f ' Inspirasi Pendidikan

Inspirasi Pendidikan untuk Indonesia

Pendidikan bukan cuma pergi ke sekolah dan mendapatkan gelar. Tapi, juga soal memperluas pengetahuan dan menyerap ilmu kehidupan.

Bersama Bergerak dan Menggerakkan pendidikan

Kurang cerdas bisa diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur itu sulit diperbaiki (Bung Hatta)

Berbagi informasi dan Inspirasi

Tinggikan dirimu, tapi tetapkan rendahkan hatimu. Karena rendah diri hanya dimiliki orang yang tidak percaya diri.

Mari berbagi informasi dan Inspirasi

Hanya orang yang tepat yang bisa menilai seberapa tepat kamu berada di suatu tempat.

Mari Berbagi informasi dan menginspirasi untuk negeri

Puncak tertinggi dari segala usaha yang dilakukan adalah kepasrahan.

Jumat, 15 Juli 2022

PENTINGNYA PERENCANAAN BAGI LEMBAGA PENDIDIKAN

 

Penulis
Afrilia Eka P, S.Pd

PENTINGNYA PERENCANAAN BAGI LEMBAGA PENDIDIKAN
Oleh: Afrilia Eka Prasetyawati, S.Pd

 Pendidikan merupakan kebutuhan manusia, tetapi kita sering kali melupakan atau bahkan tidak memahami esensi dari pendidikan itu sendiri. Pendidikan adalah upaya untuk mengembangkan unsur pribadi manusia secara seimbang. Unsur pribadi manusia yang meliputi unsur jasmani, rohani, intelektual, estetika dan sosial diarahkan pada satu tujuan utama yaitu untuk memanusiakan manusia. Konsep seperti inilah yang harus dipahami dan terinternalisasi dalam diri setiap praktisi pendidikan di tingkat satuan pendidikan sampai tingkat teratas di pemerintahan. Sehingga untuk dapat menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas unggul diperlukan perencanaan yang baik.
    Menurut pendapat Garth N.Jone (2007, Perencanaan yaitu pemikiran rasional berdasarkan fakta-fakta dan atau perkiraan yang mendekati (estimate) sebagai persiapan untuk melaksanakan tindakan-tindakan kemudian. Terry (2015) menyatakan bahwa Perencanaan adalah  pemilihan dan menghubungkan fakta-fakta, membuat serta menggunakan asumsi-asumsi yang berkaitan dengan masa datang dengan menggambarkan dan merumuskan kegiatan-kegiatan tertentu yang diyakini diperlukan untuk mencapai suatu hasil tertentu. Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Perencanaan disini menekankan pada usaha menyeleksi dan menghubungkan sesuatu untuk kepentingan masa yang akan datang serta usaha untuk mencapainya.
    Bagaimana dengan perencanaan pendidikan?  Albert Waterson (Don Adam 1975) menyatakan bahwa Perencanaan pendidikan adalah investasi pendidikan yang dapat dijalankan melalui kegiatan-kegiatan pembangunan lain yang didasarkan atas pertimbangan ekonomi dan biaya serta keuntungan sosial. Coombs (1982) mengaskan bahwa Perencanaan pendidikan adalah suatu penerapan yang rasional, dianalisis sistematis dengan tujuan agar pendidikan itu lebih efektif dan efisien serta sesuai dengan kebutuhan dan tujuan para peserta didik dan masyarakat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Perencanaan pendidikan memiliki peran penting dan berada pada tahap awal proses manajemen pendidikan. Perencanaan pendidikan dijadikan panduan bagi pelaksanaan, pengendalian, dan pengawasan penyelenggaraan pendidikan.
    Pentingnya perencanaan pada organisasi termasuk sekolah tidak dapat dipungkiri. Karena itu setiap ahli di bidang manajemen selalu menempatkan perencanaan /planning pada tahap pertama fungsi manajemen. Apabila kita melihat di sekitar kita sesungguhnya banyak pelajaran yang dapat kita petik. Sejenak mari kita perhatikan pohon bambu yang tumbuh menjulang tinggi. Ketika masih kecil/rebung akan membutuhkan waktu yang lama sekali sampai akarnya betul-betul kuat untuk menopang batangnya yang tumbuh tinggi. Jika kita dikaitkan dengan perencanaan pada lembaga pendidikan, maka Akar dari pohon bambu itu adalah perencanaan. Kuatnya perencanaan akan dapat menopang tingginya/ keberhasilan sekolah dalam mencapai visi dan misi yang telah ditetapkan sebelumnya.
    Dengan demikian, jika ada kepala sekolah yang tidak melaksanakan perencanaan dengan baik, maka bisa dikatakan kepala sekolah tersebut tidak memahami betape pentingnya perencanaan dalam pengelolaan pendidikan, dan itu sama artinya dengan merencanakan kegagalan di sekolahnya. Apa bentuk perencanaan di sekolah? Contoh sederhanaya adalah penyusunan RKAS (Recana Kegiatan Anggaran Sekolah), RKS (Rencana Kegiatan Sekolah), RKJM (Rencana Kerja Jangka Menengah).  Sangat irois jika masih ada sekolah yang tidak menyusun RKAS sebagaimana prosedurnya telah diatur  oleh pemerintah. Atau jika menyusun RKAS hasil copy paste dari tahun sebelumnya atau bahkan mencontoh dari sekolah lainnya tanpa mendasarkan pada EDS (Evaluasi Diri Sekolah).
    Awal tahun ajaran baru sudah dimulai, beberapa sekolah sudah siap dengan perencanaan yang komprehensif melibatkan stakeholder pendidikan. Mulai dari penyusunan RKAS, prioritas program kerja yang akan dilakukan dalam satu tahun ke depan, persiapan implementasi kurikulum merdeka yang dimulai dari pelatihan yang diberikan kepada para guru dan tenaga kependidikan, perencanaan kegiata MPLS dll. Harapannya adalah perencanaan tersebut akan dicapai dengan baik, tentu saja apabila diikuti dengan pengorganisasian, pengarahan dan kontrol yang baik juga. Semua berharap akan kemajuan pendidikan di Indonesia. Tetapi semua itu tidak akan berhasil jika masing-masing satuan pendidikan tidak berupaya maksimal dalam memajukan dan mengembangkan lembaga pendidikan/sekolahnya. Harus diingat ”Seorang pemimpin yang visioner dapat dilihat dari perencanaannya, dan pemimpin yang  berpotensi memiliki keberhasilan dalam memajukan sekolahnya dapat dilihat dari bagaimana dia mengorganisir, menggerakkan dan mengevaluasi semua perencanaan yang telah ditetapkan sebelunya.”

