Tingginya minat
masyarakat untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas dapat dilihat pada
minggu-minggu terakhir ini, karena musim PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru).
Para orang tua dan peserta didik berlomba mendapatkan informasi tentang sekolah
terbaik bagi putra putrinya. Pihak sekolah juga demikian, menebar jaring pesona
lembaga pendidikannya melalui berbagai upaya marketing, seperti
mempromosikan di media sosial, mengikuti pameran pendidikan, mengadakan lomba/kompetisi
dalam bidang akademik dan non akademik, bahkan ada juga yang menawarkan
beasiswa dan program-program sekolah yang menggiurkan seperti program kelas
internasional atau lebih dikenal dengan International class program (ICP).
Program ICP inilah yang saat ini menjadi magnet kuat agar para peserta didik
mau menempuh pendidikan di sekolah penyelenggara program tersebut. Jika
ditelusuri lebih jauh program kelas internasional ini hampir sama dengan
kebijakan pemerintah pada era tahun 2000 an yaitu RSBI (Rintisan Sekolah
Berstandar Internasional) dan SBI (Sekolah Bertaraf Internasional).
Sejenak mari kita
kilas balik mengetahui seputar program RSBI dan SBI yang kemudian ditutup oleh
pemerintah pasca dibatalkannya Pasal 50 Ayat 3, UU No 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional oleh Mahkamah Konstitusi. Bunyi dari ayat tersebut
adalah “Pemeritah dan atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangya
satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi
satuan pendidikan berstandard internasional.” Sebelum diusulkannya judicial
review oleh Koalisi Anti Komersialisasi Pendidikan (KAKP) pada waktu itu,
maka kebijakan tentang SBI dan RSBI ini sudah berjalan bahkan pemerintah
memberikan bantuan atau block grant kepada sekolah-sekolah yang
tergolong SBI.
Beberapa ciri dari
sekolah yang termasuk RSBI dan SBI antara lain (1) Memiliki keunggulan yang
ditunjukkan dengan pengakuan internasional terhadap proses dan hasil pendidikan
yang berkualitas dalam berbagai aspek, (2) Pengakuan hasil akreditasi baik dari
salah satu negara anggota OECD dan atau negara maju lainnya di bidang
pendidikan. (2) Menerapkan kurikulum nasional yang diperkaya dengan kurikulum
standar internasional, (3) Menerapkan sistem kredit semester di jenjangan
SMA/MA/ Sederajat, (4) Memenuhi 8 SNP, (5) Menerapakan pembelajaran berbasis
TIK pada semua mata pelajaran, (6) Pembelajaran kelompok sains, matematika dan
inti kejuruan menggunakan bahasa Ingris. Karakteristik pendidik dan tenaga
kependidikannya (1) harus mampu memfasilitasi pembelajaran berbasis TIK, (2)
Guru sains, matematika dan inti kejuruan harus mampu berbahasa Inggris secara
aktif, (3) 10-20% guru berpendidikan S2/S3 (4) kepala sekolahnya berpendidikan
minimal S2, dan mampu berbahasa Inggris aktif, serta mampu membangun jejaring
internasional. Sarana dan prasarananya juga harus lengkap. Dalam hal
pengelolaan, maka sekolah harus menjalin hubungan “sister school” dengan
sekolah bertaraf internasional di luar negeri.
Berdasarkan
penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa untuk menjadikan sekolah RSBI dan SBI
adalah tidak mudah. Meskipun demikian, saat ini banyak sekolah yang hanya
bermodalkan menjalin kerjasama dengan sekolah luar negeri, dan mengaplikasikan
kurikulumnya sudah memberikan label pada sekolahnya sebagai sekolah
penyelenggara kelas internasional. Uniknya masyarakat begitu mudah percaya dengan
label program internasional, padahal belum terlihat dari aspek kualitas
outputnya. Nampaknya secara sederhana jika sudah menerapkan atau ”membeli” kurikulum
dari sekolah luar negeri, maka sekolah tersebut seolah sudah menyetarakan
kualitasnya dengan sekolah yang kurikulumnya diadopsi tersebut. Salahkah hal
tersebut? Tentu saja tidak sepenuhnya salah karena sekolah pun ingin
meningkatkan kualitasnya, apalagi dengan era persaingan antar lembaga
pendidikan saat ini, maka sekolah harus berinovasi untuk mempromosikan
sekolahnya termasuk dengan menghadirkan program-program yang membangkitkan
minat para orang tua dan peserta didik untuk melanjutkan studi di sekolah
tersebut.
Sebagai masyarakat
yang merupakan customer pendidikan, maka sudah seharusnya cerdas
menyikapi hal tersebut. Kita lihat apakah keunggulan dan kelemahan dari
penyelenggaraan sekolah atau kelas internasional ini. Keunggulannya antara
lain: (1) penggunaan bahasa asing (bahasa Inggris) yang baik. Keterampilan
berbahasa Inggris sebagai bahasa Internasional harusnya lebih dimiliki oleh
peserta didik dan guru yang mengajarnya dibanding peserta didik dan guru yang
mengajar di kelas non internasional. (2) Penggunaan kurikulum internasional
akan memberikan pengetahuan dan wawasan secara global bagi peserta didik
sehingga bisa berkompetisi dengan lulusan dari sekolah lain di luar negeri. (3)
Sekolah memiliki jaringan internasional, sehingga memungkinkan membangun
kerjasama seperti pelaksanaan student exchange dan bentuk-bentuk lainnya
(4) Peserta didik dapat mengembangkan keterampilan berfikir critical thinking, problem solving,
communication, collaboration, dan
creativity, yang akan menjadi bekal berharga untuk masa depannya. (5) Bagi
yang bermaksud kuliah di luar negeri, maka kelas internasional bisa digunakan
untuk mempersiapkannya.
