f ' Inspirasi Pendidikan

Inspirasi Pendidikan untuk Indonesia

Pendidikan bukan cuma pergi ke sekolah dan mendapatkan gelar. Tapi, juga soal memperluas pengetahuan dan menyerap ilmu kehidupan.

Bersama Bergerak dan Menggerakkan pendidikan

Kurang cerdas bisa diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur itu sulit diperbaiki (Bung Hatta)

Berbagi informasi dan Inspirasi

Tinggikan dirimu, tapi tetapkan rendahkan hatimu. Karena rendah diri hanya dimiliki orang yang tidak percaya diri.

Mari berbagi informasi dan Inspirasi

Hanya orang yang tepat yang bisa menilai seberapa tepat kamu berada di suatu tempat.

Mari Berbagi informasi dan menginspirasi untuk negeri

Puncak tertinggi dari segala usaha yang dilakukan adalah kepasrahan.

Selasa, 09 Mei 2023

TATA PERSURATAN

 BAGIAN-BAGIAN SURAT DINAS/RESMI

Sahabat Inspirasi Pendidikan, Surat menjadi bagian penting dalam komunikasi bagi sebuah organisasi, khususnya komunikasi secara tertulis. Karena surat bisa dianggap sebagai duta dari sebuah organisasi/ institusi, maka penulisannya harus sesuai dengan kaidah yang berlaku secara umum baik dari segi penulisannya maupun tata bahasa yang digunakan. Secara umum surat dinas atau surat resmi memiliki bagian-bagian yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi bahwa surat tersebut temasuk kategori.  antara lain:

  1. Kepala surat/kop surat          9.   Paragraf isi
  2. Tanggal surat                           10. Paragraf  penutup
  3. Nomor surat                             11. Salam penutup
  4. Lampiran                                  12. Tanda tangan
  5. Hal/pokok surat                      13. Nama jelas
  6. Alamat yang dituju                 14. Nama jabatan
  7. Salam pembuka                       15. Tembusan
  8. Paragraf pembuka                   16. Inisial
Berikut ini penjelasan singkat untuk masing-masing bagian surat:

1.        1.  Kepala Surat/Kop Surat, fungsinya:

a.      Memberikan informasi kepada penerima surat mengenai nama, alamat, nomor telepon, faksimile, dan keterangan lain yang berkaitan dengan instansi pengirim surat.

b.     Sebagai sarana untuk memperkenalkan atau mempromosikan instansi pengirim surat.


2.     2. Tanggal Surat

Fungsinya: untuk memberitahukan kepada penerima surat tentang waktu penulisan surat itu.

Contoh (yang tidak tepat):

                Tanggal 25 Bulan Juni Tahun 2009

                Bandung, 31-04-2009

                24 Des ’08

Contoh (yang tepat):

                25 Juni 2009

                31 April 2009

                24 Desember 2008

   3.      Lampiran

  Fungsinya: Digunakan untuk memberitahukan kepada   penerima surat bahwa ada sesuatu yang disertakan bersama surat.

  Jika tidak ada sesuatu yang disertakan, kata lampiran tidak perlu dicantumkan

Contoh penulisan yang tidak tepat:

          Lampiran: 5 (lima) lembar

          Lampiran: Satu (1) berkas

          Lampiran: -

Contoh penulisan yang tepat:

          Lampiran: Lima lembar

          Lampiran: Satu berkas

   4.      Hal Surat/Pokok Surat

   Fungsinya:

1) Memberitahukan kepada penerima                 surat tentang pokok masalah yang ditulis di dalam surat.

2) Agar efektif, hal surat sebaiknya tidak ditulis terlalu panjang, tetapi jelas dan dapat mencakup seluruh isi surat.

 

Contoh penulisan yang tidak tepat:

 

Hal: Undangan untuk menghadiri Rakernas

         tanggal 5 Juli 2008


Contoh penulisan yang tepat:

Hal: Undangan


5.         5. Alamat yang Dituju

   Fungsinya:

 -  Berfungsi sebagai petunjuk langsung mengenai pihak yang harus menerima surat.

- Unsur alamat hendaknya ditulis lengkap tidak disingkat.

Contoh penulisan yang tidak tepat:

                Kepada Yth. Bapak Kepala Pusat Bahasa

                                Jln. Daksinapati Barat IV

                                Rawamangun

                                JAKARTA

Contoh penulisan yang tepat:

                                Yth. Kepala Pusat Bahasa

                                Jalan Daksinapati Barat IV

                                Rawamangun

                                Jakarta 13220

 

6.     6 Salam Pembuka

Fungsinya:

     Sebagai tanda hormat penulis surat kepada penerima surat

     Penanda surat yang sopan dan beradab

     Dapat diibaratkan sebagai “ketukan pintu” atau ucapan salam ketika seseorang akan bertamu ke rumah orang lain.

     Pencantuman salam pembuka itu dianjurkan pada sebelah   kiri sejajar dengan margin kiri.

Misalnya:

        Dengan hormat,

        Bapak … yang terhormat

        Salam sejahtera,

        Assalamu’alaikum wr.wb


7.      7. Paragraf Pembuka

·         Bagian ini berfungsi untuk mengantarkan pembaca pada permasalahan utama yang ditulis.

·         Fungsi utama paragraf pembuka adalah untuk menghubungkan pikiran pembaca dengan pokok masalah yang disampaikan.

Misalnya:

(1)    Sehubungan dengan surat Saudara No.05/1180/I/Bangda, tanggal 25 Juni 2008, kami beri tahukan hal-hal berikut.

(2)    Kami beri tahukan bahwa…

(3)    Surat Saudara No. 005/1180/I/Bangda, tanggal 25 Juni 2008, sudah kami terima dengan baik. Sehubungan dengan itu, kami beri tahukan bahwa…

(4)    Sehubungan dengan surat Saudara tanggal 12 Desember 2009, Nomor 1415/K2/2009, tentang syarat-syarat sayembara, kami beritahukan hal-hal berikut.

(5)    Sesuai dengan pembicaraan kita minggu yang lalu, bersama ini kami sampaikan kepada Saudara daftar buku terbitan kami tahun 2009.

(6)    Berkenaan dengan surat Saudara tanggal 10 Agustus 2009, Nomor 162/TU/K/2009, tentang penyuluhan kesehatan, kami beritahukan bahwa ….

(7)    Sehubungan dengan pertanyaan Anda tentang arti kata bina graha melalui surat tanggal 9 Desember 2009, kami berikan jawaban sebagai berikut.

 

8.     8.  Paragraf Isi, merupakan bagian inti dari sebuah surat.

(1)   Berisi pokok persoalan yang ingin disampaikan.

(2)  Pokok persoalan itu diharapkan memperoleh  tanggapan, jawaban, atau reaksi yang positif        sesuai dengan harapan penulis surat.

(3)  Paragraf isi hendaknya hanya mengungkapkan satu masalah.

(4)  Jika ada dua masalah atau lebih, masing-masing hendaknya diungkapkan dalam paragraf yang berbeda.

 

9.      9. Paragraf Penutup

      Merupakan bagian akhir dari sebuah surat.