Kamis, 14 Juli 2022

Pengembangan Profesionalisme Dosen

Artikel tentang pendidikan
Penulis

STRATEGI PENGEMBANGAN PROFESIONALISME DOSEN

(APLIKASI BELAJAR MANDIRI DALAM PENGEMBANGAN DOSEN YANG BERWAWASAN TEKNOLOGI) 

Oleh: Dr. Hariyanto, M.Pd

A. Pendahuluan

Dosen adalah salah satu komponen esensial  dalam suatu sistem pendidikan di Perguruan Tinggi. Peran, Tugas, dan Tanggung Jawab dosen sangat penting dalam mewujudkan Tujuan Pendidikan Nasional, sebagaimana termaktup dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab II pasal 3, yaitu “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Dalam menjabarkan Tugas amanat Undang-Undang tersebut, seorang dosen harus memiliki persyaratan yang memadai dari segi kompetensi, dan aspek legal formal.  Pada pasal 1 UU. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen disebutkan bahwa  Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.  Yang dimaksud Profesional disini adalah sebagaimana tercantum dalam pasal 1butir 4 yaitu  pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.

Berdasarkan Undang-Undang tersebut di atas, jelaslah kalau dosen sangat menentukan mutu pendidikan dan lulusan yang dilahirkan perguruan tinggi tersebut, di samping secara umum kualitas perguruan tinggi itu sendiri. Jika para dosennya bermutu tinggi, maka kualitas perguruan tinggi tersebut juga akan tinggi, demikian pula sebaliknya. Sebaik apapun program pendidikan yang dicanangkan, bila tidak didukung oleh para dosen bermutu tinggi, maka akan berakhir pada hasil yang tidak memuaskan. Dengan memiliki dosen-dosen yang baik dan bermutu tinggi, perguruan tinggi dapat merumuskan program serta kurikulum sesuai  untuk menjamin lahirnya lulusan-lulusan yang berprestasi dan berkualitas istimewa. 

Profesionalisme dosen dapat dilihat dari kompetensi dosen, yaitu kompetensi dosen dalam melaksankaan Kegiatan professional dosen yang meliputi Kompetensi pedagogik, professional, kepribadian dan social yang diperlukan dalam praktek pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Pengharagaan terhadap profesionalisme dosen diwujudkan dalam bentuk tunjangan profesi dan diberikannya Sertifikasi bagi dosen.

Kondisi Global yang ditandai dengan perkembangan teknologi dan informasi juga menjadi penyumbang dalam profesionalisme dosen, karena ICT tidak bisa dielakkan aplikasinya dalam pembelajaran di kelas. Kondisi yang saat ini terjadi, kebanyakan dosen di  PT belum bisa mentransformasikan dan mengintegrasikan teknologi kedalam pembelajarannya. Diperlukan upaya signifikan dari para dosen untuk meningkatkan profesionalisme mereka sebagai elemen pokok perguruan tinggi. Sebagian mereka bahkan kurang menyadari bahwa profesi dosen, sebagaimana profesi lainnya, juga terkait dengan dimensi pengetahuan, keahlian, dan etika yang perlu terus dikembangkan.  Kondisi ini menunjukkan bahwa masih ada jurang yang lebar antara cita-cita ideal dengan kondisi riil para dosen perguruan tinggi di Indonesia saat ini.

Kenyataan ini ironis mengingat salah satu cita-cita besar perguruan tinggi di Indonesia adalah menjadi universitas bertaraf internasional (world class university) bahkan untuk mencapai World Recognized University. Mudjiman (2011; 179) berpendapat bahwa Status Perguruan Tinggi bisa ditingkatkan lebih mendekat ke WRU karena dihasilkan karya-karya yang bermanfaat dan diakui masyarakat internasonal. Lebih lanjut dikemukakan Prof. Haris Mudjiman bahwa Dosen mempunyai kedudukan sentral dalam upaya mencapai status WRU. Dengan dosen-dosen yang professional, diharapkan mahasiswa dan tenaga akademik di PT terdorong menjadi lebih professional. Maka ditetapkan PT menyelenggarakan program khusus berupa Sistem Pengembangan Profesionalisme Dosen (SPPD).



Lebih lengkap untuk membaca artikel tersebut di atas, dapat di download di link di bawah ini. Semoga bisa menginspirasi untuk pengembangan pendidikan 
di Indonesia.

