainnya belum menerapkan program tersebut. Program ini sebenarnya dapat beriringan dengan promosi keberadaan sekolah. bisa dibayangkan kalau semua siswa sudah memiliki blog masing-masing, dan tugas-tugas sekolahnya juga diungah di blog tersebut, maka semua informasi mengenai sekolah akan dapat diakses dengan mudah, terutama dengan mudah bisa dicari di mesin pencarian.

Jika sekolah sudah memiliki ketiga keunggulan tesebut, maka orang tua tidak perlu lagi merasa ragu-ragu untuk menyekolahkan anakya. Meskipun sekolah tersebut tidak diberi nama sekolah unggulan, tetapi bisa dipastikan sekolah tersebut adalah sekolah yang berbasis pada keunggulan.



Jumat, 08 Juli 2022

Opini tentang Pembudayaan pendidikan

  

Pendidikan

PEMBUDAYAAN PENDIDIKAN

Oleh: Dr. Hariyanto, M.Pd

           Mengawali tulisan ini, terlebih dahulu penulis akan menjelaskan bahwa dengan menuliskan judul ”Pembudayaan Pendidikan” tidak berarti penulis  memisah dan hendak mencabut budaya dari pendidikan atau sebaliknya menceraikan pendidikan dari budaya. Karena pada dasarnya antara budaya dan pendidikan adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Antara pendidikan dan kebudayaan terdapat hubungan yang sangat erat dalam arti keduanya berkenaan dengan suatu hal yang sama yakni nilai-nilai. Dalam konteks kebudayaan justeru pendidikan memainkan peranan sebagai agen pengajaran nilai-nilai budaya. Pada dasarnya pendidikan yang berlangsung adalah suatu proses pembentukan kualitas manusia sesuai dengan kodrat budaya yang dimiliki.
    Theodore Brameld dalam karyanya “Cultural Foundation of Education” (1957) menyatakan adanya keterkaitan yang erat antara pendidikan dengan kebudayaan berkenaan dengan satu urusan yang sama, dalam hal ini ialah pengembangan nilai. Sementara itu Edward B. Tylor dalam karyanya "Primitive Culture" (1929) menulis apabila kebudayaan mempunyai tiga komponen strategis, yaitu sebagai tata kehidupan (order), suatu proses (process) , serta bervisi tertentu (goals), maka pendidikan merupakan proses pembudayaan. Masih menurut Tylor, tidak ada proses pendidikan tanpa kebudayaan dan tanpa adanya masyarakat; sebaliknya tidak ada kebudayaan dalam pengertian proses tanpa adanya pendidikan.
      Berdasarkan pengertian tersebut, kita bisa memposisi pendidikan dengan kebudayaan di dalam tata hubungan yang saling mempengaruhi (reciprocal relationship); atau pendidikan merupakan variabel yang mendorong terjadinya perubahan kebudayaan di dalam tata hubungan asimetris di mana suatu variabel mempengaruhi variabel yang lainnya (causal asymetrical relationship) . (Ki Supriyoko, 2003)
    Afinitas mengenai pendidikan dan kebudayaan dapat kita cermati dalam ciri khas manusia sebagai makhluk simbolik. Hanya manusialah yang mengenal dan memanfaatkan simbol-simbol di dalam kelanjutan kehidupannya. Simbol-simbol itu dapat kita lihat di dalam kebudayaan manusia. Mengingat kebudayaan dilestarikan dan dikembangkan melalui simbol-simbol maka semua tingkah laku manusia terdiri dari, dan tergantung pada simbol-simbol tersebut. Sebaliknya kebudayaan bisa lestari apabila memiliki daya kerja yang kuat dalam memberikan arahan para pendukungnya. Oleh karena itu kebudayaan diturunkan kepada generasi penerusnya lewat proses belajar tentang tata cara bertingkah laku. Sehingga secara wujudnya, substansi kebudayaan itu telah mendarah daging dalam kepribadian anggota-anggotanya.
    Pembudayaan pendidikan merupakan langkah dalam mewujudkan berlangsungnya proses pendidikan secara terus menerus sesuai dengan kondisi dan situasi dimana individu berada. Dalam masyarakat proses pembudayaan sebagai regenerasi terus berlangsung namun pembudayaan dalam pendidikan memiliki ketergeseran fungsi yang dipengaruhi oleh globalisasi dan berdampak pada perubahan sosial dan kebudayaan didalamnya mencakup hubungan antara kebudayaan dan kepribadian.
Selanjutnya yang akan dibahas sekarang adalah (1) Bagaimana pembudayaan pendidikan pada masyarakat Indonesia? (2) Bagaimana peran lembaga pendidikan sebagai agen budaya? (3) Apakah kendala-kendala pembudayaan pendidikan ?


 Pembudayaan Pendidikan Pada Masyarakat Indonesia
    Pembudayaan pendidikan pada masyarakat Indonesia pada hakekatnya merupakan proses pewarisan budaya di masyarakat dengan berbagai bidang, dapat diartikan pula membudayakan pemahaman masyarakat pada pendidikan untuk alih (transfer) keilmuan dan teknologi sebagai modal inovasi dalam peradaban masyarakat.
    Pendidikan nasional tidak saja tak terpisahkan dari budaya, falsafah dan amanat konstitusional bangsa Indonesia tetapi juga sebagai wahana untuk mewujudkannya dalam perikehidupan berbangsa dan bernegara senyatanya. Menurut Semiawan (1993:3), dalam konteks yang luas pembangunan sistem pendidikan nasional “merupakan suatu pendekatan budaya untuk meningkatkan pengalaman belajar manusia secara kreatif menjadi bermanfaat bagi kehidupan manusia pada umumnya, masyarakat Indonesia khususnya, sehingga suatu proses pendidikan selalu mengandung makna pembudayaan apa yang menjadi isi pendidikan tersebut. Dengan demikian pendidikan memiliki jangkauan yang lebih luas dari sekedar pembelajaran, karena mendidik berimplikasi membudayakan. Dalam satu konsep sederhana, pembudayaan adalah proses pencapaian hasil yang permanen berupa penghayatan segenap pengetahuan dan keterampilan yang didapat melalui pendidikan sehingga dengannya individu yang bersangkutan mampu berbuat atau melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupannya dan/atau kehidupan orang lain. Proses ini seyogyanya berlangsung seiring dengan proses pendidikan itu sendiri.
    Dengan demikian pembudayaan mensyaratkan ‘penghayatan’ dan ‘perbuatan’ nyata yang timbul pada individu sebagai hasil pendidikan, baik yang berlangsung dalam keluarga, di masyarakat, ataupun dalam lembaga pendidikan formal seperti sekolah. Dalam pengertian ini, hasil nyata pendidikan dapat dilihat dari seberapa tinggi penghayatan peserta didik terhadap apa yang diperolehnya melalui pendidikan serta seberapa ia mampu berbuat untuk memperoleh manfaat dari pendidikannya baik bagi dirinya sendiri maupun bagi masyarakatnya. Peserta didik yang memperoleh berbagai pengetahuan melalui proses pendidikan formal, misalnya, tetapi tidak pernah mengetahui manfaat dari apa yang diketahuinya itu, jelas tidak tersentuh oleh proses pembudayaan secara memadai. Peserta didik yang hanya melihat (disadarinya atau tidak) proses pembelajaran sebagai usaha untuk bisa menjawab soal-soal ujian atau untuk lulus atau memperoleh nilai bagus dalam evaluasi akhir merupakan contoh lain dari kurang memadainya sentuhan pembudayaan dalam pendidikan yang dialaminya.