      Berfungsi untuk menyatakan bahwa pembicaraan sudah selesai.

      Biasanya mengungkapkan harapan dan ucapan terima kasih.

Misalnya:

(1)    Atas permintaan Saudara, kami sampaikan terima kasih.

(2)    Atas kesediaan Saudara, kami sampaikan terima kasih.

(3)    Atas perhatian dan kerja sama Bapak, kami sampaikan  terima kasih.

(4)    Mudah-mudahan jawaban kami bermanfaat bagi Saudara.

 

Contoh yang Tidak Tepat:

(1)    Atas perhatiannya, diucapkan terima kasih.

(2)    Demikian atas bantuan Saudara, kami ucapkan terima kasih.

(3)    Demikian harap maklum, dan atas perhatian dan kerja samanya, diucapkan terima kasih.

(4)    Harap maklum adanya.

(5)    Demikianlah harap menjadikan periksa.

(6)    Demikian kami haturkan dan terima kasih.

 

11     10.  Salam Penutup

(1)  Dicantumkan di pojok kanan bawah, tepatnya di antara paragraf penutup dan tanda tangan pengirim surat.

(2)  Salam ini dapat diibaratkan sebagai “ucapan permisi” atau “pamitan” setelah seseorang bertemu atau berkomunikasi dengan baik.

(3)  Fungsinya antara lain: menunjukkan rasa hormat dan keakraban pengirim dan penerima surat. 

 

Misalnya:

        Salam kami,

        Hormat kami,

        Salam takzim,

                    Wasalam


11. Tanda Tangan

     Merupakan pelengkap surat dinas yang bersifat wajib  karena sebuah surat belum dapat dianggap sah jika belum ditandatangani oleh pejabat yang berwenang.

     Untuk surat-surat dinas di Indonesia, tanda tangan   penulis surat lazimnya juga dilengkapi dengan cap atau stempel instansinya sebagai penanda keresmian.

     Sekarang ini sudah mulai ada beberapa instansi/lembaga yang menggunakan tanda tangan digital yang berupa barcode. Hal ini dikarenakan banyaknya tanda tangan yang dipalsukan.

 

1       12. Tembusan

·       Berfungsi untuk memberitahukan kepada penerima bahwa surat  yang sama  juga dikirimkan kepada pihak lain yg dipandang perlu mengetahui isi surat  tsb.

·       Jika tidak ada yang diberi tembusan, kata “tembusan” tidak perlu dicantumkan.

·       Jika yg diberi tembusan lebih dari satu, pencantumannya disertai  dengan nomor urut.

·       Jika yang ditembusi hanya satu, nomor urut itu tidak perlu dicantumkan.

 Misalnya:

Tembusan:

1.    Direktur Jederal Pembangunan Daerah

2.    Kepala Biro Organisasi

3.    Kepala Biro Keuangan

 Contoh yang tidak tepat:

Tembusan:

1.     Kepada Yth. Direktur Jenderal Pembangunan daerah (sebagai laporan)

2.     Kepada Yth. Kepala Biro Organisasi

3.     Kepada Yth. Kepala Biro Keuangan

4.     Arsip

  13. Inisial

     Inisial adalah tanda tangan atau kode pengenal yg berupa singkatan nama pengonsep surat dan pengetik surat.

     Inisial ini bermanfaat untuk mengetahui nama pengonsep   dan pengetik surat sehingga jika terjadi kekeliruan   dalam  surat itu, pimpinan dengan mudah dapat mengecek  dan mengembalikannya kepada yang  bersangkutan  untuk diperbaiki.

      Penempatan inisial di bawah tembusan (jika surat yang  bersangkutan ada tembusannya).

 Misalnya:

      AM/ra

Senin, 27 Maret 2023

FILSAFAT ILMU


 


PENGERTIAN FILSAFAT ILMU
Oleh: Afrilia Eka Prasetyawati, S.Pd

 

Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dengan mendalami sebab-musabab terdalam. Dalam konteks ini filsafat menjadi upaya spekulatif untuk melukiskan realitas dan menentukan batas-batas pengetahuannya. Di sini ada pengandaian - pengandaian yang meliputi kebenaran-kebenaran. Dengan berfilsafat manusia diharapkan dapat menyelesaikan persoalan hidup secara kritis dan lebih bertanggung jawab. (Sudiantara, 3:2020)

Selanjutnya pembahasan yang terkait dengan filsafat ilmu. Istilah filsafat ilmu adalah gabungan dari dua kata yang masing-masing memiliki arti tersendiri. Sebab itu, sebelum diuraikan tentang pengertian filsafat ilmu sebagai suatu kesatuan, maka akan dikemukakan sedikit tentang pengertian masing-masingnya. Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa kata filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosophia. Dalam bahasa Inggris kata filsafat disebut dengan philosophy, sedangkan dalam bahasa Arab disebut dengan falsafah. Kata filsafat itu dapat diartikan cinta kebijaksanaan, cinta kearifan (love of wisdom) atau cinta pengetahuan. Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan. (Ibrahim, 153: 2017)

Filsafat ilmu merupakan salah satu cabang dari filsafat. Oleh karena itu maka kegunaan filsafat ilmu tidak dapat dilepaskan dari fungsi filsafat secara keseluruhan, yaitu sebagai alat:

  1. Mencari kebenaran dari segala fenomena yang ada.
  2. Mempertahankan, menunjang dan melawan atau berdiri netral terhadap pandangan filsafat lainnya.
  3. Memberikan pengertian tentang cara hidup, pandangan hidup dan pandangan dunia.
  4. Memberikan ajaran tentang moral dan etika yang berguna dalam kehidupan
  5. Menjadi sumber inspirasi dan pedoman untuk kehidupan dalam berbagai aspek kehidupan itu sendiri, seperti ekonomi, politik, hukum dan sebagainya (Suhandi,1989 dalam Sudiantara, 18: 2020).

Pendapat lainnya tentang pengertian Filsafat Ilmu berasal dari The Liang Gie (1996: 57-59) dalam Ibrahim (155:2017), Gie telah menghimpun beberapa definisi filsafat ilmu,  yaitu:

1. Robert Ackermann: Filsafat ilmu adalah sebuah tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini yang dibandingkan dengan pendapat-pendapat terdahulu yang telah dibuktikan.

2. Lews White Beck: Filsafat ilmu itu mempertanyakan dan menilai metode-metode pemikiran ilmiah, serta mencoba menetapkan nilai dan pentingnya usaha ilmiah sebagai suatu keseluruhan.

3. Cornelius Benjamin: Filsafat ilmu merupakan cabang pengetahuan filsafat yang menelaah sistematis mengenai dasar ilmu, metode-metodenya, konsep-konsepnya, serta letaknya dalam kerangka umum dari cabang pengetahuan intelektual.

4. May Brodbeck: Filsafat ilmu iu sebagai analisis yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan, dan penjelasan mengenai landasan-landasan ilmu.

5. The Liang Gie sendiri, berdasarkan sekumpulan definisi yang dikutipnya, merumuskan bahwa filsafat ilmu pengetahuan membahas landasan dari ilmu pengetahuan mencakup: konsep-konsep dasar, anggaran-anggapan dasar (asumsi dasar), asas-aas permulaan, struktur-struktur teoritis, dan kriteria kebenaran ilmiah.