Selasa, 12 Juli 2022

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional


UU NO 20 TAHUN 2003 TENTANG SISDIKNAS


Sistem Pendidikan Nasional diatur dalam sebuah Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional. yaitu UU No. 20 tahun 2003. Sebelumnya Indonesia juga sudah memiliki UU No 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang kemudian dinyatakan tidak berlaku dengan diterbitkannya Undang-Undang yang baru. Dalam UU ini diatur mengenai dasar, fungsi, dan tujuan sistem pendidikan nasional; prinsip penyelenggaraan pendidikan; hak dan kewajiban warga negara, orang tua, masyarakat, dan pemerintah; peserta didik; jalur, jenjang, dan jenis pendidikan; bahasa pengantar; dan wajib belajar.

UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah beberapa kali di uji oleh Mahkamah Konstitusi, dan beberapa norma pasalnya telah dinyatakan tidak berlaku diantaranya adalah: Pasal 50 ayat (3) (Putusan Nomor 5/PUU-X/2012).
Saat ini, Undang Undang No 20 tahun 2003 sedang dalam proses untuk dilakukan perubahan di legislatif. Rencana perubahan ini sebenarnya sudah tercantum dalam Rencana Strategis Kemdikbudristedikti tahun 2020-2024.

Isi tentang UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dapat di download di bawah ini:



Merdeka Belajar-Kampus Merdeka

 

Memahami  Kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka

   Dalam rangka mewujudkan tujuan nasional pendidikan sebagai amanah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memfasilitasi Perguruan Tinggi untuk mewujudkan tujuan tersebut melalui kebijakan Merdeka Belajar – Kampus Merdeka. Permendikbud Nomor 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi, menjelaskan bahwa terdapat empat amanah kebijakan terkait Merdeka Belajar – Kampus Merdeka, yang meliputi: kemudahan pembukaan program studi baru, perubahan sistem akreditasi perguruan tinggi, perubahan perguruan tinggi menjadi badan hukum, dan hak belajar tiga semester di luar program studi.
  Kebijakan Merdeka Belajar – Kampus Merdeka dilaksanakan dalam rangka mewujudkan proses pembelajaran di perguruan tinggi yang otonom dan fleksibel sehingga tercipta kultur belajar yang inovatif, tidak mengekang, dan sesuai dengan kebutuhan mahasiswa. Kebijakan ini juga bertujuan untuk meningkatkan link and match dengan dunia usaha dan dunia industri, serta untuk mempersiapkan mahasiswa dalam dunia kerja sejak awal.
    Pembelajaran dalam Kampus Merdeka memberikan tantangan dan kesempatan untuk pengembangan kreativitas, kapasitas, kepribadian, dan kebutuhan mahasiswa, serta mengembangkan kemandirian dalam mencari dan menemukan pengetahuan melalui kenyataan dan dinamika lapangan seperti persyaratan kemampuan, permasalahan ril, interaksi sosial, kolaborasi, manajemen diri, tuntutan kinerja, target dan pencapaiannya.
    Agar tidak gagal paham terhadap kebijakan tersebut, silahkan download buku Saku Panduan Merdeka Belajar Kampus Merdeka. Klik teks dibawah ini.

Sekolah Unggulan


Sekolah Unggulan

BERBURU SEKOLAH UNGGULAN


        Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) baru saja berkhir. Tahapan berikutnya adalah para peserta didik memasuki tahap Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Apabila kita amati dengan seksama berbagai metode pemasaran sekolah menjelang dan selama PPDB yang sudah lalu, maka bisa dilihat upaya keras sekolah untuk menarik minat customer dengan berbagai 'iming-iming' yang terkadang sangat menggiurkan, seperti pemberian beasiswa penuh, gratis uang gedung, gratis buku selama sekolah, beasiswa lanjutan ke jenjang yang lebih tinggi, beasiswa yayasan, beasiswa prestasi dll. Sekolah dan bersolek memoles gedung-gedungnya, membenahi sarana prasarananya agar bisa memikat calon peserta didik/ mahasiswanya.Tidak bisa dipungkiri bahwa kompetisi antar sekolah begitu ketat terutama sekolah swasta. sehingga tidak jarang sekolah negeri pun kadang tidak mendapatkan calon peserta didik atau calon siswa. 

        Hal tersebut terkadang membingungkan pilihan bagi calon peserta didik dan tentu saja orang tua. Karena itu, sebelum memastikan diri untuk melanjutkan studi di sekolah tertentu, orang tua harus benar-benar mengetahui tentang sekolah tersebut. Jumlah peminatnya, jumlah siswa yang masih aktif, tenaga penedidik dan tenaga kependidikan, prestasi yang pernah di raih, serta keunggulan yang dimiliki sekolah tersebut dibandingkan dengan sekolah lainnya. Terdapat 3 keunggulan yang bisa menjadi acuan untuk menentukan apakah sekolah itu bisa dikategorikan sebagai sekolah yang unggul. antara lain: (Keunggulan komparatif, keunggulan kompetitif, dan keunggualn distinctive). lebih jelasnya akan kami bahas satu per satu.

Keunggulan Komparatif

Keunggulan komparatif ini dapat dilihat dengan membandingkan dengan keunggulan yang dimiliki sekolah lain. berbagai prestasi akademik dan non akademik yang dimiliki sekolah dibandingkan dengan sekolah lain. Seberapa unggul satu sekolah dengan sekolah lainnya. Keunggulan ini juga bisa dilihat dari program-program ekstrakurikuler yang diadakan di sekolah tersebut dibandingkan dengan sekolah lainnya yang sederajat. Jika ekstrakurikuler yang jenisnya sama tetapi suatu sekolah lebih banyak ketrampilan dan  prestasinya dibandingkan dengan sekolah di sekitarya, maka bisa dikatakan sekolah tersebut sudah memiliki keunggulan komparatif.