      Peran Lembaga Pendidikan Sebagai Agen Budaya
    Sekolah sering berada dalam posisi yang ‘kurang mengenakkan’ dalam masyarakat. Di satu pihak, pandangan dan harapan masyarakat begitu tinggi terhadap sekolah dan cenderung berimplikasi bahwa sekolah ‘can do everything’ dan ‘can solve all problems,’ sehingga orang tua sering berpendapat bahwa dengan memasukkan putra-putrinya ke sekolah segala pendidikannya akan ‘beres.’ Di pihak lain, sebagai penyelenggara pendidikan, sekolah sering dilihat sebagai satu-satunya yang bertanggungjawab terhadap keberhasilan atau kegagalan pendidikan. Segala fenomena masyarakat yang bisa dihubungkan dengan tingkat keterdidikan pelaku-pelaku yang terlibat, terutama yang ber-implikasi negatif, akan secara otomatis dikaitkan dengan pendidikan dan, sehubungan dengan ini, sekolah sebagai institusi pendidikan akan langsung menjadi sorotan. Sementara perilaku masyarakat berkaitan erat dengan tingkat pendidikannya (Susanto, 2000), fenomena seperti korupsi, kebrutalan massa, amuk massa, kerusuhan, main hakim sendiri, kekurangdisiplinan, merapuhnya sopan santun, dan sejenisnya akan dihubungkan dengan kegagalan pendidikan, dan ini, paling tidak sebagiannya, dianggap kegagalan sekolah (periksa, misalnya, Supriyoko, 1999; Darmaningtyas, 1999; dan Amir Santoso, 2000).
    Hasil pendidikan di sekolah memang tidak sepenuhnya bisa dihubungkan dengan kebobrokan yang ada di masyarakat. Demikian juga berbagai situasi sosial, politik, ekonomi, dan hukum di masyarakat yang ada dalam posisi ‘krisis’ tidak mesti berkaitan  dengan hasil-hasil pendidikan di sekolah. Akan tetapi memang ada aspek-aspek tertentu dalam sistem penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang masih perlu dicermati, antara lain kurang diperhatikannya fungsi sekolah sebagai agen pembudayaan. Situasi ini bisa dikaitkan dengan kebijakan di tingkat makro, di samping praktik penyelenggaraan pendidikan secara mikro di sekolah-sekolah.
     Proses pembelajaran atau proses belajar-mengajar seperti yang terlaksana sekarang tidak secara otomatis merupakan proses pembudayaan dari mata pelajaran yang dipelajari atau diajarkan. Mata pelajaran yang diajarkan dengan hanya menekankan pada aspek pengalaman kognitif saja belum tentu ‘terbudayakan’ secara memadai pada peserta didik. Artinya, siswa mungkin menginternalisasi kemampuan komprehensi sampai kemampuan sintesis dalam mata pelajaran yang bersangkutan, tetapi tidak sampai menyentuh sisi afektifnya, sehingga tidak terjadi penghayatan terhadap mata pelajaran tersebut. Dengan kata lain, proses pembelajaran yang terjadi tidak sampai menimbulkan rasa senang atau kecintaan terhadap apa yang dipelajari. Sering yang terjadi adalah kebalikannya, yaitu rasa tidak senang, rasa tidak mampu, frustasi, dan sejenisnya yang pada akhirnya menimbulkan kebencian peserta didik terhadap mata pelajaran tertentu.
    Pembudayaan akan terjadi kalau proses pembelajaran, disamping merangsang dan melatih nalar kognitif peserta didik, juga menggugah secara memadai nalar afektifnya. Secara mikro, peranan metodologis-didaktis guru dengan segala kiat yang digunakannya akan cukup menentukan seberapa jauh sisi afektif siswa terhadap suatu mata pelajaran bisa diaktifkan dalam proses pembelajaran sehingga menggugah dan membangkitkan penghayatannya terhadap apa yang dipelajarinya itu. Dari sudut pandang lain, dituntut juga bahwa guru tidak hanya menekankan instructional effects mata pelajaran yang diajarnya tetapi juga memberikan perhatian yang cukup terhadap nurturant effects yang menyertai proses belajar mengajar itu.
    Di samping sebagai pengajar, guru adalah pendidik (Buchori, 1994) dan pembudaya (Napitupulu, 1999). Guru dituntut untuk membudayakan apa yang diajarkannya pada peserta didik. Misalnya di bidang matematika, proses belajar-mengajar bisa diarahkan untuk mengembangkan nilai-nilai ketelitian, keuletan, dan kejujuran dan sekaligus penghayatan terhadap matematika sebagai disiplin ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan, sehingga matematika tidak perlu menjadi ‘momok’ peserta didik. Hadiwardoyo (1993) menekankan bahwa guru sebagai pendidik harus mampu menggugah hati peserta didik untuk mempraktikkan atau mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam mata pelajaran dan juga harus menyadari bahwa proses ini berlangsung tahap demi tahap serta memerlukan integritas dan keteladanan yang mantap dari guru itu sendiri.
    Melalui proses belajar-mengajar guru juga bisa membudayakan IPTEK, yang sangat penting peranannya dalam mensejahterakan umat manusia. Sikap, ketekunan, dan curiosity peneliti bisa dibudayakan secara bertahap pada peserta didik, mulai dari proses mengidentifikasi masalah, mencari pemecahan, pengujian sampai pada pembuktian kebenaran. Yang penting adalah bahwa semua ini ditempuh dengan secara maksimal mengaktifkan kemampuan afektif peserta didik, di samping memberinya pengalaman kognitif yang diperlukan. Budaya baca-tulis juga sangat erat hubungannya dengan IPTEK sehingga perlu ditanamkan di kalangan peserta didik. Kegemaran dan kecintaan terhadap mem-baca, misalnya, tidak bisa dihasilkan dari proses pembelajaran membaca saja. Kebiasaan membaca yang baik dan menyenangkan adalah hasil pembudayaan. 
    Sekolah juga merupakan agen pembudayaan nilai-nilai kebangsaan dan budaya bangsa. Seperti telah dikemukakan di bagian depan tulisan ini, pendidikan nasional adalah wahana penanaman dan pengembangan budaya bangsa. Dalam pengertian yang luas, setiap bagian dari ikhtiar pendidikan tidak hanya harus mengacu kepada nilai-nilai budaya bangsa tetapi juga mampu menanamkan nilai-nilai tersebut pada peserta didik. Melalui pendidikan nasional dilakukan upaya memajukan kebudayaan nasional, yang harus diartikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kemampuan intelektual dan profesional, sikap, watak, dan kepribadian manusia Indonesia yang demokratis dan berbudaya (Soedijarto, 1999).
    Dalam era teknologi dan derasnya arus globalisasi dewasa ini pendidikan untuk memantapkan integritas nilai-nilai budaya dan integritas bangsa menempati posisi yang sangat krusial. Sering terjadi bahwa kemajuan IPTEK dan kesejahteraan dicapai oleh satu masyarakat bangsa dengan mengorbankan identitas dan kepribadian bangsanya. Hal ini mengisyaratkan bahwa kita dihadapkan pada tantangan dalam menyusun program pendidikan yang mampu menghasilkan manusia-manusia modern yang didukung oleh penguatan dalam pewarisan budaya dan identitas bangsa (Suryadi dan Tilaar, 1993). Raka Joni (1990) menggambarkan masyarakat Indonesia masa depan sebagai masyarakat moderen yang bernafaskan Pancasila. Kalau tujuan pendidikan nasional mengacu kepada masyarakat seperti ini, maka pendidikan nasional harus melakukan dua hal dalam waktu yang bersamaan: memoderenkan bangsa Indonesia dan melestarikan nilai-nilai budaya bangsa yang tersirat dalam Pancasila. 
    Sekolah sebagai agen pembudayaan dituntut untuk mampu menyelenggarakan pendidikan yang menanamkan nilai-nilai budaya bangsa dalam rangka menguatkan integritas dan kepribadian bangsa. Pada tingkat mikro, proses pembudayaan ini dilakukan melalui proses belajar-mengajar yang tidak bisa hanya diberikan melalui pengalaman kognitif, melainkan harus secara signifikan menyentuh kecerdasan afektif peserta didik. Penanaman nilai-nilai budaya bangsa melalui perpaduan antara logika, etika, dan estetika (Donosepoetro, 2000b) akan menggugah penghayatan dan kecintaan peserta didik terhadap nilai-nilai budaya bangsanya.