Hermawan (2011) berpendapat filsafat ilmu adalah filsafat yang menelusuri dan menyelidiki seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya tentang segala sesuatu mengenai semua ilmu, terutama hakekatnya tanpa melupakan metodenya.

Sumarto (2017) menyatakan bahwa Filsafat ilmu adalah ikhtiar manusia untuk memahami pengetahuan agar menjadi bijaksana. Dengan filsalat ilmu ke absahan atau cara pandang harus bersifat ilmiah. Filsalat ilmu memperkenaIkan knowledge dan science yang dapat ditransfer melalui proses pembelajaran atau pendidikan.

Ernita (2019) berpandangan bahawa Filsafat Ilmu berusaha memperoleh pemahaman tentang ilmu pengetahuan secara jelas, benar dan lengkap, serta mendasar untuk dapat menemukan kerangka pokok serta unsur-unsur hakiki yang kiranya menjadi ciri khas dari ilmu pengetahuan yang sebenarnya, sehinga kita dapat menentukan identitas ilmu pengetahuan dengan benar, dapat menentukan mana yang termasuk ilmu pengetahuan, dan mana yang tidak termasuk dalam lingkup ilmu pengetahuan.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Filsafat ilmu adalah sebuah upaya yang dilakukan oleh manusia untuk mendapatkan ilmu secara meluas dan mendalam yang upaya tersebut didasarkan pada cintanya terhadap ilmu dan dimaksudkan untuk mendapatkan kebenaran yang hakiki dari suatu fenomena yang terjadi. Filsafat ilmu tersebut digunakan untuk menghasilkan sesuatu yang bisa menjadi pandangan hidup, basis moral dan etikan dalam berkehidupan.

 

Daftar Pustaka

Ernita. 2019. Buku Ajar Filsafat Ilmu. Medan: Wal Ashri Publishing

Hermawan, H. 2011. Filsafat Ilmu. Bandung: CV. Insan Mandiri

Ibrahim, D. 2017. Filsafat Ilmu: Dari Penumpang Asing untuk Para Tamu. Palembang: NoerFikri Offset.

Sudiantara, Y. 2020. Filsafat Ilmu. Semarang: Universitas Katolik Sugijapranata.

Sumarto. 2017. Filsafat Ilmu. Jambi: Pustaka Ma’arif Press


* Penulis adalah pemerhati di bidang pendidikan

Selasa, 14 Maret 2023

PEMBUDAYAAN PENDIDIKAN

 

PEMBUDAYAAN PENDIDIKAN

Oleh: Dr. Hariyanto, M.Pd

           Mengawali tulisan ini, terlebih dahulu penulis akan menjelaskan bahwa dengan menuliskan judul ”Pembudayaan Pendidikan” tidak berarti penulis  memisah dan hendak mencabut budaya dari pendidikan atau sebaliknya menceraikan pendidikan dari budaya. Karena pada dasarnya antara budaya dan pendidikan adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Antara pendidikan dan kebudayaan terdapat hubungan yang sangat erat dalam arti keduanya berkenaan dengan suatu hal yang sama yakni nilai-nilai. Dalam konteks kebudayaan justeru pendidikan memainkan peranan sebagai agen pengajaran nilai-nilai budaya. Pada dasarnya pendidikan yang berlangsung adalah suatu proses pembentukan kualitas manusia sesuai dengan kodrat budaya yang dimiliki.
    Theodore Brameld dalam karyanya “Cultural Foundation of Education” (1957) menyatakan adanya keterkaitan yang erat antara pendidikan dengan kebudayaan berkenaan dengan satu urusan yang sama, dalam hal ini ialah pengembangan nilai. Sementara itu Edward B. Tylor dalam karyanya "Primitive Culture" (1929) menulis apabila kebudayaan mempunyai tiga komponen strategis, yaitu sebagai tata kehidupan (order), suatu proses (process) , serta bervisi tertentu (goals), maka pendidikan merupakan proses pembudayaan. Masih menurut Tylor, tidak ada proses pendidikan tanpa kebudayaan dan tanpa adanya masyarakat; sebaliknya tidak ada kebudayaan dalam pengertian proses tanpa adanya pendidikan.
      Berdasarkan pengertian tersebut, kita bisa memposisi pendidikan dengan kebudayaan di dalam tata hubungan yang saling mempengaruhi (reciprocal relationship); atau pendidikan merupakan variabel yang mendorong terjadinya perubahan kebudayaan di dalam tata hubungan asimetris di mana suatu variabel mempengaruhi variabel yang lainnya (causal asymetrical relationship) . (Ki Supriyoko, 2003)
    Afinitas mengenai pendidikan dan kebudayaan dapat kita cermati dalam ciri khas manusia sebagai makhluk simbolik. Hanya manusialah yang mengenal dan memanfaatkan simbol-simbol di dalam kelanjutan kehidupannya. Simbol-simbol itu dapat kita lihat di dalam kebudayaan manusia. Mengingat kebudayaan dilestarikan dan dikembangkan melalui simbol-simbol maka semua tingkah laku manusia terdiri dari, dan tergantung pada simbol-simbol tersebut. Sebaliknya kebudayaan bisa lestari apabila memiliki daya kerja yang kuat dalam memberikan arahan para pendukungnya. Oleh karena itu kebudayaan diturunkan kepada generasi penerusnya lewat proses belajar tentang tata cara bertingkah laku. Sehingga secara wujudnya, substansi kebudayaan itu telah mendarah daging dalam kepribadian anggota-anggotanya.
    Pembudayaan pendidikan merupakan langkah dalam mewujudkan berlangsungnya proses pendidikan secara terus menerus sesuai dengan kondisi dan situasi dimana individu berada. Dalam masyarakat proses pembudayaan sebagai regenerasi terus berlangsung namun pembudayaan dalam pendidikan memiliki ketergeseran fungsi yang dipengaruhi oleh globalisasi dan berdampak pada perubahan sosial dan kebudayaan didalamnya mencakup hubungan antara kebudayaan dan kepribadian.
Selanjutnya yang akan dibahas sekarang adalah (1) Bagaimana pembudayaan pendidikan pada masyarakat Indonesia? (2) Bagaimana peran lembaga pendidikan sebagai agen budaya? (3) Apakah kendala-kendala pembudayaan pendidikan ?