Keunggulan Kompetitif

Keunggulan ini lebih menekankan pada nilai tambah yang dimiliki dari suatu sekolah. Bagaimana sekolah tersebut dari waktu ke waktu mampu berkompetisi dengan sekolah lainnya untuk meningkatkan manajemen pelayanannya kepada stakeholder, mengimplementasikan manajemen berbasis sekolah secara baik, manajemen peserta didik, manajemen kelas oleh guru-gurunya, dan manajamen pendidikan lainnya di lingkungan sekolah tersebut.

Keunggulan Distinctive

Terdapat suatu slogan yang cukup akrab dalam keseharian kita yaitu "Inovasi tiada henti". Slogan tersebut dimiliki oleh suatu produk kendaraan bermotor. Slogan ini pun bisa diterapkan dalam lembaga pendidikan. Inovasi dalam manajemen, inovasi dalam pelayanan kepada mahasiswa, inovasi terhadap program-program sekolah untuk dijadikan program unggulan. Sekolah memiliki perbedaan, menjadi leading, menjadi pelopor dalam berinovasi. Misalnya; suatu sekolah memiliki keunggulan distinctive yang tidak dimiliki sekolah lainnya dalam bentuk program tahfidz Qur'an dengan jaminan sampai kelas 6 sudah dapat menghafalkan minimal 2 juz Al Qur'an . di sinilah peran kepala sekolah berupaya untuk berinovasi. Contoh keunggulan distinctive lainnya, seperti dalam bidang literasi digital, dimana semua siswa harus memiliki blog sendiri dan diisi sesuai kemampuan siswa. Sementara sekolah lainnya belum menerapkan program tersebut. Program ini sebenarnya dapat beriringan dengan promosi keberadaan sekolah. bisa dibayangkan kalau semua siswa sudah memiliki blog masing-masing, dan tugas-tugas sekolahnya juga diungah di blog tersebut, maka semua informasi mengenai sekolah akan dapat diakses dengan mudah, terutama dengan mudah bisa dicari di mesin pencarian.

Jika sekolah sudah memiliki ketiga keunggulan tesebut, maka orang tua tidak perlu lagi merasa ragu-ragu untuk menyekolahkan anakya. Meskipun sekolah tersebut tidak diberi nama sekolah unggulan, tetapi bisa dipastikan sekolah tersebut adalah sekolah yang berbasis pada keunggulan.



Jumat, 08 Juli 2022

Opini tentang Pembudayaan pendidikan

  

Pendidikan

PEMBUDAYAAN PENDIDIKAN

Oleh: Dr. Hariyanto, M.Pd

           Mengawali tulisan ini, terlebih dahulu penulis akan menjelaskan bahwa dengan menuliskan judul ”Pembudayaan Pendidikan” tidak berarti penulis  memisah dan hendak mencabut budaya dari pendidikan atau sebaliknya menceraikan pendidikan dari budaya. Karena pada dasarnya antara budaya dan pendidikan adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Antara pendidikan dan kebudayaan terdapat hubungan yang sangat erat dalam arti keduanya berkenaan dengan suatu hal yang sama yakni nilai-nilai. Dalam konteks kebudayaan justeru pendidikan memainkan peranan sebagai agen pengajaran nilai-nilai budaya. Pada dasarnya pendidikan yang berlangsung adalah suatu proses pembentukan kualitas manusia sesuai dengan kodrat budaya yang dimiliki.
    Theodore Brameld dalam karyanya “Cultural Foundation of Education” (1957) menyatakan adanya keterkaitan yang erat antara pendidikan dengan kebudayaan berkenaan dengan satu urusan yang sama, dalam hal ini ialah pengembangan nilai. Sementara itu Edward B. Tylor dalam karyanya "Primitive Culture" (1929) menulis apabila kebudayaan mempunyai tiga komponen strategis, yaitu sebagai tata kehidupan (order), suatu proses (process) , serta bervisi tertentu (goals), maka pendidikan merupakan proses pembudayaan. Masih menurut Tylor, tidak ada proses pendidikan tanpa kebudayaan dan tanpa adanya masyarakat; sebaliknya tidak ada kebudayaan dalam pengertian proses tanpa adanya pendidikan.
      Berdasarkan pengertian tersebut, kita bisa memposisi pendidikan dengan kebudayaan di dalam tata hubungan yang saling mempengaruhi (reciprocal relationship); atau pendidikan merupakan variabel yang mendorong terjadinya perubahan kebudayaan di dalam tata hubungan asimetris di mana suatu variabel mempengaruhi variabel yang lainnya (causal asymetrical relationship) . (Ki Supriyoko, 2003)
    Afinitas mengenai pendidikan dan kebudayaan dapat kita cermati dalam ciri khas manusia sebagai makhluk simbolik. Hanya manusialah yang mengenal dan memanfaatkan simbol-simbol di dalam kelanjutan kehidupannya. Simbol-simbol itu dapat kita lihat di dalam kebudayaan manusia. Mengingat kebudayaan dilestarikan dan dikembangkan melalui simbol-simbol maka semua tingkah laku manusia terdiri dari, dan tergantung pada simbol-simbol tersebut. Sebaliknya kebudayaan bisa lestari apabila memiliki daya kerja yang kuat dalam memberikan arahan para pendukungnya. Oleh karena itu kebudayaan diturunkan kepada generasi penerusnya lewat proses belajar tentang tata cara bertingkah laku. Sehingga secara wujudnya, substansi kebudayaan itu telah mendarah daging dalam kepribadian anggota-anggotanya.
    Pembudayaan pendidikan merupakan langkah dalam mewujudkan berlangsungnya proses pendidikan secara terus menerus sesuai dengan kondisi dan situasi dimana individu berada. Dalam masyarakat proses pembudayaan sebagai regenerasi terus berlangsung namun pembudayaan dalam pendidikan memiliki ketergeseran fungsi yang dipengaruhi oleh globalisasi dan berdampak pada perubahan sosial dan kebudayaan didalamnya mencakup hubungan antara kebudayaan dan kepribadian.
Selanjutnya yang akan dibahas sekarang adalah (1) Bagaimana pembudayaan pendidikan pada masyarakat Indonesia? (2) Bagaimana peran lembaga pendidikan sebagai agen budaya? (3) Apakah kendala-kendala pembudayaan pendidikan ?