      Kendala-Kendala Pembudayaan Pendidikan
Kendala yang perlu dibahas dalam hubungannya dengan peningkatan mutu pendidikan di tanah air, khususnya yang berkaitan dengan pembudayaan melalui pendidikan di sekolah. Ada kendala di tingkat kebijakan (makro) dan ada pula kendala di tingkat sekolah (mikro).

    1. Kualifikasi Formal dan Sistem Pendidikan Guru
Mencermati kualifikasi formal dan sistem pendidikan guru yang berlaku saat ini di LPTK, beberapa hal perlu dicatat sebagai kelemahan. Pertama, kualifikasi formal guru, baik untuk jenjang pendidikan dasar maupun menengah, masih rendah. Yang ideal adalah bahwa guru SD dan SLTP sedikitnya berkualifikasi S1 (sarjana muda) dan guru sekolah menengah sedikitnya berkualifikasi S2 (magister). Kedua, kurikulum pendidikan guru di LPTK sangat didominasi oleh mata kuliah yang terlalu berorientasi kognitif. Ini bisa dilihat dari pembelajaran yang exam-oriented dan sistem evaluasi yang sangat mene-lantarkan kemampuan afektif mahasiswa. Ketiga, praktik pengalaman lapangan (PPL), di samping waktunya yang umumnya terlalu singkat, tidak menjamin sistem bimbingan yang profesional dan efektif. Keempat, sistem saringan melalui ujian masuk perguruan tinggi secara umum dan tersentralisir (SPMB, UMPTN, apapun namanya) kurang tepat untuk LPTK, karena tidak bisa membedakan antara calon yang betul-betul berminat menjadi guru dan yang sebenarnya tidak berminat tetapi ‘terpaksa.’
       Karena profesi guru sebagai pendidik dan pembudaya memerlukan kemampuan afektif yang tinggi, sistem pendidikan guru yang hanya menekankan pada kemampuan kognitif akan menjadi kendala bagi tersedianya tenaga guru yang betul-betul memenuhi kualifikasi pendidik dan pembudaya. Demikian juga tingkat kemampuan profesionalnya yang paspasan akan menjadi kendala baginya dalam menjalankan profesinya secara op-timal. Misalnya guru SD dengan kualifikasi D2 akan mengalami kesulitan kalau dituntut untuk meningkatkan kualitas pengajarannya melalui penelitian karena kemampuan meneliti belum dimilikinya. Praktik pengalaman lapangan yang tidak memadai tidak bisa menjamin bahwa lulusan LPTK memiliki kesiapan penuh sebagai pengajar, apalagi se-bagai pendidik dan pembudaya.
  Mahasiswa LPTK yang terjaring melalui ujian masuk perguruan tinggi yang diselenggarakan secara nasional (SPMB) belum tentu mempunyai minat dan kecintaan terhadap profesi guru, walaupun mereka telah memilih untuk masuk LPTK. Kalau ter-nyata mereka tidak berminat menjadi guru tetapi kemudian lulus dan diangkat sebagai guru, akan timbul masalah integritas yang serius sepanjang kariernya sebagai guru dan ini akan mengganggu pelaksanaan tugas-tugasnya. Dengan masalah seperti ini tentu saja dia tidak akan bisa menjadi pendidik dan pembudaya yang baik.

    2. Budaya Top-Down
    Budaya top-down yang menjadi ciri khas kebijakan pendidikan nasional selama ini ‘membunuh’ kreativitas sekolah dan guru. Budaya seperti ini juga mempengaruhi sikap guru terhadap peserta didiknya, yaitu guru akan menganut sikap ‘serba ditentukan dari atas. Kreativitas sekolah dalam mengelola pendidikan sesuai dengan situasi dan kondisi setempat-setempat sangat mempengaruhi efektivitas pendidikan. Kalau guru menganut budaya ‘serba ditentukan dari atas’ maka proses pembelajaran di kelas akan terpasung dalam suasana yang kaku sehingga kreativitas siswa akan mati. Sedangkan proses pembudayaan memerlukan kreativitas peserta didik, suasana bebas terbuka yang menyenangkan, dan hubungan guru-siswa yang demokratis. Dalam budaya top-down, peserta didik juga akan ‘membudayakan’ suasana ‘serba diatur’ sehingga prakarsa dan rasa tanggungjawabnya tidak berkembang. Budaya kritis dan mandiri tidak tumbuh, sementara budaya bergantung menjadi bertambah subur.
    Situasi seperti ini jelas merugikan pendidikan nasional dan akan berdampak terhadap budaya masyarakat terpelajar kita. Salah satu contoh budaya top-down yang mengingkari keanekaragaman daerah adalah kebijakan ‘buku paket.’ Kebijakan ini, di samping sering mengalami kendala teknis seperti kesulitan transportasi dari pusat ke daerah, juga melecehkan kewenangan dan kemampuan sekolah untuk mengatur pengelolaan pendidikan sesuai dengan aspirasi masyarakat lingkungannya. Tambahan lagi, kebijakan buku paket bisa menumbuhkan budaya KKN, yang tentu saja menjadi sebuah ironi yang menyakitkan dalam dunia pendidikan kita.
    Semoga degan diberlakukannya kurikulum merdeka, akan juga berdampak untuk mengikis hal-hal tersebut dan bukan bertambah menyuburkannya.

3.   Hubungan Guru-Siswa

    Seperti telah dikemukakan di bagian depan, hubungan guru siswa dalam konteks pembelajaran atau proses belajar-mengajar selama ini berpola top-down. Dengan pola ini, hubungan guru-murid menjadi kaku dan dominasi guru mewarnai interaksi pendidikan. Modus pendidikan seperti ini tidak bisa mengembangkan budaya demokrasi di sekolah dan ini akan berlanjut kelak di masyarakat. Kreativitas peserta didik juga terpasung sampai titik terendah.

