Dr. Hariyanto (Penulis) |
Akhir-akhir
ini jagat media sosial dihebohkan dengan berita tentang ratusan pelajar yang
mengajukan dispensasi kawin di Ponorogo. Berita di media sosial tersebut
dipertegas lagi dalam berita di televisi. Apakah hanya terjadi di Ponorogo?
tentu saja tidak dispensasi kawin, begitu istilah yang digunakan juga berlaku
di seluruh wilayah Indonesia. Pengadilan Agama yang akan menerbitkan dispensasi
kawin tersebut dengan mekanisme dan aturan tertentu. Dispensasi kawin merupakan
pemberian izin kawin oleh pengadilan kepada calon suami/istri yang belum
berusia 19 tahun untuk melangsungkan perkawinan. Kewenangan pengadilan untuk
memberikan dispensasi kawin tersebut diatur dalam Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan. Disebutkan bahwa minimal perkawinan bagi perempuan dari 16 tahun
menjadi 19 tahun sebagai hasil pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi melalui
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019. Dilansir dari
website www.pa-ponorogo.go.id
diketahui bahwa pada tahun 2021 terdapat 266 jumlah
perkara dispensasi kawin. Sedangkan pada tahun Tahun 2022 masih terdapat 184
perkara.
Ratusan
remaja yang mengajukan dispensasi kawin inilah yang ditengarai menjadi berita
heboh, dan menjadi trending topic seolah mereka yang mengajukan tersebut
semuanya adalah pelajar dan mengalami “hamil di luar nikah”. Meskipun memang ada sebagian dari jumlah
tersebut adalah pelajar yang masih duduk di SMP dan SMA atau sederajat. Berapapun
jumlahnya pernikahan dini ini, tetapi jika seharusnya mereka masih duduk di
bangku sekolah, maka terdapat banyak hal yang harusnya menjadi perenungan semua
pihak baik pemerintah, sekolah, orang tua maupun lembaga/ organisasi-organisasi
kemasyarakatan yang memiliki kepedulian dalam bidang pendidikan.
Penguatan
Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter
bertujuan mengembangkan nilai-nilai yang membentuk
karakter bangsa yaitu Pancasila,
meliputi: (1) mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia berhati
baik, berpikiran baik, dan berprilaku baik; (2) membangun
bangsa yang berkarakter
Pancasila; (3) mengembangkan potensi warganegara agar
memiliki sikap percaya diri,
bangga pada bangsa dan negaranya serta mencintai umat
manusia (Pusat
Kurikulum dan Perbukuan, 2011). Pendidikan baik di sekolah maupun
di rumah harus mampu mengarahkan dan membentuk karakter anak. Apalagi sekarang
ini banyak sekali kasus-kasus yang terjadi. Seperti kenakalan remaja, tawuran,
asusila, juga narkoba yang semakin marak merusak kehidupan remaja. Secara teoritis
memang mudah disampaikan, tetapi praktiknya ternyata tidak mudah. Tindak
asusila yang dilakukan remaja, selanjutnya mengajukan dispensasi kawin
sebagaimana disebutkan di atas merupakan bukti bahwa penguatan pendidikan
karakter di sekolah dan masyarakat harus terus dilakukan. Tentu saja tidak
bijak jika adanya kasus tersebut kemudian menjadikan sekolah sebagai
satu-satunya kambing hitam. Karena masalah ini terjadi dikarenakan ada penyebab
lain yang harus kita cari dan dibenahi bersama.