 Pembudayaan Pendidikan Pada Masyarakat Indonesia
    Pembudayaan pendidikan pada masyarakat Indonesia pada hakekatnya merupakan proses pewarisan budaya di masyarakat dengan berbagai bidang, dapat diartikan pula membudayakan pemahaman masyarakat pada pendidikan untuk alih (transfer) keilmuan dan teknologi sebagai modal inovasi dalam peradaban masyarakat.
    Pendidikan nasional tidak saja tak terpisahkan dari budaya, falsafah dan amanat konstitusional bangsa Indonesia tetapi juga sebagai wahana untuk mewujudkannya dalam perikehidupan berbangsa dan bernegara senyatanya. Menurut Semiawan (1993:3), dalam konteks yang luas pembangunan sistem pendidikan nasional “merupakan suatu pendekatan budaya untuk meningkatkan pengalaman belajar manusia secara kreatif menjadi bermanfaat bagi kehidupan manusia pada umumnya, masyarakat Indonesia khususnya, sehingga suatu proses pendidikan selalu mengandung makna pembudayaan apa yang menjadi isi pendidikan tersebut. Dengan demikian pendidikan memiliki jangkauan yang lebih luas dari sekedar pembelajaran, karena mendidik berimplikasi membudayakan. Dalam satu konsep sederhana, pembudayaan adalah proses pencapaian hasil yang permanen berupa penghayatan segenap pengetahuan dan keterampilan yang didapat melalui pendidikan sehingga dengannya individu yang bersangkutan mampu berbuat atau melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupannya dan/atau kehidupan orang lain. Proses ini seyogyanya berlangsung seiring dengan proses pendidikan itu sendiri.
    Dengan demikian pembudayaan mensyaratkan ‘penghayatan’ dan ‘perbuatan’ nyata yang timbul pada individu sebagai hasil pendidikan, baik yang berlangsung dalam keluarga, di masyarakat, ataupun dalam lembaga pendidikan formal seperti sekolah. Dalam pengertian ini, hasil nyata pendidikan dapat dilihat dari seberapa tinggi penghayatan peserta didik terhadap apa yang diperolehnya melalui pendidikan serta seberapa ia mampu berbuat untuk memperoleh manfaat dari pendidikannya baik bagi dirinya sendiri maupun bagi masyarakatnya. Peserta didik yang memperoleh berbagai pengetahuan melalui proses pendidikan formal, misalnya, tetapi tidak pernah mengetahui manfaat dari apa yang diketahuinya itu, jelas tidak tersentuh oleh proses pembudayaan secara memadai. Peserta didik yang hanya melihat (disadarinya atau tidak) proses pembelajaran sebagai usaha untuk bisa menjawab soal-soal ujian atau untuk lulus atau memperoleh nilai bagus dalam evaluasi akhir merupakan contoh lain dari kurang memadainya sentuhan pembudayaan dalam pendidikan yang dialaminya.