4.   Faktor Pendukung Profesi Guru
    Di samping kendala rendahnya tingkat kesejahteraan dan kualitas profesional guru, beberapa faktor pendukung yang menopang profesi guru sering sangat minim ke-beradaannya di sekolah. Misalnya, untuk kebanyakan sekolah di tanah air, guru tidak memiliki ruang kerja yang memadai di mana dia bisa bekerja dengan nyaman pada wak-tu tidak berada di kelas. Yang ada hanya sebuah ‘common room’ yang kadang-kadang tidak cukup luas untuk memberikan kenyamanan walaupun hanya untuk melepaskan lelah. Sekolah juga tidak memiliki perpustakaan guru yang memadai, apalagi yang up to date. Fasilitas pendidikan lainnya umumnya juga sangat terbatas.
Berdasarkan uraian diatas, penulis dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1.   Pembudayaan pendidikan pada masyarakat Indonesia pada hakekatnya merupakan proses pewarisan budaya di masyarakat dengan berbagai bidang, dapat diartikan pula membudayakan pemahaman masyarakat pada pendidikan untuk alih (transfer) keilmuan dan teknologi sebagai modal inovasi dalam peradaban masyarakat.


2.  Terdapat beberapa Kendala dalam hubungannya dengan peningkatan mutu pendidikan di tanah air, khususnya yang berkaitan dengan pembudayaan melalui pendidikan di sekolah. Ada kendala di tingkat kebijakan (makro) dan ada pula kendala di tingkat sekolah (mikro). Misalnya; Kualifikasi formal dan pendidikan guru, Budaya Top-Down, Relasi guru dengan Siswa di kelas, faktor pendukung profesi guru , dll. 

            Walaupun secara konseptual pembudayaan itu ‘bersenyawa’ dengan pendidikan, namun kenyataan dalam praktik tidak sepenuhnya mendukung hal itu. Berbagai kendala yang ada, baik di tingkat kebijakan maupun di tingkat sekolah, menyebabkan hampir tidak pernah pendidikan itu tersampaikan secara utuh di sekolah. Sekolah lebih banyak menyelenggarakan ‘pengajaran’ daripada pendidikan. Oleh karena itu sangat perlu diupayakan agar pendidikan yang kita selenggarakan betul-betul membudayakan apa yang dididikkan kepada peserta didik.

      Sekolah sebagai agen pembudayaan dituntut untuk mampu menyelenggarakan pendidikan yang menanamkan nilai-nilai budaya bangsa dalam rangka menguatkan integritas dan kepribadian bangsa. Pada tingkat mikro, proses pembudayaan ini dilakukan melalui proses belajar-mengajar yang tidak bisa hanya diberikan melalui pengalaman kognitif, melainkan harus secara signifikan menyentuh kecerdasan afektif peserta didik. Penanaman nilai-nilai budaya bangsa melalui perpaduan antara logika, etika, dan estetika akan menggugah penghayatan dan kecintaan peserta didik terhadap nilai-nilai budaya bangsanya.

Kamis, 07 Juli 2022

Tentang Kami

 



Inspirasi Pendidikan adalah sebuah portal web yang berisi tentang berbagai informasi dan inspirasi tentang pendidikan di Indonesia dan di berbagai belahan dunia.
Kehadiran Inspirasi pendidikan ini selain akan memperkaya khasanah literasi digital, juga diharapkan memberikan inspirasi kepada semuanya untuk terus mengembangkan pendidikan, tetap berkarya dan memberikan yang terbaik untuk bangsa dan negara.
Kami mengundang seluruh pembaca untuk bersama memberikan inspirasi dengan berbagi informasi, artikel, opini, makalah,kegiatan sekolah, dll terkait pendidikan. 

Kirimkan naskah anda di alamat:
email: mashary09@gmail.com
Alamat Redaksi: Griya Singajaya Indah No.7 Jl. Singajaya Kelurahan Singosaren - Jenangan - Ponorogo- Jawa Timur


ttd

Redaksi,
                                                                                  

Senin, 04 Juli 2022

Seri Pengembangan diri

Artikel Islami

BIARKAN MASA DEPAN DATANG SENDIRI 

( Telah pasti datangnya ketetapan Alloh, maka janganlah kamu meminta agar disegerakan ( datang ) nya ) QS. An Nahl : 1
Jangan pernah mendahului sesuatu yang belum terjadi ! Apakah anda mau mengeluarkan kandungan sebelum waktunya dilahirkan, atau memetik buah buahan sebelum masak ? Hari esok adalah sesuatu yang belum nyata dan dapat diraba, belum terwujud, dan tidak memiliki rasa dan warna. Jika demikian, mengapa kita harus menyibukkan diri dengan hari esok, mencemaskan kesialan kesialan yang mungkin akan terjadi padanya, memikirkan kejadian kejadian yang akan menimpanya, dan meramalkan bencana bencana yang bakal ada didalamnya ? Bukankah kita juga tidak tahu apakah kita akan bertemu dengannya atau tidak, dan apakah hari esok kita itu akan berwujud kesenangan atau kesedihan ?
Yang jelas, hari esok masih ada dalam alam gaib dan belum turun ke bumi. Maka, tidak sepantasnya kita menyeberangi sebuah jembatan sebelum sampai di atasnya. Sebab, siapa yang tahu bahwa kita akan sampai atau tidak pada jembatan itu. Bisa jadi kita akan terhenti jalan kita sebelum sampai ke jembatan itu, atau mungkin pula jembatan itu hanyut terbawa arus terlebih dahulu sebelum kita sampai di atasnya. Dan bisa jadi pula, kita akan sampai pada jembatan itu dan kemudian menyeberanginya.
Dalam syariat, memberi kesempatan kepada pikiran untuk memikirkan masa depan dan membuka buka alam gaib, dan kemudian terhanyut dalam kecemasan kecemasan yang baru di duga darinya, adalah sesuatu yang tidak dibenarkan. pasalnya hal itu termasuk thuulul amal ( angan angan yang terlalu jauh ). Secara nalar, tindakan itu pun tidak masuk akal, karena sama halnya dengan berusaha perang melawan bayang bayang. Namun ironis, kebanyakan manusia di dunia ini justru banyak termakan oleh ramalan ramalan tentang kelaparan, kemiskinan, wabah penyakit dan krisis ekonomi yang kabarnya akan menimpa mereka. Padahal , semua itu hanyalah bagian dari kurikulum yang diajarkan di " sekolah sekolah syetan ".
( setan menjanjikan ( menakut nakuti ) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan ( kikir ), sedang Alloh menjanjikan untukmu ampunan daripadaNya dan karunia ) QS. Al Baqarah : 268
Mereka yang menangis sedih menatap masa depan adalah menyangka diri mereka akan hidup kelaparan, menderita dakit selama setahun, dan memperkirakan umur dunia ini tinggal seratus tahun lagi. Padahal, orang yang sadar bahwa usia hidupnya berada di ' genggaman yang lain ' tentu tidak akan menggadaikan untuk sesuatu yang tidak ada. Dan orang yang tidak tahu kapan akan mati, tentu salah besar bila justru menyibukkan diri dengan sesuatu yang belum ada dan tak terwujud.
Biarkan hari esok itu datang dengan sendirinya. jangan pernah menanyakan kabar beritanya, dan jangan pula pernah menanti serangan petakanya. Sebab, hari ini anda sudah sangat sibuk.
Jika anda heran, maka lebih mengherankan lagi orang orang yang berani menebus kesedihan suatu masa yang belum tentu matahari terbit di dalamnya dengan bersedih pada hari ini. Oleh karena itu, hindarilah angan angan yang berlebihan.
wallahu'alam
( La Tahzan ! DR. 'Aidh al-Qarni )

GERAKAN MAHASISWA... DIMANA PERANMU?