 Pembudayaan Pendidikan Pada Masyarakat Indonesia
    Pembudayaan pendidikan pada masyarakat Indonesia pada hakekatnya merupakan proses pewarisan budaya di masyarakat dengan berbagai bidang, dapat diartikan pula membudayakan pemahaman masyarakat pada pendidikan untuk alih (transfer) keilmuan dan teknologi sebagai modal inovasi dalam peradaban masyarakat.
    Pendidikan nasional tidak saja tak terpisahkan dari budaya, falsafah dan amanat konstitusional bangsa Indonesia tetapi juga sebagai wahana untuk mewujudkannya dalam perikehidupan berbangsa dan bernegara senyatanya. Menurut Semiawan (1993:3), dalam konteks yang luas pembangunan sistem pendidikan nasional “merupakan suatu pendekatan budaya untuk meningkatkan pengalaman belajar manusia secara kreatif menjadi bermanfaat bagi kehidupan manusia pada umumnya, masyarakat Indonesia khususnya, sehingga suatu proses pendidikan selalu mengandung makna pembudayaan apa yang menjadi isi pendidikan tersebut. Dengan demikian pendidikan memiliki jangkauan yang lebih luas dari sekedar pembelajaran, karena mendidik berimplikasi membudayakan. Dalam satu konsep sederhana, pembudayaan adalah proses pencapaian hasil yang permanen berupa penghayatan segenap pengetahuan dan keterampilan yang didapat melalui pendidikan sehingga dengannya individu yang bersangkutan mampu berbuat atau melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupannya dan/atau kehidupan orang lain. Proses ini seyogyanya berlangsung seiring dengan proses pendidikan itu sendiri.
    Dengan demikian pembudayaan mensyaratkan ‘penghayatan’ dan ‘perbuatan’ nyata yang timbul pada individu sebagai hasil pendidikan, baik yang berlangsung dalam keluarga, di masyarakat, ataupun dalam lembaga pendidikan formal seperti sekolah. Dalam pengertian ini, hasil nyata pendidikan dapat dilihat dari seberapa tinggi penghayatan peserta didik terhadap apa yang diperolehnya melalui pendidikan serta seberapa ia mampu berbuat untuk memperoleh manfaat dari pendidikannya baik bagi dirinya sendiri maupun bagi masyarakatnya. Peserta didik yang memperoleh berbagai pengetahuan melalui proses pendidikan formal, misalnya, tetapi tidak pernah mengetahui manfaat dari apa yang diketahuinya itu, jelas tidak tersentuh oleh proses pembudayaan secara memadai. Peserta didik yang hanya melihat (disadarinya atau tidak) proses pembelajaran sebagai usaha untuk bisa menjawab soal-soal ujian atau untuk lulus atau memperoleh nilai bagus dalam evaluasi akhir merupakan contoh lain dari kurang memadainya sentuhan pembudayaan dalam pendidikan yang dialaminya.

      Peran Lembaga Pendidikan Sebagai Agen Budaya
    Sekolah sering berada dalam posisi yang ‘kurang mengenakkan’ dalam masyarakat. Di satu pihak, pandangan dan harapan masyarakat begitu tinggi terhadap sekolah dan cenderung berimplikasi bahwa sekolah ‘can do everything’ dan ‘can solve all problems,’ sehingga orang tua sering berpendapat bahwa dengan memasukkan putra-putrinya ke sekolah segala pendidikannya akan ‘beres.’ Di pihak lain, sebagai penyelenggara pendidikan, sekolah sering dilihat sebagai satu-satunya yang bertanggungjawab terhadap keberhasilan atau kegagalan pendidikan. Segala fenomena masyarakat yang bisa dihubungkan dengan tingkat keterdidikan pelaku-pelaku yang terlibat, terutama yang ber-implikasi negatif, akan secara otomatis dikaitkan dengan pendidikan dan, sehubungan dengan ini, sekolah sebagai institusi pendidikan akan langsung menjadi sorotan. Sementara perilaku masyarakat berkaitan erat dengan tingkat pendidikannya (Susanto, 2000), fenomena seperti korupsi, kebrutalan massa, amuk massa, kerusuhan, main hakim sendiri, kekurangdisiplinan, merapuhnya sopan santun, dan sejenisnya akan dihubungkan dengan kegagalan pendidikan, dan ini, paling tidak sebagiannya, dianggap kegagalan sekolah (periksa, misalnya, Supriyoko, 1999; Darmaningtyas, 1999; dan Amir Santoso, 2000).
    Hasil pendidikan di sekolah memang tidak sepenuhnya bisa dihubungkan dengan kebobrokan yang ada di masyarakat. Demikian juga berbagai situasi sosial, politik, ekonomi, dan hukum di masyarakat yang ada dalam posisi ‘krisis’ tidak mesti berkaitan  dengan hasil-hasil pendidikan di sekolah. Akan tetapi memang ada aspek-aspek tertentu dalam sistem penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang masih perlu dicermati, antara lain kurang diperhatikannya fungsi sekolah sebagai agen pembudayaan. Situasi ini bisa dikaitkan dengan kebijakan di tingkat makro, di samping praktik penyelenggaraan pendidikan secara mikro di sekolah-sekolah.
     Proses pembelajaran atau proses belajar-mengajar seperti yang terlaksana sekarang tidak secara otomatis merupakan proses pembudayaan dari mata pelajaran yang dipelajari atau diajarkan. Mata pelajaran yang diajarkan dengan hanya menekankan pada aspek pengalaman kognitif saja belum tentu ‘terbudayakan’ secara memadai pada peserta didik. Artinya, siswa mungkin menginternalisasi kemampuan komprehensi sampai kemampuan sintesis dalam mata pelajaran yang bersangkutan, tetapi tidak sampai menyentuh sisi afektifnya, sehingga tidak terjadi penghayatan terhadap mata pelajaran tersebut. Dengan kata lain, proses pembelajaran yang terjadi tidak sampai menimbulkan rasa senang atau kecintaan terhadap apa yang dipelajari. Sering yang terjadi adalah kebalikannya, yaitu rasa tidak senang, rasa tidak mampu, frustasi, dan sejenisnya yang pada akhirnya menimbulkan kebencian peserta didik terhadap mata pelajaran tertentu.
    Pembudayaan akan terjadi kalau proses pembelajaran, disamping merangsang dan melatih nalar kognitif peserta didik, juga menggugah secara memadai nalar afektifnya. Secara mikro, peranan metodologis-didaktis guru dengan segala kiat yang digunakannya akan cukup menentukan seberapa jauh sisi afektif siswa terhadap suatu mata pelajaran bisa diaktifkan dalam proses pembelajaran sehingga menggugah dan membangkitkan penghayatannya terhadap apa yang dipelajarinya itu. Dari sudut pandang lain, dituntut juga bahwa guru tidak hanya menekankan instructional effects mata pelajaran yang diajarnya tetapi juga memberikan perhatian yang cukup terhadap nurturant effects yang menyertai proses belajar mengajar itu.
    Di samping sebagai pengajar, guru adalah pendidik (Buchori, 1994) dan pembudaya (Napitupulu, 1999). Guru dituntut untuk membudayakan apa yang diajarkannya pada peserta didik. Misalnya di bidang matematika, proses belajar-mengajar bisa diarahkan untuk mengembangkan nilai-nilai ketelitian, keuletan, dan kejujuran dan sekaligus penghayatan terhadap matematika sebagai disiplin ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan, sehingga matematika tidak perlu menjadi ‘momok’ peserta didik. Hadiwardoyo (1993) menekankan bahwa guru sebagai pendidik harus mampu menggugah hati peserta didik untuk mempraktikkan atau mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam mata pelajaran dan juga harus menyadari bahwa proses ini berlangsung tahap demi tahap serta memerlukan integritas dan keteladanan yang mantap dari guru itu sendiri.
    Melalui proses belajar-mengajar guru juga bisa membudayakan IPTEK, yang sangat penting peranannya dalam mensejahterakan umat manusia. Sikap, ketekunan, dan curiosity peneliti bisa dibudayakan secara bertahap pada peserta didik, mulai dari proses mengidentifikasi masalah, mencari pemecahan, pengujian sampai pada pembuktian kebenaran. Yang penting adalah bahwa semua ini ditempuh dengan secara maksimal mengaktifkan kemampuan afektif peserta didik, di samping memberinya pengalaman kognitif yang diperlukan. Budaya baca-tulis juga sangat erat hubungannya dengan IPTEK sehingga perlu ditanamkan di kalangan peserta didik. Kegemaran dan kecintaan terhadap mem-baca, misalnya, tidak bisa dihasilkan dari proses pembelajaran membaca saja. Kebiasaan membaca yang baik dan menyenangkan adalah hasil pembudayaan. 
    Sekolah juga merupakan agen pembudayaan nilai-nilai kebangsaan dan budaya bangsa. Seperti telah dikemukakan di bagian depan tulisan ini, pendidikan nasional adalah wahana penanaman dan pengembangan budaya bangsa. Dalam pengertian yang luas, setiap bagian dari ikhtiar pendidikan tidak hanya harus mengacu kepada nilai-nilai budaya bangsa tetapi juga mampu menanamkan nilai-nilai tersebut pada peserta didik. Melalui pendidikan nasional dilakukan upaya memajukan kebudayaan nasional, yang harus diartikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kemampuan intelektual dan profesional, sikap, watak, dan kepribadian manusia Indonesia yang demokratis dan berbudaya (Soedijarto, 1999).
    Dalam era teknologi dan derasnya arus globalisasi dewasa ini pendidikan untuk memantapkan integritas nilai-nilai budaya dan integritas bangsa menempati posisi yang sangat krusial. Sering terjadi bahwa kemajuan IPTEK dan kesejahteraan dicapai oleh satu masyarakat bangsa dengan mengorbankan identitas dan kepribadian bangsanya. Hal ini mengisyaratkan bahwa kita dihadapkan pada tantangan dalam menyusun program pendidikan yang mampu menghasilkan manusia-manusia modern yang didukung oleh penguatan dalam pewarisan budaya dan identitas bangsa (Suryadi dan Tilaar, 1993). Raka Joni (1990) menggambarkan masyarakat Indonesia masa depan sebagai masyarakat moderen yang bernafaskan Pancasila. Kalau tujuan pendidikan nasional mengacu kepada masyarakat seperti ini, maka pendidikan nasional harus melakukan dua hal dalam waktu yang bersamaan: memoderenkan bangsa Indonesia dan melestarikan nilai-nilai budaya bangsa yang tersirat dalam Pancasila. 
    Sekolah sebagai agen pembudayaan dituntut untuk mampu menyelenggarakan pendidikan yang menanamkan nilai-nilai budaya bangsa dalam rangka menguatkan integritas dan kepribadian bangsa. Pada tingkat mikro, proses pembudayaan ini dilakukan melalui proses belajar-mengajar yang tidak bisa hanya diberikan melalui pengalaman kognitif, melainkan harus secara signifikan menyentuh kecerdasan afektif peserta didik. Penanaman nilai-nilai budaya bangsa melalui perpaduan antara logika, etika, dan estetika (Donosepoetro, 2000b) akan menggugah penghayatan dan kecintaan peserta didik terhadap nilai-nilai budaya bangsanya.