      Peran Lembaga Pendidikan Sebagai Agen Budaya
    Sekolah sering berada dalam posisi yang ‘kurang mengenakkan’ dalam masyarakat. Di satu pihak, pandangan dan harapan masyarakat begitu tinggi terhadap sekolah dan cenderung berimplikasi bahwa sekolah ‘can do everything’ dan ‘can solve all problems,’ sehingga orang tua sering berpendapat bahwa dengan memasukkan putra-putrinya ke sekolah segala pendidikannya akan ‘beres.’ Di pihak lain, sebagai penyelenggara pendidikan, sekolah sering dilihat sebagai satu-satunya yang bertanggungjawab terhadap keberhasilan atau kegagalan pendidikan. Segala fenomena masyarakat yang bisa dihubungkan dengan tingkat keterdidikan pelaku-pelaku yang terlibat, terutama yang ber-implikasi negatif, akan secara otomatis dikaitkan dengan pendidikan dan, sehubungan dengan ini, sekolah sebagai institusi pendidikan akan langsung menjadi sorotan. Sementara perilaku masyarakat berkaitan erat dengan tingkat pendidikannya (Susanto, 2000), fenomena seperti korupsi, kebrutalan massa, amuk massa, kerusuhan, main hakim sendiri, kekurangdisiplinan, merapuhnya sopan santun, dan sejenisnya akan dihubungkan dengan kegagalan pendidikan, dan ini, paling tidak sebagiannya, dianggap kegagalan sekolah (periksa, misalnya, Supriyoko, 1999; Darmaningtyas, 1999; dan Amir Santoso, 2000).
    Hasil pendidikan di sekolah memang tidak sepenuhnya bisa dihubungkan dengan kebobrokan yang ada di masyarakat. Demikian juga berbagai situasi sosial, politik, ekonomi, dan hukum di masyarakat yang ada dalam posisi ‘krisis’ tidak mesti berkaitan  dengan hasil-hasil pendidikan di sekolah. Akan tetapi memang ada aspek-aspek tertentu dalam sistem penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang masih perlu dicermati, antara lain kurang diperhatikannya fungsi sekolah sebagai agen pembudayaan. Situasi ini bisa dikaitkan dengan kebijakan di tingkat makro, di samping praktik penyelenggaraan pendidikan secara mikro di sekolah-sekolah.
     Proses pembelajaran atau proses belajar-mengajar seperti yang terlaksana sekarang tidak secara otomatis merupakan proses pembudayaan dari mata pelajaran yang dipelajari atau diajarkan. Mata pelajaran yang diajarkan dengan hanya menekankan pada aspek pengalaman kognitif saja belum tentu ‘terbudayakan’ secara memadai pada peserta didik. Artinya, siswa mungkin menginternalisasi kemampuan komprehensi sampai kemampuan sintesis dalam mata pelajaran yang bersangkutan, tetapi tidak sampai menyentuh sisi afektifnya, sehingga tidak terjadi penghayatan terhadap mata pelajaran tersebut. Dengan kata lain, proses pembelajaran yang terjadi tidak sampai menimbulkan rasa senang atau kecintaan terhadap apa yang dipelajari. Sering yang terjadi adalah kebalikannya, yaitu rasa tidak senang, rasa tidak mampu, frustasi, dan sejenisnya yang pada akhirnya menimbulkan kebencian peserta didik terhadap mata pelajaran tertentu.
    Pembudayaan akan terjadi kalau proses pembelajaran, disamping merangsang dan melatih nalar kognitif peserta didik, juga menggugah secara memadai nalar afektifnya. Secara mikro, peranan metodologis-didaktis guru dengan segala kiat yang digunakannya akan cukup menentukan seberapa jauh sisi afektif siswa terhadap suatu mata pelajaran bisa diaktifkan dalam proses pembelajaran sehingga menggugah dan membangkitkan penghayatannya terhadap apa yang dipelajarinya itu. Dari sudut pandang lain, dituntut juga bahwa guru tidak hanya menekankan instructional effects mata pelajaran yang diajarnya tetapi juga memberikan perhatian yang cukup terhadap nurturant effects yang menyertai proses belajar mengajar itu.
    Di samping sebagai pengajar, guru adalah pendidik (Buchori, 1994) dan pembudaya (Napitupulu, 1999). Guru dituntut untuk membudayakan apa yang diajarkannya pada peserta didik. Misalnya di bidang matematika, proses belajar-mengajar bisa diarahkan untuk mengembangkan nilai-nilai ketelitian, keuletan, dan kejujuran dan sekaligus penghayatan terhadap matematika sebagai disiplin ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan, sehingga matematika tidak perlu menjadi ‘momok’ peserta didik. Hadiwardoyo (1993) menekankan bahwa guru sebagai pendidik harus mampu menggugah hati peserta didik untuk mempraktikkan atau mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam mata pelajaran dan juga harus menyadari bahwa proses ini berlangsung tahap demi tahap serta memerlukan integritas dan keteladanan yang mantap dari guru itu sendiri.
    Melalui proses belajar-mengajar guru juga bisa membudayakan IPTEK, yang sangat penting peranannya dalam mensejahterakan umat manusia. Sikap, ketekunan, dan curiosity peneliti bisa dibudayakan secara bertahap pada peserta didik, mulai dari proses mengidentifikasi masalah, mencari pemecahan, pengujian sampai pada pembuktian kebenaran. Yang penting adalah bahwa semua ini ditempuh dengan secara maksimal mengaktifkan kemampuan afektif peserta didik, di samping memberinya pengalaman kognitif yang diperlukan. Budaya baca-tulis juga sangat erat hubungannya dengan IPTEK sehingga perlu ditanamkan di kalangan peserta didik. Kegemaran dan kecintaan terhadap mem-baca, misalnya, tidak bisa dihasilkan dari proses pembelajaran membaca saja. Kebiasaan membaca yang baik dan menyenangkan adalah hasil pembudayaan. 
    Sekolah juga merupakan agen pembudayaan nilai-nilai kebangsaan dan budaya bangsa. Seperti telah dikemukakan di bagian depan tulisan ini, pendidikan nasional adalah wahana penanaman dan pengembangan budaya bangsa. Dalam pengertian yang luas, setiap bagian dari ikhtiar pendidikan tidak hanya harus mengacu kepada nilai-nilai budaya bangsa tetapi juga mampu menanamkan nilai-nilai tersebut pada peserta didik. Melalui pendidikan nasional dilakukan upaya memajukan kebudayaan nasional, yang harus diartikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kemampuan intelektual dan profesional, sikap, watak, dan kepribadian manusia Indonesia yang demokratis dan berbudaya (Soedijarto, 1999).
    Dalam era teknologi dan derasnya arus globalisasi dewasa ini pendidikan untuk memantapkan integritas nilai-nilai budaya dan integritas bangsa menempati posisi yang sangat krusial. Sering terjadi bahwa kemajuan IPTEK dan kesejahteraan dicapai oleh satu masyarakat bangsa dengan mengorbankan identitas dan kepribadian bangsanya. Hal ini mengisyaratkan bahwa kita dihadapkan pada tantangan dalam menyusun program pendidikan yang mampu menghasilkan manusia-manusia modern yang didukung oleh penguatan dalam pewarisan budaya dan identitas bangsa (Suryadi dan Tilaar, 1993). Raka Joni (1990) menggambarkan masyarakat Indonesia masa depan sebagai masyarakat moderen yang bernafaskan Pancasila. Kalau tujuan pendidikan nasional mengacu kepada masyarakat seperti ini, maka pendidikan nasional harus melakukan dua hal dalam waktu yang bersamaan: memoderenkan bangsa Indonesia dan melestarikan nilai-nilai budaya bangsa yang tersirat dalam Pancasila. 
    Sekolah sebagai agen pembudayaan dituntut untuk mampu menyelenggarakan pendidikan yang menanamkan nilai-nilai budaya bangsa dalam rangka menguatkan integritas dan kepribadian bangsa. Pada tingkat mikro, proses pembudayaan ini dilakukan melalui proses belajar-mengajar yang tidak bisa hanya diberikan melalui pengalaman kognitif, melainkan harus secara signifikan menyentuh kecerdasan afektif peserta didik. Penanaman nilai-nilai budaya bangsa melalui perpaduan antara logika, etika, dan estetika (Donosepoetro, 2000b) akan menggugah penghayatan dan kecintaan peserta didik terhadap nilai-nilai budaya bangsanya.