GERAKAN MAHASISWA…DIMANA PERANMU???


Mahasiswa dengan kegagahan intelektualitasnya, ketegaran jasmani dan mentalitasnya yang pantang menyerah merupakan berkah bagi bangsa yang tak lelah dirundung masalah. Peran pemuda dalam hal ini mahasiswa terhadap bangsa ini merupakan peran yang sangat vital yang tidak bisa digantikan oleh siapapun entitas dinegara ini. Peran pertama adalah menjadi inisiator perubahan, Peran kedua adalah sebagai galvanisator pergerakan, peran ketiga sebagai arsitek peradaban.

Kiranya  ketiga peran tersebut tidak terlalu berlebihan kalau kita melihat perjuangan mahasiswa di era reformasi dulu. Tetapi sayangnya pergerakan mahasiswa tersebut seolah mandeg alias tidak ada perkembangan yang signifikan. Apalagi kalau kita menghitung jumlah mahasiswa di seluruh negeri ini, dengan jumlah mahasiswa yang aktif dalam pergerakan memperjuangkan nasib negeri ini. Memang tidak dapat dipungkiri beribu alasan akan diberikan, bagi yang tidak ikut berdemo turun di jalan menyampaikan aspirasi akan berkilah bahwa perjuangan tidak selalu menggunakan cara itu apalagi berujung pada anarkisme, toh yang rugi juga masyarakat. Tetapi bagi yang turun ke jalan untuk berdemi berargumen inilah cara terakhir untuk mempressure regim karena tidak mau dan tidak mampu mendengarkan aspirasi rakyatnya.

Terlepas dari perdebatan yang mungkin tidak akan habisnya bila ditulis argument dari kedua belah pihak. Penulis ingin memaparkan bahwa gerakan perjuangan bisa dilakukan dari sisi manapun, yang penting benar-benar ikhlas demi kepentingan rakyat bukan semata-mata karena pesanan sponsor ataupun karena ingin dikenal sebagai “pahlawan”  di mata orang lain. Dari sudut pandang ini, gerakan mahasiswa yang bersumber dari kampus haruslah netral dari kepentingan politik praktis dan menjadi wahana untuk berlatih dalam ranah organisasi kampus. Tetapi dampak dan perannya harus meluas dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Ada beberapa hal yang harus dibenahi dalam rangka mereaktualisasi peran gerakan kemahasiswaan dewasa ini, antara lain:

1)   Kampus harus bersungguh-sungguh menjadikan organisasi kampus seperti BEM, Senat Mahasiswa, atau Organisasi intern kampus yang lain sebagai tempat melatih mereka dibidang kepemimpinan, tempat mengasah kepekaan mereka terhadap kondisi masyarakat. Biarkan mahasiswa berekspresi, dan jangan dianggap “musuh” apabila suatu saat mahasiswa mengkritisi kebijakan kampus. Dana yang seharusnya untuk keperluan organisasi kemahasiswaan harus diberikan secara jujur dan amanah untuk pengembangan organisasi kampus.

2) Kampus hendaknya memberikan bimbingan kepada mahasiswa yang aktif dalam organisasi, sehingga pimpinan perguruan tinggi yang membidangi kemahasiswaan harus mengenali betul seluk beluk organisasi kampus dan memiliki pengalaman untuk bekerja sama dengan mahasiswa, berkemampuan untuk membimbing dan mengarahkan kepada hal-hal yang positif, menjadikan organisasi kampus sebagai sarana pencetak prestasi mahasiswa di segala bidang.

3) Pemerintah dan pimpinan kampus harus lebih kooperatif terhadap kepentingan pengembangan organisasi kemahasiswaan, kepada para aktivis organisasi kemahasiswaan diberikan prioritas dalam memperoleh beasiswa.

4)   Perlu kesadaran untuk seluruh dosen dan pimpinan perguruan tinggi untuk memberikan dispensasi izin bagi mahasiswa yang akan mengikuti atau melaksanakan kegiatan keorganisasian, meskipun demikian diupayakan kegiatan organisasi mahasiswa tidak merugikan kegiatan akademik.

5)  Mahasiswa harus menyadari kegiatan organisasi kampus adalah penyeimbang kegiatan akademik. “Second University” . karena itu tidak akan terjadi “mahasiswa abadi” karena alasan aktif dalam organisasi kemahasiswaan.

Apabila semua pihak terkait, memahami peran dan tanggung jawabnya masing-masing terkait dengan pengembangan kemahasiswaan, maka peran organisasi kemahasiswaan akan bisa optimal. Peran mahasiswa akan dapat membangun  peradaban bangsa kembali, peradaban yang sudah terpuruk karena budaya korupsi dari tingkat atas sampai ke akar rumput. Mahasiswa …kunantikan peranmu membersihkan negeri ini dari kotornya tangan tangan penjarah kekayaan negeri yang mengatasnamakan kesejahteraan rakyat…