      Kendala-Kendala Pembudayaan Pendidikan
Kendala yang perlu dibahas dalam hubungannya dengan peningkatan mutu pendidikan di tanah air, khususnya yang berkaitan dengan pembudayaan melalui pendidikan di sekolah. Ada kendala di tingkat kebijakan (makro) dan ada pula kendala di tingkat sekolah (mikro).

    1. Kualifikasi Formal dan Sistem Pendidikan Guru
Mencermati kualifikasi formal dan sistem pendidikan guru yang berlaku saat ini di LPTK, beberapa hal perlu dicatat sebagai kelemahan. Pertama, kualifikasi formal guru, baik untuk jenjang pendidikan dasar maupun menengah, masih rendah. Yang ideal adalah bahwa guru SD dan SLTP sedikitnya berkualifikasi S1 (sarjana muda) dan guru sekolah menengah sedikitnya berkualifikasi S2 (magister). Kedua, kurikulum pendidikan guru di LPTK sangat didominasi oleh mata kuliah yang terlalu berorientasi kognitif. Ini bisa dilihat dari pembelajaran yang exam-oriented dan sistem evaluasi yang sangat mene-lantarkan kemampuan afektif mahasiswa. Ketiga, praktik pengalaman lapangan (PPL), di samping waktunya yang umumnya terlalu singkat, tidak menjamin sistem bimbingan yang profesional dan efektif. Keempat, sistem saringan melalui ujian masuk perguruan tinggi secara umum dan tersentralisir (SPMB, UMPTN, apapun namanya) kurang tepat untuk LPTK, karena tidak bisa membedakan antara calon yang betul-betul berminat menjadi guru dan yang sebenarnya tidak berminat tetapi ‘terpaksa.’
       Karena profesi guru sebagai pendidik dan pembudaya memerlukan kemampuan afektif yang tinggi, sistem pendidikan guru yang hanya menekankan pada kemampuan kognitif akan menjadi kendala bagi tersedianya tenaga guru yang betul-betul memenuhi kualifikasi pendidik dan pembudaya. Demikian juga tingkat kemampuan profesionalnya yang paspasan akan menjadi kendala baginya dalam menjalankan profesinya secara op-timal. Misalnya guru SD dengan kualifikasi D2 akan mengalami kesulitan kalau dituntut untuk meningkatkan kualitas pengajarannya melalui penelitian karena kemampuan meneliti belum dimilikinya. Praktik pengalaman lapangan yang tidak memadai tidak bisa menjamin bahwa lulusan LPTK memiliki kesiapan penuh sebagai pengajar, apalagi se-bagai pendidik dan pembudaya.
  Mahasiswa LPTK yang terjaring melalui ujian masuk perguruan tinggi yang diselenggarakan secara nasional (SPMB) belum tentu mempunyai minat dan kecintaan terhadap profesi guru, walaupun mereka telah memilih untuk masuk LPTK. Kalau ter-nyata mereka tidak berminat menjadi guru tetapi kemudian lulus dan diangkat sebagai guru, akan timbul masalah integritas yang serius sepanjang kariernya sebagai guru dan ini akan mengganggu pelaksanaan tugas-tugasnya. Dengan masalah seperti ini tentu saja dia tidak akan bisa menjadi pendidik dan pembudaya yang baik.