      Kendala-Kendala Pembudayaan Pendidikan
Kendala yang perlu dibahas dalam hubungannya dengan peningkatan mutu pendidikan di tanah air, khususnya yang berkaitan dengan pembudayaan melalui pendidikan di sekolah. Ada kendala di tingkat kebijakan (makro) dan ada pula kendala di tingkat sekolah (mikro).

    1. Kualifikasi Formal dan Sistem Pendidikan Guru
Mencermati kualifikasi formal dan sistem pendidikan guru yang berlaku saat ini di LPTK, beberapa hal perlu dicatat sebagai kelemahan. Pertama, kualifikasi formal guru, baik untuk jenjang pendidikan dasar maupun menengah, masih rendah. Yang ideal adalah bahwa guru SD dan SLTP sedikitnya berkualifikasi S1 (sarjana muda) dan guru sekolah menengah sedikitnya berkualifikasi S2 (magister). Kedua, kurikulum pendidikan guru di LPTK sangat didominasi oleh mata kuliah yang terlalu berorientasi kognitif. Ini bisa dilihat dari pembelajaran yang exam-oriented dan sistem evaluasi yang sangat mene-lantarkan kemampuan afektif mahasiswa. Ketiga, praktik pengalaman lapangan (PPL), di samping waktunya yang umumnya terlalu singkat, tidak menjamin sistem bimbingan yang profesional dan efektif. Keempat, sistem saringan melalui ujian masuk perguruan tinggi secara umum dan tersentralisir (SPMB, UMPTN, apapun namanya) kurang tepat untuk LPTK, karena tidak bisa membedakan antara calon yang betul-betul berminat menjadi guru dan yang sebenarnya tidak berminat tetapi ‘terpaksa.’
       Karena profesi guru sebagai pendidik dan pembudaya memerlukan kemampuan afektif yang tinggi, sistem pendidikan guru yang hanya menekankan pada kemampuan kognitif akan menjadi kendala bagi tersedianya tenaga guru yang betul-betul memenuhi kualifikasi pendidik dan pembudaya. Demikian juga tingkat kemampuan profesionalnya yang paspasan akan menjadi kendala baginya dalam menjalankan profesinya secara op-timal. Misalnya guru SD dengan kualifikasi D2 akan mengalami kesulitan kalau dituntut untuk meningkatkan kualitas pengajarannya melalui penelitian karena kemampuan meneliti belum dimilikinya. Praktik pengalaman lapangan yang tidak memadai tidak bisa menjamin bahwa lulusan LPTK memiliki kesiapan penuh sebagai pengajar, apalagi se-bagai pendidik dan pembudaya.
  Mahasiswa LPTK yang terjaring melalui ujian masuk perguruan tinggi yang diselenggarakan secara nasional (SPMB) belum tentu mempunyai minat dan kecintaan terhadap profesi guru, walaupun mereka telah memilih untuk masuk LPTK. Kalau ter-nyata mereka tidak berminat menjadi guru tetapi kemudian lulus dan diangkat sebagai guru, akan timbul masalah integritas yang serius sepanjang kariernya sebagai guru dan ini akan mengganggu pelaksanaan tugas-tugasnya. Dengan masalah seperti ini tentu saja dia tidak akan bisa menjadi pendidik dan pembudaya yang baik.