----------------   

* Penulis adalah pemerhati di bidang pendidikan 


PENDIDIKAN PAUD


ANALISIS KONDISI PAUD DI INDONESIA
Oleh: Hariyanto




 A. Latar Belakang
Usia dini merupakan periode awal yang paling penting dan mendasar dalam sepanjang rentang pertumbuhan serta perkembangan kehidupan manusia. Pada masa ini ditandai oleh berbagai periode penting yang fundamen dalam kehidupan anak selanjutnya sampai periode akhir perkembangannya. Salah satu periode yang menjadi penciri masa usia dini adalah the Golden Ages atau periode keemasan. Banyak konsep dan fakta yang ditemukan memberikan penjelasan periode keemasan pada masa usia dini, dimana semua potensi anak berkembang paling cepat. Beberapa konsep yang disandingkan untuk masa anak usia dini adalah masa eksplorasi, masa identifikasi/imitasi, masa peka, masa bermain dan masa trozt alter 1 (masa membangkang tahap 1).
Konsep tersebut diperkuat oleh fakta yang ditemukan oleh ahli-ahli neurologi yang menyatakan bahwa pada saat lahir otak bayi mengandung 100 sampai 200 milyar neuron atau sel syaraf yang siap melakukan sambungan antar sel. Sekitar 50% kapasitas kecerdasan manusia telah terjadi ketika usia 4 tahun, 80% telah terjadi ketika berusia 8 tahun, dan mencapai titik kulminasi 100% ketika anak berusia 8 sampai 18 tahun. Pertumbuhan fungsional sel-sel syaraf tersebut membutuhkan berbagai situasi pendidikan yang mendukung, baik dalam situasi pendidikan keluarga, masyarakat maupun sekolah. Para ahli pendidikan sepakat bahwa periode keemasan tersebut hanya berlangsung satu kali sepanjang rentang kehidupan manusia. Hal ini menunjukkan bahwa betapa meruginya suatu keluarga, masyarakat dan bangsa jika mengabaikan masa-masa penting yang berlangsung pada anak usia dini. (Pus Kur. Depdiknas, 2007)
Menganalisis dan mengeluhkan mutu pendidikan dengan kritikan kepada dunia pendidikan menjadi suatu hal yang lazim saat ini, Pendidikan tinggi menyalahkan pendidikan menengah, dan Pendidikan Menengah menyalahkan Pendidikan Dasar. Begitu seterusnya seperti sebuah lingkaran yang tidak berujung. Tetapi tidak ada yang menyalahkan bahwa kondisi pendidikan saat ini karena disebabkan Pendidikan Anak Usia dini atau pendidikan Pra sekolah. Ini menunjukkan bahwa PAUD masih dipandang sebelah mata oleh para pengambil kebijakan dan praktisi pendidikan.
PAUD dapat dianalogikan sebagai sebuah pondasi pada sebuah bangunan, dimana slof akan ditempatkan. Fondasi adalah bahan yang akan menghunjam ke bumi dan menyatu dengan tanah, dan slof adalah pendidikan Dasar dan Menengah. Artinya seberapapun tingginya bangunan, kekokohannya akan sangat ditentukan oleh seberapa kuat fondasi yang menahan. Optimalisasi kemampuan seseorang sangat ditentukan oleh seberapa kuat pula dasar pertumbuhan dan perkembangan yang dibangun pada saat anak usia dini. Dengan demikian, menurut penulis seharusnya penetapan pendidikan Dasar 9 tahun yang meliputi pendidikan dasar (SD) dan SMP (Sekolah Menengah Pertama) direvisi menjadi pendidikan 11 tahun, yang dimulai dari TK (TK A dan TK B selama 2 tahun), SD, (6 tahun) dan SMP (3 tahun).
Sebagai komitmen dan keseriusan antar bangsa terhadap pendidikan anak usia dini telah dicapai berbagai momentum dan kesepakatan penting yang telah digalang secara internasional. Salah satunya adalah Deklarasi Dakkar yang diantaranya menyepakati bahwa perlunya upaya memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak usia dini, terutama bagi anak-anak yang sangat rawan dan kurang beruntung. Adapun komitmen antara bangsa secara internasional lainnya adalah kesepakatan antar negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menyepakati ”Dunia yang layak bagi anak 2002” atau dikenal dengan ”world fit for children 2002”. Beberapa kesepakatan yang diperoleh adalah (1) mencanangkan kehidupan yang sehat, (2) memberikan pendidikan yang berkualitas, (3) memberikan perlindungan terhadap penganiayaan, eksploitasi dan kekerasan.
Walapun berbagai upaya secara konseptual maupun praktis telah diupayakan dalam membangun anak usia dini namun masih banyak masalah yang menjadi hambatan, antara lain akses layanan paud yang masih rendah. Hal ini diperburuk dengan masih rendahnya kualitas penyelenggaraan lembaga pendidikan anak usia dini yang dilihat dari aspek standar program yang diberikan, proses pembelajaran yang belum mengakomodasi kebutuhan anak, kualitas serta kualifikasi tenaga pendidik anak usia dini yang masih tergolong rendah. dan kurangnya kesadaran orang tua tentang pentingnya PAUD. Problem-problem tersebut yang penulis hendak kaji dan memberikan alternatif solusi. 
B. Rumusan MasalaH
 1.      Bagaimanakah akses layanan PAUD di Indonesia? 
2.      Bagaimanakah Kualitas penyelenggaraan dan tenaga pendidik pada PAUD di Indonesia? 
3.      Bagaimanakah Kesadaran orang tua terhadap PAUD di Indonesia?
C. Pembahasan
1.  Akses Layanan PAUD di Indonesia
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, secara tegas menyatakan bahwa "Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut" . Selanjutnya dinyatakan pula bahwa pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan pada jalur formal (Taman Kanakkanak/ Raudathul Athfal), jalur nonformal (Taman Penitipan Anak, Kelompok Bermain dan bentuk lain yang sederajat), dan pada jalur informal· (melalui pendidikan keluarga atau lingkungan).
Dalam rangka mendukung kebijakan pembinaan layanan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang terarah, terpadu dan terkoordinasi, pada tahun 2010 Kementerian Pendidikan Nasional telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 36 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pendidikan Nasional. Dalam peraturan tersebut ditegaskan bahwa pembinaan PAUD baik formal, nonformal maupun informal, berada di bawah binaan Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal (Ditjen PAUDNI), yang secara teknis dilaksanakan oleh Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini.
Meskipun selama ini berbagai kebijakan yang terkait dengan pembinaan PAUD telah ditetapkan dan disosialisasikan ke seluruh lapisan masyarakat, namun pada kenyataannya Pada tahun 2006 partisipasi dalam PAUD baru 28, 3 juta (46 %) dari 13.223. 812 jiwa anak (Direktorat PAUD, 2007:18). Kebijakan ini baik secara langsung atau tidak langsung telah menelantarkan kesempatan anak sebanyak 54 % penduduk untuk bertumbuh dan berkembang dengan optimal karena ketiadaan kesempatan mengikuti PAUD. Dapat dibayangkan anak-anak yang 54 % ini akan mewarnai kehidupan berbangsa dan  bernegara, yang barangkali sebagian besar akan menjadi beban masyarakat bangsa dan negara di masa yang akan datang.
Data pada tahun 2009 terdapat 28,8 juta anak usia 0-6 tahun, yang memperoleh layanan PAUD baru sekitar 53,7 %. Berdasarkan data dalam Education For All (EFA) Global Monitoring Report 2011: Di Balik Krisis: Konflik Militer dan Pendidikan. Atau  The hidden crisis: Armed conflict and education yang dikeluarkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) yang diluncurkan di New York, Amerika Serikat, Senin (1/3 2011) waktu setempat, indeks pembangunan pendidikan (education development index/EDI) menurut data tahun 2008 adalah 0,934. Nilai ini menempatkan Indonesia di posisi ke-69 dari 127 negara di dunia.
Masih rendahnya jumlah anak yang terlayani tersebut antara lain disebabkan oleh masih terbatasnya jumlah lembaga PAUD yang ada, baik lembaga Taman Kanak-kanak (TK), Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), maupun lembaga Satuan PAUD Sejenis lainnya.
Oleh karena itu, seiring dengan perubahan organisasi dan tata kerja Kementerian Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal pada tahun 2011 ini telah menetapkan kebijakan untuk memperluas akses dan meningkatkan mutu layanan PAUD secara lebih terarah dan terpadu diantaranya melalui berbagai program peningkatan kapasitas layanan .lembaga-lembaga PAUD di seluruh tanah air.
Berbagai upaya terus menerus dilakukan dalam rangka perluasan akses dan pemerataan layanan pendidikan, namun layanan pendidikan belum sepenuhnya menjangkau seluruh lapisan masyarakat, khususnya yang tinggal di
daerah pedesaan, wilayah terpencil, dan kepulauan yang secara geografis sulit dijangkau sehingga belum semua penduduk usia sekolah memperoleh akses pendidikan dengan baik. Di samping kendala geografis, kondisi ekonomi juga menjadi faktor fundamental munculnya kesenjangan partisipasi pendidikan di berbagai lapisan masyarakat.
Kesenjangan partisipasi pendidikan masih terjadi baik antar kelompok masyarakat (kaya-miskin), maupun antar kategori wilayah (perkotaan-pedesaan),
dan kesenjangan ini cenderung meningkat seiring dengan peningkatan kelompok umur. Upaya peningkatan pemerataan pada jenjang pendidikan formal, upaya perluasan akses dan pemerataan pendidikan juga dilakukan terhadap jenjang pendidikan non formal yang mencakup antara lain PAUD, dan pendidikan khusus keterampilan. Anak-anak yang memerlukan pelayanan khusus (children with special needs) selama ini belum sepenuhnya mendapat layanan pendidikan yang memadai. Jika dikaitkan dengan hak dasar untuk mendapatkan pendidikan bagi seluruh penduduk Indonesia, layanan pendidikan harus pula menjangkau anak-anak yang memerlukan layanan pendidikan khusus tersebut.
Kondisi kurangnya akses terhadap layanan PAUD ini, dengan kebijakan pemerintah untuk memperluas akses dan partisipasi masyarakat terhadap PAUD juga harus dicermati secara seksama. Karena seolah pemerintah dihadapkan pada keterpaksaan memilih Kualitas dan Kuantitas. Artinya pemerintah harus memilih antara kualitas PAUD dengan mengabaikan kuantitas, ataukan mengutamakan kuantitas dengan mengabaikan kualitas. Tentu saja pilihan yang tepat adalah kualitas dan kuantitas harus tetap terjaga.
Partisipasi masyarakat akhir-akhir ini untuk menyelenggarakan PAUD patut dihargai, pemberian dana-dana stimulus seperti perkuatan kelembagaan, block grant, dana rintisan dan dana stimulan lainya telah menjadi dorongan yang kuat bagi masyarakat untuk mendirikan PAUD. Di satu sisi ini hal yang menguntungkan karena akses layanan PAUD akan meningkat, tetapi hal ini juga akan menjadi merugikan apabila izin pendirian PAUD tidak diperketat dengan syarat-syarat sesuai aturan yang berlaku, utamanya sarana-prasarana dan tenaga pengajar kompeten. Dengan demikian, masih ada penekanan kualitas dari setiap PAUD yang akan didirikan, tidak semata-mata mengejar kuantitas.