    2. Budaya Top-Down
    Budaya top-down yang menjadi ciri khas kebijakan pendidikan nasional selama ini ‘membunuh’ kreativitas sekolah dan guru. Budaya seperti ini juga mempengaruhi sikap guru terhadap peserta didiknya, yaitu guru akan menganut sikap ‘serba ditentukan dari atas. Kreativitas sekolah dalam mengelola pendidikan sesuai dengan situasi dan kondisi setempat-setempat sangat mempengaruhi efektivitas pendidikan. Kalau guru menganut budaya ‘serba ditentukan dari atas’ maka proses pembelajaran di kelas akan terpasung dalam suasana yang kaku sehingga kreativitas siswa akan mati. Sedangkan proses pembudayaan memerlukan kreativitas peserta didik, suasana bebas terbuka yang menyenangkan, dan hubungan guru-siswa yang demokratis. Dalam budaya top-down, peserta didik juga akan ‘membudayakan’ suasana ‘serba diatur’ sehingga prakarsa dan rasa tanggungjawabnya tidak berkembang. Budaya kritis dan mandiri tidak tumbuh, sementara budaya bergantung menjadi bertambah subur.
    Situasi seperti ini jelas merugikan pendidikan nasional dan akan berdampak terhadap budaya masyarakat terpelajar kita. Salah satu contoh budaya top-down yang mengingkari keanekaragaman daerah adalah kebijakan ‘buku paket.’ Kebijakan ini, di samping sering mengalami kendala teknis seperti kesulitan transportasi dari pusat ke daerah, juga melecehkan kewenangan dan kemampuan sekolah untuk mengatur pengelolaan pendidikan sesuai dengan aspirasi masyarakat lingkungannya. Tambahan lagi, kebijakan buku paket bisa menumbuhkan budaya KKN, yang tentu saja menjadi sebuah ironi yang menyakitkan dalam dunia pendidikan kita.
    Semoga degan diberlakukannya kurikulum merdeka, akan juga berdampak untuk mengikis hal-hal tersebut dan bukan bertambah menyuburkannya.

3.   Hubungan Guru-Siswa

    Seperti telah dikemukakan di bagian depan, hubungan guru siswa dalam konteks pembelajaran atau proses belajar-mengajar selama ini berpola top-down. Dengan pola ini, hubungan guru-murid menjadi kaku dan dominasi guru mewarnai interaksi pendidikan. Modus pendidikan seperti ini tidak bisa mengembangkan budaya demokrasi di sekolah dan ini akan berlanjut kelak di masyarakat. Kreativitas peserta didik juga terpasung sampai titik terendah.

4.   Faktor Pendukung Profesi Guru
    Di samping kendala rendahnya tingkat kesejahteraan dan kualitas profesional guru, beberapa faktor pendukung yang menopang profesi guru sering sangat minim ke-beradaannya di sekolah. Misalnya, untuk kebanyakan sekolah di tanah air, guru tidak memiliki ruang kerja yang memadai di mana dia bisa bekerja dengan nyaman pada wak-tu tidak berada di kelas. Yang ada hanya sebuah ‘common room’ yang kadang-kadang tidak cukup luas untuk memberikan kenyamanan walaupun hanya untuk melepaskan lelah. Sekolah juga tidak memiliki perpustakaan guru yang memadai, apalagi yang up to date. Fasilitas pendidikan lainnya umumnya juga sangat terbatas.
Berdasarkan uraian diatas, penulis dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :

1. Pembudayaan pendidikan pada masyarakat Indonesia pada hakekatnya merupakan proses pewarisan budaya di masyarakat dengan berbagai bidang, dapat diartikan pula membudayakan pemahaman masyarakat pada pendidikan untuk alih (transfer) keilmuan dan teknologi sebagai modal inovasi dalam peradaban masyarakat.

2.  Terdapat beberapa Kendala dalam hubungannya dengan peningkatan mutu pendidikan di tanah air, khususnya yang berkaitan dengan pembudayaan melalui pendidikan di sekolah. Ada kendala di tingkat kebijakan (makro) dan ada pula kendala di tingkat sekolah (mikro). Misalnya; Kualifikasi formal dan pendidikan guru, Budaya Top-Down, Relasi guru dengan Siswa di kelas, faktor pendukung profesi guru , dll. 

            Walaupun secara konseptual pembudayaan itu ‘bersenyawa’ dengan pendidikan, namun kenyataan dalam praktik tidak sepenuhnya mendukung hal itu. Berbagai kendala yang ada, baik di tingkat kebijakan maupun di tingkat sekolah, menyebabkan hampir tidak pernah pendidikan itu tersampaikan secara utuh di sekolah. Sekolah lebih banyak menyelenggarakan ‘pengajaran’ daripada pendidikan. Oleh karena itu sangat perlu diupayakan agar pendidikan yang kita selenggarakan betul-betul membudayakan apa yang dididikkan kepada peserta didik.

3.  Sekolah sebagai agen pembudayaan dituntut untuk mampu menyelenggarakan pendidikan yang menanamkan nilai-nilai budaya bangsa dalam rangka menguatkan integritas dan kepribadian bangsa. Pada tingkat mikro, proses pembudayaan ini dilakukan melalui proses belajar-mengajar yang tidak bisa hanya diberikan melalui pengalaman kognitif, melainkan harus secara signifikan menyentuh kecerdasan afektif peserta didik. Penanaman nilai-nilai budaya bangsa melalui perpaduan antara logika, etika, dan estetika akan menggugah penghayatan dan kecintaan peserta didik terhadap nilai-nilai budaya bangsanya.

---------------------
* Penulis adalah pemerhati di bidang pendidikan


MANUSIA, PENDIDIKAN DAN PERKEMBANGAN PERADABAN

 


MANUSIA, PENDIDIKAN DAN PERKEMBANGAN PERADABAN

Oleh: Dr. Hariyanto, M.Pd*

Manusia memiliki peran penting dalam perkembangan pendidikan dan peradaban suatu bangsa. Keberadaan manusia menjadi subyek sekaligus menjadi obyek dalam percaturan pendidikan yang pada akhirnya memberikan sumbangsih pada pasang surutnya peradaban. Untuk membahas lebih detail tentang korelasi ketiga unsur tersebut, maka kita akan memulainya dengan konsep manusia, kemudian pendidikan, dan yang terakhir adalah peradaban.

Manusia

Terdapat berbagai pandangan yang mencoba mengupas hakekat manusia. Dalam sudut pandang yang berbeda. dalam Perspektif filsafat: Menurut filsuf Plato: Manusia adalah makhluk berakal dan akal manusia berfungsi mengarahkan budi. Menurut filsuf Aristoteles: Manusia adalah binatang yang berfikir. Perspektif antropologi: Manusia tergolong primata yang paling sempurna jasmani dan rohani, sehingga tidak tertutup kemungkinan melahirkan perilaku dalam berbagai bentuk dan implikasinya. Perspektif psikologi modern: Bagi Aliran Behaviorisme, manusia adalah makhluk netral. Ketika manusia dilahirkan, pada dasarnya tidak membawa bakat apa-apa. Manusia akan berkembang berdasarkan stimulasi dalam lingkungannya. Bagi Aliran Psikoanalisis: Manusia adalah makhluk yang hidup atas bekerjanya dorongan seksualitas yang memberi daya pada eqo (kesadaran terhadap realitas kehidupan dan super eqo (kesadaran normatif). Perspektif Psikologi humanistik: Manusia pada dasarnya punya potensi yang baik dan kemampuan yang tak terhingga serta memiliki otoritas atas kehidupannya sendiri. Manusia memiliki kualitas insani yang unik yaitu (kemampuan abstraksi, daya analisis dan sisntesis, imajinasi, kreativitas, kebebasan kehendak, tanggungjawab, aktualisasi diri, sikap etis dan estetika. Perspektif psikologi tranpersonal: Perspektif ini merupakan lanjutan dari psikologi humanistik. yaitu; Manusia memiliki potensi luhur dalam bentuk dimensi spiritual dan fenomena kesadaran transendental (manusia memiliki pengalaman subjektif transendental dan pengalaman spiritual). Perspektif Pendidikan: Manusia adalah homo edukatif. Ketidakberdayaan manusia ketika lahir menjadi peluang bahwa manusia adalah makhluk yang dapat dididik. Perspektif Sosiologi : Manusia adalah homo sosio yaitu makhluk bermasyarakat. (Rahmat, 2010).