Pendidikan agama dianggap paling mampu dalam membentuk karakter
anak. Menjadikan anak berahlak mulia. Tanggung jawab ini tentu tidak hanya
menjadi lembaga pendidikan keagamaan, atau organisasi masyarakat keagamaan
saja. Pemerintah , DPR juga turut memiliki andil besar dalam pengambilan
kebijakan terkait. Saat ini sekolah yang memiliki otonomi dalam pengelolaannya
banyak yang sudah menerapkan muatan keagamaan yang lebih, bahkan sebagai magnet
keunggulan sekolah. Misalnya: Baca Tulis Qur’an, Tahfidz Qur’an, bahkan sudah
ada sekolah yang mengharuskan peserta didiknya menghafal beberapa juz sebelum
lulus sekolah tersebut. Kebijakan seperti ini cenderung mendapatkan dukungan
dari masyarakat, terbukti dengan banyaknya jumlah peserta didik yang bersekolah
di sekolah semacam ini. Hal inilah yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah
dengan mengeluarkan kebijakan tertentu, misalnya dalam bentuk peraturan
bupati/wali kota yang mengharuskan peserta didik muslim harus hafal juz 30
sebelum dinyatakan lulus kelas VI SD, dan seterusnya sesuai jenjang
pendidikannya. Tentu saja kebijakan tersebut harus diimbangi dengan para guru
yang selalu siap menjadi figur yang dapat diteladani murid-muridnya.
Orang tua memiliki peran yang sangat besar dalam mendidik anak-anaknya. Sinergi orang tua dengan lembaga pendidikan seharusnya dibangun kuat. Saling melengkapi dan saling menguntungkan. Tidak boleh orang tua hanya menyerahkan urusan pendidikan hanya kepada sekolah dengan dalih sudah membayar biaya pendidikan. Visi masa depan anak dipersiapkan oleh orang tua, usaha orang tua yang dibantu para guru di sekolah, lingkungan masyarakat dan tentu saja pada anak itu sendiri. Dari jumlah 184 remaja tersebut tentu tidak semua berasal dari keluarga yang lengkap kedua orang tua. Bisa jadi orang tuanya sudah meninggal sehingga pengasuhannya oleh kakek/ neneknya, bisa jadi karena orang tuanya merantau ke luar negeri, sehingga semua kebutuhan ekonomi tercukupi, tetapi secara psikologis kebutuhan anak tidak terpenuhi. Kondisi tersebut menyebabkan anak mencari perhatian dengan cara yang salah. Jika kedua orang tua masih ada, maka sangat memungkinkan karena cara pengasuhan yang kurang tepat, komunikasi tidak dibangun dengan anak secara baik. Waktu yang diberikan untuk memberikan perhatian dan kasih sayang dianggap oleh anak masih kurang. Implementasi nilai-nilai keagamaan tidak diterapkan dengan baik di rumah. Orang tua gagal menjadi figure yang bisa diteladani anak dalam menjalankan perintah agamanya. Karena itu, saatnya bagi semua orang tua untuk megevaluasi pengasuhannya kepada anak-anaknya. Pendidikan di rumah dari orang tua adalah kesinambungan dengan pendidikan yang diterapkan di sekolah.
Peran Pemerintah dan Masyarakat
Kerjasama pemerintah
dan masyarakat perlu dibangun. Tidak mudah menyadarkan masyarakat, tetapi bukan
berarti tidak bisa. Pendekatan kepada beberapa tokoh masyarakat untuk dijadikan
corong pemerintah dalam pendidikan dan menyadarkan masyarakat bahwa masa depan Indonesia ini tergantung
pada generasi saat ini. Generasi yang cerdas tetapi juga tidak lupa dan tetap
menghormati norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Dinas kesehatan,
BKKBN, Dinas Pendidikan, Kementeriaan Agama, Yayasan penyelenggara pendidikan,
dan organisasi lainnya tidak boleh surut dalam memberikan pembinaan kepada
masyarakat akan dampak pernikahan yang masih dibawah umur, BKKBN dan Dinas
Kesehatan melalui program-program kerjanya dapat secara terjadwal untuk
memberikan pendidikan kesehatan reproduksi remaja. Begitu juga dengan kalangan
pendidikan tinggi, dapat melibatkan dosennya untuk keperluan pengabdian kepada
masyarakat dengan memberikan pelatihan dan pendidikan yang relevan.
Keberhasilan
upaya beberapa pihak tersebut diatas dapat diketahui dengan cara yang mudah,
yaitu apabila terjadi penurunan yang signifikan atas jumlah dispensasi kawin
pada akhir tahun 2023. Semoga... (HAR, 14/1/23)