2.    Kualitas Pembelajaran dan Tenaga Pendidik pada  PAUD Di Indonesia
 Ilmu Pendidikan telah berkembang pesat dan terspesialisasi; salah satunya ialah PAUD yang membahas pendidikan untuk anak usia 0-8 tahun. Anak usia tersebut dipandang memiliki karakteristik yang berbeda dengan anak usia di atasnya sehingga pendidikan untuk anak usia tersebut dipandang perlu untuk dikhususkan. PAUD telah berkembang dengan pesat dan mendapat perhatian yang luar biasa terutama di Negara-negara maju karena mengembangkan sumberdaya manusia lebih mudah jika dilakukan   sejak usia dini.
Pendidikan anak usia dini memiliki fungsi utama mengembangkan semua aspek perkembangan anak, meliputi perkembangan kognitif, bahasa, fisik (motorik kasar dan halus), sosial dan emosional. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang sangat kuat antara perkembangan yang dialami anak pada usia dini dengan  keberhasilan mereka dalam kehidupan selanjutnya. Misalnya, anak-anak yang hidup dalam lingkungan (baik di  rumah maupun di KB atau TK) yang kaya interaksi dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar akan terbiasa mendengarkan dan mengucapkan kata-kata dengan benar, sehingga ketika mereka masuk sekolah, mereka sudah mempunyai modal untuk membaca.
Berdasarkan aspek pedagogis, masa usia dini merupakan masa peletak dasar atau pondasi awal bagi pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya. Diyakini oleh Hurlock (1999) bahwa masa kanak-kanak yang bahagia merupakan dasar bagi keberhasilan di masa datang, dan sebaliknya. Untuk itu, agar pertumbuhan dan perkembangan anak tercapai secara optimal, maka dibutuhkan situasi dan kondisi yang kondusif pada saat memberikan stimulasi dan upaya pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan anak.
PAUD adalah ilmu multi dan interdisipliner, artinya tersusun oleh banyak disiplin ilmu yang saling terkait. Ilmu Psikologi perkembangan, ilmu Pendidikan, Neurosains, ilmu Bahasa, ilm Seni, ilmu Gizi, ilmu Biologi perkembangan anak, dan ilmu-ilmu terkait lainnya saling erintegrasi untuk membahas setiap persoalan PAUD. Untuk mengembangkan kemapanan intelektual anak, diperlukan berbagai kegiatan yang dilandasi dengan ilmu psikologi, ilmu pendidikan, ilmu matematika untuk anak, sains untuk anak, dan seterusnya
Pembelajaran pada PAUD bersifat holistik dan terpadu. Pembelajaran mengembangkan semua aspek perkembangan, meliputi (1) moral dan nilai-nilai agama, (2) sosial-emosional, (3) kognitif (intelektual), (4) bahasa, (5) Fisik-motorik, (6) Seni. Pembelajaran bersifat terpadu yaitu tidak mengajarkan bidang studi secara terpisah. Satu kegiatan dapat menjadi wahana belajar berbagai hal bagi anak. Bermain sambil belajar, dimana esensi bermain menjiwai setiap kegiatan pembelajaran amat penting bagi PAUD. Esensi bermain meliputi perasaan senang, demokratis, aktif, tidak terpaksa, dan merdeka menjadi jiwa setiap kegiatan. Pembelajaran hendaknya disusun sedemikian rupa sehingga menyenangkan, membuat anak tertarik untuk ikut serta, dan tidak terpaksa.Guru memasukkan unsur-unsur edukatif dalam kegiatan bermain tersebut, sehingga anak secara tidak sadar telah belajar berbagai hal.
Materi pembelajaran PAUD juga amat variatif. Ada pendapat yang menyatakan bahwa PAUD hanya mengembangkan logika berpikir, berperilaku, dan berkreasi. Adapula yang menyatakan bahwa PAUD juga mempersiapkan anak untuk siap belajar (ready to learn); yaitu siap belajar berhitung, membaca, menulis. Ada pula yang menyatakan bahwa materi pembelajaran bebas, yang penting PAUD mengembangkan aspek moral-agama, emosional, sosial, fisik-motorik, kemampuan berbahasa, seni, dan intelektual.
PAUD membimbing anak yang premoral agar berkembang ke arah moral realism dan moral relativism. Pembelajaran membimbing anak dari yang bersifat egosentris-individual, ke arah prososial, dan sosial-komunal. Pembelajaran juga melatih anak menganal jati dirinya (self identity), menghargai dirinya (self esteem), dan kemampuan akan dirinya (self efficacy). Banyak pertanyaan dari guru dan orangtua tentang bolehkan mengajarkan anak berhitung, membaca, dan menulis. Bukannya tidak boleh mengajarkan semua itu, tetapi yang penting ialah anak sudah siap dan guru menggunakan cara-cara yang sesuai untuk belajar anak.
Berdasarkan muatan pembelajaran pada PAUD diatas, dan sesuai dengan Kompetensi TK/RA 2004 dan Menu Pembelajaran Generik 2002 serta   Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 58 Tahun 2009 Tanggal 17 September 2009 tentang Standar Pendidikan Anak Usia Dini, bahwa Standar PAUD terdiri atas empat kelompok, yaitu: (1) Standar tingkat pencapaian perkembangan;               (2) Standar pendidik dan tenaga kependidikan; (3) Standar isi, proses, dan penilaian; dan (4) Standar sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan. dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran di PAUD tidaklah mudah, karena itu memerlukan Tenaga pendidik yang memiliki kompetensi di bidangnya. Hal ini kontradiktif  dengan kenyataan di lapangan, banyak sekali guru-guru PAUD yang hanya lulusan SMP atau SMA. Padahal  Kualifikasi dan kompetensi guru PAUD didasarkan pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru adalah 1) memiliki ijazah D-II PGTK dari Perguruan Tinggi terakreditasi; atau 2) memiliki ijazah minimal Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat dan memiliki sertifikat pelatihan/pendidikan/kursus PAUD yang terakreditasi.
Kondisi kurangnya tenaga pendidik PAUD ini, juga disebabkan oleh terbatasnya Prodi PAUD di Indonesia, jadi bertambah persoalan pada pendidikan PAUD yaitu kualitas tenaga pendidik disamping minat masyarakat untuk menjadi guru PAUD masih rendah karena dari sisi pendapatan seorang guru PAUD juga rendah, apalagi bagi guru PAUD yang berada di desa terpencil. Penulis memberikan alternative solusi bagi permasalahan ini:
  1.  Pemerintah hendaknya meningkatkan pendapatan bagi guru PAUD, dengan memberikan tunjangan beasiswa studi lanjut bagi yang belum memenuhi kualifikasi akademik, dan bentuk tunjangan yang bisa meningkatkan kesejahteraan guru PAUD. Konsekuensinya Anggaran Pembangunan di bidang pendidikan PAUD juga harus dinaikka.;
  2. Izin untuk mendirikan Prodi PAUD/PGTK hendaknya dipermudah tanpa mengurangi persyaratan dan ketentuan yang berlaku, sehingga dapat dicetak calon tenaga pendidik yang kompeten, bila diperlukan terbentuk sebuah kerjasama dengan pemerintah dalam bentuk ikatan kontrak kerja/ikatan dinas bagi lulusan LPTK PAUD untuk ditempatkan di daerah terpencil
  3. Kerjasama yang sinergis dengan HIMPAUDI, PTK-PNF, dan masyarakat untuk menumbuhkan kesadaran pentingnya pendidikan PAUD.
3. Kesadaran Orang Tua Terhadap PAUD
Salah satu faktor yang menyebabkan lambatya pertumbuhan anak usia di ni adalah kesadaran masyarakat terhadap urgensinya Pendidikan anak usia dini. banyak orang tua beranggapan masa sekolah adalah berawal belajar formal di kelas satu SD, sehingga lima tahun pertama berlalu begitu saja di rumah tanpa stimulasi yang optimal dari orang tua. Kebanyakan orang tua, terutama yang tinggal di pedalaman dan tidak memiliki pendidikan yang cukup, tidak mempunyai wawasan tentang perkembangan anak yang cukup sehingga mereka tidak menguasai pendidikan anak usia dini di rumah. Padahal, keluarga adalah lingkungan pertama dan utama yang akan memberikan pijakan dasar bagi perkembangan anak selanjutnya.
Yussen & Santrock (1980) mengatakan bahwa kemampuan sosialisasi anak sangat terkait dengan orang-orang di sekeliling anak yang disebut agen sosial, yaitu setiap orang yang berhubungan dengan seorang anak misalnya ayah dan ibunya, pengasuh, teman sebaya, guru dan keluarga lainnya dan orang tersebut mempengaruhi perilaku. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Allison Clarke-Stewart dalam Yussen & Santrock (1980) terhadap ibu dan anak menunjukkan bahwa perilaku ibu dan anak terbentuk dalam satu faktor yang kompleks dari “ibu yang baik” yang disebut pengasuhan ibu yang optimal /optimal maternal care. Menjadi ibu yang baik menurut Arce (2000) membutuhkan pemahaman yang baik terhadap perkemmbangan anak. Artinya memahami bagaimana anak berubah sepanjang hidupnya baik fisik, perilaku, dan karakteristik berfikir, karena itu mengajar anak yang baik berarti harus mempelajari anak itu sendiri.
Hal yang perlu disadari oleh orang tua adalah bahwa anak yang mendapat pelayanan pendidikan anak usia dini, perkembangan aspek-aspek fisik dan psikisnya akan meningkat dan berkembang dengan lebih optimal dibandingkan anak yang tidak melalui PAUD. Dalam beberapa kasus, banyak kita dapatkan orang tua yang menyekolahkan anaknya di PAUD, tetapi setelah itu semua diserahkan kepada guru saja, tanpa ada upaya orang tua untuk mengetahui dengan berdiskusi dengan guru mengenai perkembangan.
Menurut penulis, solusi yang dapat diberikan untuk masalah-masalah ini adalah: 