Tirtaraharja dan Sulo (2005) memaparkan sifat hakekat manusia yaitu (1) Kemampuan menyadari diri, (2) Kemampuan bereksistensi, (3)Pemilikan kata hati, (4)Moral, (5) Kemampuan bertanggung jawab, (6) Rasa kebebasan (kemerdekaan), (7) Kesediaan melaksanakan kewajiban dan menyadari hak Kemampuan menghayati kebahagiaan.

Berbagai perspektif tentang manusia di atas menunjukkan betapa kompleks dan potensi dasar yang dimiliki manusia. Dalam sudut pandang agama Islam sesungguhnya Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk-Nya yang termulia. Kemuliaan penciptaan manusia mencakup dua aspek yang sangat menonjol, yaitu kesempurnaan jasmani dan kesempurnaan rohani. Dilihat dari bentuk jasmani (fisik), nampak betapa sempurna rupa dan keindahannya. Keseimbangan bentuknya serasi dengan fungsi organ tubuhnya. Dari segi psikhis, nampak betapa manusia diberikan banyak kelebihan dibandingkan dengan makhluk Allah SWT. yang lainnya. Dua aspek yang sangat sempurna menyatu dalam suatu bentuk makhluk Allah SWT., yang bernama manusia (Yusuf, 2018).

Pendidikan

Manusia tidak bisa dilepaskan dari pendidikan. Sejak manusia pertama diciptakan sesungguhnya sudah dimulai proses pendidikan tersebut. Qur’an Surat Al Baqarah ayat 31 yang artinya: “ dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar!”

Ayat di atas, mengindikasikan dua hal: pertama: bahwa sejarah pendidikan lahir bersamaan dengan sejarah kadatangan manusia, dan kedua: pendidikan inheren dengan kehidupan manusia.

Dalam perspektif teori pendidikan modern, ayat di atas, juga menjelaskan lima unsur pokok dalam dalam proses pendidikan dan pembelajaran, yaitu: (1) pendidik, yaitu Allah swt, (2) peserta didik, yaitu Adam a.s., (3) materi pendidikan yaitu pembelajaran tentang nama-nama benda, (4) metode yaitu bagaimana Allah swt mengajarkan Adam tentang nama-nama benda tersebut, (5) evaluasi, yaitu Adam diuji kemampuannya dengan menyebutkan nama-nama benda yang telah diajarkan kepadanya.

Unsur-unsur pokok dalam pendidikan tersebut jika kita terapkan dalam perspektif pendidikan saat ini adalah  Peserta didik. Peserta didik  berstatus sebagai subjek didik dalam suatu pendidikan. Peserta didik merupakan seseorang yang memiliki potensi fisik dan psikis, seorang individu yang berkembang serta individu yang membutuhkan bimbingan dan perlakuan manusiawi. Peserta didik juga memiliki kemampuan untuk mandiri. Peserta didik juga tidak memandang usia.  Pendidik, Pendidik adalah orang yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan pendidikan dengan sasaran peserta didik. Pendidik bisa berasal dari lingkungan pendidikan yang berbeda, misalnya lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Oleh karena itu, seorang pendidik bisa berupa orang tua, guru, pemimpin masyarakat dan lain-lain. Pendidik juga harus memiliki kewibawaan dan kedewasaan, baik rohani maupun jasmani. Interaksi edukatif, Interaksi edukatif adalah komunikasi timbal balik antara peserta didik dengan pendidik yang terarah kepada tujuan pendidikan. Pencapaian tujuan pendidikan secara optimal ditempuh melalui proses berkomunikasi intensif dengan manipulasi isi, metode serta alat-alat pendidikan. Ketika pendidik memberi bahan ajar berupa materi pelajaran dan contoh-contoh. diharapkan adanya respon yang baik dari para peserta didik dengan tetap menjunjung sifat saling menghargai satu sama lain. Tujuan pendidikan, Tujuan pendidikan merupakan hal yang ingin dicapai dalam proses pembelajaran dan tujuan ke arah mana bimbingan ditujukan. Secara umum tujuan pendidikan bersifat abstrak karena memuat nilai-nilai yang sifatnya abstrak. Tujuan demikian bersifat umum, ideal dan kandungannya sangat luas sehingga sulit untuk dilaksanakan di dalam praktek. Alat dan metode pendidikan, adalah segala sesuatu yang dilakukan ataupun diadakan dengan sengaja untuk mencapai tujuan pendidikan. Alat pendidikan merupakan jenisnya sedangkan metode pendidikan melihat efisiensi dan efektifitasnya. Contoh alat pendidikan adalah komputer, sosial media, buku ajar dan alat peraga. Sedangkan metode pendidikan merupakan cara penyampaian materi pendidikan dari pendidik pada peserta didik. Materi Pendidikan, Materi pendidikan merupakan bahan ajar dalam suatu pendidikan dan merupakan pengaruh yang diberikan dalam bimbingan. Dalam sistem pendidikan persekolahan, materi telah diramu dalam kurikulum yang akan disajikan sebagai sarana pencapaian tujuan. Kurikulum ini menampung materi-materi pendidikan secara terstruktur. Mater iini meliputi materi inti maupun muatan lokal.   Lingkungan Pendidikan, Lingkungan pendidikan merupakan tempat dimana peristiwa bimbingan atau pendidikan berlangsung. Secara umum lingkungan pendidikan dibagi menjadi tiga yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Ketiganya sering disebut sebagai tri pusat pendidikan.

Unsur-unsur utama pendidikan di atas menyatu dengan segenap kualitas yang dimiliki di setiap unsur tersebut, maka akan memberikan sumbangan besar dalam peradaban suatu bangsa.

 Peradaban

Peradaban (civilization): sisi material dan instrument dari kebudayaan manusia yang lazimnya terangkum dalam bentuk sains, teknologi dan situs-situs. Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa  peradaban adalah akumulasi fenomena kemajuan materi, keilmuan, seni, sastra dan sosial pada suatu kelompok masyarakat atau beberapa kelompok masyarakat. A civilization is a complex human society that may have certain characteristics of cultural and techonological development.  https://education.nationalgeographic.org/resource/civilizations/).Civilization is an advanced state of human society, in which a high level of culture, science, industry, and government has been reached. (https://www.dictionary.com/browse/civilization).