Secara
obyektif juga harus kita ketahui dan akui kelemahan atau kekurangan dari
program kelas internasional atau sekolah bertaraf internasional ini, antara
lain: (1) Biaya yang mahal, hal ini bisa memberatkan orang tua dari kalangan
kurang mampu. meskipun anaknya memiliki kemampuan akademik dan non akademik
bagus tetapi tidak akan mampu menyekolahkannya di kelas internasional. Dengan
demikian dalam satu lembaga/ sekolah sudah terbentuk sebuah komunitas dari
kalangan atas yang mendapatkan perlakuan istimewa dari sekolah. Hal ini
dimungkinkan karena biaya pendidikannya yang mahal, dan fasilitas sarana
prasarana yang lebih baik untuk dinikmati peserta didik dari kelas
internasional. Sementara itu ada juga kelas non internasional yang fasilitas
sarana prasarananya kalah dengan kelas internasional. Begitu kuga kualitas dari
pendidik dan tenaga kependidikannya, bisa jadi dianggap atau dipersepsikan
kurang baik dibandingkan yang mengajar di kelas internasional (2) Adaptasi dari anak peserta kelas
internasional karena penggunaan bahasa asing di semua kegiatan pembelajaran,
hal ini bisa menyebabkan anak stress, terbebani dalam belajar. Kehidupan sosial
anak-anak dari kelas internasional dengan anak-anak dari kelas non
internasional/ regular juga bisa menciptakan kesenjangan karena dipengaruhi
oleh latar belakang ekonomi mereka. (3) kemungkinan lunturnya kecintaan
terhadap Bahasa Indonesia, karena membiasakan bahasa asing di sekolahnya. (4) Menipisnya
kedekatan dengan budaya lokal. Bagaimanapun harus diakui bahwa bahasa adalah
bagian dari budaya. Ketika peserta didik belajar bahasa asing terus-menerus,
maka mereka pun akan berinteraksi dengan budaya asal dari bahasa tersebut.
Berdasarkan uraian
di atas, orang tua sudah seharusnya memahami dampak dari pemilihan program
sekolah untuk anak-anaknya, sehingga harus secara logis mempertimbangkan
keunggulan dan kekurangannya sebagaimana penulis sebutkan di atas.
Pertanyaannya apakah Kelas/ Sekolah internasional yang saat ini mulai
bermunculan merupakan bentuk baru dari RSBI dan SBI yang sudah dihapuskan oleh
pemerintah? Jika ya, mengapa pemerintah membiarkannya saja dan mengizinkannya
untuk operasional dengan memasang tarif tinggi untuk biaya masuknya. Bukankah
kualitasnya juga belum sepenuhnya teruji? Jika memang ini direstui oleh
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atau Kementerian Agama yang memiliki
ratusan ribu sekolah/ madrasah di seluruh Indonesia, maka patutlah kembali
kedua kementerian tersebut merenungkan kembali latar belakang Mahkamah
Konstitusi memutuskan untuk menghapus pasal 50 ayat 3 UU No. 20 tahun 2003,
sekaligus sebagai tonggak dihapuskannya RSBI dan SBI.
Kualitas pendidikan
di Indonesia dapat ditingkatkan bukan semata karena penggunaan kurikulum dari
luar negeri, bahkan dengan hanya menggunakan kurikulum nasional saja bisa
berkualitas asalkan faktor pendukungnya juga tercukupi. Misalnya: perhatian
terhadap kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan, peningkatan sarana dan
prasarana pendidikan, kualitas pendidik dan tenaga kependidikan yang lebih
baik, serta pemerataan akses pendidikan di seluruh wilayah Indonesia dan di
seluruh lapisan masyarakat tanpa memandang status sosial ekonominya.
Terakhir, penulis
ingin mengingatkan bahwa sebuah negara yang diakui kualitas pendidikannya
seperti findlandia. Negara ini konsisten dengan kebijakannya terkait
pendidikan, berganti pucuk pimpinan pemerintahan pun Findlandia masih
memberlakukan tidak ada pengkastaan siswa dalam lembaga pendidikan, tidak ada
perbedaan perlakuan pemerintah baik antara sekolah swasta dan sekolah negeri.
Guru-gurunya ditingkatkan terus kemampuannya sehingga mereka menjadi pakar
kurikulum yang bisa diterapkan di sekolahnya masing-masing. Tidak
menggantungkan kualitas pendidikannya dari mengadopsi dan mengimplementasikan
kurikulum dari negara lain. Semoga Pendidikan di Indonesia di masa mendatang
akan lebih baik lagi (HAR, 04/06/24)
* Penulis adalah pemerhati bidang pendidikan