·         Materi tentang pentingnya PAUD seyogyanya  diberikan kepada semua masyarakat dan terintegrasi dalam kurikulum pada pendidikan formal, mulai dari SD, SMP, SMA, sampai PT. ini adalah langkah jangka panjang untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat.

·       Diberikan pembekalan kepada calon pengantin baru yang dikemas dalam bentuk pelatihan pra nikah atau bentuk lainnya tentang pelayanan minimal terhadap anak serta perkembangan anak. Pemerintah atau swasta dapat menyelenggaranak parenting school. 

·       Kerjasama antara Kemdiknas, Depsos, Depkes, Depag wilayah setempat dengan tokoh masyarakat untuk door to door  kepada masyarakat yang memiliki anak usia dini untuk pembinaan agar memasukkan anaknya di PAUD.

·      Bagi masyarakat yang tidak mampu, maka akan mendapatkan kesempatan gratis bersekolah di PAUD.


D.      Penutup
Perkembangan Paud di Indonesia pada decade terakhir ini memang mengalami kemajuan, meskipun masih belum menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Membenahi masalah PAUD memerlukan proses yang terus diupayakan dan good will dari semua pihak. Terobosan baru perlu dirintis untuk memberdayakan dan mensinergikan potensi yang ada di masyarakat untuk mewujudkan layanan tumbuh kembang anak yang baik.

E.  Kepustakaan 
Direktorat PAUD. 2007. Pedoman Sosialisasi dan Pemasyarakatan Program Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Direktorat PAUD. 
Permendiknas No. 36 tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementrian Pendidikan Nasional. Jakarta: Kemdiknas. 
Permendiknas No. 58 Tahun 2009 tentang Standar Pendidikan PAUD. Jakarta: Kemdiknas.
Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Kajian Kebijakan Kurikulum Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Badan Penelitian Dan Pengembangan Depdiknas 
Undang-undang No. 2o tahun 2003 tentang system pendidikan nasional. Jakarta: Depdiknas.
Unesco. 2011.  Education For All Global Monitoring Report. The Hidden Crisis; Armed Conflict and Education. France: Unesco Publishing.
Yussen, Steven R., John W Santrock. 1980. Child Development: An Introduction IOWA: WCB.