Berdasarkan pengertian di atas, dapat diketahui bahwa kemajuan suatu peradaban ditandai dengan karya-karya adiluhung di zamannya. dan tentu saja karya-karya tersebut dihasilkan melalui sebuah proses pendidikan.

Merujuk pada tujuan pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu: Berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Jika tujuan tersebut dapat diwujudkan dengan baik, melalui proses yang unggul, menghasilkan produk yang unggul, maka keberadaan pendidikan dapat memberikan sumbangsih yang baik terhadap kemajuan peradaban suatu bangsa.

Sumbangsih pendidikan terhadap peradaban juga dapat dilihat dari beberapa hal:

  1. Pendidikan menjadi titik tolak dan srategi utama dalam membentuk manusia yang   berkualitas, insan yang paripurna;
  2. Pendidikan merupakan satu-satunya usaha yang dapat membawa manusia kepada kehidupan yang bermartabat;
  3. Pendidikan dituntut untuk mampu memperkenalkan nilai-nilai yang diperlukan di masa depan, mengajarkannya dan mengembangkannya dalam diri anak didik, sehingga kelak tidak hanya mampu mandiri tetapi juga menjadi modal sosial.

Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan tentang manusia, pendidikan, dan korelasinya terhadap peradaban sebagai berikut:

  1. Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk-Nya yang termulia. Kemuliaan penciptaan manusia mencakup dua aspek yang sangat menonjol, yaitu kesempurnaan jasmani dan kesempurnaan rohani;
  2. Kenyataan hidup manusia menunjukkan bahwa manusia mengalami kehidupan yang dinamis. Dinamika kehidupan tersebut tercermin dari upaya manusia untuk hidup lebih baik dari waktu ke waktu. Mengapa demikian, tidak lain karena kemampuan manusia yang dianugerahkan oleh Allah SWT., sebagai makhluk yang sempurna;
  3. Upaya untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, dapat dilakukan melalui pemerolehan pendidikan yang baik;
  4. Kebudayaan dan peradaban yang berkembang adalah buah dari dinamika kehidupan manusia serta menjadi bukti bahwa manusia memiliki  keunggulan dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya;
  5. Pendidikan menjadi barometer kemajuan dan peradaban;
  6. Nelson Mandela dalam pengantar buku yang ditulis oleh Klaus Dieter Bieter, menyebut pendidikan sebagai kekuatan dahsyat yang membangun setiap Insan, dan seluruh negara di dunia menempatkan pendidikan sebagai salah satu hak asasi;
  7. Pembukaan UUD 1945 jelas mengamanatkan untuk “Mencerdaskan kehidupan bangsa” 

Referensi:

Amka. 2019. Filsafat Pendidikan. Sidoarjo: Nizamia Learning Center.

Azis, Rosmiyati. 2016. Ilmu Pendidikan Islam. Yogyakarta: Penerbit Sibuku.

Hamengkubuwono. 2016. Ilmu Pendidikan dan Teori-Teori Pendidikan. Curup: LP2P STAIn Curup.

Sukadari & Sulistyono. 2017. Ilmu Pendidikan (Konsep Dasar). Yogyakarta: Penerbit Cipta Bersama.

Tohirin. 2005. Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis
Integrasi dan Kompetensi.Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Undang-undang RI. No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Yusuf, Munir. 2018. Pengantar Ilmu Pendidikan. Palopo: Penerbit IAIN Palopo.

Syukur, T.A.,& Rofiqoh, S. 2022. Pengantar Ilmu Pendidikan.Jakarta: CV. Patju Kreasi.

 

-----------------------
* Penulis adalah Pemerhati di bidang pendidikan

Sabtu, 04 Maret 2023

STORY TELLING: THE LEGEND OF LAKE NGEBEL

Berikut ini kami publikasikan cerita legenda yang sangat terkenal dari bumi Ponorogo, istimewanya lagi untuk sahabat inspirasipendidikan.com cerita ini dapat dijadikan referensi apabila sahabat akan mengikuti event lomba Story Telling. Jadi kami tuliskan dalam bahasa Inggris. estimasi waktu yang digunakan dalam menyampaikan cerita ini adalah sekitar 10 menit.
Cerita ini kami beri judul: 

THE LEGEND OF LAKE NGEBEL


(Opening/singing; adopted Lyric: Million Dream)

Cause every night I lie in bed

The Lake Ngebel fills in my head

A million dreams are keeping me awake

I think of what story behind it

A vision of the one I see

A million people are coming to the place

 Assalamu’alaikum wr wb.

Hello..everyone, I’ve sung about Lake Ngebel. There’s a great story behind it. Do you want to know it?

Well..at this moment  I’m telling a story about “THE LEGEND OF LAKE NGEBEL”.

Once upon time, there was a small village, The villagers would held a feast.. Some villagers went into the forest to find foods for the feast. But after long time, they didn’t get any animals. They sat under the big tree to take a rest.

“huh..look at this, the blood… ! it must be a big animal. Come on, let’s take its meat.” One of the villager  shouted to the others.

Then, without thinking about what kind of animal it was, they cut the meats as many as possible and brought it to the village.

They didn’t know that it was the meat of a huge dragon that meditated for long time at the forest called “Baru Klinting”. Miraculously, the dragon transformed into a little boy.

During the feast. They ate and drank together. Yeahh… the big party  with a lot of delicious foods and drinking water. Suddenly, from the outside..

“..hemmm..oh…excuse me..hemm… I’m hungry.. Would you give me some foods?” Baru Klinting requested.

“huuh.. go away…!, you are an ugly boy! Don’t make us loosing appetite? Said one of the villagers.

When he came to other villagers, they insulted him and drove away.

Finally, he met very old poor woman.

“hem..hem.. grandma.. I’m very hungry. Could you please give some foods?”

The woman only had a plate of rice, she was also hungry. However, she gave her rice to the boy.

“hmm.. of course son. Here it is. Please eat my rice.”

“ooo… o, my God. nyam..nyam… it is delicious. You know, I haven’t eaten for some days. Thank you grandma. “

Baru Klinting was touched by the old poor woman’s kindness.

 “Okay Grandma, listen to me. A flood will happen at this village. You should leave the village by using a mortar.” Said Baru Klinting.

Then, Baru klinting went back to the feast. He said loudly.

“Hi.. Look at me! Pull the stick out of the ground. If you can do, I’ll leave from this village.” Said Baru Klinting while planted his stick into the ground.

“ha..ha..ha…ha.. stupid boy. It’s just easy to me to…uh..uh…pull.. “ a strong and big man failed. He couldn’t pull it out. The other people tried to pull the stick one by one. and all of them failed too.

“huh… see! you are actually very weak.” Said Baru Klinting. “I’ll inform you. Actually, I am a meditating dragon in the forest, then you cut my meat and eat it. You are very greedy.’ Baru Klinting said angrily. “look… I can pull it out easily.”

Surprisingly from the hole came out the water that increased swiftly and  formed a lake. All the villagers drowned except the old woman who helped Baru Klinting.  By the local people, the lake is named Lake Ngebel.

Well. That’s all the story about Lake Ngebel. Now it becomes a famous tourism area in Ponorogo. 

Thank you.

Wassalamu’alaikum wr wb.