    2. Budaya Top-Down
    Budaya top-down yang menjadi ciri khas kebijakan pendidikan nasional selama ini ‘membunuh’ kreativitas sekolah dan guru. Budaya seperti ini juga mempengaruhi sikap guru terhadap peserta didiknya, yaitu guru akan menganut sikap ‘serba ditentukan dari atas. Kreativitas sekolah dalam mengelola pendidikan sesuai dengan situasi dan kondisi setempat-setempat sangat mempengaruhi efektivitas pendidikan. Kalau guru menganut budaya ‘serba ditentukan dari atas’ maka proses pembelajaran di kelas akan terpasung dalam suasana yang kaku sehingga kreativitas siswa akan mati. Sedangkan proses pembudayaan memerlukan kreativitas peserta didik, suasana bebas terbuka yang menyenangkan, dan hubungan guru-siswa yang demokratis. Dalam budaya top-down, peserta didik juga akan ‘membudayakan’ suasana ‘serba diatur’ sehingga prakarsa dan rasa tanggungjawabnya tidak berkembang. Budaya kritis dan mandiri tidak tumbuh, sementara budaya bergantung menjadi bertambah subur.
    Situasi seperti ini jelas merugikan pendidikan nasional dan akan berdampak terhadap budaya masyarakat terpelajar kita. Salah satu contoh budaya top-down yang mengingkari keanekaragaman daerah adalah kebijakan ‘buku paket.’ Kebijakan ini, di samping sering mengalami kendala teknis seperti kesulitan transportasi dari pusat ke daerah, juga melecehkan kewenangan dan kemampuan sekolah untuk mengatur pengelolaan pendidikan sesuai dengan aspirasi masyarakat lingkungannya. Tambahan lagi, kebijakan buku paket bisa menumbuhkan budaya KKN, yang tentu saja menjadi sebuah ironi yang menyakitkan dalam dunia pendidikan kita.
    Semoga degan diberlakukannya kurikulum merdeka, akan juga berdampak untuk mengikis hal-hal tersebut dan bukan bertambah menyuburkannya.

3.   Hubungan Guru-Siswa

    Seperti telah dikemukakan di bagian depan, hubungan guru siswa dalam konteks pembelajaran atau proses belajar-mengajar selama ini berpola top-down. Dengan pola ini, hubungan guru-murid menjadi kaku dan dominasi guru mewarnai interaksi pendidikan. Modus pendidikan seperti ini tidak bisa mengembangkan budaya demokrasi di sekolah dan ini akan berlanjut kelak di masyarakat. Kreativitas peserta didik juga terpasung sampai titik terendah.

4.   Faktor Pendukung Profesi Guru
    Di samping kendala rendahnya tingkat kesejahteraan dan kualitas profesional guru, beberapa faktor pendukung yang menopang profesi guru sering sangat minim ke-beradaannya di sekolah. Misalnya, untuk kebanyakan sekolah di tanah air, guru tidak memiliki ruang kerja yang memadai di mana dia bisa bekerja dengan nyaman pada wak-tu tidak berada di kelas. Yang ada hanya sebuah ‘common room’ yang kadang-kadang tidak cukup luas untuk memberikan kenyamanan walaupun hanya untuk melepaskan lelah. Sekolah juga tidak memiliki perpustakaan guru yang memadai, apalagi yang up to date. Fasilitas pendidikan lainnya umumnya juga sangat terbatas.
Berdasarkan uraian diatas, penulis dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1.   Pembudayaan pendidikan pada masyarakat Indonesia pada hakekatnya merupakan proses pewarisan budaya di masyarakat dengan berbagai bidang, dapat diartikan pula membudayakan pemahaman masyarakat pada pendidikan untuk alih (transfer) keilmuan dan teknologi sebagai modal inovasi dalam peradaban masyarakat.


2.  Terdapat beberapa Kendala dalam hubungannya dengan peningkatan mutu pendidikan di tanah air, khususnya yang berkaitan dengan pembudayaan melalui pendidikan di sekolah. Ada kendala di tingkat kebijakan (makro) dan ada pula kendala di tingkat sekolah (mikro). Misalnya; Kualifikasi formal dan pendidikan guru, Budaya Top-Down, Relasi guru dengan Siswa di kelas, faktor pendukung profesi guru , dll. 

            Walaupun secara konseptual pembudayaan itu ‘bersenyawa’ dengan pendidikan, namun kenyataan dalam praktik tidak sepenuhnya mendukung hal itu. Berbagai kendala yang ada, baik di tingkat kebijakan maupun di tingkat sekolah, menyebabkan hampir tidak pernah pendidikan itu tersampaikan secara utuh di sekolah. Sekolah lebih banyak menyelenggarakan ‘pengajaran’ daripada pendidikan. Oleh karena itu sangat perlu diupayakan agar pendidikan yang kita selenggarakan betul-betul membudayakan apa yang dididikkan kepada peserta didik.

      Sekolah sebagai agen pembudayaan dituntut untuk mampu menyelenggarakan pendidikan yang menanamkan nilai-nilai budaya bangsa dalam rangka menguatkan integritas dan kepribadian bangsa. Pada tingkat mikro, proses pembudayaan ini dilakukan melalui proses belajar-mengajar yang tidak bisa hanya diberikan melalui pengalaman kognitif, melainkan harus secara signifikan menyentuh kecerdasan afektif peserta didik. Penanaman nilai-nilai budaya bangsa melalui perpaduan antara logika, etika, dan estetika akan menggugah penghayatan dan kecintaan peserta didik terhadap nilai-nilai budaya bangsanya.

Kamis, 07 Juli 2022

Tentang Kami

 



Inspirasi Pendidikan adalah sebuah portal web yang berisi tentang berbagai informasi dan inspirasi tentang pendidikan di Indonesia dan di berbagai belahan dunia.
Kehadiran Inspirasi pendidikan ini selain akan memperkaya khasanah literasi digital, juga diharapkan memberikan inspirasi kepada semuanya untuk terus mengembangkan pendidikan, tetap berkarya dan memberikan yang terbaik untuk bangsa dan negara.
Kami mengundang seluruh pembaca untuk bersama memberikan inspirasi dengan berbagi informasi, artikel, opini, makalah,kegiatan sekolah, dll terkait pendidikan. 

Kirimkan naskah anda di alamat:
email: mashary09@gmail.com
Alamat Redaksi: Griya Singajaya Indah No.7 Jl. Singajaya Kelurahan Singosaren - Jenangan - Ponorogo- Jawa Timur


ttd

Redaksi,